Rabu, 16 Desember 2009

MENCEGAH KORUPSI DENGAN PENJARA

Mencegah Korupsi Dengan Penjara, Efektifkah ?

Akhir-akhir ini di hampir setiap hari kita disuguhi oleh berita tentang tertangkapnya korupsi di mana-mana. Pejabat yang ditengarahi melakukan tindak pidana korupsi ditangkap, diadili dan kemudian dipenjara. Mereka yang masuk penjara tidak pandang bulu. Siapa pun yang salah, diadili dan dihukum. Di antara mereka itu adalah pejabat eksekuti, legialatif dan juga yudikatif sendiri. Artinya merata dari berbagai kalangan. Begitu pula dilihat dari latar belakang pendidikan mereka. Ada lulusan S1, S2, S3 dan bahkan juga ada yang bergelar Guru Besar.

Kabarnya dengan banyaknya orang korupsi ditangkap, penjara menjadi penuh sesak. Mereka dimasukkan dalam lembaga pemasyarakatan. Jumlah yang masuk dengan pertambahan luasan tempat itu tidak sebanding. Penjara di mana-mana menjadi kelebihan penghuni. Akibatnya, gedung tempat membui orang semakin berjubel, dan sangat padat. Anggaran yang diperlukan tentu juga semakin membengkak.

Lalu, bagaimana dampak dari kebijakan menangkap dan memenjara pejabat ini. Apakah para koruptor semakin berkurang. Siapa yang diuntungkan dan siapa pula yang dirugikan dari kebijakan itu. Apakah seimbang antara biaya yang harus dibayar dengan hasil yang didapat dari gerakan memberantas korupsi ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut kiranya perlu diajukan, agar kita segera belajar dari keputusan yang telah diambil sedini mungkin.

Sampai hari ini, ----setidak-tidaknya saya sendiri, masih belum menemukan informasi sejauh mana hasil nyata dari pemberantasan korupsi itu. Saya seringkali mendengar bahwa, sejak digalakkan pemberantasan korupsi, orang tidak lagi berebut menjadi pemimpin proyek. Resikonya dianggap terlalu berat. Sebab sebutan korupsi tidak saja ketika seseorang mengambil uang negara, tetapi juga tatkala melakukan kesalahan procedure. Selanjutnya, akibat dari kesalahannya itu maka juga disebut sebagai korupsi.

Setidak-tidaknya dengan ancaman itu maka orang menjadi lebih hati-hati. Orang tidak sembarangan melakukan korupsi, sebagaimana hal itu dilakukan pada masa sebelumnya. Namun rupanya tidak semua orang, sama sekali takut dan menjauh dari tindak tercela itu. Buktinya, kasus-kasus penangkapan juga masih saja terdengar. Artinya, masih ada saja orang yang berani melakukan korupsi sekalipun resikonya sedemikian berat.
Pemberantasan korupsi memang terasa kurang bersifat komprehensif. Selama ini seolah-olah semangatnya hanya sebatas mau menghukum para koruptor, dan bukan mencegah terjadinya korupsi. Siapapun yang terbukti korupsi segera diadili dan dihukum. Bahkan, sekalipun penyimpangan itu sudah dilakukan jauh sebelumnya. Hingga banyak mantan pejabat, -----mungkin sudah lupa akan kebijakan dan tindakannya, diajukan ke pengadilan dan dihukum.

Sudah waktunya gejala korupsi dilihat dalam kontek luas, misalnya korupsi sebagai akibat. Orang terpaksa harus korupsi, karena secara situasional harus melakukannya. Bisa jadi seorang pejabat sesungguhnya jujur, tetapi demi memenuhi amanah jabatannya, terpaksa harus melepaskan sifatnya yang mulia itu. Kesalahan itu bisa berawal dari system yang berlaku ketika itu. Oleh karena kesalahan system, maka siapapun yang menjabat di tempat itu harus melakukan kesalahan itu. Selain itu, korupsi dianggap bagaikan bisnis, atau sebatas sebagai upaya mengembalikan harta yang telah dibayarkan sebelumnya. Sementara ini sebagaimana telah diketahui secara umum, bahwa untuk mendapatkan sebuah jabatan -----bupati, walikota, Gubernur, anggota DPR, harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Dengan korupsi dimaksudkan untuk mendapatkan kembali dana yang telah dikeluarkan itu.

Sebagai gambaran sederhana, menurut berbagai sumber informasi, sekedar untuk menjadi bupati, harus mengeluarkan dana tidak kuirang dari 10 milyard. Pejabat yang mengeluarkan dana sebesar itu, tentu suatu ketika berharap agar dana itu akan kembali. Padahal dana sebesar itu tidak akan mencukupi, hanya dengan gaji atau honorariumnya. Maka, melalui proyek-proyek yang ada, ia berusaha mendapatkan keuntungan lebih dari yang semestinya. Sedangkan jika proyek tersebut tidak dibelanjakan sebagaimana ketentuan yang ada , maka akan digolongkan sebagai telah melakukan korupsi.

