Senin, 29 Maret 2010

HUKUM MEROKOK

Sejak awal abad XI Hijriyah atau sekitar empat ratus tahun yang lalu, rokok dikenal dan membudaya di berbagai belahan dunia Islam. Sejak itulah sampai sekarang hukum rokok gencar dibahas oleh para ulama di berbagai negeri, baik secara kolektif maupun pribadi. Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai hukum rokok tidak dapat dihindari dan berakhir kontroversi. Itulah keragaman pendapat yang merupakan fatwa-fatwa yang selama ini telah banyak terbukukan. Sebagian di antara mereka menfatwakan mubah alias boleh, sebagian berfatwa makruh, sedangkan sebagian lainnya lebih cenderung menfatwakan haram.

Kali ini dan di negeri ini yang masih dilanda krisis ekonomi, pembicaraan hukum rokok mencuat dan menghangat kembali. Pendapat yang bermunculan selama ini tidak jauh berbeda dengan apa yang telah terjadi, yakni tetap menjadi kontroversi.

Kontroversi Hukum Merokok

Seandainya muncul fatwa, bahwa korupsi itu hukumnya haram berat karena termasuk tindak sariqah (pencurian), maka semua orang akan sependapat termasuk koruptor itu sendiri. Akan tetapi persoalannya akan lain ketika merokok itu dihukumi haram. Akan muncul pro dari pihak tertentu dan muncul pula kontra serta penolakan dari pihak-pihak yang tidak sepaham. Dalam tinjauan fiqh terdapat beberapa kemungkinan pendapat dengan berbagai argumen yang bertolak belakang.

Pada dasarnya terdapat nash bersifat umum yang menjadi patokan hukum, yakni larangan melakukan segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan, kemudaratan atau kemafsadatan sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai berikut:

Al-Qur'an :

وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ. البقرة: 195

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195)

As-Sunnah :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ. رواه ابن ماجه, الرقم: 2331

Dari Ibnu 'Abbas ra, ia berkata ; Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri orang lain). (HR. Ibnu Majah, No.2331)

Bertolak dari dua nash di atas, ulama' sepakat mengenai segala sesuatu yang membawa mudarat adalah haram. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah merokok itu membawa mudarat ataukah tidak, dan terdapat pula manfaat ataukah tidak. Dalam hal ini tercetus persepsi yang berbeda dalam meneliti dan mencermati substansi rokok dari aspek kemaslahatan dan kemafsadatan. Perbedaan persepsi ini merupakan babak baru munculnya beberapa pendapat mengenai hukum merokok dengan berbagai argumennya.

Seandainya semua sepakat, bahwa merokok tidak membawa mudarat atau membawa mudarat tetapi relatif kecil, maka semua akan sepakat dengan hukum mubah atau makruh. Demikian pula seandainya semuanya sepakat, bahwa merokok membawa mudarat besar, maka akan sepakat pula dengan hukum haram.

Beberapa pendapat itu serta argumennya dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam hukum.

Pertama ; hukum merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan.

Kedua ; hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram.

Ketiga; hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya.

Tiga pendapat di atas dapat berlaku secara general, dalam arti mubah, makruh dan haram itu bagi siapa pun orangnya. Namun bisa jadi tiga macam hukum tersebut berlaku secara personal, dengan pengertian setiap person akan terkena hukum yang berbeda sesuai dengan apa yang diakibatkannya, baik terkait kondisi personnya atau kwantitas yang dikonsumsinya. Tiga tingkatan hukum merokok tersebut, baik bersifat general maupun personal terangkum dalam paparan panjang 'Abdur Rahman ibn Muhammad ibn Husain ibn 'Umar Ba'alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin (hal.260) yang sepotong teksnya sebagai berikut:

لم يرد في التنباك حديث عنه ولا أثر عن أحد من السلف، ....... والذي يظهر أنه إن عرض له ما يحرمه بالنسبة لمن يضره في عقله أو بدنه فحرام، كما يحرم العسل على المحرور والطين لمن يضره، وقد يعرض له ما يبيحه بل يصيره مسنوناً، كما إذا استعمل للتداوي بقول ثقة أو تجربة نفسه بأنه دواء للعلة التي شرب لها، كالتداوي بالنجاسة غير صرف الخمر، وحيث خلا عن تلك العوارض فهو مكروه، إذ الخلاف القوي في الحرمة يفيد الكراهة

Tidak ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan tindakan) dari seorang pun di antara para shahabat Nabi SAW. … Jelasnya, jika terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada akal atau badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila membawa mudarat bagi seseorang. Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang mubah tetapi berubah menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit yang diderita sebagaimana berobat dengan benda najis selain khamr. Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah, maka hukumnya makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang dengan unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya.

