Jumat, 23 Juli 2010

MEMILIH SEKOLAH YANG BERMUTU ATAU SEKEDAR GENGSI

Oleh : Moh. Safrudin,S.Ag, M.PdI
(Staf Pengajar STIK Avicenna Kendari Peneliti Sangia Institut)

Jumlah dan jenis lembaga pendidikan sekarang ini sudah sedemikian banyaknya. Dulu orang sulit mencari lembaga pendidikan, tetapi sekarang kesulitan itu berubah, yaitu tatkala harus memilih. Bagi orang-orang tertentu memilih lembaga pendidikan, biasanya mencari yang bermutu atau berkualitas unggul.
Namun ukuran keunggulan atau kualitas ternyata berbeda-beda. Sementara orang menyebut lembaga pendidikan itu unggul, manakala semua siswanya pada setiap tahun lulus ujian nasional, atau lulusannya bisa diterima di lembaga pendidikan jenjang berikutnya yang dianggap maju. Sedangkan untuk tingkat perguruan tinggi, sementara orang memilih lembaga yang lulusannya cepat mendapatkan pekerjaan.
Sebatas memilih lembaga pendidikan ternyata juga tidak mudah. Bahkan masing-masing orang memiliki ukuran-ukuran tersendiri. Sementara orang, kualitas hanya dilihat dari penampilan gedung dan fasilitas pendidikannya. Selainnya, ada yang memperhatikan misi yang diemban oleh lembaga pendidikan yang bersangkutan. Misalnya, seorang pengikut fanatik organisasi keagamaan tertentu, maka akan mengirim anak-anaknya ke lembaga pendidikan yang dikelola oleh organisasi tersebut.
Berbeda dengan gambaran tersebut di muka, ada juga orang yang memilihkan lembaga pendidikan bagi anak-anaknya dengan ukuran-ukuran tertentu lainnya, yang sangat berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Misalnya, sekalipun banyak orang membanggakan dan memilih lembaga pendidikan modern di kota, ternyata juga banyak orang yang justru memilih pesantren yang berada jauh di pedesaan.
Mereka yang memilih lembaga pendidikan pesantren tersebut, ternyata tidak selalu orang yang tidak berpendidikan dan memiliki tingkat ekonomi lemah. Oleh karena itu di beberapa pesantren tertentu, bisa kita temukan putra-putri orang-orang yang berpendidikan tinggi dan berekonomi cukup. Mereka sangat mampu menyekolahkan anaknya di sekolah modern dan mahal, tetapi justru mengirim putra putrinya ke pesantren sederhana di pedesaan.
Keputusan yang diambil oleh mereka itu ternyata cukup mendasar. Mereka tahu bahwa pendidikan pesantren tidak menjanjikkan lapangan kerja bagi lulusannya, tetapi tetap menjadi pilihannya. Mereka berkeyakinan bahwa pendidikan pesantren akan memberikan bekal kehidupan yang justru sangat diperlukan kelak, ialah akhlak yang mulia. Mereka berpandangan bahwa, seseorang yang berilmu tinggi, tetapi tidak menyandang akhlak yang terpuji, justru akan membahayakan hidupnya.
Mereka melihat kenyataan, bahwa tidak sedikit orang telah melewati lembaga pendidikan yang dianggap berkualitas atau unggul, dan segera mendapatkan lapangan pekerjaan serta gaji yang membanggakan. Tetapi ternyata, belum terlalu lama mereka bekerja di tempat itu, sudah berpekara, dituduh korupsi, dan akhirnya masuk penjara. Kenyataan itu kemudian disimpulkan bahwa, —–bisa jadi, lembaga pendidikan yang dianggap berkualitas dan unggul itu, hanya mengantarkan lulusannya ke lembaga pemasyarakatan.
Kenyataan-kenyataan seperti itu, menjadikan semakin tidak mudah memilih lembaga pendidikan yang dianggap baik. Pilihan yang tepat, —–jika ada dan terjangkau, memang adalah lembaga pendidikan yang memiliki berbagai keunggulan sekaligus. Yaitu lembaga pendidikan yang mampu mengantarkan para siswanya menjadi orang menyandang kesalehan secara sempurna, yaitu saleh intelektualnya, saleh kepribadiannya, saleh sosialnya, saleh ritualnya, dan juga saleh keahlian atau profesionalnya.
Namun pada kenyataanya, mencari lembaga pendidikan yang sempurna seperti itu, sekalipun jumlah lembaga pendidikan sudah terlalu banyak, ternyata juga tidak mudah. Selama ini keunggulan yang ditawarkan baru masih sangat sederhana, misalnya hanya dari kelengkapan fasilitas yang tersedia, tingkat kelulusan, dan kemudahan mendapatkan pekerjaan bagi lulusannya. Selama ini, rupanya masih sulit mencari lembaga pendidikan yang berani menjanjikan hasil lulusannya akan memiliki kelebihan secara sempurna, yaitu termasuk unggul akhlak atau kepribadiannya
Terkait dengan persoalan memilih sekolah ini, dulu saya pernah mendapatkan pesan dari orang tua tentang kriteria sekolah yang baik. Disarankan agar memilih sekolah, yang memiliki guru-guru yang baik. Bersekolah itu sama artinya dengan belajar atau berguru. Agar berhasil, maka bergurulah kepada orang yang mencintai ilmu dan sekaligus mengamalkannya. Selanjutnya, untuk mengetahui apakah guru tersebut telah mengamalkan ilmunya, maka saya dipesan agar melihat apakah guru-guru sekolah tersebut, selalu hadir di masjid ketika sholat berjama’ah.
Pesan tersebut sederhana sekali, tetapi sesungguhnya amat mendasar. Agar menjadi orang pintar dan sekaligus baik, maka harus berguru kepada orang pintar dan sekaligus mampu mengamalkan ilmunya. Kualitas pendidikan selalu terletak pada guru. Disebut sebagai guru berkualitas, di antaranya mereka sanggup mengamalkan ilmunya, hingga pada hal yang dianggap sederhana, misalnya bagaimana sholat subuhnya, apakah berjama’ah di masjid, atau justru selalu terlambat. Saya pernah dipesan, jangan berguru kepada orang yang sholatnya saja tidak tertib, dengan alasan guru tersebut sesungguhnya tidak bermutu. Wallahu a’lam