Memperhatikan logika itu, maka sesungguhnya memberantas korupsi dengan cara segera memasukkan pelakunya ke penjara, adalah terasa ada sesuatu yang kurang sempurna. Berpikir dengan hanya mengikuti logika bahwa koruptor adalah salah dan seharusnya mereka diadili, dan kemudian dimasukkan ke penjara, maka logika itu terasa terlalu pendek dan tergesa-gesa. Mengambil kebijakan yang menyentuh nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam semestinya melalui kajian dan pertimbangan yang luas dan mendalam pula.

Sebuah tindakan salah semestinya dilihat dalam konteknya yang luas. Seorang pejabat dalam pengambil keputusan untuk kepentingan orang banyak, apalagi untuk mempertanggung-jawabkan amanah yang dibebankan kepadanya, kadang bersifat dilematis. Jika keputusan itu diambil, dia salah. Tetapi jika tidak diambil, maka negara justru akan merugi lebih banyak. Seorang pejabat sertingkali dihadapkan pada pilihan yang sama-sama berbahaya, baik terhadap dirinya maupun masyarakat. Seorang polisi, suatu ketika harus menembak. Akan tetapi jika keputusannya itu dilihat dari kacamata HAM, ia harus masuk penjara. Sedangkan jika tidak dilakukan penembakan itu, maka akan membahayakan banyak orang. Polisi dalam keadaan seperti ini, dihadapkan oleh pilihan yang sama sulitnya.

Kasus-kasuis sebagaimana dihadapi oleh polisi tersebut, dihadapi pula sehari-hari oleh pejabat lainnya. Oleh karena itulah pejabat harus dari orang yang terpilih. Selain cerdas, mereka harus arif. Kearifan hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu, yang keputusannya berbeda dari orang-orang pada umumnya. Oleh karena itu, semestinya pemimpin masyarakat atau pejabat tidak selayaknya diberlakukan sebagaimana orang awam pada umumnya.

Ada kisah menarik dalam al Qur’an, terkait dengan kesalahan, ialah yang dilakukan oleh Nabi Qidir. Jika Nabi Qidir ketika itu karena kesalahannya, kemudian ia ditangkap dan dihukum maka kejahatan atau kerusakan akan bertambah besar. Justru seseorang pemimpin yang berani berbuat salah, maka bisa jadi kehidupan yang lebih besar berhasil diselamatkan. Namun apakah para pejabat yang dimasukkan penjara karena korupsi juga sebagaimana dilakukan Nabi Qidir, maka perlu dipelajari lebih jauh. Tetapi fenomena berupa banyaknya jumlah bupati, wali kota, gubernur, anggota DPR, pejabat Bank dan lain-lain digelandang ke pengadilan, lalu dimasukkan ke penjara, perlu diteliti kembali, jangan-jangan selama ini telah terjadi logika yang salah yang perlu diluruskan.

Saya termasuk orang yang sangat menyetujui jika korupsi di negeri ini dihilangkan hingga akar-akarnya. Saya berkeinginan agar negeri ini bersih dari segala tindak kejahatan, termasuk penyimpangan penggunaan uang negara. Penyimpangan-penyimpangan itu hanya akan menambah panjang penderitaan rakyat. Hanya saja memberantas korupsi dengan pendekatan penjara, sesungguhnya memiliki resiko psikologis dan kemanusiaan yang amat tinggi. Di antaranya, pejabat menjadi tidak berwibawa, karena dituduh korupsi sekalipun mereka bersih dari itu. Dengan pendekatan penjara, bangsa ini akan kehilangan orang-orang yang sesungguhnya berharga mahal dan sulit dicari, apalagi yang bersangkutan memiliki keahlian yang tinggi.

Selain itu, hal yang tidak kalah pentingnya, adalah bahwa dengan pemberantasan korupsi seperti itu, maka bangsa ini akan menderita kerugian yang cukup besar. Dengan cara itu, bangsa ini telah kehilangan anutan, dan lebih dari itu, dampak negative kebijakan tersebut pada pendidikan generasi muda sangat terasakan. Generasi tidak punya kebanggaan sejarah, karena merasa telah lahir dari generasi pendahulu yang beridentitas sebagai koruptor. Oleh karenanya, kiranya perlu dicari alternative lain yang lebih manusiawi dari sebatas sebagaimana yang dilakukan selama ini. Saya percaya, bahwa agama -----agama apapun, sesungguhnya bisa digunakan untuk memperbaiki manusia. Pendekatan penjara seperti yang dilakukan pada saat ini, tokh terasa hasilnya juga tidak terlalu efektif. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar