Jumat, 29 Januari 2010

ZIKIR BERJAMAAH DENGAN SUARA KERAS

Berkumpul di suatu tempat untuk berdzikir bersama hukumnya adalah sunnah dan merupakan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hadits-hadits yang menunjukkan kesunnahan perkara ini banyak sekali, diantaranya.

مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوْا يَذْكُرُوْنَ اللهَ لَا يُرِيْدُوْنَ بِذَالِكَ إلَّا وَجْهَهُ تَعَالَى إلَّا نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ أَنْ قُوْمُوْأ مَغْفُوْرًا لَكُمْ –أخرجه الطبراني

Tidaklah suatu kaum berkumpul untuk berdzikir dan tidak mengharap kecuali ridla Allah kecuali malaikat akan menyeru dari langit: Berdirilah kalian dalam keadaan terampuni dosa-dosa kalian. (HR Ath-Thabrani)

Sedangkan dalil yang menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara umum di antaranya adaah hadits qudsi berikut ini. Rasulullah SAW bersabda:

يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَناَ عِنْدَ ظَنِّي عّبْدِي بِي وَأنَا مَعَهُ عِنْدَ ذَكَرَنِي، فَإنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرًا مِنْهُ –منقق عليه

Allah Ta’ala berfirman: Aku kuasa untuk berbuat seperti harapan hambaku terhadapku, dan aku senantiasa menjaganya dan memberinya taufiq serta pertolongan kepadanya jika ia menyebut namaku. Jika ia menyebut namaku dengan lirih Aku akan memberinya pahala dan rahmat dengan sembunyi-sembunyi, dan jika ia menyebutku secara berjamaah atau dengan suara keras maka aku akan menyebutnya di kalangan malaikat yang mulia. (HR Bukhari-Muslim)

Dzikir secara berjamaah juga sangat baik dilakukan setelah shalat. Para ulama menyepakati kesunnahan amalan ini. At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW ditanya:

أَيُّ دُعَاءٍ أَسْمَعُ؟

“Apakah Doa yang paling dikabulkan?”

Rasulullah menjawab:

جَوْفُ اللَّيْلِ وَدُبُرُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ – قال الترمذي: حديث حسن

“Doa di tengah malam, dan seusai shalat fardlu." (At-Tirmidzi mengatakan, hadits ini hasan.

Dalil-dalil berikut ini menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara berjamaah setelah shalat secara khusus, di antaranya hadits Ibnu Abbas berkata:

كُنْتُ أَعْرِفُ إنْقِضَاءِ صَلَاةِ رَسُوْلِ اللهِ بِالتَّكْبِيْرِ – رواه البخاري ومسلم

Aku mengetahui selesainya shalat Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)”. (HR Bukhari Muslim)

أَنَّ رَفْعَ الصّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ – رواه البخاري ومسلم

Mengeraskan suara dalam berdzikir ketika jamaah selesai shalat fardlu terjadi pada zaman Rasulullah. (HR Bukhari-Muslim)

Dalam sebuah riwayat al-Bukhari dan Muslim juga, Ibnu Abbas mengatakan:

كنت أعلم إذا انصرفوا بذالك إذا سمعته – رواه البخاري ومسلم

Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai shalat dengan mendengar suara berdikir yang keras itu. (HR Bukhari Muslim)

Hadits-hadits ini adalah dalil diperbolehkannya berdzikir dengan suara yang keras, tetapi tentunya tanpa berlebih-lebihan dalam mengeraskannya.

WASIAT IMAM SAFI 'I PADA PARA PENDIDIK

Proses belajar mengajar sudah berlangsung beberapa minggu, guru-guru sudah menjalankan tugasnya masing-masing untuk mendidik generasi penerus. Sebuah tugas mulia yang bernilai pahala, yang akan selalu mengalir bersamaan dengan bermanfaatnya ilmu tersebut bagi orang yang menerimanya. Sebagaimana hadist dari Rosulullah yang diriwayatkan oleh Imam-Imam Hadist: “Apabila anak adam meninggal dunia, maka putuslah semua amalnya kecuali tiga perkara: Shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh.” (Muslim, Abu Dawud, Tirmizi, Ahmad & Nasaai)

Suatu hari imam Syafi’i mendatangi ruang Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk minta izin kepadanya. Lalu beliau duduk di samping Abu Abdus Shomad seorang pendidik anak-anak Kholifah Harun Al-Rosyid. Seorang bernama Siraj berkata kepada Imam Syafi’i, “Wahai Abu Abdullah, mereka ini adalah anak-anak Amirul mukminin, dan ia Abu Abdus Shomad adalah pendidik mereka. Kalau sekiranya engkau berkenan, berikanlah nasehat kepadanya!”.

Imam Syafií lalu berkata kepada Abu Abdus Shomad :

“Hendaklah satu hal yang pertama dimulai dalam mendidik anak-anak Amirul Mukminin adalah memperbaiki dirimu. Mata-mata mereka bergantung pada matamu. Dan kebaikan mereka adalah kebaikan apa yang engkau lakukan. Keburukan bagi mereka adalah sesuatu yang kau benci. Ajarkanlah mereka kitabullah, janganlah engkau memaksakan mereka sehingga mereka bosan. Dan janganlah kau meninggalkan mereka dari Al-Quran lalu mereka akan meninggalkannya. Kemudian ceritakan kepada mereka dari hadits-hadits yang mulia dan pepatah nasehat. Dan janganlah kau ajarkan kepada mereka suatu ilmu kemudian pindah kepada ilmu yang lain sehingga mereka memahaminya. Maka sesungguhnya perkataan yang bertumpuk-tumpuk dalam pendengaran akan menyusahkan pemahaman”. (Mauqif Fii Az-Zuhd wa-Roqoiq: 70)

Nasehat yang penuh hikmah dari seorang ulama besar itu, tentu bukan hanya bermanfaat untuk Abu Abdus Shomad yang mendidik anak khalifah. Namun nasehat agung itu adalah untuk semua pendidik. Tampilan guru kadang akan membuat para murid semangat belajar ataupun sebaliknya menjadi malas dan takut. Bahkan karena keteladanan sang guru tersebut, ada di antara murid-murid bercita ingin menjadi seperti guru tersebut. Seperti suatu ketika di acara kelulusan TK , anak-anak yang masih polos itu ditanya apakah cita-cita mereka nanti? Maka di antara jawaban yang keluar dari bibir mereka: “Aku nanti ingin menjadi seperti ibu guru”.

Bukan mustahil jawaban itu muncul karena ia senang dengan gurunya yang mengajarkan ia membaca Al-Quran, Hadist dan menghapal doa-doa. Semoga nilai-nilai mulia Al-Quran dan Sunah serta ilmu-ilmu yang bermanfaat selalu dapat ditransfer oleh para pendidik kepada murid-muridnya dengan pemahaman yang benar dan selalu menjadi teladan mereka.

Rabu, 27 Januari 2010

MENUJU HIDUP SUKSES DUNIA DAN AKHIRAT

orang tua kita bangga jika anak-anaknya sukses. Bahkan semua orang juga bangga jika mereka sukses. Setiap orang memiliki paradigma tersendiri tentang konsep sukses. Ada sebagian yang berpendapat sukses itu adalah jika hartanya sudah melimpah, pangkatnya sudah tinggi dan mentok, jodohnya cantik atau tampan, anak-anak-anaknya telah mapan, sekolahnya sudah sampai S3, gelarnya sudah berderet, dan seterusnya. Harta, pangkat, dan jabatan yang sering kali dijadikan tolak ukur kesuksesan, dalam praktiknya kerap menjerumuskan orang pada kesesatan.
Semoga Allah Yang Maha Kuasa mengaruniakan kepada kita kehati-hatian atas kesuksesan. Sebab, orang yang diuji dengan kegagalan ternyata lebih mudah berhasil dibandingkan mereka yang diuji dengan kesuksesan.
Banyak orang yang tahan menghadapi kesulitan, tapi sedikit orang yang tidak tahan ketika menghadapi kemudahan. Ada orang yang bersabar ketika tidak mempunyai harta, tapi banyak orang yang tidak bisa mengendalikan diri saat dikaruniai harta yang melimpah. Ternyata, harta, pangkat, dan jabatan yang sering kali dijadikan tolak ukur kesuksesan, dalam praktiknya kerap menjerumuskan orang pada kesesatan.
Apa sebenarnya kesuksesan itu menurut Islam? Boleh jadi setiap orang memiliki pandangan berbeda mengenai kesuksesan. Namun secara sederhana, sukses bisa dikatakan sebagai keberhasilan akan tercapainya sesuatu yang telah ditargetkan. Dalam pandangan Islam, kesuksesan tidak sekadar aspek duniawi belaka, tapi menyentuh pula aspek ukhrawi.
Syarat disebut sukses, setidaknya ada lima hal. Yaitu:
1. Disebut sukses, apabila aktivitas yang kita lakukan menjadi suatu ibadah yang berpahala. Apalah artinya kita banyak berbuat kalau tidak bernilai ibadah yang berpahala.
2. Disebut sukses, apabila nama dan citra kita semakin baik. Apalah artinya kita mendapatkan uang, mendapatkan harta atau kedudukan kalau nama dan citra kita coreng-moreng.
3. Disebut sukses, apabila kita terus bertambah ilmu, pengalaman, dan wawasan. Apalah artinya jika harta bertambah, tetapi ilmu dan pahala tidak bertambah. Bila ini yang terjadi, kita hanya akan terjebak oleh harta yang kita miliki.
4. Disebut sukses, apabila kita dapat menjalin silaturahmi dengan orang lain, sehingga bertambah saudara. Apalah artinya mendapatkan uang dan kedudukan, tetapi musuh kita bertambah banyak. Dengan terjalin silaturahmi, insya Allah akan semakin banyak orang yang mencintai kita. Bila orang sudah cinta, maka ia akan mengerahkan ilmunya untuk menambah ilmu kita, mencurahkan wawasannya untuk mengembangkan wawasan kita, serta memberikan tenaga dan hartanya untuk melindungi kita.
5. Disebut sukses, apabila pekerjaan yang kita lakukan dapat memberikan manfaat yang besar kepada orang lain. Rasulullah SAW bersabda, "Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling banyak manfaatnya kepada manusia yang lain". Semakin banyak menjadi jalan kesuksesan bagi orang lain, maka semakin sukseslah diri kita.

