Minggu, 29 November 2009

KURBAN DENGAN UANG

Mendermakan uang itu lebih simpel dibanding mendermakan benda lain. Sehingga terkadang ada di antara kita melaksanakan kurban dengan membagikan uang seharga hewan kurban. Praktek seperti ini tidak sah sebagai kurban karena kurban adalah suatu bentuk ibadah yang dikhususkan dengan penyembelihan binatang ternak sebagaimana ditegaskan di dalam QS. Al-Hajj: 34

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ اْلأَنْعَامِ

Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah atas binatang ternak yang telah dirizkikan oleh Allah kepada mereka …… " (Al-Hajj: 34)

Walaupun tidak sah sebagai kurban, tetapi tidaklah sia-sia dan tidaklah termasuk bid'ah meskipun secara implisit Rasulullah SAW tidak pernah melaksanakan, melegitimasi, dan mengakuinya.

Dalam logika atau nalar fikih uang yang dibagikan dengan niat kurban itu menjadi shadaqah atau sedekah. Adapun keutamaan sedekah mengenai beberapa nashnya sudah cukup jelas. Akan tetapi, betapa sayang bila kurban sebagai ibadah tahunan yang kita laksanakan itu tidak diterima sebagai kurban karena kita melaksanakannya dalam bentuk pembagian uang.

Bertolak dari ayat di atas, ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi'iyyah, dan Hanabilah menyatakan, bahwa kurban adalah ibadah yang aspeknya adalah iraqah ad-dam (penyembelihan) yang berarti tidak boleh digantikan dengan benda lain termasuk dalam bentuk uang. Ulama' Hanafiyyah yang membolehkan membayar dalam bentuk uang untuk zakat apa pun, ternyata secara tegas tidak membolehkannya untuk kurban.

Dalam hal ini, Muhammad ibn Abi Sahl As-Sarkhasiy (Wafat 490 H.) di dalam Al-Mabsuth; juz II, h.157 menyatakan, bahwa zakat bagi para mustahiq berdimensi kemaslahatan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehingga bolehlah diberikan berupa harganya. Sedangkan kurban adalah suatu ibadah dalam bentuk penyembelihan. Sehingga seandainya setelah dilakukan penyembelihan dan sebelum dibagikan, ternyata hewan qurban itu hilang atau dicuri orang misalnya, tetaplah ibadah kurban itu sah.

Lebih jauh ia menyatakan, bahwa penyembelihan kurban itu tidak dapat diukur dengan harga, dan mengandung makna atau esensi yang tidak dapat digambarkan kemuliaannya. Adapun penggalan kalimatnya sebagai berikut:

فَكَانَ اْلمُعْتَبَرُ فِي حَقِّهِمْ أَنَّهُ مَحَلٌّ صَالِحٌ لِكِفَايَتِهِمْ حَتَّى تُتَأَدَّى بِالْقِيْمَةِ بِخِلَافِ الهِدَايَا وَالضَّحَايَا فَإنَّ الْمُسْتَحِقُ فِيْهَا إرَاقَةَ الدَّمِ حَتَّى وَلَوْ هَلَكَ بَعْدَ الذَّبْحِ قَبْلَ نَظِيْرٍ بِهِ لَمْ يَلْزِمهُ شَيْءٌ وَإرَاقَةُ الدَّمِ لَيْسَ بِمُتَقَوِّمٍ وَلَا مَعْقُوْلٍ الْمَعْنَى

"Adapun apa yang diakui menjadi hak para mustahiq zakat adalah aspek kemaslahatan untuk memenuhi kebutuhan mereka, sehingga boleh diberikan berupa harganya. Hal ini berbeda dengan hadyu dan kurban yang esensinya adalah aliran darah (penyembelihan), sehingga seandainya setelah hewan kurban itu disembelih binasa sebelum dibagikan, maka tidak ada kewajiban sedikit pun yang dibebankan kepada orang yang kurban. Penyembelihan kurban itu tidak dapat diukur dengan harga, dan tidak dapat dirasionalkan makna kemuliaannya ".

Demikian pula hal yang senada dinyatakan oleh Zain ibn Ibrahim ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Bakr (926-970 H) di dalam Al-Bahr ar-Raiq, jilid II, h.238. Adapun sedikit kutipan kalimatnya sebagai berikut:

قَيَّدَ الْمُصَنِّفُ بِالزَّكَاةِ لِأَنَّهُ لَا يَجُوْزُ دَفْعُ الْقِيْمَةِ فِيْ الضَّحَايَا وَالْهَدَايَا وَالْعِتْقِ لِأنَّ مَعْنَى الْقُرْبَةِ إرَاقَةِ الدَّمِ وَذَلِكَ لَا يَتَقَوَّمُ

Penyusun Kanz ad-Daqaiq membatasi (pembahasan mengenai boleh memberikan berupa harga) dalam kewajiban zakat. Persoalannya, tidak boleh memberikan dalam bentuk harga atas kurban, hadyu dan memerdekakan budak karena esensi kurban adalah aliran darah (penyembelihan) yang tidak dapat diukur dengan harga

Iuran Kurban Dibagikan Uang

Iuran kurban adalah dana yang dikeluarkan oleh beberapa orang untuk kurban, tetapi dana yang terkumpul tidak untuk membeli hewan kurban melainkan dibagikan dalam bentuk uang. Praktek ini sama dengan kurban berupa uang, dan secara jelas tidak sah sebagai kurban karena kurban harus dilaksanakan dalam bentuk penyembelihan hewan ternak, tetapi sah menjadi shadaqah bila para pembayar iuran ikhlas memberikannya.

Jika sebelum pembayaran itu telah dinyatakan untuk pembelian hewan kurban kemudian dibagikan dalam bentuk uang, maka wajib menanggung dan mengembalikan dana iuran itu kepada para pembayarnya karena menyalahi tujuan semestinya.

Apabila cara ini dimaksudkan untuk menggali sumber dana untuk kepentingan pribadi dengan dalih kurban, maka sungguh tidak mendidik, tidak layak dan tidak terpuji untuk dilakukan. Bahkan hal ini dapat dikategorikan sebagai bentuk tipu daya yang menodai kebenaran dan mencederai kejujuran. Hendaklah praktek seperti ini tidak terjadi di tengah masyarakat kita. Amin.

BERJUANG DAN BERKURBAN ADALAH JALAN DRAJAT YANG MULIA

http://www.uin-malang.ac.id/templates/rt_terrantribune_j15/images/blank.gif


PDF

Cetak

E-mail


Dalam Islam kita mengenal dua hari raya, yaitu Idul fitri dan Idul-Qurban. Dua bulan yang lalu kita bersama-sama di masjid ini menunaikan sholat Idul Fitri, setelah sebulan penuh berpuasa. Idul Fitri, kita pahami sebagai hari, di mana kita berharap kembali kepada kesucian, menjadi suci, suci dari dosa, memperoleh ampunan dari Allah swt, setelah dengan ikhlas menyelesaikan puasa dan sholat malam (qiyamullail) di bulan ramadhan.

Pagi ini kita berada di tempat yang mulia ini pula, bersama-sama melaksanakan sholat Idul Adha, yang juga disebut sebagai Idul Qurban, atau orang juga meyebutnya hari raya haji. Jika Idul fitri, kita berharap menjadi suci, yaitu suci dari dosa dan memperoleh ampunan, maka pada hari raya qurban, kita sebagai orang muslim, mukmin dan muttaqin berharap kepada Allah swt. agar menjadi orang yang siap melakukan pengorbanan agar memperoleh kebesaran dan kemuliaan. Kebesaran maupun kemuliaan seseorang, menurut ajaran Islam, selalu ditempuh lewat berjuang dan berqurban.

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu Akbar, walillahilhamd.
Kaum muslimin yang berbahagia.

Sejarah mencatat bahwa dalam perjalanan hidup manusia terdapat banyak orang yang menyandang nama besar. Namanya diingat oleh sebagian besar manusia, riwayatnya dipelajari, tingkah lakunya dijadikan pedoman, semangatnya dijadikan sebagai bahan untuk menggerakkan masyarakat, dan namanya dikenang sampai berlama-lama.

Dalam sejarah bangsa kita misalnya, kita kenal nama-nama Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Hasanuddin, Sultan Agung, Ir. Sukarno, Moh. Hatta, KiHadjar Dewantoro, K.H. Hasyim Asy’ari, dan masih banyak lagi. Nama-nama tersebut, saya yakin, tidak akan segera hilang dalam ingatan bangsa Indonesia.

Nama-nama para pejuang tersebut diingat oleh begitu banyak orang dan dalam waktu yang sedemikian lama. Sebaliknya, nama sejumlah besar orang lainnya begitu cepat terlupakan dan bahkan tidak dikenal, kecuali oleh keluarga dan teman-temannya secara terbatas. Salah satu sebabnya, karena para pahlawan itu berbeda dari banyak orang pada umumnya. Para pejuang itu di masa hidupnya pernah meninggalkan sesuatu yang amat berharga bagi kehidupan.

Para pejuang hingga memiliki nama besar itu tidak hanya berpikir dan berbuat untuk dirinya sendiri, melainkan berpikir dan berbuat untuk masyarakatnya, untuk bangsanya dan bahkan tidak saja terhadap yang hidup ketika itu, melainkan juga kepada mereka yang hidup pada masa-masa kemudian. Kata kuncinya ialah, bahwa kebesaran nama yang disandang itu diperoleh dari perjuangan dan pengorbanan yang telah mereka berikan semasa hidupnya.

Dua kata kunci, yakni berjuang dan berkorban, tampaknya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Berjuang pasti memerlukan pengorbanan. Sebaliknya, berkorban pasti untuk sebuah perjuangan. Gabungan dua kata yang selalu disebut bersama-sama ini menjadi terlalu indah didengar dan dirasakan. Apalagi, kalau sudah menjadi bentuk perbuatan nyata, pasti membuahkan nama besar bagi pelakunya.

Namun sayangnya, banyak orang yang berkeingian berjuang, tetapi tidak bersedia untuk berkorban. Orang mau berjuang, tanpa berkorban tidak akan berhasil, bahkan tak akan terjadi perjuangan. Karena beratnya menjadi pejuang itu, lalu betapa sedikitnya jumlah nama-nama pejuang kita. Islam mengajarkan, agar kita menjadi pejuang yang sesungguhnya, dan bukan menjadi orang yang hanya mendambakan keuntungan untuk dirinya sendiri.


Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, walillahilhamd
Kaum muslimin yang berbahagia.

Dalam suasana hari raya kurban seperti sekarang ini, lewat kisah yang bisa dibaca dalam kitab suci Al Qur‘an, sebagai seorang mukmin kita diingatkan oleh Allah tentang kehidupan seorang yang menyandang nama besar, ialah Nabi Ibrahim as. Di antara para Rasul, Ibrahim memperoleh sebutan khusus yaitu khalilullah (kekasih Allah) (Q.S. Al-Nisa': 125). Sebutan itu diterima olehnya, karena Ibrahim telah berhasil menapaki puncak kemusliman dan ketaqwaannya, satu di antaranya lewat beberapa pengorbanan besar yang pernah ia lakukan.

Kebesaran nama Ibrahim yang diperoleh lewat pengorbanan itu, lalu diabadikan dalam syari’at Muhammad saw, melalui haji dan berkorban seperti yang kita laksanakan dan saksikan sekarang ini. Secara lebih jelas dan rinci, Nabi Ibrahim yang menyandang nama besar hingga menjadi khalilullah, dalam sejarah hidupnya telah menunjukkan perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa, antara lain:

Pertama, ialah kesungguh-sungguhannya dalam berjuang mencari Islam. Keislaman Ibrahim, diperoleh melalui proses pencaharian yang berat, sehingga keislaman Ibrahim didasarkan atas pengertian, pemahaman, dan kesadaran yang mendalam. Kebenaran Islam diimani dan diamalkan bukan hanya karena ikut-ikutan, dan bukan pula tanpa pengertian dan pemahaman. Hal ini dapat dilihat dari perjuangan Ibrahim, dalam proses pencaharian TuhanNya.

Ibrahim, ketika ia melihat bintang, ia simpulkan bahwa bintang adalah tuhan; begitu dilihat bulan yang lebih besar bentuknya dari bintang, ia berubah menuhankan bulan. Selanjutnya, ketika ia melihat matahari, yang lebih terang, keyakinannya berubah pula, ia segera sujud bersimpuh menghadap matahari, tuhan baru yang ia temukan. Tetapi hebatnya, tatkala dalam kebingungan lantaran matahari yang dianggap tuhannya itu terbenam, begitu Allah berfirman "aslim", Islamlah engkau wahai Ibrahim, dengan penuh kesungguhan Ibrahim menyatakan saya Islam (Q.S. Al-Baqarah: 131), Ia pasrah kepada Allah seru sekalian alam. Keimanan yang diperoleh lewat pergumulan perjuangan, melahirkan sikap penyerahan diri secara total, tidak ragu-ragu, menerima sepenuh hati kebenaran dari Yang Maha Benar.

Kedua, perjuangan Ibrahim dalam upaya membuktikan iman dalam sikap dan tindakannya, seperti ketika menghadapi ujian yang diberikan Allah (Q.Al-baqarah 124). Ibrahim hidup pada saat penguasa dan masyarakat terlena dalam penyembahan berhala. Tidak seorang pun pada waktu itu berani menyatakan salah terhadap yang dilakukan oleh umat manusia di sekelilingnya, apalagi hal itu didukung oleh penguasa. Tapi ... Ibrahim dengan kekokohan tauhidnya, berani menyatakan salah terhadap sesuatu yang ia yakini salah. Ia hancurkan berhala-berhala sesembahan masyarakat saat itu. Kisah Ibrahim tentang hal itu, dapat kita simak dalam Al Qur’an surat Ash-shoffat ayat 85-99. Ibrahim untuk mempertahankan keyakinannya ia harus berkorban, dihukum dengan cara dibakar hidup-hidup. Tetapi, atas pertolongan Allah, lewat mu’jizat-Nya ia selamat.

Ketiga, pengorbanan Ibrahim juga dapat dilihat ketika ia melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih satu-satunya putra yang amat dicintainya, Ismail. Peristiwa ini adalah sebagai puncak keimanan Ibrahim. Pengorbanan Ibrahim yang dahsyat. Sungguh patut kita renungkan, siapakah dalam kehidupan ini yang siap dan ikhlas mengorbankan sesuatu yang ia miliki dan bahkan yang paling ia cintai, untuk Allah.

Keempat, perjuangan dan pengorbanan Ibrahim lainnya ialah dalam upaya mendidik generasi berikutnya. Ibrahim berhasil membentuk keimanan generasi sesudahnya. Hal itu bisa kita lihat dengan jelas, betapa dengan tegas Ismail meminta ayahandanya untuk tidak ragu-ragu menyembelihnya (Q.Ashaffat 102), ingatlah cucu Ibrahim, anak Ya’kub, dengan tegas menyatakan kesetiaannya untuk selalu menyembah Allah (Q.Al-Baqarah 133).

Memperhatikan kisah singkat Nabi Ibrahim itu, kita dapat mengambil ibrah bahwa untuk menjadi manusia yang menyandang nama besar harus dengan perjuangan sejati dan pengorbanan besar. Paling tidak, lewat kisah Ibrahim itu, ada tiga hal mendasar yang perlu kita tangkap, yaitu: pertama, ketauhidan yang kokoh, yang diperoleh lewat perjuangan. Kedua, contoh kesediaan berkorban yang berat---- melepaskan sesuatu yang paling dicintai untuk orang lain, dan ketiga, kesediaan membangun manusia mendatang lewat pendidikan generasi berikutnya.

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu Akbar, walillahilhamd.
Kaum muslimin yang berbahagia.

Lebih jauh, peringatan tentang betapa pentingnya perjuangan dan pengorbanan ini, juga ditunjukkan lewat kisah Habil dan Qobil putra Adam as. Lewat kisah itu kita ditunjukkan bahwa pengorbanan tidak cukup dengan benda murahan, apalagi tidak diikuti oleh sikap tulus dan penuh keikhlasan. Apa yang harus kita korbankan ternyata seharusnya adalah hal yang justru kita pandang baik, yang berharga dan yang berkualitas tinggi, sebagaimana qurbannya Habill. Dan sebaliknya, apa yang kita korbankan tidak selayaknyahanya hal yang sederhana kualitasnya, yang sedikit jumlahnya, apalagi sekedar barang sisa; sebagaimana kisah Qobil sehingga ditolak oleh Alllah.


Selain lewat berbagai kisah tersebut perintah berkorban secara tegas juga dapat kita baca dalam Al Qur’an surat Al Kautsar , artinya :



"Sungguh Aku telah memberi engkau nikmat yang banyak, maka sholat dan berkorbanlah untuk Allah. Dan barangsiapa yang membenci engkau Muhammad, ia akan putus atau punah".


Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, walillahilhamd
Kaum muslimin dan muslimat yang berbahagia.

Saat ini, kita belum sepenuhnya dapat menyelesaikan persoalan yang menimpa bangsa ini. Bangsa kita pada saat ini masih kaya akan masalah. Kemiskinan, kebodohan, terbatasnya lapangan kerja, pendidikan yang belum merata, konflik antar elite yang berkepanjangan. Semua itu ternyata menjadi sumber persoalan kehidupan bangsa ini. Setiap hari kita masih disuguhi oleh berita yang menyusahkan. Di antaranya, berita tentang betapa banyaknya para buruh harus ke luar negeri hanya mencari sesuap nasi, berebut lapangan kerja. Selain itu setiap hari kita jumpai di mana-mana orang miskin dan anak-anaknya meminta-minta di pinggir jalan. Selain it, masih ada saja bangunan sekolah tidak layak dan bahan ambruk. Guru yang tidak mendapatkan gaji semsstinya dan lain-lain.

Selain itu tidak sedikit warga masyarakat yang selalu mendapatkan beban psikologis. Beban hidup itu, akhir-akhir ini menjadi terasa amat berat dan serba tidak menentu. Pekerjaan semakin sulit dicari, sementara yang masih untung memiliki pekerjaan, gaji yang diterima tidak seimbang dengan kebutuhan sehari-hari yang selalu meningkat yang diakibatkan oleh kenaikan harga. Suasana yang tidak menggembirakan itu masih ditambah lagi, persoalan yang tidak kurang rumitnya seperti dekadensi moral, penyalahgunaan obat terlarang, kenakalan remaja, dan berbagai macam persoalan lagi, baik yang berskala besar maupun kecil mewarnai kehidupan kita saat ini.

Menghadapi persoalan-persoalan tersebut maka di sinilah sesungguhnya lagi-lagi diperlukan perjuangan dan pengorbanan kita secara kongkrit. Merasa acuh, tak peduli terhadap penderitaan orang lain adalah bukan watak seorang muslim. Islam memberikan tuntunan hidup agar supaya kita sesama muslim saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan. Rosulullah Muhammad saw., memerintahkan agar kita saling mencintai dan berbuat baik. Bahkan dalam suatu riwayat beliau bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang jika ia tidak mencintai orang lain sebagaimana mencintai dirinya sendiri".

Secara lebih jelas lagi, bagaimana sikap yang harus dibangun oleh seorang muslim tatkala mendapatkan orang lain yang sedang mengalami kesulitan tergambar dalam surat Al Maun. Dalam surat itu, Allah dengan tegas menegur hamba-Nya yang tidak mempedulikan orang-orang yang lagi kesulitan, yaitu :


"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama; Itulah orang yang menghardik anak yatim; Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin; Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat; (Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya; Orang-orang yang berbuat riya; Dan enggan menolong dengan barang berguna".

Lewat ayat ini, ternyata Islam memang ajaran agung, mengajak umatnya agar tidak bersifat individualis, mementingkan diri sendiri. Bernikmat-nikmat di tengah orang susah adalah dianggap cela dan mendustakan agama. Sikap seperti itu dianggap, tidak manusiawi, bukan sikap terpuji bagi seorang muslim. Bahkan, jika kita tidak memperhatikan yang yatim, yang miskin, yang kekurangan, yang dhuafa^, maka sesungguhnya kemusliman dan keimanan kita dipandang oleh Alllah, sebagai masih berkadar lemah dan bahkan masih bohong belaka. Tentu, kita semua tidak akan mau disebut menjadi pembohong-pembohon agama.


Selain itu, dalam menghadapi suasana yang tidak terlalu menggembirakan seperti sekarang ini, Al Qur’an memberikan petunjuk apa yang harus kita jaga dan lakukan, yaitu: (1) kita harus selalu memperkokoh keimanan, keyakinan, dan ketaqwaan; (2) selalu membangun dan menyambung sillaturrahmi seluas-luasnya dan (3) selalu menghindar dari melakukan kerusakan dalam berbagai bentuk dan skalanya. Hal itu dapat kita baca dalam surat al Baqoroh ayat 27 yang berbunyi :

"(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang merugi."


Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu Akbar, walillahilhamd.
Kaum muslimin yang berbahagia.

Akhirnya, marilah bersama-sama kita tingkatkan keimanan, keislaman dan ketaqwaan kita. Marilah kita hilangkan sikap yang hanya mementingkan diri sendiri, sikap yang sangat merugikan bagi kita semua, sikap yang tidak peduli kepada orang lain, yang lemah yang sedang tertimpa kesusahan. Sesungguhnya, menjadi kewajiban kita semualah mewujudkan satu kehidupan damai, penuh kasih sayang, tolong menolong di antara kita kaum muslimin dan umat manusia pada umumnya. Pada pertemuan yang suci ini, marilah kita memanjatkan doa kepada Allah swt, dengan harapan perjumpaan ini membawa hikmah yang besar bagi bangkitnya semangat perjuangan dan pengorbanan kita, dengan tetap ikhlas karena Allah.


*) Khutbah Idul Adha, 10 Dhul Hijjah 1430 Hijriyah, 27 Nopember 2009

© UIN Maliki Malang

Kamis, 26 November 2009

KEUTAMAAN DAN HIKMAH QURBAN

Di dalam syariat yang dibawa oleh Rasulullah Saw, perintah dan larangan selalu ada dan terus berjalan kepada setiap hamba selama ruh masih bersama jasadnya. Dan selama itu pula manusia dapat menambah kedekatannya kepada Allah swt dengan melakukan perintah-perintah syariat yang mulia. Baik yang berupa kewajiban maupun yang sunnah.
Dan kesunnahan yang dilakukan si hamba inilah yang menjadi bukti keberhasilannya dan keuntungannya dalam kehidupan dunia. Sebab ibadah wajib ibarat modal seseorang, mau tidak mau, suka tidak suka dia harus menjalankannya, sedang amal sunnah itulah keuntungannya. Alangkah ruginya manusia jika di dunia hanya beribadah yang wajib saja atau dengan kata lain setelah bermuamalah dia kembali modal, tidak mendapat keuntungan sedikitpun. Maka ibadah sunnah ini hendaknya kita kejar, kita amalkan, sebab itulah bukti kesetiaan kita dalam mengikuti dan mencintai Rasulullah Saw, beliau saw bersabda (yang artinya):
“ Barang siapa menghidupkan sunnahku, maka dia telah mencintaiku, dan siapa yang mencintaiku, maka kelak akan berkumpul bersamaku di surga “. (HR. As Sijizi dari Anas bin Malik, lihat Al Jami’ush Shoghir)
Bahkan dalam hadits qudsi Allah menyatakan bahwa Dia sangat cinta kepada hamba yang suka menjalankan amal-amal sunnah, sehingga manakala Dia telah mencintai hamba tersebut, Dia akan menjaga matanya, pendengarannya, tangan dan kakinya. Semua anggota tubuhnya akan terjaga dari maksiat dan pelanggaran. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al Bukhori dari Abu Hurairah RA.
Dari sekian banyak sunnah yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW adalah melakukan qurban, yaitu menyembelih binatang ternak, berupa onta, atau sapi(lembu) atau kambing dengan syarat dan waktu yang tertentu. Bahkan kesunnahan berqurban ini adalah sunnah muakkadah, artinya kesunnahan yang sangat ditekankan dan dianjurkan.
Sebagaimana diriwayatkan oleh imam Muslim dalam Shohihnya dari Anas bin Malik, beliau berkata :“ Rasulullah saw berudhiyah (berkurban) dengan dua kambing putih dan bertanduk, beliau menyembelih dengan tangan beliau sendiri yang mulia, beliau mengawali (penyembelihan itu) dengan basmalah kemudian bertakbir …”Tapi hendaknya kita mengetahui bahwa kesunnahan kurban adalah untuk umat Nabi Muhammad saw, sedang bagi beliau justru adalah sebagai kewajiban, ini termasuk sekian banyak kekhususan yang diberikan oleh Allah kepada Rasulullah saw.
Pengertian qurban secara terminologi syara’ tidak ada perbedaan, yaitu hewan yang khusus disembelih pada saat Hari Raya Qurban (’Idul Al-Adha 10 Dzul Hijjah) dan hari-hari tasyriq (11,12, dan 13 Dzul Hijjah) sebagai upaya untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT.
Dalam Islam qurban disyariatkan pada tahun kedua Hijriah. Saat itu Rasulullah keluar menuju masjid untuk melaksanakan shalat ‘Idul Adha dan membaca khutbah `Id. Setelah itu beliau berqurban dua ekor kambing yang bertanduk dan berbulu putih.
Tradisi qurban sebetulnya telah menjadi kebiasaan umat-umat terdahulu, hanya saja prosesi dan ketentuannya tidak sama persis dengan yang ada dalam syariat Rasulullah. Allah SWT befirman, “Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syariat tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu (Muhammad) dalam urusan syariat ini. Dan serulah kepada agama Tuhanmu, sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus” (QS AI-Haj: 67).
Bahkan qurban telah menjadi salah satu ritus dalam sejarah pertama manusia. Seperti dikisahkan dengan jelas dalam AI-Quran surah Al-Maidah ayat 27 mengenai prosesi qurban yang dilakukan oleh kedua putra Nabi Adam AS, qurban diselenggarakan tiada lain sebagai refleksi syukur hamba atas segala nikmat yang dianugerahkan Tuhannya, di samping sebagai upaya taqarrub ke hadirat-Nya.
Dalil Qurban dan Keutamaan berkurban
Allah SWT berfirman, “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan sembelihlah” (QS Al-Kautsar: 1-2). Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan shalat di sini adalah shalat hari `Idul Adha, sedangkan yang dimaksud dengan menyembelih adalah menyembelih hewan qurban.
Diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi, Ibnu Majah dan al Hakim dari Zaid bin Arqam, bahwsanya Rasulullah saw bersabda (yang artinya):“ Al Udhiyah (binatang kurban), bagi pemiliknya (yang berkurban) akan diberi pahala setiap satu rambut binatang itu satu kebaikan “.
Diriwayatkan oleh imam Abul Qasim Al Ashbahani, dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah saw bersabda (yang artinya):“ Wahai Fathimah, bangkitlah dan saksikan penyembelihan binatang kurbanmu, sungguh bagimu pada awal tetesan darah binatang itu sebagai pengampunan untuk setiap dosa, ketahuilah kelak dia akan didatangkan (di hari akhirat) dengan daging dan darahnya dan diletakkan diatas timbangan kebaikanmu 70 kali lipat “.
Rasulullah saw bersabda (yang artinya):“ Barang siapa berkurban dengan lapang dada (senang hati) dan ikhlas hanya mengharap pahala dari Allah, maka dia akan dihijab dari neraka (berkat udhiyahnya) “. (HR. Ath Thabarani dari Al Husein bin Ali)
Dalil dari hadits, dari Siti Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda (yang artinya), ‘Tiada amal anak-cucu Adam pada waktu Hari Raya Qurban yang lebih disukai Allah daripada mengalirkan darah (berqurban). Dan bahwasanya darah qurban itu sudah mendapat tempat yang mulia di sisi Allah sebelum jatuh ke tanah. Maka laksanakan qurban itu dengan penuh ketulusan hati.” (HR. At Tirmidzi)
Dari Anas RA, ia berkata, “Nabi SAW mengurbankan dua ekor kambing yang putih-putih dan bertanduk. Keduanya disembelih dengan kedua tangan beliau yang mulia setelah dibacakan bismillah dan takbir, dan beliau meletakkan kakinya yang berbarakah di atas kedua kambing tersebut:’ (HR Muslim).
Rasulullah SAW bersabda tentang keutamaan qurban bahwasanya qurban itu akan menyelamatkan pemiliknya dari kejelekan dunia dan akhirat. Beliau juga bersabda (yang artinya),“Barang siapa telah melaksanakan qurban, setelah orang itu keluar dari kubur nanti, ia akan menemukan qurbannya berdiri di atas kuburannya, rambut qurban itu terdiri dari belahan emas, matanya dari yaqut, kedua tanduknya dari emas pula. Lalu ia terheran-heran dan bertanya, ‘Siapa kamu ini? Aku belum pernah melihat sesuatu seindah kamu.’Hewan itu menjawab, “Aku adalah qurbanmu yang engkau persembahkan di dunia sekarang. Naiklah ke alas punggungku”. Kemudian ia naik dan berangkatlah mereka sampai naungan Arasy, di langit yang ketujuh”
Rasulullah SAW bersabda (yang artinya), “Perbesarlah qurban-qurban kalian, sebab qurban itu akan menjadi kendaraan-kendaraan dalam melewati jembatan AshShirat menuju surga” (HR Ibnu Rif’ah).
Dalam satu riwayat disebutkan, Nabi Dawud AS pernah bertanya kepada Allah SWT tentang pahala qurban yang diperoleh umat Nabi Muhammad SAW.Allah SWT menjawab, “Pahalanya adalah, Aku akan memberikan sepuluh kebajikan dari setiap satu helai rambut qurban itu, akan melebur sepuluh kejelekan, dan akan mengangkat derajat mereka sebanyak sepuluh derajat. Tahukah engkau, wahai Daud, bahwa qurban-qurban itu adalah kendaraankendaraan bagi mereka di hari kiamat nanti, dan qurban-qurban itu pula yang menjadi penebus kesalahan-kesalahan mereka.”
Sayyidina Ali RA berkata, “Apabila seorang hamba telah berqurban, setiap tetesan darah qurban itu akan menjadi penebus dosanya di dunia dan setiap rambut dari qurban itu tercatat sebagai satu kebajikan baginya”.
Hikmah yang bisa kita ambil dari qurban adalah:
Pertama, untuk mengenang nikmat-nikmat yang diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim dengan digagalkannya penyembelihan putranya, Ismail AS, yang ditebus dengan seekor kambing dari surga.Kedua, untuk membagi-bagikan rizqi yang diberikan oleh Allah SWT kepada umat manusia saat Hari Raya ‘Idul Adha, yang memang menjadi hari membahagiakan bagi umat Islam, agar yang miskin juga merasakan kegembiraan seperti yang lainnya. Sebagaimana telah disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw (artinya): “Hari Raya Qurban adalah hari untuk makan, minum dan dzikir kepada Allah” (HR. Muslim)Ketiga, untuk memperbanyak rizqi bagi orang yang berqurban, karena setiap hamba yang menafkahkan hartanya di jalan Allah akan mendapatkan balasan berlipat ganda.
Kisah Sayyiduna Abdullah bin Abdul Mutthalib
Dalam Islam, qurban tidak sekadar memiliki dimensi religius, yang menghu bungkan makhluk dengan Allah, Pencipta alam semesta. Qurban bukan sekadar ritus penyembelihan binatang dan aktivitas membagikan daging hewan kepada mereka yang tidak mampu. la pun memiliki dimensi sosial. Qurban juga memiliki akar sejarah yang demikian kuat dan memiliki posisi vital di tengah-tengah masyarakat.
Berhubungan dengan sejarah qurban seperti yang umum diketahui oleh umat Islam tentang awalnya syariat qurban diturunkan, ada satu kisah yang menarik dari Rasulullah sehingga beliau menyatakan dirinya sebagai anak dua sembelihan.
Kisahnya ketika Abdullah bin Abdul Muthalib belum dilahirkan. Ayahnya, Abdul Muthalib, pernah bernazar bahwa, jika anaknya laki-laki sudah berjumlah sepuluh orang, salah seorang di antara mereka akan dijadikan qurban.Setelah istri Abdul Muthalib melahirkan lagi anak laki-laki, genaplah anak laki-lakinya sepuluh orang. Anak laki-laki yang kesepuluh itu tidaklah diberi nama dengan nama-nama yang biasa, tapi diberi nama dengan nama yang arti dan maksudnya berlainan sekali, yaitu dengan nama “Abdullah”, yang artinya “hamba Allah”.
Selanjutnya setelah Abdullah berumur beberapa tahun, ayahnya, Abdul Muthalib, belum juga menyempurnakan nazarnya. Pada suatu hari dia mendapat tanda-tanda yang tidak tersangkasangka datangnya yang menyuruhnya supaya menyempurnakan nazarnya. Oleh sebab itu bulatlah keinginannya agar salah seorang di antara anak laki-lakinya dijadikan qurban dengan cara disembelih.
Sebelum pengurbanan itu dilaksanakan, dia lebih dulu mengumpulkan semua anak laki-lakinya dan mengadakan undian. Pada saat itu undian jatuh pada diri Abdullah, padahal Abdullah adalah anak yang paling muda, yang paling bagus wajahnya dan yang paling disayangi dan dicintai. Tetapi apa boleh buat, kenyataannya undian jatuh padanya, dan itu harus dilaksanakan.
Seketika tersiar kabar di seluruh kota Makkah bahwa Abdul Mutthalib hendak mengurbankan anaknya yang paling muda. Maka datanglah seorang kepala agama, penjaga Ka’bah, menemui Abdul Mutthalib, untuk menghalang-halangi apa yang akan diperbuat Abdul Mutthalib.Kepala agama itu memperingatkan untuk tidak melakukan perbuatan tersebut. Jika hal itu sampai dilaksanakan, sudah tentu kelak akan dicontoh oleh orang banyak, karena Abdul Muthalib adalah seorang wali negeri pada masa itu dan dia mempunyai pengaruh yang sangat besar di kota Makkah. Oleh sebab itu, apa yang akan dilakukannya tentu akan jadi panutan bagi warga lain. Si pemuka agama ini mengusulkan agar nazar tersebut diganti saja dengan menyembelih seratus ekor unta.
Berhubung kepala agama penjaga Masjidil Haram telah memperkenankan bahwa nazar Abdul Muthalib cukup ditebus dengan seratus ekor unta, disembelihlah oleh Abdul Muthallib seratus ekor unta di muka Ka’bah. Dengan demikian Abdullah urung jadi qurban.Karena peristiwa itu pada waktu Nabi SAW telah beberapa tahun lamanya menjadi utusan Allah, Rasulullah pernah bersabda (yang artinya), “Aku anak laki-laki dari dua orang yang disembelih.” Maksud Rasulullah, beliau adalah keturunan dari Nabi Ismail AS, yang juga akan disembelih tapi lalu diganti Allah dengan kibas, dan anak Abdullah, yang juga akan disembelih tapi kemudian diganti dengan seratus ekor unta.

Rabu, 25 November 2009

BESOK LEBRAN

Jakarta, NU Online
Sidang itsbat atau penetapan tanggal 1 Dzulhijjah 1430 H baru diadakan Rabu (18/11) pagi besok pukul 10.00 WIB di kantor Departemen Agama Jakarta. Pada penentuan awal Syawal sidang itsbat diadakan malam hari setelah pelaksanaan rukyatul hilal. Sementara rukyat untuk bulan Dzulhijjah ini diadakan pada Selasa (17/11) petang.

Ketua Lajnah Falakiyah PBNU, KH Ghazalie Masroeri menyatakan, sidang itsbat mestinya diadakan sesaat setelah pelaksanaan rukyatul hilal agar masyarakat dapat segera memperoleh ketetapan awal bulan Dzulhijjah.

Menurutnya, pihaknya mendapatkan undangan untuk mengikuti sidang itsbat yang dilakukan pada hari Rabu karena menyesuaikan dengan jadwal Menteri Agama Suryadharma Ali.

“Ini memang aneh dan juga lucu. Mestinya setelah rukyat langsung segera disusul dengan sidang itsbat. Mestinya untuk acara yang sepenting ini menteri yang menyesuaikan jadwalnya,” kata Kiai Ghazalie kepada NU Online di Jakarta, Senin (16/11).

Rukyatul hilal untuk menetapkan awal Dzulhijjah diadakan pada Selasa (17/11) petang bertepatan dengan tanggal 29 Dzulqa’dah 1430 H. Lajnah Falakiyah PBNU sendiri akan mengkoordinir pelaksanaan rukyat di sedikitnya 65 titik strategis di Indonesia. Hasil rukyatul hilal akan dilaporkan kepada para petugas di kantor Lajnah Falakiyah PBNU.

Mestinya setelah pelaksanaan rukyat ini, tanggal 1 Dzulhijjah 1430 H bisa langsung ditetapkan pada hari itu juga. Menurut Kiai Ghazalie Lajnah Falakiyah PBNU tetap akan menginformasikan hasil rukyat, meskipun ikhbar atau pengumuman resminya baru dikeluarkan setelah sidang itsbat. (nam)
sumber : http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=20429

MANIPULASI IBLIS

فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِينَ
Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)”. Dan dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. "Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua. (QS. Al-A’rof: 20-21)

Kisah ini adalah kisah yang telah lama diketahui oleh manusia, yaitu kisah antara Adam, Hawa dan iblis. Kisah yang diabadikan dalam Al-Quran dengan pengambaran yang sangat gamblang dan jelas, yang diceritakan langkah demi langkah, tentu memberikan sebuah gambaran kepada kita bahwa ketika Bapak dan Ibu dari seluruh manusia itu digoda oleh iblis, maka anak keturunannyapun tidak luput dari godaan itu. Seperti itulah ikrar iblis kepada Allah ketika diusir dari surga.
“Sungguh saya benar-benar akan menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus”. (QS. Al-A’rof: 16)

Langkah-langkah yang ternyata telah berhasil membuat Adam dan Hawa tertipu akan selalu digunakan oleh iblis untuk menggoda anak keturunan Adam. Namun jurus-jurus yang sudah diketahui itu kadangkala sering tidak disadari, sehingga kembali membuat manusia tertipu.

Manusia telah dimuliakan Allah, diumumkan kelahirannya kepada makhluk tertinggi dalam majelis para malaikat, para malaikat diperintahkan sujud kepada Adam. Manusia diberikan dua potensi berupa kebaikan dan keburukan, petunjuk dan kesesatan. Pada dirinya terdapat kelemahan tertentu, kalau ia tidak konsisten pada perintah Allah maka dari titik-titik kelemahan itulah ia dapat dimasuki oleh setan.

Bisikan setan ini tidak diketahui bagaimana caranya, akan tetapi kita dapat mengetahui sasarannya berdasarkan informasi yang benar dari Al-Quran, sasaran penyesatan itu adalah titik kelemahan pada diri manusia. Setan mempermainkan kecenderungan manusia yang tersembunyi, manusia ingin kekal, diberi umur yang panjang sehingga sepertinya kekal, manusia juga ingin memiliki kepemilikan yang tak terbatas padahal usia mereka pendek dan terbatas.

Dalam ayat ini diketahui bahwa manipulasi yang digunakan iblis adalah: “An takuunaa malakaini au takuunaa minal khalidin.”
Dalam penjelasan qiroah malakaini ada dua bacaan yang dapat dijadikan pengertian untuk memahamai maksud dari ayat ini. Bacaan pertama adalah: malikaini yaitu huruf lam dibaca kasroh yang berarti dua orang raja, yakni raja dan ratu, bacaan ini dikuatkan oleh nash lain dalam surat Thaaha: “Maukah aku tunjukan kepada kalian berdua, kepada pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan punah”. (QS. Thaha: 120)

Atas dasar bacaan ini, maka manipulasi ini adalah kekuasaan yang abadi dan umur yang kekal. Keduanya merupakan syahwat atau kecenderungan yang paling kuat dalam diri manusia.

Bacaan kedua adalah malakaini, huruf lam dibaca fathah yang berarti dua malaikat, maka manupulasi setan itu adalah dengan melepaskan manusia dari ikatan-ikatan fisik seperti malaikat yang kekal.

Ketika Iblis ini mengetahui bahwa Allah melarang Adam dan Hawa memakan buah ini, dan larangan ini terasa berat dalam jiwa mereka, maka untuk menggoyang hati mereka, iblis menimbulkan khayalan dan angan-angan kepada mereka, di samping juga mempermainkan syahwat dan keinginan mereka. Bahkan iblis memperkuat dengan sumpah bahwa ia adalah pemberi nasehat yang berlaku jujur.

Adam dan istrinya lupa karena pengaruh dorongan syahwat dan sumpah setan yang penuh tipu daya bahwa setan adalah musuh mereka yang tidak mungkin menunjukkan mereka kepada kabaikan.

Sayyid Qutb dalam tafsirnya menjelaskan bahwa, “Sesungguhnya iblis hanya mendatangi mereka dari titik kelemahan mereka dan tempat masuknya syahwat. Tidak ada yang dapat melindungi manusia dari godaan setan itu kecuali dengan memperkuat iman dan zikir, memperkuat pertahanan dari penyesatan dan bisikan jahatnya, mengalahkan syahwat dan menundukan hawa nafsu kepada petunjuk Allah.”

Manusia dapat saja berbuat keliru dan lupa. Pada dirinya terdapat kelemahan yang dapat dimasuki setan, ia tidak selamanya patuh dan tidak selamanya istiqomah. Akan tetapi ia dapat mengejar kekeliruannya, mengakui kesalahannya, menyesali perbuatan, dan memohon pertolongan dan ampunan kepada Tuhannya. Karena manusia mempunyai potensi untuk kembali ke jalan yang benar dan bertaubat , tidak keterusan dalam maksiat sebagaimana halnya setan.

Ketika manusia menyadari akan kekeliruannya dan terjatuh dalam kemaksiatan maka ucapan yang keluar adalah seperti ucapan yang keluar dari dari bibir Adam dan Hawa:
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’rof: 32)

Dengan mengetahui manipulasi iblis tersebut, diharapkan kita menjadi waspada terhadap hal-hal serupa yang menjadi tempat sasaran iblis dalam menggoda dan menyesatkan manusia. Wallahu a’lam bisshowab

PERSELISIHAN

Perselisihan

PDF

Cetak

E-mail


Sepintas berselisih itu jelek, tapi nyatanya dilakukan juga oleh orang baik-baik, termasuk oleh orang yang berpendidikan. Karena itu maka tidak semua perselisihan itu buruk. Perselisihan itu menjadi baik, karena dilakukan untuk mendapatkan kebaikan, ialah untuk atau demi keadilan. Sebaliknya perselisihan menjadi jelek, kalau hal itu hanya untuk mengalahkan atau mencelakakan pihak lawan.

Akhir-akhir ini, bangsa Indonesia disibukkan oleh peristiwa perselisihan. Tidak tanggung-tanggung, perselisihan itu terjadi antar instansi yang terhormat. Peristiwa itu tidak ada yang menarik, tetapi justru sebaliknya, memprihatinkan. Oleh karena itu maka banyak pihak yang harus ikut ambil bagian meredakan, termasuk Presiden. Kepala Negara kemudian sampai membentuk tim Pencari Fakta sebagai bahan untuk menyelesaikan persoalan itu.

Memang dirasa aneh, para pejabat tingi yang semestinya melerai perselisihan, tetapi justru berselisih sendiri. Umpama pihak-pihak yang terlibat kasus itu adalah rakyat atau orang biasa, maka para pejabat itulah yang menyelesaikan. Akan tetapi, karena yang sedang berkasus adalah orang besar, maka cara rakyat menyelesaikannya hanya melalui demo, komentar, dan atau berdoa agar perselisihan itu segera selesai.

Hal yang disayangkan, perselisihan itu dilakukan sebagaimana rakyat biasa melakukannya. Tidak terlaklu jelas apa maksudnya, mereka menggunakan tamsil lucu. Pertikaian itu diumpamakan antara cicak dan buaya. Perumpamaan itu baik-baik saja, agar lebih jelas siapa di antara mereka yang lagi berselisih. Tetapi disadari atau tidak, bisa jadi segera mendatangkan amarah. Tergambar dari perumpamaan itu, telah terjadi perselisihan yang tidak seimbang. Walaupun sesungguhnya juga seimbang. Artinya, tidak menutup kemungkinan pihak cicak justru akan menang. Karena ternyata di belakang cicak didukung oleh kekuatan yang dahsyat.