Kamis, 22 Juli 2010

shalat sunat sya'ban

1. BULAN SYA’BAN

Bulan Sya’ban adalah bulan yang banyak fadilahnya dan di dalamnya ada beberapa macam shalat sunat diantaranya :

A. Awal hari dari bulan Sya’ban

Dalam riwayat Anas ra. bahwa shalat awal hari dari bulan Sya’ban adalah dua raka’at dan setiap raka’at membaca Al-fatihah 1 kali ayat qursii 10 kali dan وشهدالله ……الاية Maka Allah akan memberikan dalam sorga kepadanya sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh mata, tidak bisa didengar oleh telinga dan tidak pernah tersirat dalam hati seseorang dan Allah akan menjaga dari keburukan dunia dan melapangkan rizkinya dan akan merasa aman dari kegoncangan yang sangat dahsyat.

Niat shalatnya :

اُصَلِّى سُنَّةَ الْمُطْلَقِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ للهِ تَعَالَى أَللهُ أَكْبَرُ

“ Niat aku shalat sunat Mutlak dua raka’at sambil menghadap kiblat Allahu Akbar “.

B. Malam nisfu sya’ban (shalat khoir)

Pada malam nisfu sya’ban (pertengahan bulan) para ulama biasa melaksanakn shalat 10 raka’at atau ada yang 100 raka’at dan mereka menyebutnya dengan shalat khoir, seperti yang diriwayatkan oleh mujahid yang berbunyi :

عَنْ مُجَاهِدْ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا يُقْرَأُ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ مِنْهَا الْفَاتِحَةَ مَرَّةً وَاْلإِخْلاَصَ عَشْرَ مَرَّاتٍ كُلُّ رَكْعَتَيْنِ بِتَسْلِيْمَةٍ

“ Dari Mujahid diriwayatkan dari Ibnu Abas ra. bahwa shalat nisfu sya’ban adalah 100 raka’at dan setiap raka’at setelah fatihah membaca Al-ikhlas 10 kali dan setiap dua raka’at satu salam “.

