Jumat, 30 April 2010

HLM STANDAR SNI DAN BISNIS PEJABAT

oleh: moh. safrudin
Pagi-pagi saya berangkat ke kantor mengendarai sepeda motor sambil membonceng istri, bersama dengan kedua anak saya yang masih kecil, tiba-tiba seorang polisi datang menghentikan laju kendaraan saya untuk berhenti sejenak,pak polisi hormat pada kami lalu mengambil helem istri saya, pak polisi bilang pak ini helm tidak berstandar SNI makanya kami ambil, sekarang harus pakai hlm yang berstandar SNI, sekarang bapak sialahkan jalan tapi nanti kalau bapak lewat sini lagi dan memakai helm tidak bersetandar SNI bapak kami tilang, besarnya tialangan Rp 250.000. saya bilang iya pak. Pada saat itu hari jumat pas tanggal 30 April 2010, tanggal paling tua untuk pegawai negeri, jangankan untuk beli Helm SNI yang harganya berkisar antara 125.000 sampai 300.000. untuk beli susu anak-anak aja tidak ada.
Besoknya hari sabtu tanggal 1 mei tapi bagi pegawai kalau bertepatan hari sabtu maka gajian dialihkan hari senin, karena hari libur pegawai, sementara pekerjaan saya sebagai guru saya harus ke kantor tapi belum punya helm. Nanti kalau lewat dipos polisi yang harus saya lewati karena tidak ada tempat selain jalan tersebut sudah pasti saya kena tilang.
Itulah gambabran aturan yang diterapkan dengan menggunkan helm standar SNI, bagi orang yang belum punya Helm Standar SNI, bagaimana kalau hal ini menimpa para tukang ojek, yang makan aja susah apalagi harus dibebani membeli Hlm Standar SNI, motor yang digunakan adalah motor cicilan alias kredit,apakah harus menjual motornya untuk beli Helm?
Mulai tanggal 25 Maret 2009, kita semua para bikers di “haruskan” menggunakan helm berstandard SNI dalam setiap berkendara. Peraturan yang saya anggap peraturan yang sangat lucu dan konyol ini sudah di tanda tangani oleh menteri Perindustrian tanggal 25 Juni 2008 dengan nomor No 40/M-IND/Per/6/2008. Jelas peraturan ini terdengar sangat mengocok perut kita. Kenapa tidak? Coba bayangkan bila kita sudah menggunakan helm yang standardnya lebih dari SNI, semisal DOT, Sneel, DLL. Yang mana standar tersebut jauh di atas SNI. Begitupun harga helm berstandard internasional dengan SNI. Harga helm berstandard internasional paling murah saja sudah diatas 500.000an, sedangkan harga helm SNI hanya berkisar 250-300 ribuan. Lagipula apakah helm SNI yang akan kita beli nanti, sudah pasti benar-benar asli berstandard SNI. Bagaimana kalau helm yang kita beli hanya stiker saja dengan tulisan SNI. Iyakan? Indonesia kan banyak aspalnya… Hehehe… Lagi pula apakah pemerintah sudah dan bisa menjamin bahwa helm SNI itu lebih baik dari helm berstandard DOT atau Sneel dan apakah sudah pasti bila kita menggunakan helm SNI dna suatu ketika kita mengalami kecelakaan fatal. Dengan helm tersebut kepala kita tidak akan apa-apa? Atau ini hanya permainan pemerintah saja agar kita membeli produk buatan Indonesia untuk meningkatkan daya beli masyarakat Indonesia dan mengurangi jumlah PHK, seperti saat orang pemerintahan di anjurkan memakai sepatu dan produk Indonesia?
helm ini sesuai standar SNI, jika terjadi kecelakaan yang mengakibatkan kematian pada pengguna helm ini, produsen tidak akan pernah mau bertanggung jawab sama sekali.
karena kami hanya ingin keuntungan dari penjualan helm dalam negeri atau Cuma bisnis para pejabat untuk mendapatkan keuntungan tambahan selain gaji dari pemerinntah.
Di sisi lain memang menjadi bahan perbincangan kotroversial sebelum pemerintah mewajibkan menggunakan Helm Standar SNI, membuat kebijakan bagi pengendara roda dua di siang hari harus menyalakan lampu, padahal siang hari cukup terang dan semua apa yang terjadi dapat dilihat walaupun tidak menyalakan lampu, padahal mobil tidak diperintahkan untuk menyalakan lampu yang jauh lebih besar, bukankah ada makna terselubung dibalik itu, mungkinkah ada bisnis pejabat dengan produsen lampu, agar produknya lebih laku, atau ada kerja sama Kapolri punya pabrik pembuat lampu kendaraan.
Mungkinkah helm berstandar SNI menjadi bisnis pejabat petinggi polri ? apalagi hampir dipastikan para pejabat tidak ada yang miskin, akan tetapi semakin kaya, bahkan punya deposito milyaran sampai triliun. seperti kasus Gayus, markus pajak, Robert Tantular Bos Century, Syahril Johan , adalah gambaran kecil paara pejabat kita yang melakukan korupsi. Memilliki tabungan milyaran rupiah
Sekarang pengawasan ketat tapi tak kalah pintar mencari cara untuk mendapatkan uang tambahan dengan berbisnis yang mempengaruhi kebijakan dalam pemerintahan, padahal mereka sudah memiliki gaji dan tunjangan yang cukup tinggi. Sehingga membuat kebijakan dimasayarakat sepertinya pemerintah tidak paham kondisi masyarakat kita yang tidak sedikit hidup di bawah garis kemiskinan.

Mau untung sendiri, tanpa memikiran keselamatan pengguna?
kita buntung, bangsa buntung, pejabat untung…
mulai dari sepatu (oke lah tidak apa-apa, lagian sepatu lokal juga lagi terpuruk…)
lha kalo helm?
apa iya kepala Kita standar SNI juga ?
harga kepala kita sebanding dengan helm yang kita pakai, kalau itu harus berstandar nasional maka ekonomi kita harus di standarkan…
Mungkin lebih baik dibuat “helm yg boleh digunakan minimal standar SNI”, soalnya gimana kalo udah terlanjur punya sudah nyaman dengan hlm yang standarnya diatas SNI (tidak ada logo SNInya)? Sebanarnya litelatur yang digunakan SNI bagaimana ? apa kalo produsen helm kalau sadah mencantumkan logo SNI pada produknya itu berarti sudah memenuhi syarat standar keamanan versi yg mengeluarkan peraturan ini…?
Cukup repot juga yah peraturan sekarang masa harus beli lagi helm dari mana uang yang harus kita ambil. Tidak masalah kalau helm yang bersetandar SNI dibagikan Cuma-Cuma kepada masyarakat yang kurang mampu. Agar mereka tidak harus meminjam uang, atau mencuri uang untuk membeli helm. Bisa menambah kriminalitas di masyarakat
Negara itu mesti punya standar industri. kalo tidak ya bakal diinjak-injak negara lain. banyak tuh barang asal murah masuk indonesia.
kalo memang barang bagus masuk indonesia dan standarnya lebih baik kenapa tidak. tinggal daftarkan di perindustrian untuk dapat SNI. kalo ngaku lebih baik tentu lolos di helm nempel tuh standar SNI, boleh juga tambah snell atau dot.
nah itu baru helm tidak cuma aman buat kepala. tapi juga buat perekonomian indonesia.
Pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang pro rakyat dengan standar Nasional perekonomian kita, kalau kita mewajibkan menggunakan helm Standar SNI, harus memperhatikan kemampuan ekonomi masyarakat, kalau tidak maka akan mucul kriminalitas khususnya masyarakat kecil dan ekonomi lemah harus dipaksa membeli Hlm Standar SNI, mereka harus mendapatkan uang dari mana untuk membeli helm yang harganya tidak murah wallahu Alam bissawab

Kamis, 29 April 2010

MENDIDIK ISLAMI ALA LUKMANUL HAKIM

“Dan (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi nasehat kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar ….. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”. (Luqman: 13-19)

Surat Luqman secara umum, terutama ayat 13-19 difahami sebagai surat yang harus dibaca saat prosesi aqiqah atau kesyukuran atas kelahiran seorang anak, dengan harapan bahwa sang ayah nantinya dapat meneladani tokoh Luqman yang diabadikan wasiatnya dan sang anak juga dapat mengikuti petuah dan nasehat seperti halnya anak Luqman. Tentu pemahaman ini dapat diterima, mengingat secara tekstual ayat-ayat ini memang berbicara secara khusus tentang pesan Luqman dalam konteks mendidik anak sesuai dengan pesan Al-Qur’an. Apalagi pesan Luqman dalam surat ini sebenarnya adalah pesan Allah yang dibahasakan melalui lisan Luqman Al-Hakim sehingga sifatnya mutlak dan mengikat; pesan Luqman dalam bentuk perintah berarti perintah Allah, demikian juga nasehatnya dalam bentuk larangan pada masa yang sama adalah juga larangan Allah yang harus dihindari.

Luqman yang dimaksud dalam ayat-ayat ini menurut Ibnu Katsir adalah Luqman bin Anqa’ bin Sadun. Ia adalah anak dari seorang bapak yang Tsaaran. Pengabadian kisah Luqman memang berbeda dengan pengabdian tokoh lain yang lebih komprehensif. Pengabadian Luqman hanya berkisar seputar nasehat dan petuahnya yang sangat layak dijadikan acuan dalam mendidik anak secara Islami.

Tentu masih banyak lagi cara Islami dalam mendidik anak berdasarkan ayat-ayat atau hadits Rasulullah saw yang lain. Namun paling tidak, pesan Luqman ini bukan sekedar pesan biasa umumnya seorang bapak kepada anaknya, namun merupakan pesan yang penuh dengan sentuhan kasih sayang dan sarat dengan muatan ideologis serta tersusun berdasarkan skala prioritas dari pesan agar mengesakan Allah dan tidak menmpersekutukannya sampai pada pesan untuk bersikap tawadu’ dan santun yang tercermin dalam cara berjalan dan berbicara. Kedua jenis pesan dan nasehat tersebut ternyata tidak keluar dari dua prinsip utama dalam ajaran Islam yaitu ajaran tentang akidah dan akhlak.

Menurut Sayid Quthb, rangkaian ayat-ayat berbicara tentang Luqman dan nasihatnya yang diawali dengan anugerah hikmah kepada Luqman di ayat 12 merupakan pembahasan kedua dari pembahasan surat Luqman yang masih sangat terkait dengan pembahasan episode pertama, yaitu persoalan akidah. Pesan Luqman sendiri pada intinya adalah pesan akidah yang memiliki beberapa konsekuensi; di antaranya berbakti dan berbuat ma’ruf kepada kedua orang tua sebagai bukti rasa syukur atas kasih sayang dan pengorbanan mereka merupakan tuntutan atas akidah yang benar kepada Allah swt. Senantiasa merasakan kehadiran dan pengawasan Allah dalam setiap langkah dan perbuatan merupakan aktualisasi dari keyakinan akan sifat Allah Yang Mengetahui, Maha Mendengar dan Maha Mengawasi. Serta menjalankan aktifitas amar ma’ruf dan nahi munkar yang disertai dengan sikap sabar dalam menghadapi segala rintangan dan tantangan merupakan bukti akan keluatan iman yang bersemayam di dalam hati sanubari, hingga pada pesan untuk senantiasa bersikap tawadu’ dan tidak sombong, baik dalam bersikap maupun dalam berbicara. Semuanya tidak lepas dari ikatan dan tuntutan akidah yang benar.

Dominasi pembahasan seputar akidah dalam surat ini memang wajar karena surat Luqman termasuk surat Makkiyyah yang notabene memberi fokus pada penanaman dan penguatan akidah secara prioritas..

Terlepas dari pro kontra siapa Luqman sesungguhnya; apakah ia seorang nabi ataukah ia hanya seorang lelaki shalih yang diberi ilmu dan hikmah, yang jelas jumhur ulama lebih cenderung memilih pendapat yang mengatakan bahwa ia hanya seorang hamba yang shalih dan ahli hikmah, bukan seorang nabi seperti yang diperkatakan oleh sebagian ulama. Gelar Al-Hakim di akhir nama Luqman tentu gelar yang tepat untuknya sesuai dengan ucapannya, perbuatan dan sikapnya yang memang menunjukkan sikap yang bijaksana. Allah sendiri telah menganugerahinya hikmah seperti yang ditegaskan dalam ayat sebelumnya:

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji“. (Luqman: 12)

Yang menarik disini bahwa ternyata sosok Luqman bukanlah seorang yang terpandang atau memiliki pengaruh. Ia hanya seorang hamba Habasyah yang berkulit hitam dan tidak punya kedudukan sosial yang tinggi di masyarakat. Namun hikmah yang diterimanya menjadikan ucapannya dalam bentuk pesan dan nasehat layak untuk diikuti oleh seluruh orang tua tanpa terkecuali. Hal ini terungkap dalam riwayat Ibnu Jarir bahwa seseorang yang berkulit hitam pernah mengadu kepada Sa’id bin Musayyib. Maka Sa’id menenangkannya dengan mengatakan: “Janganlah engkau bersedih (berkecil hati) karena warna kulitmu hitam. Sesungguhnya terdapat tiga orang pilihan yang kesemuanya berkulit hitam, yaitu Bilal, Mahja’ maula Umar bin Khattab dan Luqman Al-Hakim”.