Senada dengan sepotong paparan di atas, apa yang telah diuraikan oleh Mahmud Syaltut di dalam Al-Fatawa (hal.383-384) dengan sepenggal teks sebagai berikut:

إن التبغ ..... فحكم بعضهم بحله نظرا إلى أنه ليس مسكرا ولا من شأنه أن يسكر ونظرا إلى أنه ليس ضارا لكل من يتناوله, والأصل في مثله أن يكون حلالا ولكن تطرأ فيه الحرمة بالنسبة فقط لمن يضره ويتأثر به. .... وحكم بعض أخر بحرمته أوكراهته نظرا إلى ما عرف عنه من أنه يحدث ضعفا فى صحة شاربه يفقده شهوة الطعام ويعرض أجهزته الحيوية أو أكثرها للخلل والإضطراب.

Tentang tembakau … sebagian ulama menghukumi halal karena memandang bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah benda yang memabukkan, disamping itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap orang yang mengkonsumsi. ...Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal, tetapi bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan dampak negatifnya. Sedangkan sebagian ulama' lainnya menghukumi haram atau makruh karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang stabil.

Demikian pula apa yang telah dijelaskan oleh Prof Dr Wahbah Az-Zuhailiy di dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (Cet. III, Jilid 6, hal. 166-167) dengan sepotong teks, sebagai berikut:

القهوة والدخان: سئل صاحب العباب الشافعي عن القهوة، فأجاب: للوسائل حكم المقاصد فإن قصدت للإعانة على قربة كانت قربة أو مباح فمباحة أو مكروه فمكروهة أو حرام فمحرمة وأيده بعض الحنابلة على هذا التفضيل. وقال الشيخ مرعي بن يوسف الحنبلي صاحب غاية المنتهى: ويتجه حل شرب الدخان والقهوة والأولى لكل ذي مروءة تركهما

Masalah kopi dan rokok; penyusun kitab Al-'Ubab dari madzhab Asy-Syafi'i ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab: (Kopi itu sarana) hukum, setiap sarana itu sesuai dengan tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah maka menjadi ibadah, untuk yang mubah maka menjadi mubah, untuk yang makruh maka menjadi makruh, atau haram maka menjadi haram. Hal ini dikuatkan oleh sebagian ulama' dari madzhab Hanbaliy terkait penetapan tingkatan hukum ini. Syaikh Mar'i ibn Yusuf dari madzhab Hanbaliy, penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan : Jawaban tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang santun lebih utama meninggalkan keduanya.

Ulasan 'Illah (reason of law)

Sangat menarik bila tiga tingkatan hukum merokok sebagaimana di atas ditelusuri lebih cermat. Kiranya ada benang ruwet dan rumit yang dapat diurai dalam perbedaan pendapat yang terasa semakin sengit mengenai hukum merokok. Benang ruwet dan rumit itu adalah beberapa pandangan kontradiktif dalam menetapkan 'illah atau alasan hukum yang di antaranya akan diulas dalam beberapa bagian.

Pertama; sebagian besar ulama' terdahulu berpandangan, bahwa merokok itu mubah atau makruh. Mereka pada masa itu lebih bertendensi pada bukti, bahwa merokok tidak membawa mudarat, atau membawa mudarat tetapi relatif kecil. Barangkali dalam gambaran kita sekarang, bahwa kemudaratan merokok dapat pula dinyaakan tidak lebih besar dari kemudaratan durian yang jelas berkadar kolesterol tinggi. Betapa tidak, sepuluh tahun lebih seseorang merokok dalam setiap hari merokok belum tentu menderita penyakit akibat merokok. Sedangkan selama tiga bulan saja seseorang dalam setiap hari makan durian, kemungkinan besar dia akan terjangkit penyakit berat.

Kedua; berbeda dengan pandangan sebagian besar ulama' terdahulu, pandangan sebagian ulama sekarang yang cenderung mengharamkan merokok karena lebih bertendensi pada informasi (bukan bukti) mengenai hasil penelitian medis yang sangat detail dalam menemukan sekecil apa pun kemudaratan yang kemudian terkesan menjadi lebih besar. Apabila karakter penelitian medis semacam ini kurang dicermati, kemudaratan merokok akan cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya. Selanjutnya, kemudaratan yang sebenarnya kecil dan terkesan jauh lebih besar itu (hanya dalam bayangan) dijadikan dasar untuk menetapkan hukum haram. Padahal, kemudaratan yang relatif kecil itu seharusnya dijadikan dasar untuk menetapkan hukum makruh.

Hal seperti ini kemungkinan dapat terjadi khususnya dalam membahas dan menetapkan hukum merokok. Tidakkah banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi. Mungkinkah setiap makanan dan minuman yang dinyatakan tidak steril itu kemudian dihukumi haram, ataukah harus dicermati seberapa besar kemudaratannya, kemudian ditentukan mubah, makruh ataukah haram hukumnya.

Ketiga; hukum merokok itu bisa jadi bersifat relatif dan seimbang dengan apa yang diakibatkannya mengingat hukum itu berporos pada 'illah yang mendasarinya. Dengan demikian, pada satu sisi dapat dipahami bahwa merokok itu haram bagi orang tertentu yang dimungkinkan dapat terkena mudaratnya. Akan tetapi merokok itu mubah atau makruh bagi orang tertentu yang tidak terkena mudaratnya atau terkena mudaratnya tetapi kadarnya kecil.

Keempat; kalaulah merokok itu membawa mudarat relatif kecil dengan hukum makruh, kemudian di balik kemudaratan itu terdapat kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah menjadi mubah. Adapun bentuk kemaslahatan itu seperti membangkitkan semangat berpikir dan bekerja sebagaimana biasa dirasakan oleh para perokok. Hal ini selama tidak berlebihan yang dapat membawa mudarat cukup besar. Apa pun yang dikonsumsi secara berlebihan dan jika membawa mudarat cukup besar, maka haram hukumnya. Berbeda dengan benda yang secara jelas memabukkan, hukumnya tetap haram meskipun terdapat manfaat apa pun bentuknya karena kemudaratannya tentu lebih besar dari manfaatnya.

TAQARUB ILALLAH

Bagi orang yang beriman, kenikmatan yang sejati akan didapatkan oleh siapa saja yang selalu mendekat pada Allah swt. Mereka yang dekat pada Allah, dicintai-Nya akan mendapatkan kebahagian yang sebenarnya. Hal itu berbeda dengan pandangan sebagian banyak orang lainnya, yang hal itu bisa kita dengar dan lihat sehari-hari. Mereka memandang bahwa kenikmatan dan keberhasilan hidup hanya diukur dari seberapa banyak harta yang dimiliki, pendidikan yang dicapai, dan jabatan penting yang diraih.

Akhir-akhir ini, banyak bukti tentang kekeliruan padangan yang ke dua tersebut. Kita lihat banyak orang kaya harta, ternyata harus berurusan dengan polisi, masuk tahanan. Tidak sedikit pejabat tinggi, karena kurang bersyukur, masih melakukan korupsi, lalu dipenjara. Ada pula orang berpendidikan tinggi salah menggunakan akal cerdasnya hanya mementingan diri sendiri dan sebaliknya, merampas hak-hak dan merugikan orang lain, akhirnya ia ditangkap dan masuk bui. Maka, nikmat yang sebenarnya adalah tatkala seseorang memiliki keimanan yang kokoh, amal saleh, dan berakhlak mulia.

Persoalannya adalah bagaimana mendekatkan diri pada Allah itu? Banyak cara yang bisa dilakukan. Yaitu misalnya, banyak membaca al Qurán, berdzikir, sholat malam, puasa sunnah dan berbuat baik kepada sesama, selalu memelihara hati agar sabar, ikhlas, bersykur, tawakkal, khusnudhon dan sejenisnya. Insya Allah dengan begitu hati akan semakin dekat pada Allah. Rasulullah memberikan tauladan dalam melakukan hal itu semua. Akan tetapi, dengan cara itu, apakah seseorang telah berhasil merasa dekat pada-Nya.

Merasa telah dekat pada Allah ternyata juga tidak dibenarkan. Sebab perasaan dekat pada Allah itu, juga belum tentu benar-benar dekat. Mengklaim diri sebagai telah memperoleh kedekatan pada Allah juga tidak benar. Banyak berdzikir mungkin memang berhasil menenangkan hati, merasa mendapatkan kedamaian. Akan tetapi, apakah suasana itu yang disebut sebagai telah dekat pada Tuhan. Siapapun kiranya tidak akan ada yang bisa menjawab secara pasti.

Sebab ada ayat al Qurán dan hadits Nabi yang memberikan petunjuk bahwa tidak semua orang yang banyak berdzikir, sholat lima waktu, sholat sunnah, sholat malam, puasa wajib dan puasa sunnah, dan bahkan mati dalam perang ------dianggap syahid, ternyata juga tidak masuk surga. Apa yang telah mereka lakukan ternyata sebatas agar dipandang mendapatkan pujian orang atau riya’. Allah sendirilah yang benar-benar tahu semua itu, baik gerak lahir maupun batin.

Jika demikian itu, maka apa yang harus dilakukan ? Maka jawabnya adalah, selalu saja berusaha secara ikhlas, sabar, tawakkal, dan istiqomah, melakukan kebaikan sebagaimana disebutkan di muka. Perasaan telah benar sendiri, atau bahkan paling benar, apalagi sebaliknya, menganggap bahwa yang lain salah, tidak sesuai dengan syariáh misalnya, seharusnya dihindari. Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Maha Pengampun, Maha Tahu, Maha Bijaksana, dan segala sifat-sifat lainnya yang mulia. Siapapun hanya bisa berharap, memohon, dan berdoá, agar menjadi dekat dengan-Nya. Selalu berusaha mendekat itulah, sesungguhnya yang bisa dilakukan oleh siapapun. Wallahu a’lam.

Minggu, 28 Maret 2010

BERHARAP GEBRAKAN KETUA NU BARU

BERHARAP GEBRAKAN KETUA NU BARU
Oleh : Moh. Safrudin
(Ketua Presidium Wilayah Majelis Alumni IPNU Sultra)
Kiranya semua bersyukur dan bergembira, NU baru saja berhasil menyelesaikan kegiatan besar, yaitu muktamar ke 32 di Makassar. Di akhir muktamar itu telah terpilih DR.KH.Sahal Mahfudz sebagai rais aam dan DR.KH.Said Agil Siradj sebagai ketua Tanfidz. Baik yang memilih ataupun yang semula tidak memilih, akhirnya menerima keduanya sebagai pimpinan NU. Pemilihan pimpinan adalah proses yang harus dilalui dalam organisasi. Setelah pilihan itu dilaksanakan dan dimenangkan oleh seseorang, maka semua pihak harus menerimanya. Itulah aturan main dalam berorganisasi, semuanya harus dilalui. Jika sebelum pemilihan itu ada perbedaan, maka setelahnya perbedaan itu harus dihentikan dan bahkan dilupakan.

Tatkala muktamar selesai dengan aman, program-program organisasi telah disusun, pengurus baru telah dipilih, dan semua telah berhasil dilalui, maka sebagaimana diajarkan oleh kitab suci, sikap yang harus dilakukan adalah bertasybih dengan mensyukuri keberhasilan itu dan beristighfar. Sedemikian indahnya ajaran Islam, setelah meraih kemenangan, -----dan semua menang dengan keberhasilan itu, maka dianjurkan segera mengingat Allah dengan bertasbih dan bersyukur, serta memohon ampunan dari Allah, beristighfar kiranya dalam proses-proses selama itu terdapat berbagai kekeliruan.

Saya yakin terhadap mereka yang terpilih tidak perlu diragukan lagi tentang kapasitas dan kapabilitasnya. Para tokoh itu sudah dikenal sedemikian luas tentang kealimannya, integritasnya terhadap organisasi dan agamanya. Beliau bukan orang baru di NU. Namanya sangat populer dan sudah lama menjadi kebanggaan umat. Oleh karena itu tidak salah jika kedua beliau dipercaya memimpin organisasi besar yang dicintai oleh umat ini.

Banyak sekali harapan umat terhadap pemimpin baru ini. Mereka mengharapkan agar NU semakin tampak keindahannya dalam berbagai aspek. NU diharapkan menjadi motor penggerak upaya meningkatkan keluhuran akhlak bangsa, melalui ketauladanan kehidupan para pemimpinnya dan pikiran-pikiran yang selalu dipandu oleh kitab suci, sejarah kehidupan rasul, dan para ulama’setelahnya. Peran-peran itulah yang pada saat ini sangat ditunggu-tunggu dan dibutuhkan oleh bangsa ini, yaitu ketauladanan yang mulia dan pikiran yang tidak sekedar cerdas tetapi juga benar.

Banyak orang berharap, dalam tataran yang sangat teknis, setelah muktamar yang sedemikian menggema, maka gema itu tidak segera padam. Gema itu diharapkan dibawa oleh seluruh muktamirin ke tempat asal mereka masing-masing. Gema itu mewujud dalam semangat untuk menghidupkan kembali semangat ber NU dan ber-Islam secara sempurna. Semangat NU adalah semangat untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kegiatan yang tidak perlu, apalagi merusak. Ialah ajakan untuk selalu hidup rukun, tolong menolong, dan penuh kedamaian.

Selain itu, orang berharap dan membayangkan, alangkah indahnya, jika sepulang dari muktamar, masjid-masjid yang diurus oleh NU dan juga lainnya menjadi lebih semarak. Jumlah jamaáhnya meningkat dan demikian pula kegiatan-kegiatan lainnya. Setiap masjid NU, setelah muktanar itu, tidak saja ramai di saat sholat jumát, tetapi juga pada setiap waktu sholat, setidak-tidaknya pada sholat maghrib, isya’, dan subuh. Tempat ibadah yang diurus dan dikelola oleh NU selalu tampak bersih, indah, dan ramai, menjadi tempat bertemu bagi masyarakat di sekitarnya. Anak-anak dank aum remaja mengaji di tempat ibadah itu. Demikian pula kegiatan-kegiatan kultural, seperti dibaán, tahlilan, shalawat, istighosah, dan lain-lain selalu mewarnai dan menyejukkan suasana kehidupan bersama sehari-hari. Nuansa NU dengan begitu menjadi semarak dan sejuk karena diwarnai oleh suasana keagamaan.

Begitu pula dalam pendidikan, ekonomi, dan sosial. NU dengan pemimpin baru,---- DR.KH.Sahal Mahfudz dan DR.KH.Said Agil Siradj akan menyerukan agar segera bersama-sama meningkatkan kualitas pendidikannya. Dengan tradisi kontribusi yang dimiliki oleh warga NU, maka semua diajak berkontribusi, memberikan apa saja yang bisa diberikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. NU memang tidak sebagaimana pemerintah, memiliki APBN. Pemerintah dengan APBN membagi-bagikan dana untuk membangun. NU tidak seperti itu. Pengurus Besar NU tidak memiliki dana yang cukup, karena tidak ada pajak yang masuk ke kantor NU. Oleh karena itu, dalam meningkatkan klualitas pendidikan, NU menempuh cara, yaitu menggerakkan anggota dan simpatisannya untuk meningkatkan besarnya kontrubusi itu. Memang, sejak dulu motivasi ber NU adalah ingin beramal atau berkontribusi sebagai wujud kecintaannya pada agamanya melalui organisasi ini.

Selain itu, setelah bermuktamar, juga mestinya semakin bersemangat untuk mengembangkan ekonomi. Pesan itu disampaikan, baik oleh Presiden dalam acara pembukaan maupun oleh para pembicara lainnya. Organisasi NU mulai tingkat ranting, cabang, maupun yang lebih tinggi secara bersama-sama memiliki kegiatan kongkrit untuk meningkatkan ekonomi umat. Ciri khas NU adalah selalu jamaáh, yaitu jamaáh sholat lima waktu, jamaáh dalam melakukan dzikir, bertahlil, beristighosah, dan tentu saja hal itu akan semakin indah jika diikuti juga berjamaáh dalam mengembangkan ekonomi. Warga NU tentu tidak tega atau sampai hati, jika mereka terlalu hidup berlebih di tengah-tengah saudaranya yang sangat berkekurangan. Islam mengajarkan agar sesama muslim saling bertolong menolong, mengeluarkan zakat, infaq, dan shodaqoh, atau lainnya. Dengan ber NU secara sungguh-sungguh maka kehidupan berjamaáh dalam berbagai hal yang baik selalu digalakkan dan apalagi setelah muktamar ini.

Melalui tulisan singkat dan sederhana ini, saya ingin mengucapkan selamat kepada DR.KH.Sahal Mahfudz dan DR.KH.Said Agil Siradj yang telah terpilih sebagai pucuk pimpinan NU. Semoga Kyai selalu mendapatkan limpahan rakhmat dan pertolongan dari Allah, sehingga berhasil mengemban amanah yang amat mulia ini sebaik-baiknya. Semoga ke depan NU semakin maju dan dicintai oleh semuanya, karena selalu mengedepankan amal saleh dan akhlak yang mulia. Wallahu a’lam.