وَفِى رِوَايَةِ اَنَسٍ t عَشْرُ رَكَعَاتٍ يُقْرَأُ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ اَلْفَاتِحَةَ مَرَّةً وَاْلإِخْلاَصَ مِائَةَ مَرَّةٍ وَالسَّلَفُ يُسَمُّوْنَ هَذِهِ الصَّلاَةَ صَلاَةَ الْخَيْرِ وَيَجْتَمِعُوْنَ فِيْهَا وَرُبَّمَا يُصَلُّوْنَهَا بِجَمَاعَةٍ

“ Dan menurut riwayat Anas ra. adalah 10 raka’at dengan membaca setelah fatihah surat Al-ikhlas 100 kali dan ulama salaf menyebutnya shalat khoir mereka berkumpul dan terkadang mereka melaksanakannya dengan berjama’ah”.

وَفِى رِوَايَةِ طَاوُسِ عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ اَلأَسْقَعِ أَرْبَعُ رَكَعَاتٍ بَعْدَ الْغُسْلِ وَالنَّظَافَةِ يُقْرَأُ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ اَلْفَاتِحَةَ مَرَّةً وَاْلإِخْلاَصَ خَمْسًا وَعِشْرِيْنَ مَرَّةً

“ Dan menurut riwayat Thowus dari Wasilah bin Asqo adalah empat raka’at setelah mandi dan bersuci dan membaca setiap raka’at Al-Fatihah satu kali dan Al-ikhlas 25 kali “.

Niatnya :

اُصَلِّى سُنَّةَ الْخَيْرِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ للهِ تَعَالَى أَللهُ أَكْبَرُ

“ Niat aku shalat sunat Khoir dua raka’at sambil menghadap kiblat Allahu Akbar “.

C. Malam 27 bulan Sya’ban

Shalat pada malam itu adalah 4 raka’at dan setiap raka’at membaca Al-fatihah ditambah Az-Zalzalah 1 kali dan Al-ikhlas 25 kali dan setelah selesai kemudian sujud dan membaca Al-fatihah 7 kali, Al-Ikhlas satu kali, Falaq binas 1 kali kemudian istigfar 100 kali, shalawat 100 kali dan haoqolah 100 kali

اُصَلِّى سُنَّةَ الْمُطْلَقِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ للهِ تَعَالَى أَللهُ أَكْبَرُ

“ Niat aku shalat sunat Mutlak dua raka’at sambil menghadap kiblat Allahu Akbar “.

KEUTAMAAN BULAN SYA'BAN

Tatkala Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- melihat perhatian manusia terhadap bulan Rajab pada masa jahiliyah, mereka sangat mengagungkan dan melebihkan atas seluruh bulan, dan tatkala beliau melihat kaum muslimin berambisi untuk mengagungkan bulan al-Qur`an (Ramadhan), maka beliau -Shalallahu alaihi wa salam- berkeinginan untuk menjelaskan kepada mereka keutamaan bulan-bulan dan hari-hari yang lain.



Telah diriwayatkan dari Usamah bin Zaid, beliau berkata, “Katakanlah wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa selama sebulan dari bulan-bulannya selain di bulan Sya’ban.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ


“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits di atas terdapat dalil mengenai dianjurkannya melakukan amalan ketaatan di saat manusia lalai. Inilah amalan yang dicintai di sisi Allah.” (Lathoif Al Ma’arif, 235)


Banyak Berpuasa di Bulan Sya’ban


Terdapat suatu amalan yang dapat dilakukan di bulan ini yaitu puasa. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri banyak berpuasa ketika bulan Sya’ban dibanding bulan-bulan lainnya selain puasa wajib di bulan Ramadhan.



Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ . فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)



‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mengatakan,

لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156)



Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa hanya sedikit hari saja.” (HR. Muslim no. 1156)



Dari Ummu Salamah, beliau mengatakan,

أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنَ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا إِلاَّ شَعْبَانَ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setahun tidak berpuasa sebulan penuh selain pada bulan Sya’ban, lalu dilanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)



Lalu apa yang dimaksud dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya (Kaana yashumu sya’ban kullahu)? Asy Syaukani mengatakan, “Riwayat-riwayat ini bisa dikompromikan dengan kita katakan bahwa yang dimaksud dengan kata “kullu” (seluruhnya) di situ adalah kebanyakannya (mayoritasnya). Alasannya, sebagaimana dinukil oleh At Tirmidzi dari Ibnul Mubarrok. Beliau mengatakan bahwa boleh dalam bahasa Arab disebut berpuasa pada kebanyakan hari dalam satu bulan dengan dikatakan berpuasa pada seluruh bulan.” (Nailul Author, 7/148). Jadi, yang dimaksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di seluruh hari bulan Sya’ban adalah berpuasa di mayoritas harinya.



Lalu Kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak puasa penuh di bulan Sya’ban? An Nawawi rahimahullah menuturkan bahwa para ulama mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib. ” (Syarh Muslim, 4/161)



Di antara rahasia kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban adalah karena puasa Sya’ban adalah ibarat ibadah rawatib (ibadah sunnah yang mengiringi ibadah wajib). Sebagaimana shalat rawatib adalah shalat yang memiliki keutamaan karena dia mengiringi shalat wajib, sebelum atau sesudahnya, demikianlah puasa Sya’ban. Karena puasa di bulan Sya’ban sangat dekat dengan puasa Ramadhan, maka puasa tersebut memiliki keutamaan. Dan puasa ini bisa menyempurnakan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab, 233)



Hikmah di balik puasa Sya’ban adalah:

1. Bulan Sya’ban adalah bulan tempat manusia lalai. Karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadhan. Tatkala manusia lalai, inilah keutamaan melakukan amalan puasa ketika itu. Sebagaimana seseorang yang berdzikir di tempat orang-orang yang begitu lalai dari mengingat Allah 'Azza wa Jalla -seperti ketika di pasar-, maka dzikir ketika itu adalah amalan yang sangat istimewa. Abu Sholeh mengatakan, “Sesungguhnya Allah tertawa melihat orang yang masih sempat berdzikir di pasar. Kenapa demikian? Karena pasar adalah tempatnya orang-orang lalai dari mengingat Allah.”
2. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa setiap bulannya sebanyak tiga hari. Terkadang beliau menunda puasa tersebut hingga beliau mengumpulkannya pada bulan Sya’ban. Jadi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila memasuki bulan Sya’ban sedangkan di bulan-bulan sebelumnya beliau tidak melakukan beberapa puasa sunnah, maka beliau mengqodho’nya ketika itu. Sehingga puasa sunnah beliau menjadi sempurna sebelum memasuki bulan Ramadhan berikutnya.
3. Puasa di bulan Sya’ban adalah sebagai latihan atau pemanasan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Jika seseorang sudah terbiasa berpuasa sebelum puasa Ramadhan, tentu dia akan lebih kuat dan lebih bersemangat untuk melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 234-243)

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kita orang yang senantiasa berlomba-lomba dalam memperoleh keutamaan pada bulan ini, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits qudsi berikut.

وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506). Orang yang senantiasa melakukan amalan sunnah (mustahab) akan mendapatkan kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya. Allah juga akan memberikan orang seperti ini keutamaan dengan mustajabnya (terkabulnya) do’a. (Faedah dari Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad).

RAHASIA BULAN SYA'BAN

OLEH : MO'sAFRUDIN
Sekedar sharing saja mengenai beberapa rahasia bulan sa'ban yang saya kutip dari dakwatuna.com, semoga bermanfa'at bagi kita semua. Bulan Sya’ban secara urutan bulan hijriah jatuh sebelum bulan Ramadhan. Dalam riwayat Imam Bukhari, Aisyah ra. menceritakan, bahwa Rasulullah saw. selalu memperbanyak puasa di bulan Sya’ban? Bahkan dalam riwayat lain dikatakan bahwa tidak ada bulan melebihi bulan Sya’ban di dalamnya Rasulullah saw. berpuasa. Dalam hadits lain disebutkan bahwa Nabi saw. berpuasa mayoritas hari-hari bulan Sya’ban. Mengapa?

Ada beberapa rahasia di antaranya:

Pertama,
puasa adalah kebutuhan fitrah manusia. Karena itu Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya berpuasa. Dalam surah Al Baqarah 183 Allah swt. menyebutkan bahwa puasa tidak hanya diwajibkan kepada umat manusia tertentu tetapi juga kepada umat manusia terdahulu. Ini menunjukkan bahwa puasa merupakan ibadah yang tidak bisa tidak harus dilakukan. Ilmu kedokteran modern membuktikan bahwa dengan puasa pencernaan seseorang akan istirahat dari rasa lelah yang sekian lama terus menerus digunakan untuk mengolah makanan. Maka semakin sering seseorang berpuasa ia akan semakin sehat. Sebab kemungkinan timbulnya penyakit yang seringkali disebabkan oleh makanan akan tercegah secara otomatis ketika ia berpuasa.
Kedua,
bulan Ramadhan adalah bulan diwajibkannya puasa bagi orang-orang beriman. Jadi pengertian ayat: kutiba alaikumush shiyaam itu maksudnya untuk bulan Ramadhan. Karena itu dalam sebuah hadits Nabi menegaskan bahwa di bulan Ramadhan diwajibkan atas orang-orang beriman berpuasa. Adalah suatu persiapan yang sangat strategis ketika Rasulullah selalu memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Ibarat sebuah turnamen, bulan Ramadhan adalah ajang perlombaan beramal saleh, cerminan ayat: “fastabiqul khairaat (berlomba-lombalah dalam kebaikan)” Al Baqarah:148. Karena itu sebelum masuk Ramadhan hendaklah melakukan persiapan-persiapan terlebih dahulu dengan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Kita semua tahu bahwa para peserta turnamen pasti melakukan persiapan sebulan dua bulan sebelumnya. Itulah rahasia mengapa Rasulullah saw. memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Agar tidak loyo selama bulan Ramadhan. Agar lebih maksimal melaksanakan ibadah-ibadah Ramadhan yang semuanya saling melengkapi untuk mengantarkan kepada ketakwaan.

Ketiga,
ibadah puasa adalah ibadah menahan nafsu. Suatu perjuangan yang senantiasa harus dilakukan oleh orang-orang beriman. Dalam surah An Nazi’at:40 Allah swt. menjelaskan bahwa jalan ke surga adalah dengan upaya terus-menerus membangun rasa takut kepada Allah dan menahan nafsu. Mengapa? Sebab Setan berkerja terus menerus, siang dan malam untuk menjerumuskan manusia ke dalam dosa-dosa. Kerja keras setan ini tidak bisa tidak menuntut kita untuk bekerja keras juga guna mengimbanginya. Orang yang beriman kepada Allah dan hari Kiamat, tentu akan selalu waspada dari godaan setan. Caranya dengan banyak berpuasa. Semakin sering berpuasa, semakin sempit jalan-jalan setan untuk menggoda. Sebab dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa setan seringkali masuk melalui makanan. Maka semakin banyak makan, semakin mudah digoda setan. Karenanya orang yang kekenyangan akan selalu malas beribadah.

Keempat,
Rasulullah saw. adalah contoh pribadi berakhlak mulia. Allah berfirman: “Wainnaka la’alaa khuluqin adhiim (Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar mempunyai akhlaq yang agung)” Al Qalam:4. Maka setiap yang dicontohkan Rasulullah saw. pasti baik untuk kemanusiaan di dunia maupun di akhirat. Tidak ada perbuatan yang dilakukan Rasulullah saw. kecuali membawa manfaat bagi kehiduapan manusia jika diikuti. Dan bila kita teliti secara seksama, menejemen modern yang mengantarkan munculnya negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan bisnis kelas dunia, di dalamnya akan kita temukan nilai-nilai universal yang pada dasarnya itu adalah bagian dari ajaran Islam yang dibawa Rasulullah saw. Maka dengan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, itu sungguh sangat baik dan bermanfaat, tidak saja di dunia tetapi juga di akhirat.