Rangkaian pesan dan nasehat Luqman yang tersebut dalam 7 ayat di atas secara redaksional dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu bentuk larangan yang berjumlah 3 ayat dan redaksi perintah yang berjumlah 3 ayat. Sedangkan yang mengapit antara keduanya adalah pesan untuk senantiasa muraqabtuLlah karena Allah Maha Mengetahui apa yang dilakukan oleh setiap hambaNya tanpa terkecuali meskipun hanya sebesar biji zarrah dan dilakukan di tempat yang sangat mustahil diketahui oleh siapapun melainkan oleh Allah swt. Tiga larangan yang dimaksud adalah larangan mempersekutukan Allah, larangan menta’ati perintah kedua orang tua dalam konteks kemaksiatan, serta larangan bersikap sombong. Sedangkan nasehat dalam bentuk perintah diawali dengan perintah berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tua dalam keadaan apapun mereka yang diringi dengan mensyukuri Allah atas segala anugerah dan limpahan rahmatNya dalam beragam bentuk, perintah untuk mendirikan shalat, memerintah yang ma’ruf dan mencegah yang munkar serta perintah bersikap sederhana dalam berjalan dan bersuara (berbicara).

Dalam menjelaskan secara aplikatif tafsir ayat 15 dari surat Luqman ini, Ibnul Atsir dalam kitab Usudul Ghabah ( 2: 216) menukil riwayat Thabrani yang mengetengahkan kisah seorang anak yang bernama Sa’ad bin Malik yang tetap berbakti menghadapi ibundanya yang menentang keras keislamannya dengan melakukan aksi mogok makan beberapa hari lamanya sehingga terlihat kepenatan menimpa ibundanya. Namun dengan tegas dan tetap menunjukkan baktinya Sa’ad berkata dengan bijak kepada ibundanya: “Wahai ibu, sekiranya engkau memiliki seratus nyawa. Lalu satu persatu nyawa itu keluar dari jasadmu agar aku meninggalkan agama (Islam) ini maka aku tidak akan pernah menuruti keinginanmu. Jika engkau sudi silahkan makan makanan yang telah aku sediakan. Namun jika engkau tidak berkenan, maka tidak masalah.”

Akhirnya ibu Sa’ad pun memakan makanan yang dihidangkannya, karena merasa bahwa upaya yang cukup ekstrim itu tidak akan meluluhkan keteguhan hati anaknya dalam agama Islam. Tentu sikap yang bijak yang ditunjukkan oleh seorang anak terhadap sikap memaksa kedua orang tuanya yang digambarkan dalam ayat ke 15 tidak akan hadir secara instan tanpa didahului oleh pemahaman yang benar akan akidah Islam, terutama akidah kepada Allah.

Kisah di atas jelas merupakan sebuah kisah yang sangat menarik dan berat untuk difahami dalam konteks kekinian. Bagaimana secara sinergis seorang anak tetap mampu menghadirkan sikap bakti kepada orang tua dengan tetap mempertahankan ideologi dan keyakinan yang dianutnya yang berbeda dengan keyakinan kedua orang tuanya. Pada ghalibnya seorang anak akan merasakan kesukaran dan keberatan untuk menimbang antara ketaatan kepada perintah orang tua dan bersikap ihsan serta berbakti kepada keduanya. Menurut Ibnu Katsir berbakti kepada kedua orang tua adalah dalam konteks bersilaturahim, mendoakan dan memberikan bantuan yang semestinya yang harus dibedakan dengan ketaatan yang berujung kepada bermaksiat kepada Allah. Tentang hal ini, Sufyan bin Uyainah pernah berkata :

“Barangsiapa yang menegakkan shalat lima waktu berarti ia telah mensyukuri Allah dan barangsiapa yang senantiasa berdoa untuk kedua orang tuanya setiap selesai shalat, maka berarti ia telah mensyukuri kedua orang tuanya.”

Sungguh sebuah sikap yang matang dan bijak yang tentu berawal dari model pendidikan yang bernuansa ‘akidi dan akhlaqi’ dengan tetap memperhatikan kebutuhan dan tuntutan kekinian yang seimbang dengan landasan prinsip dalam berIslam secara baik dan benar. Anak-anak sekarang sangat mendambakan nasehat orang tua yang memperkuat, bukan memanjakan karena memang mereka hidup untuk zaman yang berbeda dengan zaman kedua orang tuanya seperti yang diisyaratkan oleh Rasulullah dalam haditsnya:

“Pilihlah tempat nuthfahmu untuk dibuahkan. Karena sesungguhnya anak-anakmu dilahirkan untuk zaman mereka yang berbeda dengan zamanmu.”

Demikian nasehat dan pesan Luqman dalam mendidik anaknya yang didahului oleh pendidikan akidah tentang keEsaan Allah dan pengetahuanNya yang absolut yang akan melahirkan sikap mawas diri, hati-hati dan muraqabatuLlah dalam bersikap dan bertindak. Kekuatan dan kemantapan akidah tersebut akan terespon dan termanifestasikan dalam berakhlak dan berperilaku kepada orang lain, terutama sekali terhadap kedua orang tua. Sungguh satu upaya yang serius dari seorang Luqman yang bijak untuk mendekatkan dan memperkenalkan seorang anak sejak dini dengan RabbNya yang berdampak pada kebaikan dan kesejahteraan lahir dan bathin, serta menjadikannya memiliki tingkat imunitas dan pertahanan diri yang kokoh menghadapi beragam godaan kehidupan yang dirasa kian melalaikan dan menjerumuskan. Allahu a’lam.

8 TANDA ORANG IKHLAS

Dua Syarat Amal
Amal yang kita lakukan akan diterima Allah jika memenuhi dua rukun. Pertama, amal itu harus didasari oleh keikhlasan dan niat yang murni: hanya mengharap keridhaan Allah swt. Kedua, amal perbuatan yang kita lakukan itu harus sesuai dengan sunnah Nabi saw.

Syarat pertama menyangkut masalah batin. Niat ikhlas artinya saat melakukan amal perbuatan, batin kita harus benar-benar bersih. Rasulullah saw. bersabda, “Innamal a’maalu bin-niyyaat, sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya.” (Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits itu, maka diterima atau tidaknya suatu amal perbuatan yang kita lakukan oleh Allah swt. sangat bergantung pada niat kita.
Sedangkan syarat yang kedua, harus sesuai dengan syariat Islam. Syarat ini menyangkut segi lahiriah. Nabi saw. berkata, “Man ‘amala ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa raddun, barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak pernah kami diperintahkan, maka perbuatan itu ditolak.” (Muslim).

Tentang dua syarat tersebut, Allah swt. menerangkannya di sejumlah ayat dalam Alquran. Di antaranya dua ayat ini. “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh….” (Luqman: 22). “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan….” (An-Nisa: 125)

Yang dimaksud dengan “menyerahkan diri kepada Allah” di dua ayat di atas adalah mengikhlaskan niat dan amal perbuatan hanya karena Allah semata. Sedangkan yang yang dimaksud dengan “mengerjakan kebaikan” di dalam ayat itu ialah mengerjakan kebaikan dengan serius dan sesuai dengan sunnah Rasulullah saw.

Fudhail bin Iyadh pernah memberi komentar tentang ayat 2 surat Al-Mulk, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” Menurutnya, maksud “yang lebih baik amalnya” adalah amal yang didasari keikhlasan dan sesuai dengan sunnah Nabi saw.

Seseorang bertanya kepadanya, “Apa yang dimaksud dengan amal yang ikhlas dan benar itu?” Fudhail menjawab, “Sesungguhnya amal yang dilandasi keikhlasan tetapi tidak benar, tidak diterima oleh Allah swt. Sebaliknya, amal yang benar tetapi tidak dilandasi keikhlasan juga tidak diterima oleh Allah swt. Amal perbuatan itu baru bisa diterima Allah jika didasari keikhlasan dan dilaksanakan dengan benar. Yang dimaksud ‘ikhlas’ adalah amal perbuatan yang dikerjakan semata-mata karena Allah, dan yang dimaksud ‘benar’ adalah amal perbuatan itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw.” Setelah itu Fudhail bin Iyad membacakan surat Al-Kahfi ayat 110, “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”

Jadi, niat yang ikhlas saja belum menjamin amal kita diterima oleh Allah swt., jika dilakukan tidak sesuai dengan apa yang digariskan syariat. Begitu juga dengan perbuatan mulia, tidak diterima jika dilakukan dengan tujuan tidak mencari keridhaan Allah swt.

Delapan Tanda Keikhlasan

Ada delapan tanda-tanda keikhlasan yang bisa kita gunakan untuk mengecek apakah rasa ikhlas telah mengisi relung-relung hati kita. Kedelapan tanda itu adalah:

1. Keikhlasan hadir bila Anda takut akan popularitas

Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Sedikit sekali kita melihat orang yang tidak menyukai kedudukan dan jabatan. Seseorang bisa menahan diri dari makanan, minuman, dan harta, namun ia tidak sanggup menahan diri dari iming-iming kedudukan. Bahkan, ia tidak segan-segan merebutnya meskipun harus menjegal kawan atau lawan.” Karena itu tak heran jika para ulama salaf banyak menulis buku tentang larangan mencintai popularitas, jabatan, dan riya.

Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika Anda mampu untuk tidak dikenal oleh orang lain, maka laksanakanlah. Anda tidak merugi sekiranya Anda tidak terkenal. Anda juga tidak merugi sekiranya Anda tidak disanjung ornag lain. Demikian pula, janganlah gusar jika Anda menjadi orang yang tercela di mata manusia, tetapi menjadi manusia terpuji dan terhormat di sisi Allah.”

Meski demikian, ucapan para ulama tersebut bukan menyeru agar kita mengasingkan diri dari khalayak ramai (uzlah). Ucapan itu adalah peringatan agar dalam mengarungi kehidupan kita tidak terjebak pada jerat hawa nafsu ingin mendapat pujian manusia. Apalagi, para nabi dan orang-orang saleh adalah orang-orang yang popular. Yang dilarang adalah meminta nama kita dipopulerkan, meminta jabatan, dan sikap rakus pada kedudukan. Jika tanpa ambisi dan tanpa meminta kita menjadi dikenal orang, itu tidak mengapa. Meskipun itu bisa menjadi malapetaka bagi orang yang lemah dan tidak siap menghadapinya.

2. Ikhlah ada saat Anda mengakui bahwa diri Anda punya banyak kekurangan

Orang yang ikhlas selalu merasa dirinya memiliki banyak kekurangan. Ia merasa belum maksimal dalam menjalankan segala kewajiban yang dibebankan Allah swt. Karena itu ia tidak pernah merasa ujub dengan setiap kebaikan yang dikerjakannya. Sebaliknya, ia cemasi apa-apa yang dilakukannya tidak diterima Allah swt. karena itu ia kerap menangis.

Aisyah r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang maksud firman Allah: “Dan orang-ornag yang mengeluarkan rezeki yang dikaruniai kepada mereka, sedang hati mereka takut bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” Apakah mereka itu orang-orang yang mencuri, orang-orang yang berzina, dan para peminum minuman keras, sedang mereka takut akan siksa dan murka Allah ‘Azza wa jalla? Rasulullah saw. menjawab, “Bukan, wahai Putri Abu Bakar. Mereka itu adalah orang-orang yang rajin shalat, berpuasa, dan sering bersedekah, sementera mereka khawatir amal mereka tidak diterima. Mereka bergegas dalam menjalankan kebaikan dan mereka orang-orang yang berlomba.” (Ahmad).

3. Keikhlasan hadir ketika Anda lebih cenderung untuk menyembunyikan amal kebajikan

Orang yang tulus adalah orang yang tidak ingin amal perbuatannya diketahui orang lain. Ibarat pohon, mereka lebih senang menjadi akar yang tertutup tanah tapi menghidupi keseluruhan pohon. Ibarat rumah, mereka pondasi yang berkalang tanah namun menopang keseluruhan bangunan.

Suatu hari Umar bin Khaththab pergi ke Masjid Nabawi. Ia mendapati Mu’adz sedang menangis di dekat makam Rasulullah saw. Umar menegurnya, “Mengapa kau menangis?” Mu’adz menjawab, “Aku telah mendengar hadits dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, ‘Riya sekalipun hanya sedikit, ia termasuk syirik. Dan barang siapa memusuhi kekasih-kekasih Allah maka ia telah menyatakan perang terhadap Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang baik, takwa, serta tidak dikenal. Sekalipun mereka tidak ada, mereka tidak hilang dan sekalipun mereka ada, mereka tidak dikenal. Hati mereka bagaikan pelita yang menerangi petunjuk. Mereka keluar dari segala tempat yang gelap gulita.” (Ibnu Majah dan Baihaqi)

4. Ikhlas ada saat Anda tak masalah ditempatkan sebagai pemimpin atau prajurit

Rasulullah saw. melukiskan tipe orang seperti ini dengan berkataan, “Beruntunglah seorang hamba yang memegang tali kendali kudanya di jalan Allah sementara kepala dan tumitnya berdebu. Apabila ia bertugas menjaga benteng pertahanan, ia benar-benar menjaganya. Dan jika ia bertugas sebagai pemberi minuman, ia benar-benar melaksanakannya.”

Itulah yang terjadi pada diri Khalid bin Walid saat Khalifah Umar bin Khaththab memberhentikannya dari jabatan panglima perang. Khalid tidak kecewa apalagi sakit hati. Sebab, ia berjuang bukan untuk Umar, bukan pula untuk komandan barunya Abu Ubaidah. Khalid berjuang untuk mendapat ridha Allah swt.

5. Keikhalasan ada ketika Anda mengutamakan keridhaan Allah daripada keridhaan manusia

Tidak sedikit manusia hidup di bawah bayang-bayang orang lain. Bila orang itu menuntun pada keridhaan Allah, sungguh kita sangat beruntung. Tapi tak jarang orang itu memakai kekuasaannya untuk memaksa kita bermaksiat kepada Allah swt. Di sinilah keikhlasan kita diuji. Memilih keridhaan Allah swt. atau keridhaan manusia yang mendominasi diri kita? Pilihan kita seharusnya seperti pilihan Masyithoh si tukang sisir anak Fir’aun. Ia lebih memilih keridhaan Allah daripada harus menyembah Fir’aun.

6. Ikhlas ada saat Anda cinta dan marah karena Allah

Adalah ikhlas saat Anda menyatakan cinta dan benci, memberi atau menolak, ridha dan marah kepada seseorang atau sesuatu karena kecintaan Anda kepada Allah dan keinginan membela agamaNya, bukan untuk kepentingan pribadi Anda. Sebaliknya, Allah swt. mencela orang yang berbuat kebalikan dari itu. “Dan di antara mereka ada orang yang mencela tentang (pembagian) zakat. Jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (At-Taubah: 58)

7. Keikhalasan hadir saat Anda sabar terhadap panjangnya jalan

Keikhlasan Anda akan diuji oleh waktu. Sepanjang hidup Anda adalah ujian. Ketegaran Anda untuk menegakkan kalimatNya di muka bumi meski tahu jalannya sangat jauh, sementara hasilnya belum pasti dan kesulitan sudah di depan mata, amat sangat diuji. Hanya orang-orang yang mengharap keridhaan Allah yang bisa tegar menempuh jalan panjang itu. Seperti Nabi Nuh a.s. yang giat tanpa lelah selama 950 tahun berdakwah. Seperti Umar bin Khaththab yang berkata, “Jika ada seribu mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada seratus mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada sepuluh mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada satu mujahid berjuang di medan juang, itulah aku!”

8. Ikhlas ada saat Anda merasa gembira jika kawan Anda memiliki kelebihan

Yang paling sulit adalah menerima orang lain memiliki kelebihan yang tidak kita miliki. Apalagi orang itu junior kita. Hasad. Itulah sifat yang menutup keikhlasan hadir di relung hati kita. Hanya orang yang ada sifat ikhlas dalam dirinya yang mau memberi kesempatan kepada orang yang mempunyai kemampuan yang memadai untuk mengambil bagian dari tanggung jawab yang dipikulnya. Tanpa beban ia mempersilakan orang yang lebih baik dari dirinya untuk tampil menggantikan dirinya. Tak ada rasa iri. Tak ada rasa dendam. Jika seorang leader, orang seperti ini tidak segan-segan membagi tugas kepada siapapun yang dianggap punya kemampuan. oleh Mochamad Bugi (Dakwatuna).

KIAT SABAR DALAM ISLAM

Kiat Menjadi Orang Yang Sabar

Sepanjang kehidupan manusia, problem silih berganti datang, karena salah satu nyawa dari sebuah dari kehidupan adalah permasalahan. Secara teologis, problem kehidupan adalah tantangan yang akan mengklasifikasi mana orang-orang baik dan mana orang jahat, mana orang yang tahan uji dan mana orang yang lemah.



Secara teori, orang mukmin akan selalu beruntung, karena ia bersyukur ketika memperoleh keberuntungan dan bersabar ketika menghadapi kesulitan. Sebaliknya
orang tak beriman selalu tak beruntung, ketika memperoleh keberuntungan ia lupa diri dan ketika menghadapi kesulitan berat ia lupa ingatan. Sabar ialah tabah hati tanpa mengeluh dalam menghadapi cobaan dan rintangan, dalam jangka waktu tertentu, dalam rangka mencapai tujuan.

Untuk dapat bersabar, agama Islam mengajarkan adab sebagai berikut:

1. Tahan ketika menghadapi hantaman pertama. Rasulullah SAW bersabda:
Innamassabru indassad matil uulaa. Artinya: Sabar yang sesungguhnya ialah ketika menghadapi hantaman pertama.

2.Ketika ditimpa musibah, segera mengingat Allah dan mohon ampunannya.
Firman Allah: Artinya: (Orang-orang yang sabar ialah) mereka yang ketika ditimpa musibah, berkata; sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Nya. (al Baqarah: 156)

3. Tidak menampakkan musibahnya kepada orang lain, seperti yang dicontohkan oleh istri Abu Talkhah (Ummu Sulaim) ketika ditinggal mati anaknya. (dikisahkan dalam hadis Riwayat Muslim)

4. Sabar menghadapi semua cobaan dengan ikhlas kepada Allah. Allah berfirman dalam hadis Qudsy: Hambaku yang mukmin, yang bersabar dengan pasrah kepadaKu ketika kekasihnya Aku panggil kembali (mati), kepadanya tak ada balasan yang layak dari Ku selain surga. (HR. Bukhari)



Semoga kita bisa menjadi orang sabar dan termasuk penghuni surga. Aamiin ya rabbal ‘Aallamiin…

Minggu, 25 April 2010

TIDAK LULUS SALAH MURID ATAU SALAH GURU DALAM MENDIDIK

OLEH : MOH. SAFRUDIN, S.Ag, M.PdI
(Ketua Presidium Wilayah Majelis Alumni IPNU Sultra)
10 ribu siswa se-sultra tidak lulus ujian Nasional untuk jenjang SMA/SMK/MA . pengumuman yang diagendakan Badan Setendar Nasional Pusat (BNSP)tersebut serentak pada tanggal 26 April 2010. Kalau dipresentasekan tingkat kelulusan tahun ini 62,44 persen atau 17.252 siswa. Sisanya sebanyak 10.377 orang atau 37,56peserta lainnya tidak lulus ujar kepala Dinas pendidikan Nasional (Diknas) sultra Drs. Damsid, M.Si
Hal ini menjadi pertanyaan besar Bagi lembaga pendidikan dalam menyelelenggarakan proses belajar mengajar, apa sebenarnya yang salah dalam hal ini, apa siswa yang kurang dalam belajar atau guru yang tidak memenuhi kualifikasi guru sebagai pendidik.
Tulisan ini saya buat sebagai inspirasi penulis mencari sumber permasalahan yang menyebabkan kegalan siswa /siswi SMA/SMK/MA sesultra. Apakah kesalahan yang dilakukan lembaga pendidikan didalam menhyeleksi calon siswa ?, atau kesalahan guru atau pendidik dalam mengajar, atau pemerintah yang kurang selektif didalam menempatkan pejabat dalam untuk mengelola lembaga pendidikan.
Tidak saja calon murid yang seharusnya dipilih, tetapi mestinya guru juga perlu diseleksi. Setiap tahun, lembaga pendidikan menyeleksi para calon murid. Lembaga pendidikan memilih calon murid di antara sekian banyak yang kemampuanannya lebih baik. Tentu hal ini dilakukan oleh lembaga pendidikan yang peminatnya berlebih. Jika peminatnya kurang, tentu seleksi yang dilakukan tidak serius, sebatas bersifat formal.

Sama dengan yang dilakukan oleh guru atau lembaga pendidikan, mestinya calon murid juga melakukan pemilihan terhadap orang yang akan dijadikan guru. Sebab kualitas guru ternyata juga bermacam-macam. Ada guru yang hebat, artinya berkualitas tinggi, tetapi ada pula guru yang kemampuannya terbatas. Calon murid mestinya juga memilih lembaga pendidikan yang memiliki tenaga guru yang hebat-hebat.

Pertanyaannya adalah bagaimana memilih guru yang hebat itu, apa ukurannya ? Jawabnya, tentu banyak aspek yang harus dilihat. Di antaranya, misalnya guru tersebut berlatar belakang pendidikan cukup. Misalnya, lulusan sarjana dan bahkan strata tiga (S3) dari perguruan tinggi yang dikenal hebat. Selain itu, mereka memiliki jabatan akademik atau golongan kepangkatan tinggi. Telah berpengalaman lama menjadi guru, karya-karyanya banyak dibaca atau dijadikan referensi oleh kalangan luas.

Selain itu, masih ada kelebihan lain yang seharusnya dimiliki oleh guru. Misalnya, para guru memiliki dedikasi dan integritas yang tinggi pada profesinya. Mereka selalu menunjukkan tanggung jawab, mencintai terhadap ilmu dan para murid-muridnya, disiplin dan juga keikhlasan.

Lebih dari itu, masih ada syarat lain yang sekalipun umumnya dianggap sederhana atau remeh, tetapi justru lebih mendasar. Saya pernah mendengar nasehat, bagaimana memilih guru atau lembaga pendidikan yang baik. Nasehat itu sederhana, tetapi menurut hemat saya cukup mulia, sehingga seharusnya mendapatkan perhatian.

Nasehat itu mengatakan bahwa tatkala memilih guru atau sekolah, hendaknya dilihat, apakah masjid atau tempat ibadah di sekitar rumah para guru-gurunya itu dipenuhi oleh jamaáh secara istiqomah. Selain itu, apakah guru dimaksud juga selalu ada di tempat ibadah itu pada setiap waktu sholat. Jika guru tersebut tidak pernah tampak, maka orang tersebut belum waktunya dijadikan guru. Sebab, semestinya sebelum mampu memimpin orang lain, seseorang harus terlebih dahulu bisa memimpin diri mereka sendiri.


Guru yang baik, berdasarkan nasehat itu, seharusnya selalu sholat berjamaáh di masjid. Muhammad saw., sebagai rasul dan juga guru, selama hidupnya selalu menjalankan sholat berjamaáh di masjid. Ukuran kebaikan seseorang selalu dilihat dari sholatnya. Jika sholatnya berkualitas maka kegiatan yang lain akan mengikutinya. Jika subuhnya saja tidak pernah berjamaáh, ------apalagi selalu dilakukan lewat waktu, maka bagaimana tugas-tugas lain akan dipenuhi dengan baik, tentu akan lebih kacau.

Kualitas guru juga dilihat dari kesan para tetangga atau orang-orang dekatnya. Seorang guru harus menjadi tauladan dalam kehidupan sehari-hari. Maka para tetangga dan atau orang-orang dekatnya bisa memberikan penilaian kepadanya secara lebih utuh. Guru yang baik adalah guru yang bisa berbuat baik pada tetangga dan orang-orang dekatnya itu.

Guru yang baik, tentu akan memiliki jaringan pertemanan atau silaturrahmi secara luas. Mereka tidak hanya bergaul secara terbatas, yaitu dengan orang yang bisa memenuhi kepentingannya sehari-hari. Guru seharusnya kaya pergaulan dan silaturrahmi. Mereka yang tidak memiliki pergaulan atau silaturrahmi secara luas, akan diartikan belum memperoleh manfaat dari ilmu yang disandangnya sendiri. Ilmu yang bermanfaat semestinya berhasil mengantarkan pemiliknya menjadi lebih disenangi oleh banyak orang.

Beberapa aspek penting terkait dengan guru berkualitas yang disebutkan pada bagian terakhir, lebih-lebih pada akhir-akhir ini, justru tidak banyak mendapatkan perhatian. Mungkin hal itu disebabkan oleh orientasi belajar, bersekolah, atau berguru sudah berubah. Bersekolah tidak lagi diniatkan untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, melainkan sebatas memenuhi persyaratan formal. Akhirnya yang terjadi adalah banyak orang berguru kepada bukan guru. Wallahu a’lam.

Jumat, 23 April 2010

PERANAN PEREMPUAN DALAM KEHIDUPAN

Oleh : Moh. Safrudin, S.Ag, M.PdI
(Ketua Presidium Wilayah MajelisAlumni IPNU Sultra)
Sekalipun dalam sejarah, tidak ada seorang pun perempuan ditunjuk sebagai rasul, tetapi islam sedemikian tinggi memuliakan terhadap kaum perempuan. Kaum perempuan dalam Islam sangat dimuliakan. Dalam al Qurán di antara 114 surat, terdapat satu surat yang diberi nama surat an Nisa’’, yang artinya adalah perempuan.

Surat itu dalam al Qurán diletakkan setelah surat Ali Imran. Penempatan itu terasa sangat jelas, memberikan gambaran tentang kemuliaan dan posisi kaum perempuan. Nama Ali Imran dalam sejarah, dikenal sebagai prototype keluarga ideal. Melalui nama surat itu, dapat ditangkap bahwa Tuhan menunjukkan sebuah keluarga ideal, bernama keluarga Imran, yang seharusnya ditiru oleh siapapun tatkala akan membangun sebuah keluarga.

Penempatan Surat an Nisa’ setelah Surat Ali Imran, kiranya dapat dijadikan sebagai petunjuk atau inspirasi, bahwa kunci untuk membangun keluarga ideal adalah terletak pada kaum perempuan. Kaum perempuan dalam kehidupan keluarga selalu menempati posisi penentu. Baik atau buruknya keluarga, terletak pada kaum perempuannya.

Dalam sebuah hadits, tatkala ada seseorang menanyakan kepada Rasul, tentang siapakah orang yang seharusnya lebih dahulu harus dihormati, maka dijawab dengan singkat, ibumu. Pertanyaan itu diulang hingga tiga kali, tetapi jawabnya tetap sama, yaitu ibumu. Sampai setelah pertanyaan itu diulang hingga ke empat kalinya, baru jawabnya diubah yaitu, ayahmu.

Posisi strategis kaum perempuan dalam struktur keluarga diumpamakan sebagai sebuah madrasah atau sekolah. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa, perempuan itu bagaikan madrasah atau sekolah. Jika madrasah atau sekolahnya baik, maka murid-muridnya akan baik. Selanjutnya jika murid-muridnya baik, maka lulusannya pun juga akan baik. Demikian pula sebuah keluarga, sekelompok masyarakat dan bahkan negara, jika kaum perempuannya berhasil menjaga kemuliaannya, maka keluarga, sekelompok masyarakat dan negara itu akan terangkat menjadi mulia.

Oleh karena itu hingga tatkala seorang laki-laki ingin menentukan calon isteri, diberikan kriteria yang seharusnya dipilih. Bahwa jika harus memilih dan masing-masing menyandang kelebihan, misalnya lebih dari aspek nasabnya, kecantikannya, harta kekayaan yang dimiliki, dan agamanya, maka Nabi memberikan petunjuk, agar mengutamakan di antara mereka yang memiliki kelebihan dari aspek agamanya. Wanita dianggap baik, jika agamanya baik. Wanita sholekhah akan menjadi simbol keindahan dalam kehidupan.

Kiranya tidak sulit diperoleh bukti-bukti kebenaran dari hadist nabi tersebut. Jika sebuah keluarga, wanitanya baik, maka anak-anaknya akan menjadi baik pula. Sebagai wanita yang baik ia akan mampu melakukan peran-peran pendidikan yang baik dan berkualitas terhadap anak-anaknya. Demikian pula, sebagai seorang wanita sholekhah akan memanage kehidupan keluarga, hingga bahkan suami pun tidak akan melakukan sesuatu yang menyimpang, karena pengaruh isterinya. Begitu pula sebaliknya, tidak sedikit bisa ditemui, keluarga menjadi berantakan disebabkan oleh kaum wanitanya.

Peran kaum perempuan sebagai penentu dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan bahkan negara, juga dapat dilihat dari kisah Fairáun dan Nabi Luth. Sedemikian kejam dan jahatnya Firáun, namun karena memiliki seorang isteri sholikhah bernama Asiyah, maka Musa pun bisa diselamatkan olehnya. Sebaliknya kisah Nabi Luth, oleh karena beristeri seorang perempuan yang tidak baik, maka sebagai akibatnya keluarga dan bahkan umatnya hancur hingga semuanya mendapatkan murka dari Allah.

Akhirnya, kesemarakan memperingati hari Kartini, mestinya dijadikan momentum untuk membangun kesadaran bersama, betapa stratagis dan mulia peranan kaum perempuan dalam membangun kehidupan, baik keluarga, masyarakat dan bahkan bangsa dan negara. Kaum perempuan di mana dan kapan pun menjadi kunci keberhasilan dalam membentuk keluarga ideal sebagai basis membangun masyarakat dan negara yang ideal pula. Wallahu a’lam.

Kamis, 22 April 2010

PENYAKIT HATI

Tema yang di bawakan oleh khotib Jumat di Masjid PI hari ini adalah tentang penyakit hati. Di sini akan saya coba rangkum secara singkat tentang penyakit hati ini.

Pada dasarnya, sangat banyak jenis dan tipe dari penyakit hati ini. Namun, ada 3 penyakit yang bisa dibilang sebagai pangkal dan asal muasal dari berbagai penyakit hati lainnya, yaitu:

1. Sifat SOMBONG
2. Sifat TAMAK / SERAKAH
3. Sifat DENGKI

Sudah seharusnyalah kita selalu menjauhkan diri kita dari berbagai macam penyakit hati, terutama ketiga penyakit/sifat di atas.

1. Sombong, dapat kita jauhi dengan selalu menekankan keyakinan pada diri kita, bahwa setiap mahluk telah diciptakan oleh Allah SWT dengan kekurangan dan kelebihannya masing2. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi kita untuk bersikap sombong, merendahkan yang lain dan merasa dirinya lebih segala2nya dibanding yang lain.

2. Tamak/Serakah, bisa kita jauhi dengan senantiasa bersyukur atas segala apa yang telah Allah SWT berikan kepada kita dan selalu sadar bahwa apa yang telah Allah SWT berikan kepada kita adalah yang terbaik bagi kita.

3. Dengki, dapat kita jauhi selain dengan selalu sadar bahwa semua yang Allah berikan kepada kita adalah yang terbaik menurut Allah SWT, juga senantiasa saling nasihat menasihati didalam kebaikan dan kesabaran.

Wallahua’lam

Senin, 19 April 2010

ANTARA ARTIS DAN ULAMA JADI KEPALA DAERAH

ANTARA ARTIS DAN ULAMA JADI KEPALA DAERAH
Oleh : Moh. Safrudin, S.Ag, M.PdI
(Ketua Presidium Wilayah Majelis Alumni IPNU Sultra)
Artis dan ulama’ di mata masyarakat sangat berbeda. Artis bergerak di bidang seni. Apa yang dilakukan oleh artis dirasa sebagai suatu yang indah. Nyanian seorang artis membuat telinga, dan bahkan juga mata merasa nikmat. Itulah sebabnya banyak orang menyukai artis. Tidak banyak orang bisa melakukan peran sebagai artis, apalagi artis klas tinggi. Oleh karena itu, tarif artis berkualitas umumnya mahal. Itulah sebabnya, banyak artis yang hidupnya kaya-raya, hidupnya bergelimang dengan harta.

Peran artis sebagai penghibur itu, maka kemudian aktivitasnya disebut sebagai pertunjukkan, hiburan, atau tontonan. Artinya, permainan artis memang nikmat jika ditonton. Peran artis selalu untuk hiburan dan bukan untuk yang lain. Para artis datang untuk menghibur para penonton. Maka, artis yang menarik, terkenal, pandai menghibur orang, maka mengundang banyak penonton.

Peran para artis sangat berbeda dengan peran para ulama’. Kehadiran ulama’ pada setiap waktu diperlukan, walaupun kadang mirip dengan artis. Mendengar seorang ulama kondang ke suatu acara, maka banyak orang datang. Kalau artis hadir untuk menyanyi, maka ulama datang memberikan ceramah atau pengajian. Ulama memberikan ceramah, sesekali melucu, sekedar untuk menghibur audiennya. Ada sementara ulama, dalam berceramah sangat menyejukkan, memberikan siraman rohani, sehingga disenangi banyak orang.

Ulama dan artis kadang juga didatangkan bersamaan. Biasanya artis didatangkan bersama ulama’agar pengajian yang disampaikan oleh ulama menjadi semakin ramai didatangi orang. Sebab ada juga masyarakat yang lebih menyukai artis daripada ulama’. Karena itu, agar pengajian lebih semarak, maka sekaligus didatangkan artis. Cara itu ditempuh agar orang yang menyukai artis dan sebaliknya tidak begitu menyukai ceramah ulama, sekaligus mendengarkan pengajian.

Berbeda dengan artis, yang biasa disebut sebagai tontonan, maka peran ulama adalah sebagai tuntunan masyarakat. Dua kata, yakni tontonan dan tuntunan, terbaca agak mirip, tetapi sesungguhnya keduanya sangat berbeda. Tontonan hanya akan membuat para pemirsanya senang dan terhibur. Tetapi tuntunan adalah peran sebagai pemandu arah, penunjuk jalan, penasehat ke arah kehidupan yang lebih baik, yang menyelamatkan, dan sekaligus membahagiakan. Peran ulama’ adalah sebagai tuntunan bagi masyarakat agar mereka hidup kearah kebaikan itu.

Akhir-akhir ini, terjadi hal yang aneh. Para ulama meninggalkan politik, sementara para artis justru mendekatinya. Sesuai dengan jargonnya, NU misalnya, sejak muktamar tahun 1984 di Asem Bagus, Situbondo, menyatakan kembali ke khittah 1926. NU tidak lagi ikut campur ke kancah politik. Bahkan dipertegas melalui Muktamar ke 32 di Makassar tanggal 23-28 maret 2010. Bahwa NU tidk boleh dibawa kepolitik praktis, Jika ada kyai NU ikut ambil bagian dalam gerakan politik adalah merupakan inisiatif pribadi dan tidak boleh membawa-bawa nama organisasi. Jika ada kyai yang nekat, masih aktif di politik maka harus keluar dari kepengurusan NU.

Agaknya Muhammadiyah, sebagai organisasi Islam besar di negeri ini juga mirip dengan NU. Sekalipun salah satu tokohnya diketahui oleh semua orang, sebagai pencetus atau deklarator PAN, tetapi dinyatakan bahwa secara formal tidak ada hubungan antara Muhammadiyah dan PAN. Hubungan semacam itu sama antara NU dan PKB. Gus Dur (alm) sebagai pencetus dan sekaligus ketua dewan syura PKB juga pernah menjadi ketua umum NU. Akan tetapi lagi-lagi, dikatakan bahwa antara PKB dan NU, sekalipun kebanyakan anggota NU juga anggota PKB, antara keduanya disebut tidak ada hubungan organisatoris. Jelasnya secara formal, ulama diharapkan tidak berpolitik.

Anehnya pada akhir-akhir ini, tatkala para ulama meninggalkan gelanggang politik, agar mereka lebih tekun mengurusi pendidikan, social, dan ekonomi umat, ternyata hadir pendatang baru di kancah politik, yaitu para artis. Dulu banyak orang bersorban, atau sebagai ulama, masuk menjadi anggota parlemen atau anggota DPR/DPRD. Maka, setelah ulama tidak banyak lagi yang di sana, tempat itu akhir-akhir ini digantikan oleh para artis. Akibatnya, gedung parlemen ‘banyak diisi oleh orang-orang yang semula perannya sebagai tontonan atau penghibur. Sementara ulama, yang perannya sebagai tuntunan masyarakat, tidak lagi ada lagi di sana, dengan alasan kembali ke peran aslinya.

Bahkan akhir-akhir ini, para artis di berbagai tempat, melalui pilkada ramai-ramai mengajukan diri sebagai kepala daerah. Ada di antara para artis itu bahkan diusung oleh partai politik yang berbasis agama. Fenomena seperti ini, mungkin oleh sementara orang dirasa sangat aneh. Mereka lebih menyukai dipimpin oleh para artis daripada para ulama’. Para artis itu ada yang dicalonkan sebagai gubernur, bupati, walikota atau menjadi wakilnya.

Fenomena seperti itu, memang baru-baru ini saja terjadi. Dulu pemimpin bangsa ini, kalau bukan berasal dari kalangan cendekiawan, tentara, juga dari ulama. Akhir-akhir ini saja peran kepemimpinan itu mulai bergeser pada kalangan artis. Semoga saja hal itu tidak dimaknai, bahwa tontonan akan menjadi tuntunan. Dalam alam demokrasi, memang siapapun boleh tampil menjadi pemimpin. Namun demikian pemimpin itu harusnya lebih banyak melakukan peran-peran menuntun dan bukan tontonan. Karena itu, yang lebih tepat jika para ulama atau cendekiawan mau tampil sebagai pemimpin. Sedangkan para artis kembali saja sebagai penghibur. Kedua peran itu sama-sama dibutuhkan. Sehingga dengan begitu, lebih tepat dan proporsional. Wallahu a’lam

Jumat, 16 April 2010

MARAKNYA ARTIS MAU JADI KEPALA DAERAH

OLEH : MOH. SAFRUDIN, S.Ag, M.PdI
(Ketua Presidium Wilayah Majelis Alumni IPNU Sultra)
Salah satu fenomena sangat mencolok sejak era reformasi bergulir di negara kita adalah setiap warga negara merasa berhak terlibat dalam proses politik. Orang menyebutnya sebagai era demokrasi. Dampaknya luar biasa. Masyarakat merasa bebas berpolitik tanpa memperoleh tekanan sebagaimana era sebelumnya yang represif. Hak-hak individu dapat digunakan secara maksimal. Perbedaan pilihan politik menjadi hal yang biasa.
Sebagai bagian dari warga negara, para artis tak ketinggalan menggunakan hak-hak politik mereka. Hasilnya, tidak sedikit dari mereka yang berhasil menjadi kepala daerah dan anggota legislatif, baik di daerah, provinsi maupun pusat. Kendati jumlahnya tidak banyak, hal ini merupakan fenomena menarik. Sebab, para artis yang panggung kehidupanya di infotainment berganti ke panggung politik. Biasanya profesinya menghibur orang beralih ke perebutan kekuasaan. Kontras. Tapi itulah realitas saat ini.
Sebenarnya hal itu sah-sah saja. Yang jadi persoalan adalah kapasitas dan kompetensi seseorang ketika mencalonkan diri menjadi kepala daerah, bupati atau walikota. Seorang bupati atau walikota adalah pemimpin daerah yang bertanggung jawab penuh terhadap daerah yang dipimpinnya, mulai soal keamanan, pendidikan, ketersediaan lapangan kerja, ketersediaan sarana dan prasarana fisik sampai soal kesejahteraan masyarakat. Urusan demikian tidak cukup dengan modal pas-pasan, apalagi hanya karena popularitas.
Tahun 2010 ini di berbagai daerah akan dilaksanakan pemilihan kepala daerah, baik bupati maupun walikota. Tak sedikit artis yang sudah terang-terangan mencalonkan diri dan diusulkan untuk menjadi calon kepala daerah. Beberapa waktu lalu sebuah stasiun televisi swasta mengundang para artis calon kepala daerah tersebut untuk diajak berdialog tentang alasan pencalonan, visi, agenda dan peluangnya. Ada yang menjawab sama sekali tidak mengetahui mengapa dirinya dicalonkan oleh pimpinan partai politik, ada yang sangat percaya diri karena merasa memiliki kapasitas dan kompetensi untuk memimpin daerah asalnya, ada yang karena merasa terpanggil untuk memperbaiki nasib rakyat di daerah, ada yang menjawab karena dia populer.
Jika popularitas merupakan ukuran yang dipakai seseorang untuk mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi kepala daerah, maka betapa rendahnya makna seorang pemimpin. Menurut saya, pemimpin adalah seorang teladan bagi masyarakatnya dalam semua hal, seperti perilaku, ilmu, dan kehidupannya. Lebih dari itu, ia juga seorang visioner yang mampu membawa masyarakat yang dipimpinnya menjadi masyarakat yang diinginkan di masa depan. Ia mesti mempunyai prediksi dan strategi langkah yang akan dilakukan untuk menghadapi tuntutan dan tantangan zaman.
Seorang pemimpin daerah tentu dituntut menguasai kompleksitas persoalan daerah yang dipimpinnya. Tanpa itu, ia tidak akan mampu mengambil atau merumuskan strategi pemecahan masalah yang pasti tidak sedikit. Selain itu, seorang pemimpin harus mampu bertindak adil bagi masyarakatnya. Keadilan merupakan dambaan bagi setiap orang. Jika seorang pemimpin bisa bertindak adil, ia akan dikenang masyarakatnya.
Pemimpin adalah pelayan masyarakat. Karena itu, seorang pemimpin yang baik selalu berpikir bagaimana memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakatnya. bagaimana mungkin seseorang bisa menjadi pemimpin yang baik jika tidak memiliki jiwa sebagai “pelayan” atau malah selama ini dia dilayani oleh masyarakat. Dia dielu-elukan masyarakat karena popularitasnya, kepiawiannya menyanyi, kecantikan dan kemolekan tubuhnya dan sebagainya.
Yang tidak kalah pentingnya adalah pemimpin harus senantiasa berorientasi pada kebaikan rakyat yang dipimpinnya. Setiap langkahnya harus bermuara pada kebaikan tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi rakyatnya. Menurut al Qur’an, seorang pemimpin bukan hanya pintar secara akademik, tetapi juga memiliki ideologi agama yang kuat dan memberi contoh perilaku Islami kepada rakyatnya. Sebab, nilai-nilai agama yang dianut seorang pemimpin akan membentuk cara dan paradigma berpikirnya serta setiap keputusan yang akan diambil.
Jika karakteristik seorang pemimpin digambarkan seperti itu, bagaimana dengan kahadiran para artis yang mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin daerah?. Tanpa bermaksud mengurangi hak-hak politik para artis, saya sangat meragukan keberhasilan seorang pemimpin dari kalangan artis. Sebab, selama ini artis dikenal sebagai komunitas yang hidup secara ekslusif karena kemewahannya. Para artis tentu belum kenal dengan birokrasi pemerintahan yang harus dikelola sebagai seorang pemimpin. Pengalaman birokrasi pemerintahan tidak mungkin bisa diperoleh hanya dalam waktu 2 atau 3 bulan menjelang pemilihan, atau lewat membaca buku-buku pemerintahan ala kadarnya. Bayangkan apa yang akan terjadi pada masyarakat kita jika Julia Perez berhasil menjadi Bupati Pacitan, Emilia Contessa menjadi Bupati Banyuwangi, Inul menjadi Bupati Pasuruan, Ayu Azhari menjadi Bupati Tasikmalaya dan sebagainya? Bayangkan pula bagaimana mereka berdebat dengan anggota legislatif ketika membahas APBD. Kira-kira bobot sidang dengan wakil rakyat seperti apa?
Ramainya para artis mencalonkan diri menjadi kepala daerah ternyata mengusik pemerintah. Melalui Kementerian Dalam Negeri, pemerintah akan membuat peraturan menyangkut syarat-syarat seseorang mengajukan atau diajukan sebagai kepala daerah, di antaranya adalah pengalaman dan pengetahuan tentang birokrasi pemerintahan. Mudah-mudahan ketentuan itu segera keluar untuk dijadikan pedoman pencalonan menjadi kepala daerah.
Saya juga mempertanyakan tidak saja tentang kapasitas para artis, tetapi juga tentang orang atau pihak yang mencalonkannya. Dunia batin macam apa yang sesungguhnya terjadi pada pihak-pihak yang mengusung para artis tersebut. Jika pertimbangannya hanya karena para artis itu telah memiliki popularitas sehingga diharapkan mudah mendulang suara, maka betapa sederhananya kriteria atau syarat untuk menjadi pemimpin. Lebih parah lagi ketika seorang artis calon kepala daerah ditanya pengalamannya sebagai modal menjadi pemimpin, dengan polos dia menjawab “saya pernah memimpin teman-teman sekolah dengan menjadi Ketua Osis di sekolah saya”. Bayangkan seorang pemimpin daerah hanya bermodal Ketua Osis !
Jika calon pemimpin dan yang mengusungnya saja bermasalah, maka kesimpulannya kita memang sedang mengalami krisis kepemimpinan. Pertanyaan berikutnya adalah betapa mahalnya sebuah demokrasi sebagai pilihan sistem politik yang diperjuangkan. Sebab, untuk menuju ke sana tampaknya dilalui dengan pengorbanan, berupa krisis kepemimpinan. Wallahu a’lam bisshawab !

Rabu, 14 April 2010

RESIKO BAGI KORUPTOR

RESIKO BAGI KORUPTOR
OLEH : MOH SAFRUDIN
(ketua Presidium Wilayah Majelis Alumni IPNU Sultra)

Resiko yang harus ditanggung oleh koruptor sedemikian besar. Jika tertangkap, mereka akan dihujat oleh siapapun. Mereka akan diadili dan dihukum berat. Bahkan akhir-akhir ini muncul wacana agar koruptor dihukum mati. Tetapi anehnya, korupsi berjalan terus, seolah-olah para koruptor tidak mempedulikan resiko itu.

Menghadapi resiko hukuman, para koruptor mirip dengan orang yang sedang menyelamatkan barang-barangnya dari kobaran api tatkala terjadi kebakaran. Meskipun tahu, bahwa kobaran api akan mencelakan dan bahkan mengakibatkan kematian, karena ingin menyelamatkan harta bendanya, mereka tidak takut dengan api. Mereka berkalkulasi bahwa besarnya resiko api itu masih lebih murah dari nilai harta yang akan diselamatkan. Seolah-olah harta lebih penting dari keselamatan dirinya sendiri.

Melihat kenyataan itu, orang mungkin bertanya, mengapa para koruptor itu lebih menghargai uang atau kekayaan dari pada harga dirinya sendiri. Mereka sampai tidak mempedulikan keselamatan dirinya hanya untuk membela uang atau kekayaannya. Sesungguhnya kekuatan apa yang mendorong hingga saraf takutnya hilang tatkala berusaha memenuhi kebutuhan harta itu. Bukankah semestinya dirinya lebih diutamakan daripada sebatas mendapatkan harta kekayaan.

Bisa jadi hal itu karena mereka memang suka harta. Kekayaan bagi mereka adalah segala-galanya. Dengan harta maka apa saja bisa dibeli. Pangkat, jabatan, posisi, dan apa saja bisa didapat jika harta kekayaan ada padanya. Menghadapi resiko mereka berpikir, bahwa di dunia apapun ada resikonya. Dunia ini menurut pikiran mereka tidak pernah bebas dari resiko. Oleh karena itu, resiko harus dihadapi untuk mendapatkan sesuatu yang dianggap harus didapat itu, sekalipun menempuh cara tercela, yakni dengan korupsi.

Selain karena menyenangi harta, para koruptor sesungguhnya memiliki penyakit berupa tidak percaya diri. Selain mengira bahwa hanya dengan uang keinginannya bisa diraih, mereka juga tidak percaya bahwa hari esok, masih memiliki peluang, kekuatan, atau kesanggupan untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Mereka menganggap bahwa kesempatan untuk mendapatkan sesuatu hanya terbatas hari itu. Oleh karena itu, pumpung ada kesempatan, mereka berusaha mendapatkan sebanyak-banyaknya.

Rasa percaya terhadap diri sendiri yang lemah dan rendah itu, maka mendorong mereka untuk menggunakan kesempatan itu semaksimal mungkin. Mereka tidak yakin bahwa kesempatan itu akan datang kembali dan terbentang luas sepanjang waktu. Selain itu mereka juga mengira bahwa kesempatan mendapatkan uang atau harta sangat terbatas. Perasaan serba terbatas itulah hingga mendorong yang bersangkutan menggunakan kesempatannya semaksimal mungkin untuk mendapatkan sesuatu, sekalipun menempuh cara yang kurang terpuji atau tercela.

Maka sebenarnya, para koruptor itu adalah orang-orang yang memiliki pikiran, jiwa dan atau kepercayaan diri yang rendah. Tindakan korupsi dilakukan oleh orang-orang yang menyandang pikiran dan suasana batin yang tidak sehat. Mereka tidak percaya bahwa hari esok jauh lebih baik dan lebih prospektif dari pada hari ini. Umpama saja mereka percaya bahwa hari esok jauh lebih baik daripada hari ini, maka tidak akan mau mengambil resiko yang sedemikian berat itu.

Orang-orang yang berpikiran besar selalu melihat bahwa masa depan jauh lebih baik dari hari ini. Sebaliknya para koruptor, selalu berpikiran dan berjiwa rendah, memandang hari esok tidak secerah hari ini. Mereka memiliki rasa takut tatkala menghadapi masa depannya. Mereka khawatir dan bahkan takut akan mengalami kekurangan harta kekayaan. Pikiran dan kepercayaan diri yang rendah inilah, yang mengantarkan mereka untuk melakukan apa saja dengan cara-cara yang rendah dan tidak terhormat itu.

Oleh karena itu, ke depan terhadap para pejabat, ---------baik di eksekutif, legislative, maupun yudikatif, perlu dibangun pikiran besar dan rasa percaya diri yang kokoh. Mereka perlu diyakinkan bahwa hari esok akan jauh lebih baik dari hari ini. Kualitas hari esok akan ditentukan oleh keyakinan dan prestasi sekarang. Membangun keyakinan seperti itu menjadi penting agar orang berani menghadapi masa depan dengan penuh ketegaran dan tidak melakukan penyimpangan yang beresiko itu.

Rasa takut, khawatir, perasaan tidak menentu di hari depan itulah mendorong orang-orang melakukan penyimpangan. Pikiran dan jiwa seperti itu seharusnya tidak muncul di semua jenis pejabat atau pemimpin tingkat apapun. Karena itu untuk membangun rasa aman, maka cukup realistis jika juga dipikirkan dan diusahakan tentang jaminan di hari tua. Selama rasa aman itu tidak terjamin, maka penyimpangan dengan berbagai bentuknya, akan selalu terjadi. Oleh karena itu pulalah, Islam juga mengingatkan, bahwa bagi orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, maka hari esok lebih baik daripada hari ini. Wallahu a'lam.

Kamis, 08 April 2010

MANUSIA SRAKAH

Orang yang selalu merasa berkurangan padahal nyatanya sudah berkelebihan, biasa disebut dengan istilah serakah atau tamak. Orang serakah biasanya menginginkan agar dirinya memiliki sesuatu paling banyak. Keinginannya itu tidak pernah berhenti. Apa yang sudah dimiliki, sekalipun sudah terlalu banyak, masih selalu dirasa kurang, dan karena itu masih ingin berusaha menambahnya.

Dua istilah yang agak mirip tetapi sebenarnya maknanya berbeda, yaitu kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan hidup setiap orang sesungguhnya tidak banyak. Sekedar iseng, saya pernah menghitung kebutuhan konsumsi beras bagi setiap orang seumur hidup. Jika seorang makan setiap hari secara normal, setiap 10 tahun hanya memerlukan beras sebanyak satu ton. Sehingga, andaikan seseorang diberi karunia umur 70 tahun, maka paling hanya memerlukan beras 7 ton saja. Padahal, satu hektar sawah, jika subur dan dipupuk dengan baik, satu kali tanam bisa menghasilkan beras sebanyak itu.

Kebutuhan beras tersebut jika dijabarkan lebih rinci adalah sebagai berikut. Bahwa satu kilo gram beras jika dimasak, dengan hitungan normal bisa menjadi 12 piring nasi. Sebulan atau 30 hari jika makan tiga kali sehari, seseorang hanya membutuhkan nasi 90 piring. Artinya, sebulan seseorang hanya membutuhkan beras 7,5 kg saja. Maka, jika dikalkulasi, rata-rata satu tahun seseorang hanya membutuhkan satu kuintal beras itu. Sedikit kaan ?

Sehubungan dengan itu, saya pernah menghitung, ------masih sebatas iseng saja, seseorang yang berpuasa pada bulan ramadhan, karena pada saat siang hari tidak makan, maka sebulan bisa menghemat beras 2,5 kg. Beras yang tidak dimakan karena berpuasa itu ternyata sama jumlahnya dengan kewajiban zakat fitrah yang harus dibayar, yaitu 2,5 kg. Hitungan itu apa benar demikian, saya juga belum bisa memastikan. Tetapi setidak-tidaknya, orang berpuasa di bulan Ramadhan, dengan hitungan tersebut, pasti mampu membayar zakat fitrah.

Selanjutnya, berbeda dengan kebutuhan yang sangat sedikit itu, manusia masih selalu berusaha memenuhi keinginannya. Keinginan bagi setiap orang tidak terbatas. Sekalipun kebutuhan beras sehari-hari sangat sedikit, orang selalu berusaha mencari sebanyak-banyaknya. Mereka menanam padi berhektar-hektar, masih ditambah dengan kebun kelapa, sawit, cengkih, tebu, dan apa saja yang jumlahnya ----kalau bisa, tidak terbatas. Selain itu anehnya, sekalipun sudah sedemikian banyak penghasilannya, mereka tidak pernah merasa cukup.

Sekalipun kekayaannya sudah sedemikian besar, orang masih saja berusaha menambahnya lagi dengan berbagai usaha, misalnya berternak berbagai jenis binatang, ada sapi, kerbau, kambing, kucing, anjing, dan bahkan ular ataupun buaya dipelihara. Dengan begitu, ia bangga atas kepemilikannya itu. Padahal apakah semua kekayaannya itu akan dikunsumsi. Jawabnya, tentui juga tidak. Bagi mereka yang penting adalah berhasil merasa memiliki sebanyak-banyaknya. Itulah yang disebut sebagai orang serakah atau tamak.

Kadang sedemikian banyak jumlah kekayaan seseorang, yang jika dibanding dengan kebutuhannya sudah jauh berlebihan. Akan tetapi, kekayaan itu untuk memenuhi keinginannya, ----karena sifat serakah, dirasa belum mencukupi. Apa yang diinginkan masih jauh lebih banyak dari yang dimiliki. Sekalipun rumahnya sudah banyak, pabriknya ada di mana-mana, belum lagi usaha-usaha lainnya, dirasa masih kurang banyak lagi. Lagi-lagi, itu terjadi karena sifat serakah yang ada padanya.

Gambaran seperti itu menunjukkan bahwa keinginan memang tidak ada batasnya. Jika nafsu itu tidak bisa dikendalikan, maka berapapun harta yang ada, tidak akan mencukupi. Sifat itu tidak saja menjadikan yang bersangkutan menderita, ---------yaitu menderita selalu berkekurangan, tetapi juga berakibat buruk terhadap orang lain. Perluasan usahanya itu, tidak jarang berakibat mempersempit dan bahkan mematikan usaha orang. Ekonomi orang kecil menjadi mati dan atau setidak-tidaknya sulit dan kalah bersaing.

Orang serakah atau tamak dengan berbagai kadarnya selalu ada di mana-mana. Islam mengingatkan, jangan menjadi orang serakah atau tamak. Terlalu mencintai harta disebut sebagai hubbul mal, dan hal itu adalah termasuk bagian dari akhlak buruk yang seharusnya dijauhi. Seseorang boleh-boleh saja mencari rizki, tetapi usaha itu tidak selayaknya dilakukan hingga keterlaluan, sampai pantas disebut sebagai orang serakah atau tamak, sehingga berakibat lupa mengingat Allah.

Orang serakah atau tamak membahayakan orang lain. Negeri yang kaya sumber alam sekalipun, seperti negeri kita ini, ternyata rakyatnya masih banyak yang miskin, hanya karena disebabkan oleh banyaknya orang serakah atau tamak itu. Mereka terlalu mencintai harta, dan selalu berusaha memenuhi keinginannya, tanpa peduli dengan sesamanya yang miskin. Wallahu a’lam.

Selasa, 06 April 2010

HIASI DIRI DENGAN KEBAIKAN

Semua orang, tanpa kecuali, akan merasa bahagia jika disebut sebagai penyandang nama yang baik. Oleh karena itu maka ada peringatan atau himbauan agar selalu menjaga nama baik. Bahkan, akhir-akhir ini, terkait dengan itu, orang menyebutnya dengan istilah menjaga citra atau pencitraan. Karena sedemikian pentingnya hal itu, pemerintah atau sebuah instansi pun, sekalipun dengan biaya mahal, merasa perlu membangun citra diri itu.

Dunia ini diciptakan oleh Allah selalu berpasang-pasangan. Ada keindahan dan ada pula keburukan. Ada ukuran besar, sebaliknya ada ukuran kecil, ada tinggi dan ada pula rendah. Ada baik dan sebaliknya ada buruk. Demikian pula ada orang-orang yang ketika namanya disebut melahirkan suasana batin yang menyejukkan dan sekaligus membahagiakan. Tetapi sebaliknya, ada nama-nama orang yang jika disebutkan, menjadikan hati para pendengarnya merasa kurang enak, sedih, jengkel, dan bahkan sakit. Nama mereka dianggap kurang baik, karena pemiliknya pernah melakukan kejahatan dan merugikan orang lain.

Mendengar nama dan sekaligus sifat Tuhan, asmaúl husna, hati siapapun akan merasa sejuk dan damai. Jika mendengar sebutan Allah, Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Malik, Al-Quddus, As-Salam, Al-Mukmin, Al-Muhaimin, Al-Azis, Al-Jabbar, Al-Mutakkabir, Al Khaliq, Al-Bari dan seterusnya, maka siapapun akan merasa senang, gembira, dan sejuk, dengan nama-nama yang sedemikian indah itu.

Sebagai umat Islam, kita dianjurkan untuk menyebut atau menyeru Tuhan dengan nama-nama-Nya yang indah itu. Nama itu akan mewarnai hati seseorang. Siapa pun yang mengingat atau berdzikir dengan nama-nama itu, maka pikiran dan hatinya akan terpengaruh olehnya. Lebih dari itu, ajaran Islam juga menganjurkan agar kita selalu berdzikir atau menyebut nama-nama indah dan mulia itu secara terus menerus, sepanjang waktu, agar hati kita terhiasi dengannya.

Nama-nama lainnya yang juga jika disebut selalu mendatangkan suasana batin yang menyenangkan, seperti menyebut nama para nabi dan rasul, yaitu misal di antaranya nama Adam, Idris, Nuh, Hud, Sholeh, Ishaq, Ayub, Yusuf, Musa, Isa, Muhammad. Mendengar suara nama itu, maka hati seseorang akan merasa sejuk, gembira, bahagia. Pada nama-nama itu ada keindahan yang luar biasa. Hal itu terjadi, karena para pemiliknya telah mendatangkan ketauladanan yang tinggi. Penyandang nama itu adalah orang-orang yang menjadi kekasih Allah.

Dalam tingkatan selanjutnya, sekalipun tidak setinggi dan semulia nama-nama yang disbutkan di muka, dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia telah lahir nama-nama besar, seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teungku Umar, Bung Tomo, Mohammad Roem, Hasyim Asy’ ary, Muhammad Dahlan, Ir.Soekarno, Mohammad Hatta, dan masih banyak lagi lainnya. Nama-nama itu dipandang indah dan besar, karena mereka telah meninggalkan sesuatu untuk generasi berikutnya dengan karya-karya besarnya.

Sebaliknya dengan nama-nama indah sebagaimana telah disebutkan itu, ternyata ada pula nama-nama yang jika disebutkan saja, maka justru melahirkan suasana hati yang kurang menyenangkan. Kita pun sedih jika misalnya mendengar sebutan nama Firáun, Abu Jahal, Abu lahhab, dan selainnya yang serupa itu. Bahkan jika terdapat orang yang dianggap berwatak buruk, maka orang itu disebut sebagai anak keturunan Abu Lahab atau Abu Jahal.

Akhir-akhir ini, terkait dengan semakin sering ditemukan penyimpangan uang negara yang dilakukan oleh para koruptor, maka muncul orang-orang yang jika nama mereka disebutkan, para pendengarnya menjadi merasa kurang senang dan bahkan jengkel. Nama-nama yang terkait dengan kejahatan korupsi, yang sering dikutip oleh surat kabar, seperti Anggoro Widjojo, Syamsul Nursalim, Djoko S Tjandra, Anggodo, dan akhir-akhir ini nama Gayus Tambunan dan lain-lainnya yang masih banyak lagi. Jika nama-nama itu disebut maka akan melahirkan suasana jengkel dan bahkan marah.

Memang, selalu saja ada nama-nama indah, karena pemiliknya pernah melakukan hal yang indah dan bermanfaat bagi masyarakatnya. Sebaliknya terdapat pula, nama-nama yang melahirkan suasana sedih dan bahkan jengkel, karena pemiliknya pernah melakukan kesalahan fatal yang merugikan orang atau rakyat banyak. Islam menganjurkan umatnya agar menghiasai diri dengan keimanan, beramal sholeh, dan berakhlak mulia. Selain itu, ajaran yang dibawa oleh Rasulullah, juga menganjurkan agar setiap saat banyak berdzikir, menyebut nama dan sifat Allah, supaya dengan cara itu berhasil menghiasi hati dan sekaligus namanya dengan keindahan dan kemuliaan itu. Wallahu a’lam.

Senin, 05 April 2010

MALU ADALAH BAGIAN DARI IMAN

Malu adalah akhlak yang menghiasi perilaku manusia dengan cahaya dan keanggunan yang ada padanya. Inilah akhlak terpuji yang ada pada diri seorang lelaki dan fitrah yang mengkarakter pada diri setiap wanita. Sehingga, sangat tidak masuk akal jika ada wanita yang tidak ada rasa malu sedikitpun dalam dirinya. Rasa manis seorang wanita salah satunya adalah buah dari adanya sifat malu dalam dirinya.


Apa sih sifat malu itu? Imam Nawani dalam Riyadhush Shalihin menulis bahwa para ulama pernah berkata, “Hakikat dari malu adalah akhlak yang muncul dalam diri untuk meninggalkan keburukan, mencegah diri dari kelalaian dan penyimpangan terhadap hak orang lain.”

Abu Qasim Al-Junaid mendefinisikan dengan kalimat, “Sifat malu adalah melihat nikmat dan karunia sekaligus melihat kekurangan diri, yang akhirnya muncul dari keduanya suasana jiwa yang disebut dengan malu kepada Sang Pemberi Rezeki.”

Ada tiga jenis sifat malu, yaitu:

1. Malu yang bersifat fitrah. Misalnya, malu yang dialami saat melihat gambar seronok, atau wajah yang memerah karena malu mendengar ucapan jorok.

2. Malu yang bersumber dari iman. Misalnya, seorang muslim menghindari berbuat maksiat karena malu atas muraqabatullah (pantauan Allah).

3. Malu yang muncul dari dalam jiwa. Misalnya, perasaan yang menganggap tidak malu seperti telanjang di hadapan orang banyak.

Karena itu, beruntunglah orang yang punya rasa malu. Kata Ali bin Abi Thalib, “Orang yang menjadikan sifat malu sebagai pakaiannya, niscaya orang-orang tidak akan melihat aib dan cela pada dirinya.”

Bahkan, Rasulullah saw. menjadikan sifat malu sebagai bagian dari cabang iman. Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Iman memiliki 70 atau 60 cabang. Paling utama adalah ucapan ‘Laa ilaaha illallah’, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan di jalan. Dan sifat malu adalah cabang dari keimanan.” (HR. Muslim dalam Kitab Iman, hadits nomor 51)

Dari hadits itu, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tidak akan ada sifat malu dalam diri seseorang yang tidak beriman. Akhlak yang mulia ini tidak akan kokoh tegak dalam jiwa orang yang tidak punya landasan iman yang kuat kepada Allah swt. Sebab, rasa malu adalah pancaran iman.

Tentang kesejajaran sifat malu dan iman dipertegas lagi oleh Rasulullah saw., “Malu dan iman keduanya sejajar bersama. Ketika salah satu dari keduanya diangkat, maka yang lain pun terangkat.” (HR. Hakim dari Ibnu Umar. Menurut Hakim, hadits ini shahih dengan dua syarat-syarat Bukhari dan Muslim dalam Syu’ban Iman. As-Suyuthi dalam Al-Jami’ Ash-Shagir menilai hadits ini lemah.)

Karena itu, sifat malu tidak akan mendatangkan kemudharatan. Sifat ini membawa kebaikan bagi pemiliknya. “Al-hayaa-u laa ya’tii illa bi khairin, sifat malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan,” begitu kata Rasulullah saw. (HR. Bukhari dalam Kitab Adab, hadits nomor 5652)

Dengan kata lain, seseorang yang kehilangan sifat malunya yang tersisa dalam dirinya hanyalah keburukan. Buruk dalam ucapan, buruk dalam perangai. Tidak bisa kita bayangkan jika dari mulut seorang muslimah meluncur kata-kata kotor lagi kasar. Bertingkah dengan penampilan seronok dan bermuka tebal. Tentu bagi dia surga jauh. Kata Nabi, “Malu adalah bagian dari iman, dan keimanan itu berada di surga. Ucapan jorok berasal dari akhlak yang buruk dan akhlak yang buruk tempatnya di neraka.” (HR. Tirmidzi dalam Ktab Birr wash Shilah, hadits nomor 1932)

Karena itu, menjadi penting bagi kita untuk menghiasi diri dengan sifat malu. Dari mana sebenarnya energi sifat malu bisa kita miliki? Sumber sifat malu adalah dari pengetahuan kita tentang keagungan Allah. Sifat malu akan muncul dalam diri kita jika kita menghayati betul bahwa Allah itu Maha Mengetahui, Allah itu Maha Melihat. Tidak ada yang bisa kita sembunyikan dari Penglihatan Allah. Segala lintasan pikiran, niat yang terbersit dalam hati kita, semua diketahui oleh Allah swt.

Jadi, sumber sifat malu adalah muraqabatullah. Sifat itu hadir setika kita merasa di bawah pantauan Allah swt. Dengan kata lain, ketika kita dalam kondisi ihsan, sifat malu ada dalam diri kita. Apa itu ihsan? “Engkau menyembah Allah seakan melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu,” begitu jawaban Rasulullah saw. atas pertanyaan Jibril tentang ihsan.

Itulah sifat malu yang sesungguhnya. Sebagaimana yang sampai kepada kita melalui Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Malulah kepada Allah dengan malu yang sebenar-benarnya.” Kami berkata, “Ya Rasulullah, alhamdulillah, kami sesungguhnya malu.” Beliau berkata, “Bukan itu yang aku maksud. Tetapi malu kepada Allah dengan malu yang sesungguhnya; yaitu menjaga kepala dan apa yang dipikirkannya, menjaga perut dari apa yang dikehendakinya. Ingatlah kematian dan ujian, dan barangsiapa yang menginginkan kebahagiaan alam akhirat, maka ia akan tinggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang melakukan hal itu, maka ia memiliki sifat malu yang sesungguhnya kepada Allah.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Shifatul Qiyamah, hadits nomor 2382)

Ingat! Malu. Bukan pemalu. Pemalu (khajal) adalah penyakit jiwa dan lemah kepribadian akibat rasa malu yang berlebihan. Sebab, sifat malu tidaklah menghalangi seorang muslimah untuk tampil menyuarakan kebenaran. Sifat malu juga tidak menghambat seorang muslimah untuk belajar dan mencari ilmu. Contohlah Ummu Sulaim Al-Anshariyah.

Dari Zainab binti Abi Salamah, dari Ummu Salamah Ummu Mukminin berkata, “Suatu ketika Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah, menemui Rasulullah saw. seraya berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu pada kebenaran. Apakah seorang wanita harus mandi bila bermimpi?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya, bila ia melihat air (keluar dari kemaluannya karena mimpi).’” (HR. Bukhari dalam Kitab Ghusl, hadits nomor 273)

Saat ini banyak muslimah yang salah menempatkan rasa malu. Apalagi situasi pergaulan pria-wanita saat ini begitu ikhtilath (campur baur). Ketika ada lelaki yang menyentuh atau mengulurkan tangan mengajak salaman, seorang muslimah dengan ringan menyambutnya. Ketika kita tanya, mereka menjawab, “Saya malu menolaknya.” Bagaimana jika cara bersalamannya dengan bentuk cipika-cipiki (cium pipi kanan cium pipi kiri)? “Ya abis gimana lagi. Ntar dibilang gak gaul. Kan tengsin (malu)!”

Bahkan ketika dilecehkan oleh tangan-tangan jahil di kendaraan umum, tidak sedikit muslimah yang diam tak bersuara. Ketika kita tanya kenapa tidak berteriak atau menghardik lelaki jahil itu, jawabnya, sekali lagi, saya malu.

Jelas itu penempatan rasa malu yang salah. Tapi, anehnya tidak sedikit muslimah yang lupa akan rasa malu saat mengenakan rok mini. Betul kepala ditutupi oleh jilbab kecil, tapi busana ketat yang diapai menonjolkan lekak-lekut tubuh. Betul mereka berpakaian, tapi hakikatnya telanjang. Jika dulu underwear adalah busana sangat pribadi, kini menjadi bagian gaya yang setiap orang bisa lihat tanpa rona merah di pipi.

Begitulah jika urat malu sudah hilang. “Idza lam tastahyii fashna’ maa syi’ta, bila kamu tidak malu, lakukanlah apa saja yang kamu inginkan,” begitu kata Rasulullah saw. (HR. Bukhari dalam Kitab Ahaditsul Anbiya, hadits nomor 3225).

Ada tiga pemahaman atas sabda Rasulullah itu. Pertama, berupa ancaman. “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Fushhdilat: 40).

Kedua, perkataan Nabi itu memberitakan tentang kondisi orang yang tidak punya malu. Mereka bisa melakukan apa saja karena tidak punya standar moral. Tidak punya aturan.

Ketiga, hadits ini berisi perintah Rasulullah saw. kepada kita untuk bersikap wara’. Jadi, kita menangkap makna yang tersirat bahwa Rasulullah berkata, apa kamu tidak malu melakukannya? Kalau malu, menghindarlah!

Salman Al-Farisi punya pemahaman lain lagi tentang hadits itu. “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla apabila hendak membinasakan seorang hamba, maka Ia mencabut darinya rasa malu. Bila rasa malu telah dicabut, maka engkau tidak akan menemuinya kecuali sebagai orang yang murka dan dimurkai. Bila engkau tidak menemuinya kecuali sebagai orang yang murka dan dimurkai, maka dicabutlah pula darinya sifat amanah. Bila sifat amanah itu dicabut darinya, maka engkau tidak akan menjumpainya selain sebagai pengkhianat dan dikhianati. Bila engkau tak menemuinya selain pengkhianat dan dikhianati, maka rahmat Allah akan dicabut darinya. Bila rahmat itu dicabut darinya, maka engakau tidak akan menemukannya selain sosok pengutuk dan dikutuk. Bila engkau tidak menemukannya selain sebagai pengkutuk dan dikutuk, maka dicabutlah darinya ikatan Islam,” begitu kata Salman. (HR. Ibnu Majah dalam Kitab Fitan, hadits nomor 4044, sanadnya lemah, tapi shahih)

Wanita yang beriman adalah wanita yang memiliki sifat malu. Sifat malu tampak pada cara dia berbusana. Ia menggunakan busana takwa, yaitu busana yang menutupi auratnya. Para ulama sepakat bahwa aurat seorang wanita di hadapan pria adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan.

Ibnu Katsir berkata, “Pada zaman jahiliyah dahulu, sebagian kaum wanitanya berjalan di tengah kaum lelaki dengan belahan dada tanpa penutup. Dan mungkin saja mereka juga memperlihatkan leher, rambut, dan telinga mereka. Maka Allah memerintahkan wanita muslimah agar menutupi bagian-bagian tersebut.”

Menundukkan pandangan juga bagian dari rasa malu. Sebab, mata memiliki sejuta bahasa. Kerlingan, tatapan sendu, dan isyarat lainnya yang membuat berjuta rasa di dada seorang lelaki. Setiap wanita memiliki pandangan mata yang setajam anak panah dan setiap lelaki paham akan pesan yang dimaksud oleh pandangan itu. Karena itu, Allah swt. memerintahahkan kepada lelaki dan wanita untuk menundukkan sebagaian pandangan mereka.

Memang realitas kekinian tidak bisa kita pungkiri. Kaum wanita saat ini beraktivitas di sektor publik, baik sebagai profesional ataupun aktivis sosial-politik. Ada yang dengan alasan untuk melayani kepentingan sesama wanita yang fitri. Ada juga yang karena keterpaksaan. Tidak sedikit wanita harus bekerja karena ia adalah tulang punggung keluarganya. Sehingga, ikhtilath (bercampur baur dengan lelaki) tidak bisa terhindari.

Untuk yang satu ini, mari kita kutip pendapat Dr. Yusuf Qaradhawi, “Saya ingin mengatakan di sini bahwa kata ikhtilath dalam hal hubungan antara lelaki dan wanita adalah kata diadopsi ke dalam kamus Islam yang tidak dikenal oleh warisan budaya kita pada sejarah abad-abad sebelumnya, dan tidak diketahui selain pada masa ini. Mungkin saja ia berasal dari bahasa asing, hal itu memiliki isyarat yang tidak menenteramkan hati setiap muslim. Yang lebih cocok mungkin bisa menggunakan kata liqa’ atau muqabalah –keduanya berarti pertemuan—atau musyarakah (keterlibatan) seorang lelaki dan wanita, dan sebagainya. Yang jelas, Islam tidak mengeluarkan aturan atau hukum umum terkait dengan masalah ini. Namun hanya melihat tujuan adanya aktivitas tersebut atau maslahat yang mungkin terjadi dan bahaya yang dikhawatirkan, gambaran yang utuh dengannya, dan syarat-syarat yang harus diperhatikan di dalamnya.”

Ada adab yang harus ditegakkan kala terjadi muqabalah antara pria dan wanita. Adab-adab itu adalah:

1. Ada pembatasan tempat pertemuan
2. Menjaga pandangan dengan menundukkan sebagian pandangan
3. Tidak berjabat tangan dalam situasi apa pun dengan yang bukan muhrimnya
4. Hindari berdesak-desakan dan lakukan pembedaan tempat bagi lelaki dan wanita
5. Tidak berkhalwat (berduaan dengan lawan jenis)
6. Hindari tempat-tempat yang meragukan dan bisa menimbulkan fitnah
7. Hindari pertemuan yang lama dan sering, sebab bisa melemahkan sifat malu dan menggoyahkan keteguhan jiwa
8. Hindari hal-hal yang dapat menimbulkan dosa dan keinginan batin untuk melakukan yang haram, ataupun membayangkannya

Khusus bagi wanita, pakailah pakaian yang yang sesuai syariat, tidak memakai wewangian, batasi diri dalam berbicara dan menatap, serta jaga kewibawaan dan beraktivitas. Perhatikan gaya bicara. Jangan genit!

Dengan begitu jelaslah bahwa Islam tidak mengekang wanita. Wanita bisa terlibat dalam kehidupan sosial bermasyarakat, berpolitik, dan berbagai aktivitas lainnya. Islam hanya memberi frame dengan adab dan etika. Sifat malu adalah salah satu frame yang harus dijaga oleh setiap wanita muslimah yang meyakini bahwa Allah swt. melihat setiap polah dan desiran hati yang tersimpan dalam dadanya. []

Jumat, 02 April 2010

LIMA F YANG HARUS DI WASPADAI

Assalamu'alaikum Wrwb

Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah berfirman: ”Kesombongan itu pakaian-Ku, dan kebanggaan itu sarung-Ku. Siapa yang melepas salah satu pakaian_Ku, akan Kulemparkan ia ke neraka jahanam.”

Jadi janganlah kita suka membanggakan diri bila mempunyai anak pintar misalnya, tapi lebih tepat bila kita bersyukur...

Agar kita sukses dunia akhirat, jadikanlah Nabi Muhammad sebagai suri tauladan. Rasulullah sangat mencintai majlis ta’lim dan ilmu, sampai-sampai dalam sebuah hadis beliau bersabda: ”Menuntut ilmu itu wajib.” Berarti menghadiri majlis ta’lim termasuk melaksanakan sunnah Rasul.

Jaman sebelum Muhammad menjadi rasul adalah jama jahiliyah. Disebut jahiliyah karena masyarakatnya banyak yang berbuat maksiat, di mana setiap bayi perempuan lahir dibunuh. Namun sebenarnya jaman sekarang juga lebih jahiliyah lagi, bayangkan belum lahir pun kadang sudah ”dibunuh” alias digugurkan, tak peduli calon bayi itu laki atau perempuan. Masya Allah, naudzubillah mindzalik...

Di jaman sekarang, ada 5 F yang perlu diwaspadai, karena banyak akhlak generasi muslim rusak karenanya yaitu:

1. Facebook
Facebook adalah salah satu teknologi, teknologi bagaikan pisau bermata dua, yang bisa jadi bermanfaat atau justru membawa mudharat, tergantung bagaimana kita menyiasatinya. Banyak kasus bermula dari facebook. Namun itu juga bukan berarti facebook hanya membawa kemudharatan, karena facebook bisa juga kita gunakan sebagai ajang silaturahim dan dakwah. Yang penting gunakan AKAL dan IMAN sebagai ”rem”-nya. Bayangkan seandainya kita diberi mobil mewah tapi tak ada rem-nya...

2. Fashion
Betapa jaman modern banyak menyuguhkan aneka busana yang merusak aqidah islam, seperti pakaian-pakaian ”bupati” (buka paha tinggi-tinggi)

3. Food
Sering kita dapati sekelompok orang membagi2 makanan gratis namun dengan tujuan mengajak pindah aqidah. Ada juga dengan menyebarkan makanan yang mngandung zat haram, seperti ”beer-zero” tetapi apakah benar demikian? Dalam hal-hal seperti ini MUI harus tegas: setiap makanan produk islami haruslah ada label HALAL. Karena itu berhati-hatilah terhadap makanan dan minuman yang beredar di pasaran, teliti sebelum membeli.

4. Foto
Begitu banyaknya foto beredar dalam bentuk poster, majalah, maupun gambar-gambar di internet yang dapat merusak pikiran dan akhlak kaum muslimin. Terkadang aqidah muslim pun dirusak, adanya gambar karikatur Nabi Muhammad SAW di sebuah majalah beberapa waktu lalu. Maka, jagalah terutama generasi muda kita dari pengaruh-pengaruh negatif tersebut dengan memberi mereka pendidikan akhlak yang terbaik.

5. Film
Sudah jelas kita harus mampu mem-filter diri dan keluarga dari pengaruh buruk film-film yang diputar baik di bioskop maupun VCD yang dijual bebas.


Kesimpulannya, kita perlu membentengi akidah di Era Globalisasi dan informasi ini, antara lain dengan:
1. Menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan kita.
2. Menggunakan AKAL dan IMAN. Kedua komponen tidak bisa dan tidak boleh dipisahkan (IPTEK Islam Paham Teknologi & IPTAQ), terutama dalam menghadapi 5 F :Facebook, Fashion, Food, Foto & Film.

Demikian semoga ringkasan tausiyah Koko Liem ini bermanfaat bagi kita semua. Mohon maaf bila ada kekurangan atau kesalahan dalam penulisan ulang.

Wassalamu'alaikum Wrwb,

Kamis, 01 April 2010

RIYA DALAM ISLAM

OLEH. MOH. SAFRUDIN

Riya’ merupakan mashdar dari raa-a yuraa-i yang maknanya adalah melakukan suatu amalan agar orang lain bisa melihatnya kemudian memuji. Termasuk ke dalam riya’ juga yaitu sum’ah, yakni agar orang lain mendengar apa yang kita lakukan lalu kitapun dipuji dan tenar.

Riya’ dan semua derivatnya itu merupakan akhlaq yang tercela dan merupakan sifat orang-orang munafiq. Allah berfirman:

“Dan apabila mereka berdiri untuk sholat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan sholat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (An-Nisaa’: 142)

Riya’ ini termasuk syirik ashgar namun terkadang bisa juga sampai pada derajat syirik akbar. Al-Imam Ibnul Qayyim berkata ketika memberikan perumpamaan untuk syirik ashgar: “Syirik ashgar itu seumpama riya’ yang ringan.”

Perkataan beliau ini mengindikasikan bahwa ada riya’ yang berat yang bisa sampai pada derajat syirik akbar, wallahu a’lam.

Suatu ibadah yang tercampuri oleh riya’, maka tidak lepas dari tiga (3) keadaan:

1. Yang menjadi motivator dilakukannya ibadah tersebut sejak awal adalah memang riya’ seperti misalnya seorang yang melakukan sholat agar manusia melihatnya sehingga disebut sebagai orang yang shalih dan rajin beribadah. Dia sama sekali tidak mengharapkan pahala dari Allah. Yang seperti ini jelas merupakan syirik dan ibadahnya batal.

2. Riya tersebut muncul di tengah pelaksanaan ibadah. Yakni yang menjadi motivator awal sebenarnya mengharapkan pahala dari Allah namun kemudian di tengah jalan terbersit lah riya’. Yang seperti ini maka terbagi dalam dua kondisi:

a. Jika bagian akhir ibadah tersebut tidak terikat atau tidak ada hubungannya dengan bagian awal ibadah, maka ibadah yang bagian awal sah sedangkan yang bagian akhir batal. Contohnya seperti yang disampaikan yaitu seseorang bershadaqah dengan ikhlash sebesar 100 ribu, kemudian dia melihat di dompet masih ada sisa, lalu dia tambah shodaqahnya 100 ribu kedua namun dicampuri riya. Nah dalam kondisi ini, 100 ribu pertama sah dan berpahala sedangkan 100 ribu yang kedua gugur.

b. Jika bagian akhir ibadah tersebut terikat atau berhubungan dengan bagian awalnya maka hal ini juga terbagi dalam dua keadaan:

- Kalau pelakunya melawan riya’ tersebut dan sama sekali tidak ingin terbuai serta berusaha bersungguh-sungguh untuk tetap ikhlash sampai ibadahnya selesai, maka bisikan riya’ ini tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap nilai pahala ibadah tersebut. Dalilnya adalah sabda Nabi:

“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku akan apa yang terbersit di benaknya selama hal itu belum dilakukan atau diucapkan.” (HR Al-Bukhari dari Abu Hurairah)

Contohnya adalah seseorang yang sholat dua rakaat dan sejak awal ia ikhlas karena Allah semata. Pada rakaat kedua terbersitlah riya di hatinya lataran dia sadar ada orang yang sedang memperhatikannya. Namun ia melawannya dan terus berusaha agar tetap ikhlash karena Allah semata. Nah yang demikian ini maka shalatnya tidak rusak insya Allah dan dia tetap akan mendapatkan pahala sholatnya.

- Pelakunya tidak berusaha melawan riya’ yang muncul bahkan larut dan terbuai di dalamnya. Yang demikian ini maka rusak dan gugur pahala ibadahnya. Contohnya adalah seperti yang disebutkan yaitu seseorang shalat maghrib ikhlash karena Allah semata. Di rakaat kedua muncul lah riya’ di hatinya. Nah kalau dia ini hanyut dalam riya’nya dan tidak berusaha melawan maka gugurlah sholatnya.

3. Riya tersebut muncul setelah ibadah itu selesai dilaksanakan. Yang demikian ini maka tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap ibadahnya tadi.

Namun perlu dicatat, jika apa yang dilakukan adalah sesuatu yang mengandung benih permusuhan seperti misalnya al-mannu wal adzaa dalam bershadaqah, maka yang demikian ini akan menghapus pahalanya. Allah berfirman:

“Janganlah kalian menghilangkan pahala shadaqah kalian dengan menyebut-nyebutnya atau menyakiti (perasaan si penerima) seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak berimana kepada Allah dan hari kemudian.” (Al-Baqarah: 264)

Bukan termasuk riya’ seseorang yang merasa senang apabila ibadahnya diketahui orang lain setelah ibadah itu selesai ditunaikan. Dan bukan termasuk ke dalam riya juga apabila seseorang merasa senang dan bangga dalam menunaikan suatu keta’atan, bahkan yang demikian ini termasuk bukti keimanannya. Nabi bersabda: “Barangsiapa yang kebaikannya membuat dia senang serta kejelekannya membuat dia sedih, maka dia adalah seorang mu’min (sejati).” (HR. At-Tirmidzi dari Umar bin Khaththab)

Dan Nabi pernah ditanya yang semisal ini kemudin bersabda: “Yang demikian itu merupakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mu’min.” (HR. Muslim dari Abu Dzar)

Bahaya Riya'

Dalam sebuah hadis, Rasulullah bercerita, ''Di hari kiamat nanti ada orang yang mati syahid diperintahkan oleh Allah untuk masuk ke neraka. Lalu orang itu melakukan protes, 'Wahai Tuhanku, aku ini telah mati syahid dalam perjuangan membela agama-Mu, mengapa aku dimasukkan ke neraka?' Allah menjawab, 'Kamu berdusta dalam berjuang. Kamu hanya ingin mendapatkan pujian dari orang lain, agar dirimu dikatakan sebagai pemberani.Dan, apabila pujian itu telah dikatakan oleh mereka, maka itulah sebagai balasan dari perjuanganmu'.'' Orang yang berjuang atau beribadah demi sesuatu yang bukan ikhlas karena Allah SWT, dalam agama disebut riya. Sepintas, sifat riya merupakan perkara yang sepele, namun akibatnya sangat fatal. Sifat riya dapat memberangus seluruh amal kebaikan, bagaikan air hujan yang menimpa debu di atas bebatuan. Allah SWT berfirman, ''Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.'' (Al-Furqan: 23).

Abu Hurairah RA juga pernah mendengar Rasulullah bersabda, ''Banyak orang yang berpuasa, namun tidak memperoleh sesuatu dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga, dan banyak pula orang yang melakukan shalat malam yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali tidak tidur semalaman.'' Begitu dahsyatnya penyakit riya ini, hingga ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah, ''Apakah keselamatan itu?'' Jawab Rasulullah, ''Apabila kamu tidak menipu Allah.'' Orang tersebut bertanya lagi, ''Bagaimana menipu Allah itu?'' Rasulullah menjawab, ''Apabila kamu melakukan suatu amal yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya kepadamu, maka kamu menghendaki amal itu untuk selain Allah.'' Meskipun riya sangat berbahaya, tidak sedikit di antara kita yang teperdaya oleh penyakit hati ini. Kini tidak mudah untuk menemukan orang yang benar-benar ikhlas beribadah kepada Allah tanpa adanya pamrih dari manusia atau tujuan lainnya, baik dalam masalah ibadah, muamalah, ataupun perjuangan. Meskipun kadarnya berbeda-beda antara satu dan lainnya, tujuannya tetap sama: ingin menunjukkan amaliyahnya, ibadah, dan segala aktivitasnya di hadapan manusia.

Tanda-tanda penyakit hati ini pernah dinyatakan oleh Ali bin Abi Thalib. Kata beliau, ''Orang yang riya itu memiliki tiga ciri, yaitu malas beramal ketika sendirian dan giat beramal ketika berada di tengah-tengah orang ramai, menambah amaliyahnya ketika dirinya dipuji, dan mengurangi amaliyahnya ketika dirinya dicela.'' Secara tegas Rasulullah pernah bersabda, ''Takutlah kamu kepada syirik kecil.'' Para shahabat bertanya, ''Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan syirik kecil?'' Rasulullah berkata, ''Yaitu sifat riya. Kelak di hari pembalasan, Allah mengatakan kepada mereka yang memiliki sifat riya, 'pergilah kalian kepada mereka, di mana kalian pernah memperlihatkan amal kalian kepada mereka semasa di dunia. Lihatlah apakah kalian memperoleh imbalan pahala dari mereka'?''

Pustaka

Al-Qaulul Mufid Syarhu Kitab At-Tauhid nya Al-Imam Ibnu Utsaimin, Bab Maa Jaa-a fir Riyaa’.