Pada hakikatnya kesuksesan itu milik setiap orang. Yang menjadi masalah, tidak semua orang tahu bagaimana cara mendapatkan kesuksesan itu. Setidaknya ada sembilan SOLUSI ISLAM untuk meraih kesuksesan. Kesembilan teknik ini harus ada semuanya, jika salah satu tidak ada, maka belum bisa dikatakan sebuah kesuksesan.
1. Mengenal siapa sebenarnya diri kita ini. Manusia yang mengenal siapa hakikat dirinya sendiri maka dia akan mengenal siapa yang menciptakan kita. Kita adalah HAMBA ALLAH, tugas kita adalah beriman dan beribadah kepada Allah. Kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah.
2. Menjalankan ibadah dengan benar. Ibadah adalah fondasi dari niat, fondasi dari track yang akan kita buat. Siapapun yang ingin membangun kesuksesan, ia harus memperbaiki ibadahnya. Perbaiki, terus perbaiki ibadah. Siapa yang akan membimbing kita jika ibadah kita buruk? Siapa yang akan melindungi kita dari ketergelinciran kalau ibadah kita tidak jalan? Bukankah Allah SWT berjanji akan menolong orang-orang yang ibadahnya baik. Intinya, ibadah adalah fondasi yang akan membuat kita agar senantiasa terjaga dalam jalur yang tepat.
3. Menghiasi diri dengan akhlak baik. Akhlak yang baik adalah bukti dari ibadah yang benar. Apapun yang kita lakukan, kalau dilandasi akhlak yang buruk niscaya akan berakhir dengan kehancuran. Apa yang dimaksud akhlak yang baik itu? Merespons segala sesuatu dengan sikap yang terbaik.
4. Memotifasi diri untuk belajar tiada henti. Karena itu, pertanyaan yang harus kita ajukan adalah apakah kita menyukai belajar? Setiap hari masalah bertambah, kebutuhan bertambah, dan situasi berubah. Bagaimana mungkin kita menyikapi situasi yang terus berubah dengan ilmu yang tidak bertambah!
5. Membangkitkan semangat bekerja keras dengan cerdas dan ikhlas. Curahan keringat tak selalu identik dengan kesuksesan. Berpikir cerdas adalah merupakan bagian dari kerja keras. Pada prinsipnya, sebuah hasil yang maksimal akan diraih bila kita mampu mengaktualisasikan ibadah, akhlak, dan ilmu kita dalam pekerjaan yang berkualitas.
6. Menghiasi hidup dengan kesahajaan dan kesederhanaan. Ini poin yang sangat penting. Banyak orang bekerja keras dan mendapatkan apa yang dia inginkan, tetapi dia tidak dapat mengendalikan dirinya. Bersahaja dan sederhana itu bukan miskin, bersahaja dan sederhana adalah menggunakan sesuatu sesuai keperluan. Dengan bersahaja dan sederhana kita akan memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri dengan tidak diperbudak keinginan.
7. Membantu sesama. Gemar membantu orang lain adalah tanda kesuksesan. Kita harus gigih agar kelebihan yang kita miliki dapat menjadi nilai tambah bagi sesama.
8. Membersihkan hati selalu. Bila hati kita berpenyakit, maka akan tumbuh rasa ujub, ria, sum'ah, takabur, dan lainnya. Kondisi ini akan membuat amal-amal kita tidak berarti; tidak indah lagi di dunia dan tidak berkah lagi untuk akhirat. Allah SWT berfirman, Pada hari ketika harta dan anak-anak tidak bermanfaat, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat (QS. Asy-Syu'ara: 88-89).
9. Mensyukuri segala karunia Allah, dengan banyak bersedekah, membantu saudara kita yang membutuhkan bantuan dan banyak bersujud syukur atas limpahan rezeki dan kesuksesan yang melimpah ini.

Andaikata SOLUSI ISLAM ini kita lakukan dengan baik, Insya Allah akan berdampak untuk kesuksesan diri, berdampak pada lingkungan, berdampak pada masyarakat, berdampak pada negara, berdampak pada alam semesta dan pada saat yang sama berdampak pula pada kesuksesan kita di akhirat.

Senin, 25 Januari 2010

DAMPAK KEJUJURAN

Salah satu sifat yang berpengaruh besar pada tindakan seseorang adalah kejujuran. Pekerjaan yang dilakukan secara individual atau kelompok akan gagal manakala kebohongan terjadi. Krisis bangsa ini pun terjadi karena transparansi sangat mahal harganya. Istilah “kebohongan publik” makin populer dalam pemberitaan media cetak maupun elektronik. Masyarakat juga dibosankan dengan berbagai kilah dan dalih yang bermunculan.



Kejujuran masih sulit didapatkan ketika proses penataan kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap kita mendengar dugaan korupsi yang merugikan negara trilyunan rupiah, menguap begitu saja tanpa penyelesain hukum yang berarti. Bahkan, fungsi hukum yang telah melahirkan “kebohongan legitimate” tidaklah berlebihan. Pasal-pasal karet pun jadi primadona, untuk melindungi para tersangka. Persidangan dihadirkan lengkap dengan berbagai atraksi putar-balik ayat dan pasal.



Situasi ini nampaknya harus dicarikan obat agar tidak menjadi budaya masyarakat. Ada satu kisah menarik tentang sahabat Rasulullah yang mengaku punya kebiasaan mabuk, judi, zina dan sifat jelek lainnya. Ia meminta kepada Rasullah satu petuah agar bisa jadi muslim yang shalih. Nabi bersabda “Kamu jangan berbohong”. Lalu orang tersebut, berkata “cuman itu, ya Rasulullah”. “Iya, laksanakanlah nanti datang lagi ke saya” kata nabi.



Selanjutnya, ketika ingin melakukan judi, dia berguman dalam hatinya, “kalau aku melakukan kebiasaan itu, dan nabi bertanya kepadaku, bagaimana nanti aku menjawabnya, sementara tidak boleh berbohong” . Akhirnya perbuatan itu tidak terulang lagi, setiap dia mengingat pesan Nabi. Efeknya, bukan saja telah menghentikan kebiasaan judi, tapi semua perbuatan terjela yang biasa dia lakukan.



Lewat beberapa hari, nabi bertemu dengannya dan bertanya “Apakah kamu masih melakukan perbuatan tercela yang pernah kamu ceritakan?” . Orang itu menjawab “ Semuanya sudah saya tinggalkan ya Rasulullah”. “Kenapa ?” , lanjut Nabi. Dengan enteng orang itu menjawab “Setiap kali aku ingin melakukannya, dilanda kebingunan tentang jawabannya padahal paduka menyuruh untuk tidak bohong”.



Begitulah sekelumit efek domino dari kejujuran yang dapat dijadikan pelajaran. Kalau saja para pemimpin memahaminya, niscaya negeri ini tidak terperosok ke dalam krisis yang sekarang terjadi. Masih banyak perbuatan dan perkataan dari para pemimpin kita yang paralel dengan dugaan tindak pindana korupsi. Kecuali informasi tidak utuh, penyelesainnya pun tidak pernah tuntas.



Peristiwa sahabat nabi di atas, sebenarnya akan jadi penangkal kalaupun peraturan perundangan-undangan yang ada bisa melindungi dirinya. Tinggal bagaimana para pemimpin memberikan tauladan dengan melakukannya langsung (ibda bi nafsik). Tidak menjadi retorika manis ketika bicara di publik, akan tetapi bersemai dalam setiap tugas mengemban amanat kepemimpinannya.Wa Allah ‘alam bi shawab.

Sabtu, 23 Januari 2010

ISTRI TETANGGA TERLIHAT LEBIH CANTIK

Dalam kehidupan sehari-hari, sering terjadi adanya persaingan antar rumah tangga. Ketika kita melihat tetangga kita bisa beli TV baru misalnya, kita mengira bahwa kehidupan rumah tangga tetangga kita itu sejahtera, mewah dan tentram. Sehingga kita membayangkan alangkah bahagianya saya seandainya juga bisa membeli TV seperti itu. Padahal kita tidak tahu apa yang terjadi pada keluarga tersebut setelah mereka membeli TV tersebut.

Ada satu ilustrasi yang dapat menggambarkan tentang prilaku kita yang selalu melihat rumput tetangga kelihatan lebih hijau ini, dari kehidupan ikan lele atau mungkin semua jenis ikan pada umumnya. Saya adalah orang yang dari dulu senang memelihara ikan. Dari kecil saya telah terbiasa memelihara ikan, baik di kolam yang besar maupun kecil. Mungkin karena saya hidup di kampung yang airnya cukup mudah didapat, sehingga ikan mudah dibudidayakan di tempat saya. Di antara ikan yang pernah saya budi dayakan adalah ikan lele dan gurami. Setiap tahunnya saya bisa memelihara sekitar 25.000 hingga 50.000 ekor lele dan 10.000 ikan gurami. Baru setelah saya pindah ke Malang, hobi saya membudidayakan ikan itu tidak tersalurkan lagi karena tidak adanya lokasi untuk membudidayakannya. Namun

Di antara kebiasaan ikan lele adalah suka melompat di tempat yang ada suara gemerincing air. Setiap ada air yang menetes dari suatu tempat, misalnya pipa atau saluran air, maka dia akan berkumpul di tempat itu dan berusaha untuk melompat ke atas karena beranggapan bahwa di atas pasti ada air yang lebih baik dan lebih jernih, meskipun dia tidak tahu bahwa yang ada di atas sebenarnya bukan genangan air, tetapi justru tanah kering yang tidak berair.

Pernah suatu hari, saya menaruh beberapa ikan lele ke dalam ember dengan sedikit air agar tidak melompat. Supaya tidak mati, maka kita beri sedikit aliran air ke dalam ember melalui kran meskipun hanya menetes saja. Setelah itu kita tinggal pergi ke sekolah. Sepulang dari sekolah, semua ikan lele tersebut sudah mati di atas tanah karena melompat keluar dari ember. Mungkin mereka beranggapan, jika ada air menetes dari atas, pasti di atas ada air yang lebih besar dan lebih segar daripada air ember yang ditempatinya. Akhirnya mereka melompat dari ember. Begitu melompat ternyata bukannya air yang didapat, tetapi justru tanah kering yang tidak berair, sehingga mereka semua mati kehausan.

Pelajaran yang dapat kita ambil dari nasib ikan lele di atas adalah bahwa kita harus bisa mensyukuri apa yang ada pada kita pada saat ini. Sebagai manusia, biasanya kita menganggap bahwa nasib orang lain selalu lebih baik daripada nasib kita. Kita selalu beranggapan bahwa rumput tetangga lebih hijau daripada rumput kita sendiri. Orang jawa bilang, hidup adalah sawang-sinawang. Kita melihat sepertinya tetangga kita hidupnya enak, pakaiannya bagus, kendaraannya mewah dan sebagainya, tetapi pada hakikatnya kita tidak tahu bahwa dia sedang kalang kabut dirundung hutang atau dikejar-kejar KPK, setelah itu bangkrut dan dipenjara.

Seperti memakai baju, ketika kita melihat baju baru dipakai oleh seseorang yang kelihatan cantik atau tampan ketika memakai baju tersebut, kita mengatakan, alangkah bagus dan indahnya baju itu, harganya pasti mahal, padahal kita tidak tahu bahwa sebenarnya baju itu panas dan mungkin terasa gatal ketika dipakai dan orang yang memakainya itu sebenarnya ingin segera melepasnya karena merasa panas dan gatal.

Sebagai dosen atau guru di suatu lembaga pendidikan, biasanya kita juga sering mengeluh bahwa nasib kita kurang sejahtera dibandingkan dengan kampus atau lembaga pendidikan sebelah. Kita menganggap kesejahteraan kita selalu kurang bila dibandingkan dengan mereka, sehingga kita ingin berbondong-bondong pindah kesana. Tetapi sesaat kemudian kita melihat, banyak lembaga-lembaga itu yang gulung tikar dan macet karena tidak memiliki mahasiswa atau murid.

Sebagai pegawai selalu beranggapan bahwa bagian tertentu seperti bagian keuangan kelihatan lebih basah daripada bagian lainnya, sehingga banyak orang yang ingin segera pindah ke bagian itu. Padahal kita tidak tahu bahwa tugas dan tanggung jawab mereka sangat besar dan sulit. Setiap hari mereka harus lembur dan bahkan banyak yang mengeluh karena beban kerja yang menumpuk. Banyak di antara mereka yang ingin segera dipindah ke bagian yang lebih ringan tugasnya, sehingga mereka bisa bersantai dengan keluarga dan teman-teman.

Sebagai mahasiswa, terutama di UIN Maliki Malang, banyak yang beranggapan bahwa di UB, UM dan perguruan tinggi lain lebih baik karena begini dan begitu. Tetapi begitu diselami, ternyata sama saja, mungkin apa yang tampak dari luar hanyalah gebyarnya saja yang kelihatan bagus, karena kita tidak tahu apa yang ada di dalamnya.

Seperti Gunung Putri Tidur di daerah pegunungan Batu Malang, yang kelihatan begitu indah seperti gadis cantik yang sedang tidur telentang jika dilihat dari jauh, terutama dari desa Gasek tempat saya tinggal. Tetapi begitu kita dekati gunung itu, ternyata di dalamnya ada lembah dan jurang yang curam dan berbahaya. Bisa-bisa kita jatuh di dalamnya dan meninggal dunia jika kita tidak berhati-hati dalam mendakinya. Berapa banyak para pendaki gunung Putri Tidur yang telah tewas dan tersesat karena ingin menikmati keindahan gunung Putri Tidur tersebut.

Akhirnya sekali lagi perlu saya tegaskan bahwa kita harus selalu bersyukur dengan apa yang ada. Seperti kata Demasive dalam syair lagunya, “Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah. Tetap jalani hidup ini dan lakukan yang terbaik. Tuhan pasti kan menunjukkan, kebesaran dan kuasanya, bagi hamba-Nya yang sabar dan tak pernah putus asa…jangan menyerah… dan jangan menyerah… Wallahu a’lam bishawab.

Rabu, 20 Januari 2010

HIDUP SUKSES MENURUT SURAT AL-ASHR

Pendahuluan

Surat al-‘Ashr terdiri dari tiga ayat. Menurut Ibnu ‘Abbas, Abdullah bin Zubair, dan Jumhur Ulama, surat ini diturunkan di Mekah. Namun Mujahid, Qatadah, dan Muqatil berpendapat bahwa surat ini diturunkan di Madinah sesudah surat al-Insyirah. Teks surat sebagai berikut:

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran.”


Hidup Sukses

Jika surat al-‘Ashr ini diamati secara seksama, maka akan kita temui rumusan konsep hidup manusia sukses di dunia dan di akhirat. Pada surat ini tergambar tentang problem kehidupan manusia yang tidak mampu memanfaatkan waktu dan kesempatan dengan seefektif mungkin; begitu juga semua karya mereka tidak dilandasi oleh motifasi iman; sehingga kehidupan mereka diklaim oleh Allah SWT sebagai kehidupan yang merugi (Khusr).



Kerugian tersebut bisa berwujud dalam bentuk duniawi ataupun ukhrawi. Bentuk kerugian duniawi misalnya seseorang yang tidak dapat mempergunakan waktunya dengan baik, apalagi menyia-nyiakannya, maka kehidupan orang tersebut akan mengalami banyak kesulitan; dan akan tipislah tercapainya tujuan; atau besar kemungkinan cita-citanya gagal.



Begitu pula halnya orang yang terlalu memusatkan perhatiannya terhadap materi duniawi, sementara ia melupakan kehidupan ukhrawi, kehidupan seperti inipun akan mendapatkan kerugian besar. Pada prinsipnya sejumlah harta yang dikumpulkan itu tidak ada manfaatnya--jika tidak digunakan dalam hal-hal yang positif karena ketika seseorang meninggal dunia maka seluruh harta itu akan ditinggalkan dengan begitu saja.



Berdasarkan pertimbangan di atas, Allah SWT memberikan peringatan (tazkirah) yaitu diawalinya surat ini dalam bentuk qasam. Ia menggunakan muqsam bihnya dengan al-‘ashr; hal ini memberikan isyarat bahwa faktor waktu/kesempatan dan pemanfaatannya merupakan prasyarat penting yang akan mengantarkan manusia hidup sukses di dunia dan di akhirat. Allah SWT sangat sayang kepada hamba-Nya dengan memberikan jalan keluar dalam bentuk rumusan konsep hidup manusia sukses.


Unsur Hidup Sukses

Untuk terwujudnya hidup sukses menurut surat ini ada 4 unsur yang harus dipenuhi, dan kesemua unsur tersebut saling terkait, yaitu:

1. Iman yang mantap.

Persyaratan utama untuk mengarungi kehidupan di dunia ini adalah adanya pembekalan iman yang mantap yang bersumber dari hati sanubari yang suci. Iman dalam artian membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan merealisasikannya dalam bentuk perbuatan-perbuatan positif yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw yang tertuang di dalam Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah.



Dengan bekal iman, seseorang hanya menyembah kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa; dan dengannya akan muncullah pada pribadi orang tersebut adanya rasa persamaan, rasa solidaritas sosial yang tinggi, dan rasa penghargaan atas hak-hak asasi manusia (HAM) sesamanya. Sebab, pada hakikatnya, manusia tidak ada yang lebih tinggi, dan atau tidak ada yeng lebih hina kecuali orang-orang yang dimuliakan oleh Allah yaitu orang-orang yang bertakwa. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. 49: 13 yang berbunyi:



“...Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu...”. (QS. Al-Hujurat/49: 13).



Di samping itu, iman merupakan dasar dan kunci serta barometer kehidupan; dari padanya terpencar segala aspek kebaikan. Oleh karena itu, Allah menyatakan di beberapa ayat Al-Qur'an tentang sesuatu perbuatan baru mempunyai nilai atau kwalitas, jika pelaksanaannya dilandasi oleh iman. Sebaliknya, jika perbuatan itu dilandasi oleh unsur kekufuran maka perbuatan tersebut tidak mempunyai nilai bagaikan abu yang ditiup angin keras (lihat QS. 14: 18) atau bagaikan fatamorgana



“Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan di dapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. Al-Nur/24: 39).



2. Amal Saleh (Perbuatan atau karya nyata yang positif)

Amal saleh merupakan manisfestasi dari iman yang terpancar dari jiwa seseorang; atau dengan perkataan lain amal saleh merupakan buah dari iman. Imanlah yang mendinamisasikan perbuatan seseorang yang dimotifisir oleh semangat lillahi ta’ala. Di samping itu , iman berfungsi sebagai pengendali gerak perbuatan seseorang sesuai dengan aturan main yang ditetapkan oleh Allah SWT.



Sepanjang pengamatan penulis kata “amanu” sering berdampingan dengan kata “ ’amilu al-Shalihat”; hal ini memberikan isyarat bahwa iman tanpa disertai dengan amal, itu tidak akan bernilai apa-apa, dan sebaliknya, jika amal tanpa dilandasi oleh iman, maka amal tersebut tidak berdampak dan tidak bernilai di sisi Allah SWT.



Adapun jumlah ayat-ayat yang menjelaskan tentang iman dan amal dan selalu berdampingan di antara keduanya, berkisar sekitar 49 ayat, antara lain: (1). Al-Baqarah: 25, 82, 277; (2) Ali-Imran: 57. (3)Al-Nisa: 121, 172 (4) Al-Maidah: 10, 96; (5) Al-A’raf: 41; (6) Yunus: 4, 9; (7) Hud: 23; (8) Al-Ra’d: 21; (9) Ibrahim: 23; (10).
3. Saling Berwasiat dalam Kebenaran

Jika unsur yang pertama dan kedua terpencar dan dilaksanakan oleh masing-masing individu, maka unsur yang ketiga mengajarkan kepada setiap orang agar saling mengingatkan dan berpesan antar sesamanya dalam kebenaran. Saling isi-mengisi dan saling memberikan informasi dalam hal kebenaran itu tentunya disesuaikan dengan kondisi dan potensi yang ada pada masing-masing individu. Dengan cara ini akan terealisir rasa persatuan dan kesatuan serta semangat ukhuwah Islamiyah yang dilandasi oleh kebenaran.



Namun, proses untuk menuju jalan kebenaran itu tidaklah mudah, di sana banyak liku-liku yang mesti dilalui antara lain:

a. Kemampuan pengendalian diri dari masing-masing pihak bervariatif;

b. Kondisi lingkungan, terkadang kurang kondusif;

c. Adanya kesesatan dan kezaliman di masyarakat bersifat fluktuatif.

d. Pemerintah yang berkuasa terkadang adil dan kebanyakan zalim.
4. Saling berwasiat dalam kesabaran

Terwujudnya unsur kesatu, kedua dan ketiga sangat bergantung kepada kwalitas dan frekwensi ketabahan seseorang tersebut. Sebab, dalam kenyataannya banyak sekali ganjalan dan kendala menuju hidup sukses; baik yang berasal dari internal maupun yang datang dari eksternal. Apakah kendala itu berkait dengan masalah pribadi, atau berhubungan dengan problema masyarakat, bangsa dan negara; kesemuanya itu akan bisa dipecahkan jika dihadapi dengan penuh kesabaran dan ketabahan. Al-Qur'an telah menjelaskan secara umum bentuk-bentuk kendala dalam kehidupan. Misalnya: Firman Allah SWT QS. 2: 155, yang redaksinya: “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”.



Di samping itu, Allah akan menyediakan balasan yang setimpal kepada orang yang sabar, misalnya firman Allah:



“Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera” (QS. Al-Insan/76: 12)



Menurut penelitian penulis, minimal ada 81 ayat yang mendorong orang untuk bersabar. Akan tetapi, sabar dan kesabaran itu bukan berarti pasif dan statis; akan tetapi, sabar itu diartikan sebagai upaya terakhir dari seseorang, setelah yang bersangkutan berusaha maksimal sesuai dengan potensi dan kemampuan yang tersedia; kemudian ia berani tampil untuk mengambil resiko sebagai langkah pertanggungjawabannya kepada Allah SWT.


Penutup

Nampaknya, surat Al-‘Ashr yang terdiri dari tiga ayat yang singkat dan padat ini memberikan gambaran secara umum konsepsi kehidupan manusia yang pada umumnya berada dalam kerugian. Namun, pada akhirnya Allah SWT memberikan pandangan tentang manusia yang sukses, yaitu orang yang beriman dan mengaktualisasikannya dalam bentuk amal nyata; serta saling berwasiat di antara sesamanya dengan kebenaran dan ketabahan. Konsep inilah yang akan menjamin manusia sukses dunia dan akhirat.


Semoga Allah SWT selalu memberi kemampuan kepada kita semua agar tetap berada pada jalur manusia sukses di masa-masa mendatang, amin. Barakallahu li wa lakum, wallâhu a’lam.

Minggu, 17 Januari 2010

APA SAJA YANG DIKERJAKAN PARA PEMIMPIN KITA ?

Mohammad Safrudin 17 Januari jam 9:24
Beberapa bulan terakhir, lewat media massa kita dibuat sedih oleh berita-berita yang mengenaskan terkait dengan hukum. Beberapa kasus tentang pencurian yang dilakukan oleh orang-orang miskin, menjadi berita. Tidak habis pikir, orang tua miskin sebatas mencuri tiga biji kakau, diadili, dan dipenjara. Dua orang di Kediri mencuri semangka seharga dua puluh ribu, juga diperlakukan sama, dadili dan dihukum. Masih terkait orang miskin lagi, mencuri buah kapuk lalu diadili, dan dipenjara. Di Bojonegoro, pasanagan suami isteri mencuri setandan pisang, karena memang lapar, ditangkap, diadili dan dipenjara.

Mendengar berita-berita itu, seolah-olah di negeri ini hukum sudah sedemikian berhasil ditegakkan. Siapapun yang bersalah akan diadili dan dihukum sesuai dengan kesalahannya. Hukum tidak peduli terhadap siapapun. Sekalipun hanya mencuri tiga buah kakau, dua butir semangka, setandan pisang, dianggap salah dan diadili seadil-adilnya. Rasanya negeri ini telah berhasil dalam menegakkan hukum, dan menjadi negara yang sangat adil terhadap seluruh warga negaranya

Kesan seperti itu menjadi runtuh tatkala memperhatikan kasus-kasus hukum lainnya. Tidak sedikit pejabat menggelapkan uang milyaran rupiah hanya dihukum beberapa tahun. Pembobol bank tidak henti-henti melakukan aksinya, dan rakyatlah yang dirugikan. Calon pejabat baik di legislative dan atau eksekutif membagi-bagi uang agar dipilih. Padahal cara itu menjadi sebab terjadinya tindak korupsi yang berkepanjangan. Namun, anehnya gejala itu dibiarkan.

Mendengar berita orang miskin diadili di tengah-tengah para pejabat kaya yang korup, jelas mengusik rasa keadilan bagi semua. Pengadilan terhadap para pejabat yang menyeleweng, dan memasukkannya ke penjara, belum memuaskan rasa keadilan bagi semua orang. Apalagi, orang miskin yang diadili itu hanya melakukan kesalahan kecil, yaitu sebatas mempertahankan gerak napasnya agar tetap hidup. Orang biasanya berpikir logis dan linier, bahwa kemiskinan itu di antaranya, adalah disebabkan oleh penyelewengan pejabat pemerintah itu.

Kiranya bisa dipahami, adanya pihak-pihak yang merasa terganggu oleh perilaku orang miskin yang mencuri, sekalipun yang diambil barang sederhana. Mencuri sebesar apapun tidak boleh dilakukan oleh siapapun dan harus dilarang. Pemilik barang yang dicuri, sekalipun masih kelebihan, akan merasa jengkel atas ulah orang miskin itu. Semua orang tanpa terkecuali, orang miskin sekalipun, tidak boleh mencuri. Biasanya, orang tidak saja marah karena barangnya dicuri, tetapi ia tidak mau diganggu orang.

Hanya saja, tatkala mendengar orang miskin mencuri barang sesederhana dan sekecil itu, lalu diadili dan dimasukkan ke penjara, maka akan melahirkan kesan seolah-olah, dalam pengadilan itu ada sesuatu yang dibuat-buat. Pengadilan yang berkantor di gedung yang sedemikian kokoh dan hebat, lagi pula para pejabatnya berseragam dinas yang kelihatan berwibawa, ternyata hanya mengadili orang yang mencuri dua butir semangka, tiga buah kakau dan setandan pisang. Rasanya sangat trenyuh mendengar berita itu.

Dulu ketika saya masih bertempat tinggal desa, memang ada peristiwa kenakalan kecil-kecilan itu. Peristiwa itu biasanya diselesaikan oleh pamong desa, atau setinggi-tingginya oleh lurah. Kasus pencurian semacam itu, ------kalau ada, dilakukan bukan karena miskin dan lapar, tetapi biasanya karena kenakalan. Ada saja di desa orang yang berperilaku menyimpang, misalnya menyuri ayam, ketela pohon, buah nangka di kebun dan sejenisnya. Hasil curiannya bukan untuk dimakan, melainkian untuk berjudi atau membeli minuman keras untuk pista kecil-kecilan. Mencuri dengan motif seperti itu, pelakunya dihukum. Akan tetapi, pelaku pencurian yang semata-mata karena lapar, tidak dilakukan proses hukum. Sebab, apa gunanya menghukum orang miskin dan lagi lapar.

Oleh karena itu, tatkala mendengar berita-berita mengenaskan itu, yang terbayang adalah apakah di desa itu, di kecamatan itu, di kabupaten itu sudah tidak ada lagi pemimpin-pemimpinnya. Apakah tidak semestinya, tatkala terjadi kasus-kasus kelaparan seperti itu, para pemimpin menunjukkan kepeduliannya, baik itu pemimpin formal atau pemimpin informalnya. Mengapa di desa, kecamatan, atau kabupaten itu, seperti sudah tidak ada lagi orang yang peduli terhadap orang miskin. Mengapa orang miskin menjadi sendirian seperti itu. Bukankah para pemimpin seharusnya selalu hadir dan tampil, tatakala rakyat sedang kelaparan dan terkena masalah yang perlu ditolong.

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini selalu menggoda pikiran untuk mencari jawabnya. Rasanya tidak mungkin bangsa timur, lebih-lebih pada zaman yang seperti ini tidak ada lagi orang yang tidak memiliki kepedulian, rasa iba, kasih sayang, terhadap sesama. Ataukah di desa itu, kecamatan itu, kabupaten itu semua orang sudah miskin, sebagaimana di beberapa tempat lainnya semua orang sudah kaya, sehingga tidak mungkin lagi terjadi gotong royong, atau saling membantu.

Membaca berita tersebut, apalagi jika saya bandingkan dengan apa yang terjadi di kampus, ---------lingkungan kehidupan saya sehari-hari, kejadian itu terasa aneh. Sebab, sekalipun gaji para dosen dan karyawan setiap bulannya sangat terbatas, masih mau menyisihkan sebagiannya untuk berinfaq. Dana infaq ini selanjutnya digunakan untuk menolong para mahasiswa yang mengalami kesulitan membayar biaya kuliah seperti SPP dan lain-lain. Selain itu, jika misalnya ada mahasiswa yang kepepet, tidak memiliki uang, selalu masih ada pimpinan, dosen, atau karyawan yang mencarikan jalan keluar untuk mengatasinya. Pertanyaannya adalah, apakah di desa itu belum digalakkan zakat, infaq, dan shodaqoh untuk mengatasi kasus-kasus kelaparan seperti itu.

Membaca berita tersebut, saya terbayang, alangkah indahnya tatkala pencuri sebutir semangka itu, tiga buah kakau itu dan juga setandan pisang itu, sedang diadili maka kepala desa, camat, bupati atau wali kota ikut menyaksikan, melindungi, dan jika perlu membela dengan memberikan informasi sebenarnya. Syukur-syukur, kalau ikut berargumentasi dan menjelaskan, bahwa rakyatnya lagi lapar, dan semua sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Kemudian para pemimpin itu, menunjukkan ikut merasa salah dan kemudian memintakan maaf. Lebih-lebih, jika memang harus dihukum, ada kesanggupan para pemimpin itu mencarikan pekerjaan, setelah mereka menjalani hukumannya.

Pemimpin pada tingkat apapun dan di manapun dituntut selalu membela, melindungi, menolong, dan mencintai rakyatnya sepenuh hati. Sikap seperti itulah yang seharusnya diambil oleh para pemimpin rakyat. Karena itu, tatkala media massa mengekspose berita, adanya orang miskin mencuri barang yang tidak seberapa harganya, lalu diadili, dan dipenjara, namun tidak memberikan informasi sedikitpun, bagaimana respon para pemimpin desa, kecamatan, dan kabupaten itu, maka saya bertanya-tanya, sedang ke mana para pemimpinnya, sehingga rakyat kecil dan miskin tampak sendirian ? Wallahu a’lam.

BUDAYA SUAP PARA PEJABAT

Anak kecil biasanya sebelum bisa makan sendiri, orang tuanya merasa perlu menyuapi. Dengan cara itu, anak yang bersangkutan tinggal mengunyah makanan yang telah dimasukkan ke dalam mulutnya. Bukan saja anak-anak, orang tua pun jika dalam keadaan sakit, juga bisa saja disuapi.

Siapapun, tatkala disuapi merasakan enak. Tanpa kerja, makanan sudah ada dimulutnya, tinggal mengunyah. Oleh karena maksudnya adalah untuk mengenakkan, maka tidak akan mungkin seorang menyuapkan makanan yang tidak disukai oleh yang bersangkutan. Istilah suap menyuap ini kemudian digunakan sebagai istilah pemberian sesuatu yang menyenangkan kepada seseorang agar, ---- secara timbal balik, yang bersangkutan berganti memberi kemudahan atau jasa yang dibutuhkan.

Gejala memberi dengan harapan agar pihak yang diberi membalasnya dengan sesuatu yang diperlukan, ternyata sudah berjalan lama. Dalam Islam dikenal dengan itilah al rasyi. Ada hadits nabi yang mengatakan bahwa arrasyi wal murtasyi finnar. Bahwa penyuap dan yang disuap akan sama-sama dimasukkan ke neraka. Adanya hadits Nabi itu, menggambarkan bahwa suap menyuap itu sudah berumur lama dan tentu telah terjadi di mana-mana.

Berdasarkan hadits tersebut, maka sesungguhnya kedua-duanya -----penyuap dan yang disuap, dianggap salah dan kedua pihak merupakan kejahatan yang harus dihindari. Suap menyuap merupakan tindakan yang berpotensi merusak kehidupan masyarakat. Aturan atau bahkan hukum yang seharusnya ditegakkan menjadi terabaikan, lantaran ada suap ini. Akhirnya, banyak orang terugikan, sementara pelaku suap dan menyuap mendapatkan keuntungan dari kejahatannya itu.

Kegiatan suap menyuap dalam dunia modern pun juga terjadi. Seringkali kita mendengar istilah adanya pejabat terkena suap, jaksa, hakim, pemeriksa keuangan negara, dan lain-lain. Orang yang mau menerima suap biasanya cepat kaya. Seorang pejabat tanpa bekerja sudah mendapat uang yang bukan semestinya. Penyuap juga demikian, tanpa memenuhi berbagai syarat dan atau sesuatu yang sesungguhnya bukan menjadi haknya, akan memperoleh sesuatu yang dibutuhkan itu.

Akhir-akhir ini istilah suap menyuap semakin ramai. Para pelakunya ada sebagian yang tertangkap, bahkan berasal dari orang-orang kelas atas. Jumlah uang suapnya juga terlalu besar. Maka, kerugian negara, sebagai akibat tindakan itu juga amat besar pula. Terkait dengan itu, dan bahkan masih sedang hangat-hangatnya berita tersebut, ada nama Artalyta, dan Anggodo, adalah dua orang yang ditangkap karena menyuap pejabat.
Artalyita, terbukti telah menyuap pejabat kemudian diadili dan dipenjara. Tetapi karena memang sudah wataknya, di penjara pun ia menyuap. Artalyta menyuap pejabat penjara, kemudian ia mendapatkan keistimewaan, di antaranya dibolehkan menempati ruang yang lebih luas dan kemudian disulap olehnya bagaikan hotel berbintang. Demikian pula, Anggodo dengan menyuap pejabat, kini dia dijadikan tersangka dan ditahan.

Soal suap menyuap sesungguhnya tidak saja dilakukan oleh kedua orang yang disebutkan di muka itu. Kebetulan saja kedua orang itu yang lagi sial, ditangkap dan kemudian menjadi berita hangat. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak sekali kegiatan suap menyuap itu dilakukan oleh berbagai kalangan di tengah-tengah masyarakat. Pemerintah melarangnya. Agar suap menyuap tidak terjadi, maka setiap pejabat, ------sebelum menunaikan tugasnya, selalu disumpah, akan sanggup tidak melakukan tindakan jelek itu. Bahkan akhir-akhir ini, setiap pejabat juga harus menanda-tangani naskah Pakta Integritas, agar sekecil pun mereka tidak menyeleweng.

Namun apa yang terjadi di tengah masyarakat, suap menyuap ini ternyata justru berkembang dan beranak pinak. Sementara pihak-pihak yang bertugas melarang pun juga melakukannya. Karena itu, kita dengar akhir-akhir ini kabar, bahwa ada polisi tertangkap, jaksa dan hakim diadili. Pejabat seperti bupati, wali kota, gubernur, anggota DPR, pimpinan BUMN dan lain-lain diadili dan kemudian masukkan ke penjara karena suap menyuap.

Bahkan, lebih celaka lagi, sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, pada setiap ada pemilihan pejabat di berbagai tingkatannya, para calon agar menang, ramai-ramai menyuap rakyat agar mereka memilihnya. Sehingga muncul rumor, siapa yang berduit banyak, maka dialah yang akan memenangkan pemilihan. Karena pemilihan pejabat adalah bagian dari demokrasi, dan dilakukan seperti itu, maka muncul istilah yang tidak enak didengar, yaitu demokrasi sembako. Istilah itu muncul karena para calon pejabat membagi-bagi sembako, agar dipilih.

Negeri di manapun akan maju jika dibangun secara benar, jujur, dan adil. Adanya suap menyuap adalah merupakan gambaran tentang adanya ketidak jujuran, ketidakadilan, dan kebohongan. Oleh karena itu, jika suap menyuap ini semakin dikembangkan, apalagi rakyatpun, -----melalui pemilihan pejabat Negara, ditarik-tarik pada kegiatan buruk itu, maka bukan kebaikan dan kemakmuran yang didapat, melainkan justru kehancuran.

Terkait dengan itu, ada rumusan yang sangat mengerikan, yaitu bahwa suatu etnis, suku, kelompok, organisasi, atau bahkan negeri tidak akan hancur hanya karena factor ekonomi, politik, atau suatu bencana. Kehancuran dan bahkan kebinasaan justru disebabkan oleh adanya kebohongan-kebohongan. Dalam sejarah kuno menunjukkan bahwa kaum Ats dank Tsamut hancur,karena adanya kebohongan-kebohongan di antara para pemimpin dan rakyatnya. Semoga Allah swt., menyelamatkan negeri ini dari proses kehancuran itu. Wallahu a’lam.

Kamis, 14 Januari 2010

KUNCI SUKSES MANUSIA MENJADI KHALIFAH

Manusia memiliki dua tanggung jawab yang harus ditunaikan dengan baik, yaitu: Pertama, manusia sebagai hamba (‘abid), di mana manusia dituntut untuk sukses menjalin hubungan secara vertikal dengan Tuhan; Kedua, manusia sebagai khalifah, di mana manusia dituntut untuk sukses menjalin hubungan secara horizontal dengan sesama mahluk. Tidak akan sukses sebagai hamba, jika seseorang gagal dalam menjalani tugasnya sebagai khalifah. Begitu juga sebaliknya, tidak akan sukses sebagai khalifah, jika seseorang gagal menjalin hubungan sebagai hamba dengan Tuhan. Manusia yang paripurna atau manusia seutuhnya (insan kamil) adalah orang yang sukses sebagai hamba juga sebagai khalifah.



Tidak dibenarkan orang yang taat kepada Allah, sementara dia mengabaikan problematika sosial kemasyarakatan. Demikian juga, tidak dibenarkan orang yang selalu memperhatikan urusan sosial kemasyarakatan, sementara dia tidak pernah menjalin hubungan personal dengan Tuhannya. Islam menghendaki umatnya agar memiliki hubungan kepada Allah yang baik, juga memiliki perhatian terhadap berbagai persoalan kemasyarakatan.


Kekhawatiran Malaikat

Malaikat memberikan peringatan kepada kita bahwa sekufur apapun seorang manusia itu tidak akan pernah menjadi kafir mutlak. Sekufur apapun seorang atheis, pasti dalam jiwanya ada sisi-sisi ketuhanan. Oleh karena itu, malaikat tidak meragukan apakah manusia itu bisa berhubungan langsung kepada Tuhan atau tidak, karena itu sebuah kemutlakan. Akan tetapi, malaikat menyangsikan kemampuan manusia akan bisa sukses menjadi khalifah di muka bumi ini.



Allah Swt. menyatakan: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di dalamnya, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah [2]: 30).



Ayat di atas menjelaskan bahwa ketika Tuhan menyampaikan maksudnya akan menciptakan mahluk pendatang baru (manusia), maka Malaikat langsung merasa keberatan terhadap dua hal, yaitu: Pertama, bukankah manusia itu bisa menyebabkan perusakan lingkungan di muka bumi; Kedua, bukankah manusia itu bisa melahirkan pertumpahan darah antar sesamanya.



Ayat ini agaknya cukup relevan dengan kondisi saat ini. Bencana alam dan problematika sosial kemasyarakatam yang terjadi agaknya membenarkan kekhawatiran Malaikat itu. Kita baru saja menyaksikan peristiwa longsor dan banjir di sebagian wilayah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, gempa bumi di sebagian pulau Bali dan Nusa Tenggara baru-baru ini, konflik yang tiada henti di propinsi Aceh, dan berbagai konflik etnis di sebagian daerah Indonesia lainnya beberapa tahun yang lalu. Semua itu sedikit banyak membenarkan apa yang disampaikan Malaikat di atas.


Kata Kunci Sukses

Bagaimana menciptakan manusia yang sukses, baik dalam menjalankan tugasnya sebagai hamba maupun sebagai khalifah. Ada sebuah statement yang seringkali dihafal dan dibaca oleh kita sebagai kata kunci untuk sukses, yakni lafadz bismillahirrahmanirrahim (basmalah).



Rasulullah bersabda, apapun yang akan kita lakukan hendaknya membaca basmalah. Bahkan, tidak hanya Rasulullah, para Nabi sebelumnya pun sangat akrab dengan basmalah. Ketika membuat perahu di atas bukit, di mana saat itu belum ada mesin, Nabi Nuh As. membaca basmalah, yakni bismillahi majraha wa mursaha, dan langsung perahu itu meluncur. Dalam riwayat lain disebutkan, pegangan tongkat Nabi Musa As. terdapat ukiran yang bertuliskan bismillahirrahmanirrahim. Ketika menghidupkan orang mati, Nabi Isa As. membaca basmalah. Begitu juga, yang digunakan oleh Nabi Sulaiman As. untuk menundukkan jiwa Ratu Balqis adalah basmalah, dan Ratu Balqis pun langsung takluk.


Intisari Basmalah

Jika kita melakukan sesuatu dengan menyebut nama Allah, berarti kita mengatasnamakan perbuatan kita kepada-Nya, jadi seakan-akan kita mewakili Allah. Ini sesuai dengan arti khalifah sendiri, yaitu representasi Tuhan di muka bumi. Satu-satunya mahluk yang diciptakan khusus untuk menjadi wakil (representasi) Tuhan di alam raya ini adalah manusia, bukan malaikat, jin, dan bukan pula mahluk lainnya. Itulah rahasia manusia sebagai ahsan at-taqwim, mahluk yang termulia.



Oleh karena itu, kita harus hati-hati setiap melakukan sesuatu. Sebab, apapun yang kita lakukan itu mengatasnamakan Allah Swt. Apapun yang kita lakukan hendaknya mengimplementasikan lafadz basmalah, misalnya dalam menentukan sebuah keputusan yang diambil. Jadi, bismillahirrahmanirrahim adalah satu kunci sukses yang diajarkan oleh agama kita, baik sebagai hamba (‘abid) maupun sebagai khalifah.



Dalam buku-buku tasawuf dijelaskan bahwa kandungan pokok al-Quran terdapat pada surat al-Fatihah. Pada surat itu, kalimat yang paling penting adalah bismillahirrahmanirrahim. Dalam kalimat itu, kata yang paling inti adalah ar-rahman dan ar-rahim. Dua kata tersebut berakar dari kata yang sama, yaitu rahima yang berarti “cinta kasih”. Dengan demikian, makna dibalik lafadz basmalah adalah “kerjakanlah semua perbuatan itu dengan penuh cinta kasih”. Sebab, di dalam “cinta kasih” pasti terkandung unsur keikhlasan, niat yang baik, ketenangan, tidak ada dendam, tidak ada pamrih yang berlebihan, dan tidak atas dasar motivasi yang berjangka pendek, tetapi mengupayakan yang abadi dan universal.



Allah ternyata menggunakan lafadz basmalah, tidak dengan sebutan lafadz-lafadz lain, seperti al-‘aziz, al-ghafar, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa dalam mengelola alam raya, sebagai konsekuensi sebagai khalifah, kita harus menyandarkan pada lafadz basmalah, yakni dengan penuh kasih sayang.



Kita seringkali tidak melandaskan pada kasih sayang dalam menentukan keputusan. Begitu melihat pohon raksasa di tengah-tengah hutan, yang terbayang dalam benak kita berapa meter kubik kayu yang bisa diambil dan berapa dollar yang bisa diraup jika diekspor, dengan tanpa pernah mempertimbangkan berapa banyak habitat hewan dan tumbuhan yang hidupnya tergantung pada pohon tersebut. Begitu pula ketika kita melihat hamparan tanah kosong daerah resapan air, yang terlintas di pikiran kita berapa kavling rumah yang bisa dibangun dan berapa juta yang didapat bila dijual atau disewakan, dengan tanpa pernah sedikitpun mempertimbangkan efeknya terhadap keseimbangan ekosistem di lingkungan tersebut, sehingga terjadi banjir suatu waktu karena tanah tidak lagi bisa meresapkan air hujan yang turun.



Inti bismillahirrahmanirrahim adalah bagaimana kita bisa menginternalisasikan sifat kasih sayang Tuhan dalam setiap perbuatan. Kenapa Tuhan tidak begitu saja menyiksa orang-orang yang kafir terhadap-Nya? Tiada lain, karena Tuhan lebih dominan menunjukkan diri-Nya sebagai Maha Penyayang daripada Maha Pembalas Dendam. Nilai inilah yang patut ditiru.

Akhirnya, posisi kita sebagai khalifah di muka bumi hendaknya berpegang teguh pada konsep basmalah. Sebuah konsep yang tidak saja meniscayakan sekedar ucapan biasa, tetapi implementasi dalam setiap perbuatan kita. Bârakallâhu lî wa lakum, wallâhu a’lam bishshawwâb.

Senin, 11 Januari 2010

HUKUM JUAL BELI SECARA KREDIT

Salah satu kegiatan bisnis yang terjadi di zaman modern ini adalah jual beli barang secara kredit dengan harga yang labih tinggi dari pada biasanya. Prakteknya adakalanya si tukang kredit memasang dua harga, jika beli secara kredit harganya sekian dan kalau tunai harganya sekian.

Tetapi adakalanya memang si tukang kredit hanya menjual barang secara kredit saja. Tentu harga jual barang secara kredit lebih mahal dari pada jual kontan. Bagaimana status hukum dari transaksi seperti ini?

Para ulama merumuskan kaidah tentang hukum transaksi (mu’amalah) bahwa pada prinsipnya hukum bertransaksi adalah boleh (mubah) kecuali kalau di dalamnya terdapat unsur penipuan (gharar), sepekulasi (maysir), riba dan barangnya dijual dua kali.

Ada istilah yang umum yakni transaksi “dijual dua” yakni menjual suatu barang kepada dua orang atau lebih, atau mentransaksikan suatu barang dengan harga kredit dan harga tunai tetapi si pembeli langsung membawanya tanpa menjelaskan apakah membeli dengan secara tunai atau dengan secara kredit.

Nah, untuk transaksi model kredit ini, para ulama berbeda pendapat: (1) Jumhur ahli fiqih, seperti mazhab Hanafi, Syafi'i, Zaid bin Ali dan Muayyid Billahi berpendapat, bahwa jual-beli yang pembayarannya ditangguhkan dan ada penambahan harga untuk pihak penjual karena penangguhan tersebut adalah sah. Menurut mereka penangguhan itu adalah harga. Mereka melihat kepada dalil umum yang membolehkan.

(2).Jumhur ulama menetapkan, bahwa seorang pedagang boleh menaikkan harga menurut yang pantas, karena pada asalnya boleh dan nash yang mengharamkannya tidak ada. Sebaliknya kalau sampai kepada batas kezaliman hukumnya berubah menjadi haram.

(3). Pendapat lainnya mengatakan bahwa upaya menaikkan harga di atas yang sebenamya lantaran kredit (penangguhan pembayaran) lebih dekat kepada riba nasiah (tambahan harga karena limit waktu) yang jelas dilarang oleh nash Al-Qur’anul Karim.

Jadi, menurut hemat saya, transaksi jual beli secara kredit hukumnya sah dan halal asalkan akad (transaksinya) antara penjual dan pembeli dilakukan secara jelas (aqd sharih). Artinya, antara penjual dan pembeli sama-sama mengetahui dan terdapat kesepakatan harga barang dan batas waktu pada saat akad.

Transaksi jual beli secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dibanding membeli secara kontan hukumnya sah dan halal. Dengan syarat, transaksi antara penjual dan pembeli dilakukan dengan aqd sharih ’adam al jahalah (dilakukan secara jujur dan mensepakati batas waktu dan harga barang).

Jangan sampai akad sudah selesai dan barang sudah di bawa pulang sementara antara penjual dan pembeli belum ada kesepakatan, apakah membeli secara tunai atau kontan. Sehingga si pembeli memutuskan sendiri dalam akadnya setelah beberapa waktu dari waktu transaksi. Ketidakjelasan seperti ini hukumnya haram karena akadnya tidak jelas (sharih)

KUNCI SUKSES MANUSIA MENJADI KHALIFAH

Manusia memiliki dua tanggung jawab yang harus ditunaikan dengan baik, yaitu: Pertama, manusia sebagai hamba (‘abid), di mana manusia dituntut untuk sukses menjalin hubungan secara vertikal dengan Tuhan; Kedua, manusia sebagai khalifah, di mana manusia dituntut untuk sukses menjalin hubungan secara horizontal dengan sesama mahluk. Tidak akan sukses sebagai hamba, jika seseorang gagal dalam menjalani tugasnya sebagai khalifah. Begitu juga sebaliknya, tidak akan sukses sebagai khalifah, jika seseorang gagal menjalin hubungan sebagai hamba dengan Tuhan. Manusia yang paripurna atau manusia seutuhnya (insan kamil) adalah orang yang sukses sebagai hamba juga sebagai khalifah.



Tidak dibenarkan orang yang taat kepada Allah, sementara dia mengabaikan problematika sosial kemasyarakatan. Demikian juga, tidak dibenarkan orang yang selalu memperhatikan urusan sosial kemasyarakatan, sementara dia tidak pernah menjalin hubungan personal dengan Tuhannya. Islam menghendaki umatnya agar memiliki hubungan kepada Allah yang baik, juga memiliki perhatian terhadap berbagai persoalan kemasyarakatan.


Kekhawatiran Malaikat

Malaikat memberikan peringatan kepada kita bahwa sekufur apapun seorang manusia itu tidak akan pernah menjadi kafir mutlak. Sekufur apapun seorang atheis, pasti dalam jiwanya ada sisi-sisi ketuhanan. Oleh karena itu, malaikat tidak meragukan apakah manusia itu bisa berhubungan langsung kepada Tuhan atau tidak, karena itu sebuah kemutlakan. Akan tetapi, malaikat menyangsikan kemampuan manusia akan bisa sukses menjadi khalifah di muka bumi ini.



Allah Swt. menyatakan: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di dalamnya, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah [2]: 30).



Ayat di atas menjelaskan bahwa ketika Tuhan menyampaikan maksudnya akan menciptakan mahluk pendatang baru (manusia), maka Malaikat langsung merasa keberatan terhadap dua hal, yaitu: Pertama, bukankah manusia itu bisa menyebabkan perusakan lingkungan di muka bumi; Kedua, bukankah manusia itu bisa melahirkan pertumpahan darah antar sesamanya.



Ayat ini agaknya cukup relevan dengan kondisi saat ini. Bencana alam dan problematika sosial kemasyarakatam yang terjadi agaknya membenarkan kekhawatiran Malaikat itu. Kita baru saja menyaksikan peristiwa longsor dan banjir di sebagian wilayah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, gempa bumi di sebagian pulau Bali dan Nusa Tenggara baru-baru ini, konflik yang tiada henti di propinsi Aceh, dan berbagai konflik etnis di sebagian daerah Indonesia lainnya beberapa tahun yang lalu. Semua itu sedikit banyak membenarkan apa yang disampaikan Malaikat di atas.


Kata Kunci Sukses

Bagaimana menciptakan manusia yang sukses, baik dalam menjalankan tugasnya sebagai hamba maupun sebagai khalifah. Ada sebuah statement yang seringkali dihafal dan dibaca oleh kita sebagai kata kunci untuk sukses, yakni lafadz bismillahirrahmanirrahim (basmalah).



Rasulullah bersabda, apapun yang akan kita lakukan hendaknya membaca basmalah. Bahkan, tidak hanya Rasulullah, para Nabi sebelumnya pun sangat akrab dengan basmalah. Ketika membuat perahu di atas bukit, di mana saat itu belum ada mesin, Nabi Nuh As. membaca basmalah, yakni bismillahi majraha wa mursaha, dan langsung perahu itu meluncur. Dalam riwayat lain disebutkan, pegangan tongkat Nabi Musa As. terdapat ukiran yang bertuliskan bismillahirrahmanirrahim. Ketika menghidupkan orang mati, Nabi Isa As. membaca basmalah. Begitu juga, yang digunakan oleh Nabi Sulaiman As. untuk menundukkan jiwa Ratu Balqis adalah basmalah, dan Ratu Balqis pun langsung takluk.


Intisari Basmalah

Jika kita melakukan sesuatu dengan menyebut nama Allah, berarti kita mengatasnamakan perbuatan kita kepada-Nya, jadi seakan-akan kita mewakili Allah. Ini sesuai dengan arti khalifah sendiri, yaitu representasi Tuhan di muka bumi. Satu-satunya mahluk yang diciptakan khusus untuk menjadi wakil (representasi) Tuhan di alam raya ini adalah manusia, bukan malaikat, jin, dan bukan pula mahluk lainnya. Itulah rahasia manusia sebagai ahsan at-taqwim, mahluk yang termulia.



Oleh karena itu, kita harus hati-hati setiap melakukan sesuatu. Sebab, apapun yang kita lakukan itu mengatasnamakan Allah Swt. Apapun yang kita lakukan hendaknya mengimplementasikan lafadz basmalah, misalnya dalam menentukan sebuah keputusan yang diambil. Jadi, bismillahirrahmanirrahim adalah satu kunci sukses yang diajarkan oleh agama kita, baik sebagai hamba (‘abid) maupun sebagai khalifah.



Dalam buku-buku tasawuf dijelaskan bahwa kandungan pokok al-Quran terdapat pada surat al-Fatihah. Pada surat itu, kalimat yang paling penting adalah bismillahirrahmanirrahim. Dalam kalimat itu, kata yang paling inti adalah ar-rahman dan ar-rahim. Dua kata tersebut berakar dari kata yang sama, yaitu rahima yang berarti “cinta kasih”. Dengan demikian, makna dibalik lafadz basmalah adalah “kerjakanlah semua perbuatan itu dengan penuh cinta kasih”. Sebab, di dalam “cinta kasih” pasti terkandung unsur keikhlasan, niat yang baik, ketenangan, tidak ada dendam, tidak ada pamrih yang berlebihan, dan tidak atas dasar motivasi yang berjangka pendek, tetapi mengupayakan yang abadi dan universal.



Allah ternyata menggunakan lafadz basmalah, tidak dengan sebutan lafadz-lafadz lain, seperti al-‘aziz, al-ghafar, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa dalam mengelola alam raya, sebagai konsekuensi sebagai khalifah, kita harus menyandarkan pada lafadz basmalah, yakni dengan penuh kasih sayang.



Kita seringkali tidak melandaskan pada kasih sayang dalam menentukan keputusan. Begitu melihat pohon raksasa di tengah-tengah hutan, yang terbayang dalam benak kita berapa meter kubik kayu yang bisa diambil dan berapa dollar yang bisa diraup jika diekspor, dengan tanpa pernah mempertimbangkan berapa banyak habitat hewan dan tumbuhan yang hidupnya tergantung pada pohon tersebut. Begitu pula ketika kita melihat hamparan tanah kosong daerah resapan air, yang terlintas di pikiran kita berapa kavling rumah yang bisa dibangun dan berapa juta yang didapat bila dijual atau disewakan, dengan tanpa pernah sedikitpun mempertimbangkan efeknya terhadap keseimbangan ekosistem di lingkungan tersebut, sehingga terjadi banjir suatu waktu karena tanah tidak lagi bisa meresapkan air hujan yang turun.



Inti bismillahirrahmanirrahim adalah bagaimana kita bisa menginternalisasikan sifat kasih sayang Tuhan dalam setiap perbuatan. Kenapa Tuhan tidak begitu saja menyiksa orang-orang yang kafir terhadap-Nya? Tiada lain, karena Tuhan lebih dominan menunjukkan diri-Nya sebagai Maha Penyayang daripada Maha Pembalas Dendam. Nilai inilah yang patut ditiru.

Akhirnya, posisi kita sebagai khalifah di muka bumi hendaknya berpegang teguh pada konsep basmalah. Sebuah konsep yang tidak saja meniscayakan sekedar ucapan biasa, tetapi implementasi dalam setiap perbuatan kita. Bârakallâhu lî wa lakum, wallâhu a’lam bishshawwâb.

Jumat, 08 Januari 2010

TUMPULNYA PARA PENEGGAK HUKUM

Pisau biasanya digunakan untuk memotong sesuatu. Alat pemotong ini dianggap baik manakala keadaannya tajam. Jika sebaliknya, pisau itu tumpul, akan sulit digunakan untuk memotong. Pisau tumpul jika akan digunakan, maka harus dipertajam dulu. Pisau tumpul jika dipaksa digunakan, hasilnya juga tidak baik.

Pisau tumpul, apa lagi sudah berkarat, biasanya tidak digunakan. Memotong dengan pisau tumpul akan mendatangkan rasa sakit bagi yang memotong. Demikian pula benda yang dipotong, mungkin tidak akan putus, tetapi justru menjadi rusak. Jika demikian, pisau tumpul tidak perlu dipakai. Jika harus memotong sesuatu, maka dicari saja pisau baru yang tajam, atau pisau yang tumpul tersebut dipertajam terlebih dahulu sebelum dipakai.

Sejalan dengan hal tersebut, maka dalam ajaran Islam, tatkala memotong hewan pun dianjurkan untuk memilih pisau yang tajam. Dengan menggunakan pisau yang tajam, orang yang bertugas memotong hewan itu akan mudah melakukannya. Demikian pula hewan yang dipotong pun, tidak akan merasa lebih tersiksa. Bayangkan, apa yang akan terjadi, jika seseorang memotong hewan dengan menggunakan pisau tumpul.

Pisau selain digunakan sebagai alat potong memotong, rasanya menarik jika digunakan sebagai metafora dalam gerakan memberantas korupsi di negeri ini. Sekalipun pada akhir-akhir ini, pemberantasan korupsi sudah sedemikian gigih dilakukan, tetapi anehnya fenomena itu tidak semakin berkurang. Sebaliknya, justru semakin meluas. Akibatnya, sehari-hari orang terbawa-bawa pada perbincangan tentang jenis penyimpangan itu, hingga jengkel dan kesal.

Berita tentang korupsi ada di mana-mana. Seolah-olah tidak ada sejengkal wilayah pun di negeri ini yang telah bebas dari kasus-kasus korupsi. Berita tentang pemeriksaan, tindak korupsi, penangkapan, penyidikan, pengadilan, dan akhirnya memenjarakan seolah-olah tidak ada henti-hentinya. Apalagi pada saat-saat sekarang ini, tidak saja polisi, jaksa, KPK, dan hakim, parlemen pun harus menyita waktu mengurus soal penyimpangan itu.

Pemberantasan korupsi telah dilakukan sedemikian rupa, dengan melibatkan berbagai lembaga, termasuk pengawasan dari LSM dan juga masyarakat. Namun seolah-olah koruptor tidak memiliki rasa takut sama sekali. Setiap pejabat, sebelum menunaikan tugasnya disumpah dan bahkan akhir-akhir ini harus menanda-tangani Pakta Integritas terlebih dahulu. Tetapi rupanya, pendekatan moral itu juga tidak mempan menghilangkan mental buruk, yakni korup yang dibenci oleh semua pihak itu.

Memperhatikan sulitnya memberantas korupsi itu, saya teringat alat pemotong yang bernama pisau sebagaimana digambarkan di muka. Terlintas dalam pikiran saya, jangan-jangan pisau yang digunakan untuk memotong tidak korupsi selama ini adalah pisau yang tumpul. Yaitu, pisau yang belum jadi, atau pisau model lama, dan bahkan sudah karatan, sehingga tidak mungkin bisa digunakan untuk memotong secara baik. Pisau yang selama ini digunakan untuk memotong korupsi itu, jangan-jangan memang perlu dilihat keadaannya, apakah masih tumpul, tua, dan karatan.

Untuk mengetahui keadaan pisau itu yang sebenarnya, tidak sulit. Kita lihat saja, apa yang terjadi di institusi yang terkait dengan tindak korupsi dan pemberantasannya itu. Melihatnya juga harus adil, dilakukan secara menyeluruh. Mulai dari lingkungan penguasa, kepolisian, kejaksaan, kehakiman, KPK, dan bahkan juga intitusi pendidikan yang melahirkan orang-orang yang bertugas di lembaga-lembaga tersebut harus dilihat semua. Alat pemotong itu harus dilihat tingkat ketajamannya. Jangan sampai alat itu ternyata tumpul. Bahkan selain itu, benda yang dipotong pun juga harus dilihat. Tidak boleh misalnya, benda yang ada di dalam air, disalahkan kenapa basah. Sebab, semua benda yang berada di dalam air, apapun bentuknya, selalu basah. Karena itu, menyalahkannya justru salah.

Terkait dengan gambaran sederhana terakhir, yaitu tidak boleh menyalahkan keadaan basah benda dalam air, maka dalam kontek itu, hal yang perlu dilihat adalah menyangkut manajemen birokrasi pemerintahan selama ini. Selain itu juga yang perlu dilihat kembali adalah undang-undang, peraturan, pengawasan dan lain-lain. Sebatas menyalahkan, kenapa benda yang diambil dari dalam air itu basah, tidak relevan. Sama dengan hal itu adalah menganggap salah dan menghukumnya terhadap orang-orang yang berada pada system yang salah.

Tulisan sederhana ini sesungguhnya hanya ingin mengajak merenung secara mendalam, agar dalam setiap mengambil keputusan yang mengakibatkan penderitaan seseorang, apalagi banyak orang harus dilakukan secara hati-hati. Manusia harus selalu dijaga harkat dan martabatnya. Di mana dan kapan pun, manusia tidak boleh dinistakan. Sebab, pada hakekatnya manusia adalah makhluk yang harus dimuliakan. Jika menggunakan metafora pisau, maka alat potong dimaksud, harus benar-benar tajam, agar tatkala digunakan memotong benar-benar bisa putus, dan tidak mengakibatkan rasa sakit yang mendalam bagi semua. Pisau tumpul dan apalagi berkarat sebelum digunakan, seharusnya dipertajam dulu. Wallahu a’lam.

Rabu, 06 Januari 2010

PELAJARAN TENTANG IKHLAS DARI KEHIDUPAN SERANGGA

Sejak lama saya memang menyenangi kehidupan binatang, termasuk binatang kecil, seperti semut, belalang, anai-anai atau laron, dan seterusnya. Kesenangan saya terhadap binatang itu mungkin tidak lepas dari lingkungan hidup saya sejak kecil di pedesaan. Kesenangan itu tidak pernah hilang sampai seumur ini. Sebagai bagian dari kesenangan itu, di pagi hari, jika ada waktu, saya suka sekali memberi makan semut. Saya mengambil segenggam gula, lalu saya sebarkan di halaman belakang atau depan rumah. Segera kemudian semut-semut berdatangan, mengambil butir-butir gula tersebut.

Saya selalu memperhatikan perilaku semut. Semut-semut itu datang mengambil sebutir demi sebutir gula. Tidak pernah saya melihat ada semut berebut. Semut cukup mengambil sebutir gula, lalu pergi. Saya tidak mengerti bahasa semut. Tetapi saya memperhatikan, tanduk semut yang kecil dan panjang bergerak-gerak. Saya menduga bahwa dengan gerakan itu, semut bermaksud untuk memanggil teman-temannya bahwa di tempat itu ada makanan.

Semut biasanya setelah mendapatkan sebutir gula, membawanya ke liang tempat persembunyian. Jika dalam perjalanan, bertemu dengan sesama, semut-semut itu damai-damai saja, tidak merebut makanan milik kawanya. Setiap ketemu antar sesama, semut saling menyapa, dan kemudian meneruskan perjalanan. Bagi yang belum memperoleh makanan, menuju ke arah makanan itu berada.

Pelajaran berharga yang saya tangkap dari kehidupan semut itu, di antaranya adalah bahwa binatang ukuran kecil tersebut tidak bernah berambisi atau berlebih-lebihan dalam mendapatkan makanan. Setiap semut hanya membutuhkan sebutir gula yang diperlukan ketika itu. Semut tidak tamak atau aji mumpung, mengambil makanan sebanyak-banyaknya, untuk digunakan sebagai cadangan jika suatu saat terjadi krisis, atau dijadikan sebagai barang kekayaannya. Semut tidak sebagaimana manusia, tidak memerlukan sebutan kaya atau miskin.

Sore kemarin menjelang maghrib di sekitar rumah turun hujan, sehingga setelah itu, sebagaimana biasa, keluarlah anai-anai atau laron. Binatang kecil yang hanya keluar setelah turun hujan di waktu pagi atau sore, jika keadaan gelap selalu mencari lampu di mana saja berada. Sehingga lampu-lampu di luar rumah, ketika saya pergi ke masjid, dipenuhi binatang kecil bersayap empat itu. Masjid agar di dalamnya tidak dikotori oleh binatang itu, oleh salah seorang jamaáh, pintunya ditutup. Tetapi, masih tetap saja, ada satu dua ekor yang lolos, bisa masuk ke dalam masjid.

Tatkala sedang wiridan setelah sholat, di depan saya terdapat beberapa ekor anai-anai beterbngan . Sambil mengucapkan dzikir, terus terang, konsentrasi saya menjadi tertuju pada binatang yang masa hidupnya sangat singkat itu. Bahkan, secara tiba-tiba, seekor anai-anai terjatuh persis di tempat sujud saya. Sekalipun sedang berdzikir, perhatian saya menjadi tertuju pada binatang itu. Laron yang baru terjatuh itu masih bisa berjalan dengan menggerak-gerakkan sayapnya. Kebetulan di sekitar itu pula terdapat beberapa ekor semut. Sebagaimana nalurinya, semut-semut tersebut rupanya mau menangkap sayap anai-anai itu, untuk dimakan bersama.

Saya melihat dengan jelas, ketika terasa bahwa sayapnya tersentuh oleh semut, anai-anai itu langsung melepaskan sayapnya itu dengan spontan. Dia tinggalkan ke empat lembar sayapnya itu, dan kemudian pergi, berjalan tanpa sayap lagi. Saya benar-benar memperhatikan bahwa anai-anai tersebut melepas begitu saja sayapnya, dan meninggalkannya sayap itu dengan ikhlas, tanpa harus bertengkar dengan semut. Selanjutnya, beberapa semut mengambil sayap itu bersama-sama, dan membawanya ke tempat persembunyian mereka.

Dalam suasana berdzikir, mestinya tidak boleh berkonsentrasi kemana-mana kecuali ke Dzat Yang Maha Kuasa, ialah Allah swt. Namun dalam usia setua ini, saya masih belum bisa berkonsentrasi hanya tertuju pada apa yang sedang saya ucapkan, berdzikir khusuk kepada-Nya. Dalam suasana dzikir pun, saya masih bisa terganggu oleh perilaku binatang berukuran kecil itu. Namun, saya beruntung, dengan memperhatikan anai-anai itu saya mendapatkan pelajaran baru tentang ikhlas. Anai-anai yang hanya memiliki empat lembar sayap, sebagai harta penyangga hidupnya, ketika dibutuhkan oleh binatang lain, ------dalam hal ini semut, maka sayapnya tersebut segera dilepaskannya.

Ketika itu saya membayangkan, apakah ini yang dimaksud dengan ikhlas, yaitu memberikan sesuatu yang dimiliki, yang sesungguhnya sangat berharga, dan bahkan harta itu adalah satu-satunya penyangga hidupnya, kepada yang memang membutuhkan, tanpa ada transaksi apa-apa. Saya ketika itu segera mengucapkan, subhanallah. Ternyata, di saat berdzikir bakda sholat, saya mendapatkan pelajaran mulia tentang ikhlas. Pelajaran itu bukan saya dapatkan dari ustadz, kyai, atau ulama’ tetapi justru dari binatang yang tidak pernah mendapatkan perhatian dari manusia yang mengaku lebih mulia ini.

Memperhatikan kehidupan binatang, seringkali kita mendapatkan pelajaran moral yang luar biasa. Binatang pun jika disapa akan menunjukkan terima kasihnya. Pada suatu saat, karena lama tidak memberikan makanan, saya pernah diingatkan oleh serangga itu. Sepulang dari sholat maghrib di masjid, saya, isteri, dan anak saya melihat sesuatu yang sangat mengejutkan. Tembok di sebelah ruang makan, di rumah, dipenuhi oleh semut. Atas kejadian itu, isteri dan anak saya, tidak saja kaget, tetapi juga takut, karena melihat begitu banyak semut. Isteri saya segera perintah agar segera mencari baigon untuk membasmi binatang itu. Saya melarangnya. Kepada isteri dan anak saya, saya mengatakan, bahwa memang sudah agak lama semut-semut itu tidak saya beri makan. Mungkin semut-semut itu memberikan peringatan kepada kita. Maka, saya sangupi besuk pagi akan saya beri gula sebagaimana biasanya.

Tanpa diganggu, akhirnya sekian banyak semut yang memenuhi seluas tembok itu, setelah selang beberapa menit, -------tidak lebih dari lima belas menit, menghilang. Semut-semut itu tentu pergi ke tempat persembunyiannya. Setelah itu saya panggil isteri dan anak saya, bahwa semut sudah pergi. Mereka datang dan lihat bersama-sama, bahwa semut sudah menghilang, pergi. Saya mengatakan, bahwa mungkin semut-semut itu mengingatkan pada saya, bahwa sudah beberapa lama, -----karena kesibukan, tidak memberi gula.

Selanjutnya, saya mengatakan kepada isteri dan anak saya, bahwa semut pun juga memberi peringatan, agar kita beristiqomah dalam beramal. Saya tambahkan bahwa binatang, sesungguhnya sama dengan kita, adalah makhluk Allah. Mereka juga bertasbih dan bersyukur, dan bahkan lebih istiqomah. Dalam al Qurán dikatakan bahwa, manusia ada yang sama dengan binatang, bahkan kadang lebih sesat. Semoga, kita tidak termasuk bagian dari makhluk yang disebut lebih sesat itu. Di kanan kiri kita, sesungguhnya banyak pelajaran mulia yang bisa di petik. Bahkan pelajaran itu juga dari binatang kecil dan sederhana, semisal semut dan atau anai-anai. Saya mendapatkan pelajaran tentang ikhlas, ternyata justru dari anai-anai yang berhasil lolos, masuk masjid. Wallahu a’lam.

ANDAIKAN TUHAN BISA DIBOHONGI

OLEH :MOH. SAFRUDIN
(KETUA PRESIDIUM WILAYAH MAJELIS ALUMNI IPNU SULTRA )

Manusia selalu memiliki sifat ingin disebut sebagai orang baik. Namun, keinginannya itu tidak selalu berhasil diraih. Mereka bisa saja sengaja melakukan kesalahan atau bahkan perbuatan tercela. Tetapi aneh, keburukannya tidak mau diketahui orang, sekalipun tatkala menjalankannya juga tahu bahwa apa yang dilakukan itu adalah jelek, tercela, merugikan dirinya dan juga orang lain. Orang yang suka berbuat jelek pun ingin disebut baik.

Agar supaya perbuatan buruk dan tercela itu tidak diketahui orang lain, maka mereka simpan atau rahasiakan rapat-rapat. Penampilannya saja baik, tetapi yang sebenarnya terjadi adalah justru di balik yang tampak itu. Banyak orang melakukan sesuatu hanya sebatas seolah-olah, seperti, atau seakan-akan. Yaitu seolah-olah berbuat baik agar disenangi oleh banyak orang. Padahal, yang terjadi sesungguhnya adalah baru seolah-olah itu.