Kelima,
adapun mengenai amalan di pertengahan bulan Sya’ban (nisfu Sya’ban), sekalipun ada sebagian hadits yang dianggap hasan oleh para ulama hadits, tetapi terpenting sebenarnya adalah memperbanyak puasa selama bulan Sya’ban, bukan mengkhususkannya pada pertengahan saja.

Imam An Nasa’i meriwayatkan sebuah hadits dari Usamah bin Zaid tentang rahasia memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, Nabi bersabda: “Bulan Sya’ban adalah bulan yang sering dilalaikan oleh banyak orang, karena itu terjepit antara Rajab dan Ramadhan. Padahal ia adalah bulan di angkatnya amal manusia, maka aku suka ketika amalku diangkat aku sedang berpuasa.” Wallahu a’lam bish shawab.

Selasa, 20 Juli 2010

MEWASPADAI PINTU MASUK SETAN

MEWASPADAI PINTU MASUK SETAN
Oleh Moh. Safrudin
الحمد لله غافر الذنب وقابل التوب شديد العقاب، ذي الطول لا إله إلا هو إليه المصير. وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، شهادة معترف بالذنب والتقصير، سائل العفو والزلفى وحسن المآب يوم المصير. وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله وأمينه على وحيه خير بشير، وأشفق نذير. اللهم صل وسلم على عبدك ورسولك محمد وعلى آله وأصحابه، نعم الصحب له، ونعم القدوة لمن طلب الفوز والنجاة في يوم عسير. أما بعد: فيا أيها المسلمون اتقوا الله تعالى في السر و العلن ، يا أيها الذين آمنوا اتقو الله حق تقاته و لا تموتن إلا و أنتم مسلمون.
Hadirin Jamaah sholat Jumat yang dirahmati Allah.
Marilah pada kesempatan jumat ini, kita kembali berupaya untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah. Takwa yang terlahir dari pemahaman yang benar dan ketundukan yang ikhlas, sehingga setiap kewajiban yang dilakukan dan setiap larangan yang ditinggalkan tidaklah dilakukan kecuali semakin menguatkan dan meningkatkan iman dan takwa kepada Allah serta melahirkan nilai-nilai mulia dalam kehidupan. Suatu perbutan dan amal kebajikan yang terlahir dari ketakwaan akan memberikan manfaat yang besar dalam kehidupan.
Hadirin yang dimuliakan Allah.
Sesungguhnya setiap detik dari hidup kita, setiap hembusan nafas, setiap pikiran yang yang tersirat, setiap amal perbuatan yang kita kerjakan, tidak akan pernah lepas dari upaya setan untuk menggoda, menyesatkan, menyelewengkan dari tujuan yang benar dan menggiring kepada dosa dan maksiat. Kita mungkin tidak menyadari dan memang tanpa kita sadari, setan terus berupaya menenggelamkan, menghanyutkan kita agar semakin jauh dari jalan yang benar, meninggalkan ketaatan secara perlahan dan halus, tanpa terasa oleh kita. Dan itulah tugas utama setan dan iblis, sebagai mana ia telah terusir dari surga dan terjauhkan dari rahmat Allah maka diapun ingin menjauhkan manusia dari dari rahmat Allah dan kemudian sesat bersamanya. Begitulah ungkapan setan ketika mendapatkan laknat Allah:
قَالَ فَاخْرُجْ مِنْهَا فَإِنَّكَ رَجِيمٌ (77) وَإِنَّ عَلَيْكَ لَعْنَتِي إِلَى يَوْمِ الدِّينِ (78) قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ (79) قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ (80) إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ (81) قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ (82) إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ (83)
Allah berfirman: "Maka keluarlah kamu dari surga; sesungguhnya kamu adalah makhluk yang terkutuk, Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan." Iblis berkata: "Ya Tuhanku, berilah penangguhan kepadaku sampai hari mereka dibangkitkan." Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk yang diberi penangguhan, sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari Kiamat)." Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka. (QS. Shad: 77-83)
Hadirin sidang jumat yg berbahagia.