Mestinya perselisihan itu tidak perlu terjadi. Sebab semua pihak yang berada pada lembaga itu mengemban amanah yang mulia, yaitu sama-sama menegakkan kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Kalau ada persoalan, semestinya segeralah saling berkonsultasi untuk memecahkan bersama. Mengikuti pentas pertikaian itu, saya menjadi teringat para orang tua dulu dalam setiap menghadapi persoalan pelik, apalagi terkait dengan kehormatan orang banyak.

Orang tua dulu jika sedang menghadapi persoalan pelik, misalnya terkait dengan kehidupan keluarga, maka untuk memecahkannya, mereka memilih waktu sepi, biasanya di tengah malam ketika banyak orang, apalagi anak-anak sudah tidur. Cara itu dipilih dengan maksud, selain agar pikiran mereka sedang jernih dan tidak banyak terganggu, juga agar tidak didengar banyak orang. Orang tua dulu selalu menjaga agar harmoni terpelihara.

Bagi orang tua dulu, ada hal-hal yang boleh dibicarakan secara terbuka dan sebaliknya, ada hal lain yang tidak sembarang orang boleh ikut mendengar, apalagi oleh anak-anak. Berbeda dengan itu, pada zaman demokrasi seperti sekarang ini, semua dianggap boleh terbuka. Bahkan sesuatu yang semestinya tidak patut diketahui orang pun, sekarang ini menjadi mudahnya didengar dan dilihat orang.

BEKAL BERSIH SEORANG PEMIMPIN

Banyak orang berkeinginan menjadi pemimpin sukses. Tetapi ternyata hasilnya tidak selalu demikian. Orang yang semula, sebelum diangkat menjadi pemimpin, tampak cakap dan diduga mampu melakukan perubahan, setelah beberapa waktu yang bersangkutan menduduki jabatannya, ternyata tidak banyak melakukan apa-apa. Akhirnya, sampai masa jabatannya habis tidak berbuat sesuatu yang berarti. Orang mengatakan bahwa, pemimpin tersebut gagal.

Lalu apa sesungguhnya yang kiranya perlu dijadikan sebagai bekal agar seorang berhasil tatkala menduduki kursi kepemimpinan. Mengikuti tauladan Rasulullah saw., yang telah berhasil mengubah masyarakat yatsrib menjadi adil, maju, makmur, dan sejahtera, dan kemudian disebut sebagai masyarakat Madinah hingga sekarang ini, pemimpin harus memiliki sifat siddiq, amanah, tabligh, dan fathonah. Keempat sifat itu secara sempurna telah dimiliki oleh Rasulullah dan digunakan sebagai dasar dalam kepemimpinannya.

Sifat-sifat yang disandang oleh Rasulullah., seharusnya diikuti oleh pemimpin yang ingin berhasil. Selain itu, secara teknis operasional, pemimpin perlu memperhatikan beberapa pengalaman orang-orang yang sukses. Saya mengamati dan akhirnya berkesimpulan, bahwa pemimpin zaman sekarang ini, jika mau berhasil, selain memiliki sifat-sifat mulia tersebut, yang bersangkutan harus memiliki setidak-tidaknya empat kelebihan sekaligus, yaitu : (1) memiliki banyak idea tau prakarsa, (2) mau menjalankan idenya itu, (3) berani menanggung resiko atas pelaksanakan idenya tersebut, dan (4) berhasil memberi keuntungan bagi banyak orang.

Keempat hal tersebut harus dimiliki oleh seorang pemimpin secara bersamaan. Namun pada kenyataannya jarang seorang pemimpin yang memiliki keempat kelebihan itu secara sempurna. Setiap orang pada umumnya memiliki satu, dua, atau tiga kelebihan, tetapi jarang yang memiliki keempat-empatnya secara sempurna. Biasanya orang memiliki banyak ide, tetapi tidak mau menjalankan idenya itu. Atau, ada pemimpin yang kaya ide, mau menjalankan idenya, tetapi tidak berani menanggung resikonya. Ada juga seorang yang kaya ide, mau menjalankan program-program kegiatan, dan berani menanggung resiko, tetapi tidak berhasil memberi untung kepada banyak orang. Hal yang demikian itu selalu terjadi dan ada di mana-mana.

Mencari orang yang memiliki keempat kelebihan itu ternyata tidak mudah. Keempat kemampuan itu tidak selalu bisa didapatkan melalui lembaga pendidikan. Kemampuan yang bisa dikembangkan oleh lembaga pendidikan, hanyalah dalam hal memperkaya ide dan menjadikan orang termotivasi untuk menjalankan idenya itu. Sedangkan keberanian untuk mau menanggung resiko, dan apalagi kesediaan untuk mendatangkan untung bagi banyak orang, pada kenyataannya tidak banyak diberikan oleh lembaga pendidikan.

Sekalipun mencari calon pemimpin yang memiliki kelebihan seperti itu sangat sulit, tetapi ternyata tidak selalu disadari oleh banyak orang. Dukungan pada pemimpin, seringkali bukan karena yang bersangkutan itu berkualitas, -------artinya memiliki beberapa kelebihan itu, melainkan didasarkan atas apakah pemimpin dimaksud dirasakan menguntungkan pribadinya. Kepentingan pribadi biasanya lebih mengedepan daripada atas dasar kebutuhan lembaga atau institusinya. Banyak orang berpikiran sangat sempit, yaitu hanya mempertimbangkan di seputar kepentingan pribadi atau golongannya itu.

Pemimpin yang hanya memiliki sebagian kelebihan, tidak selalu bisa bertahan lama. Seorang pemimpin ternyata tidak hanya dituntut untuk membawa kemajuan, tetapi juga harus bisa mendatangkan keuntungan pribadi banyak orang. Kemajuan harus selalu dibarengi dengan datangnya keuntungan. Kemajuan yang tidak mendatangkan keuntungan biasanya tidak selalu mendapatkan dukungan. Dua hal, yaitu maju dan untung harus didatangkan secara bersama oleh pemimpin yang menghendaki keberhasilan.

Atas dasar kenyataan-kenyataan seperti itu, maka mengembangkan lembaga apapun memang tidak mudah dilakukan. Kemajuan sebuah institusi biasanya tergantung pada kualitas pemimpinnya. Sedangkan mencari pemimpin yang menyandang beberapa kelebihan sekaligus sebagaimana disebutkan di muka, tidaklah mudah. Namun hal yang perlu disyukuri, akhir-akhir ini semangat orang menjadi pemimpin cukup tinggi. Semogalah semangat itu diperkaya dengan semua kelebihan-kelebihan seperti disebutkan di muka, agar masyarakat yang dipimpinnya maju. Wallahu a’lam.