Manusia juga tahu, bahwa apa yang tampak, belum tentu menggambarkan apa yang sesungguhnya terjadi. Karena itulah maka muncul istilah orang jujur, lugu, dan apa adanya. Sebaliknya, ada istilah tidak jujur, penuh rekayasa, dan atau dibuat-buat. Banyak sekali penampilan manusia yang dibuat-buat, agar kelihatan bagus dan cantik. Para ibu-ibu dan juga tidak sedikit bapak-bapak datang ke salon, agar kelihatan cantik atau tampan. Lagi-lagi kemudian tampak, seolah-olah cantik atau seolah-olah tampan.

Namun, memang ada saja orang yang lebih suka menampakkan keasliannya. Mereka menampakkan diri apa adanya, tidak dilebih-lebihkan dan juga tidak dikurangi. Tampil asli, apa adanya merasa lebih enak, dan hatinya menjadi tentram. Orang seperti itu, jumlahnya tidak banyak, apalagi di perkotaan. Mereka yang berpenampilan seperti itu, umumnya ada di pedesaan. Karena itulah, orang desa seringkali disebut lugu, polos, atau utun, karena menampakkan diri serba apa adanya.

Semakin maju budaya seseorang, tampaknya semakin pintar menyembunyikan wajah yang sebenarnya. Kehidupan seseorang akhirnya menjadi semacam sandiwara. Apa yang tampak sesungguhnya bukan senyatanya. Justru yang nyata adalah yang tersembunyi itu. Semua serba berpura-pura. Akibatnya dalam berinteraksi antar sesama, masing-masing orang tidak merasa melakukan sesuatu hal yang sebenarnya, melainkan selalu dalam kepura-puraan itu. Akhirnya, hidup ini hanya dijalani dengan kepura-puraan.

Berbagai macam korupsi, kolusi, dan nepotisme yang akhir-akhir ini dijadikan musuh bersama di negeri ini, sesungguhnya tidak lain adalah diawali oleh kehidupan kepura-puraan itu. Orang melakukan sesuatu, bukan didasari oleh niat atau rumusan-rumusan yang sebenarnya, melainkan dimaksudkan untuk memenuhi agenda tersembunyi. Agenda sesungguhnya, tentu tidak diungkap, melainkan dibungkus, karena belum tentu dipandang baik dan menguntungkan semua orang.

Sedemikian pintarnya orang menyemunyikan maksud-maksud yang sebenarnya, sehingga kadang orang lain tidak memahaminya. Orang melakukan sesuatu secara mendua, yaitu antara apa yang ditampakkan dengan apa yang sesungguhnya diagendakan sedemikian jauh jaraknya. Maka, seringkali apa yang kita temukan serba palsu. Padahal kepalsuan selalu menjadi sebab utama runtuhnya kehidupan dan bahkan peradaban umat manusia, di mana dan kapan pun saja.

Kasus yang menimpa Bank Century, yang pada saat ini ramai diperbincangkan orang, kiranya berawal dari logika tersebut. Orang memprotes, kecewa, mengadukan ke pengadilan, termasuk menyusun Pansus Hak Angket DPR, semua itu adalah sebagai buah dari sikap-sikap mendua tersebut. Umpama birokrasi selalu menampakkan apa adanya, yaitu selalu merancang, menjalankan, mencatat, melaporkan, dan atau mendokumentasikan secara benar, maka tidak akan terjadi geger, mempersoalkan uang rakyat yang sedemikian besar itu. Umpama birokrasi dijalankan apa yang seharusnya, maka konflik-konflik beresiko tinggi tidak akan terjadi.

Manusia menyukai kepura-puraan, atau berbuat bohong, dan palsu. Padahal sesungguhnya semua orang tahu, bahwa siapapun benci diperlakukan tidak pada tempatnya itu. Kebohongan tidak bisa dilakukan sepanjang waktu, suatu saat akan terbongkar. Rupanya, sifat manusia pada umumnya, merasa nikmat atau puas apabila bisa berbuat bohong. Dengan berbohong, berpura-pura, seolah-olah, seakan-akan, maka menganggap tujuan yang diinginkan cepat tercapai.

Namun sebenarnya, hal yang harus disadari, bahwa siapapun hanya bisa membohongi sesama manusia dan itupun dalam waktu yang terbatas. Bagaimanapun pintarnya, hebatnya, lihainya, manusia tidak akan bisa berbohong secara terus menerus, apalagi membohongi Dzat Yang Pencipta. Karena, Allah adalah Dzat Yang Maha Tahu, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak akan ada rahasia sekecil apapun yang luput dari pengetahuan Tuhan. Karena itu, apapun yang kita rahasiakan, pada suatu saat akan terbongkar.

Kebohongan akan merugikan diri sendiri dan masyarakat. Berbohong tidak akan bisa dilakukan terus menerus. Orang mengira, bahwa kebohongannya tidak akan diketahui oleh siapapun. Tetapi ternyata, serapat-rapat orang menyimpan kejahatan, cepat atau lambat akan terbongkar. Berbagai kasus yang menimpa para oknum pejabat akhir-akhir ini, mereka melakukan kebohongan, ternyata sebagian sudah mulai dibuka oleh Allah melalui berbagai pintu. Akhirnya, mereka diadili, dan akibatnya harkat dan martabatnya jatuh serendah-rendahnya. Orang menyukai berbuat bohong, berpura-pura dan palsu. Andaikan bisa, rupanya Tuhan pun akan dibohongi pula. Wallahu a’lam.

ANDAIKAN TUHAN BISA DIBOHONGI

Manusia selalu memiliki sifat ingin disebut sebagai orang baik. Namun, keinginannya itu tidak selalu berhasil diraih. Mereka bisa saja sengaja melakukan kesalahan atau bahkan perbuatan tercela. Tetapi aneh, keburukannya tidak mau diketahui orang, sekalipun tatkala menjalankannya juga tahu bahwa apa yang dilakukan itu adalah jelek, tercela, merugikan dirinya dan juga orang lain. Orang yang suka berbuat jelek pun ingin disebut baik.

Agar supaya perbuatan buruk dan tercela itu tidak diketahui orang lain, maka mereka simpan atau rahasiakan rapat-rapat. Penampilannya saja baik, tetapi yang sebenarnya terjadi adalah justru di balik yang tampak itu. Banyak orang melakukan sesuatu hanya sebatas seolah-olah, seperti, atau seakan-akan. Yaitu seolah-olah berbuat baik agar disenangi oleh banyak orang. Padahal, yang terjadi sesungguhnya adalah baru seolah-olah itu.

Manusia juga tahu, bahwa apa yang tampak, belum tentu menggambarkan apa yang sesungguhnya terjadi. Karena itulah maka muncul istilah orang jujur, lugu, dan apa adanya. Sebaliknya, ada istilah tidak jujur, penuh rekayasa, dan atau dibuat-buat. Banyak sekali penampilan manusia yang dibuat-buat, agar kelihatan bagus dan cantik. Para ibu-ibu dan juga tidak sedikit bapak-bapak datang ke salon, agar kelihatan cantik atau tampan. Lagi-lagi kemudian tampak, seolah-olah cantik atau seolah-olah tampan.

Namun, memang ada saja orang yang lebih suka menampakkan keasliannya. Mereka menampakkan diri apa adanya, tidak dilebih-lebihkan dan juga tidak dikurangi. Tampil asli, apa adanya merasa lebih enak, dan hatinya menjadi tentram. Orang seperti itu, jumlahnya tidak banyak, apalagi di perkotaan. Mereka yang berpenampilan seperti itu, umumnya ada di pedesaan. Karena itulah, orang desa seringkali disebut lugu, polos, atau utun, karena menampakkan diri serba apa adanya.

Semakin maju budaya seseorang, tampaknya semakin pintar menyembunyikan wajah yang sebenarnya. Kehidupan seseorang akhirnya menjadi semacam sandiwara. Apa yang tampak sesungguhnya bukan senyatanya. Justru yang nyata adalah yang tersembunyi itu. Semua serba berpura-pura. Akibatnya dalam berinteraksi antar sesama, masing-masing orang tidak merasa melakukan sesuatu hal yang sebenarnya, melainkan selalu dalam kepura-puraan itu. Akhirnya, hidup ini hanya dijalani dengan kepura-puraan.

Berbagai macam korupsi, kolusi, dan nepotisme yang akhir-akhir ini dijadikan musuh bersama di negeri ini, sesungguhnya tidak lain adalah diawali oleh kehidupan kepura-puraan itu. Orang melakukan sesuatu, bukan didasari oleh niat atau rumusan-rumusan yang sebenarnya, melainkan dimaksudkan untuk memenuhi agenda tersembunyi. Agenda sesungguhnya, tentu tidak diungkap, melainkan dibungkus, karena belum tentu dipandang baik dan menguntungkan semua orang.

Sedemikian pintarnya orang menyemunyikan maksud-maksud yang sebenarnya, sehingga kadang orang lain tidak memahaminya. Orang melakukan sesuatu secara mendua, yaitu antara apa yang ditampakkan dengan apa yang sesungguhnya diagendakan sedemikian jauh jaraknya. Maka, seringkali apa yang kita temukan serba palsu. Padahal kepalsuan selalu menjadi sebab utama runtuhnya kehidupan dan bahkan peradaban umat manusia, di mana dan kapan pun saja.

Kasus yang menimpa Bank Century, yang pada saat ini ramai diperbincangkan orang, kiranya berawal dari logika tersebut. Orang memprotes, kecewa, mengadukan ke pengadilan, termasuk menyusun Pansus Hak Angket DPR, semua itu adalah sebagai buah dari sikap-sikap mendua tersebut. Umpama birokrasi selalu menampakkan apa adanya, yaitu selalu merancang, menjalankan, mencatat, melaporkan, dan atau mendokumentasikan secara benar, maka tidak akan terjadi geger, mempersoalkan uang rakyat yang sedemikian besar itu. Umpama birokrasi dijalankan apa yang seharusnya, maka konflik-konflik beresiko tinggi tidak akan terjadi.

Manusia menyukai kepura-puraan, atau berbuat bohong, dan palsu. Padahal sesungguhnya semua orang tahu, bahwa siapapun benci diperlakukan tidak pada tempatnya itu. Kebohongan tidak bisa dilakukan sepanjang waktu, suatu saat akan terbongkar. Rupanya, sifat manusia pada umumnya, merasa nikmat atau puas apabila bisa berbuat bohong. Dengan berbohong, berpura-pura, seolah-olah, seakan-akan, maka menganggap tujuan yang diinginkan cepat tercapai.

Namun sebenarnya, hal yang harus disadari, bahwa siapapun hanya bisa membohongi sesama manusia dan itupun dalam waktu yang terbatas. Bagaimanapun pintarnya, hebatnya, lihainya, manusia tidak akan bisa berbohong secara terus menerus, apalagi membohongi Dzat Yang Pencipta. Karena, Allah adalah Dzat Yang Maha Tahu, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak akan ada rahasia sekecil apapun yang luput dari pengetahuan Tuhan. Karena itu, apapun yang kita rahasiakan, pada suatu saat akan terbongkar.

Kebohongan akan merugikan diri sendiri dan masyarakat. Berbohong tidak akan bisa dilakukan terus menerus. Orang mengira, bahwa kebohongannya tidak akan diketahui oleh siapapun. Tetapi ternyata, serapat-rapat orang menyimpan kejahatan, cepat atau lambat akan terbongkar. Berbagai kasus yang menimpa para oknum pejabat akhir-akhir ini, mereka melakukan kebohongan, ternyata sebagian sudah mulai dibuka oleh Allah melalui berbagai pintu. Akhirnya, mereka diadili, dan akibatnya harkat dan martabatnya jatuh serendah-rendahnya. Orang menyukai berbuat bohong, berpura-pura dan palsu. Andaikan bisa, rupanya Tuhan pun akan dibohongi pula. Wallahu a’lam.