Menyadari ini semua, bahwa keberadaan kita di dunia ini, tidak akan pernah lepas sedikitpun dari upaya setan untuk mempengaruhi kita, merayu, melalaikan kita dengan apapun, bahkan mereka mampu masuk bersama aliran darah kita, dengan hanya satu tujuan mengumpulkan manusia sebanyak-banyaknya untuk bersama-sama sesat dan menghuni neraka jahanam. Mengetahui tipu daya setan dan iblis dalam menyesatkan manusia, serta mengetahui cara menghadapi tipu daya tersebut menjadi penting untuk kita sama-sama kita ketahui sehingga kita mampu terhindar dari tipu daya tersebut.
Di antara pintu-pintu dan metode setan menyesatkan manusia yang perlu kita waspadai adalah:
Pertama: Pintu Syubhat dan Syahwat
Syubhat berarti suatu yang meragukan dan samar-samar, sedangkan syahwat adalah dorongan hawa nafsu, maka dari sinilah setan akan semakin kuat menggoda, kemudian setan menghembuskan bisikan dan rayuannya. Setan akan yang terus membujuk sehingga seakan membuat hati menjadi tenang untuk melakukan hal perbuatan tersebut. Bahkan setan telah menghembuskan syubhat dan syahwat iniitu sejak awal permusuhan dengan Nabi Adam, setan telah melakukan langkah-langkah kejinya untuk menggelincirkan anak keturunan adam agar tidak mentaati perintah Allah.
Mari kita perhatikan ucapan setan, dengan tipu dayanya di dalam firman Allah berikut:
فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مِنْ سَوْءَاتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلاَّ أَنْ تَكُوناَ مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُوناَ مِنَ الْخَالِدِينَ. وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِينَ. فَدَلاَّهُمَا بِغُرُورٍ.
"Maka setan menggoda mereka berdua untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya, dan setan berkata, "Tuhan kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga)". Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya,"Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua,' maka setan membujuk keduanya dengan tipu daya." [Al-A'râf/7:20-22]
Dari ayat ini dapat dipetik satu pelajaran penting bahwa setan mempermainkan kecenderungan manusia yang tersembunyi, manusia ingin kekal, diberi umur yang panjang, manusia juga ingin memiliki kepemilikan harta yang tak terbatas padahal usia mereka pendek dan terbatas.
Dalam ayat ini diketahui bahwa tipuan yang digunakan setan adalah: “An takuunaa malakaini au takuunaa minal khalidin.”
Dalam penjelasan ayat ini, kata malakaini ada dua bacaan yang dapat dijadikan pengertian untuk memahamai maksud dari ayat ini. Bacaan pertama adalah: malikaini yaitu huruf lam dibaca kasroh yang berarti dua orang raja, yakni raja dan ratu, bacaan ini dikuatkan oleh nash lain dalam surat Thaaha: “Maukah aku tunjukan kepada kalian berdua, kepada pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan punah”. (QS. Thaha: 120)
Atas dasar bacaan ini, maka tipuan setan ini adalah kekuasaan yang abadi dan umur yang kekal. Keduanya merupakan syahwat atau kecenderungan yang paling kuat dalam diri manusia, selain syahwat terhadap lawan jenis, yang banyaknya kita dengar bersama berbagai macam kasus dan skandal terjadi, ini membuktikan bahwa setan sudah banyak berhasil dalam menyesatkan manusia.
Bacaan kedua adalah malakaini, huruf lam dibaca fathah yang berarti dua malaikat, maka manupulasi setan itu adalah dengan melepaskan manusia dari ikatan-ikatan fisik seperti malaikat yang kekal.
Ketika Iblis ini mengetahui bahwa Allah melarang Adam dan Hawa memakan buah ini, dan larangan ini terasa berat dalam jiwa mereka, maka untuk menggoyang hati mereka, iblis menimbulkan khayalan dan angan-angan kepada mereka, di samping juga mempermainkan syahwat dan keinginan mereka. Bahkan iblis memperkuat dengan sumpah bahwa ia adalah pemberi nasehat yang berlaku jujur.
Hadirin siding sholat jumat yang dimuliakan Allah.
Pintu setan yang kedua adalah : Al-Hirsh wal Hasad
Menurut Imam Al-Ghazali, diantara pintu-pintu setan yang sangat besar adalah al-hirsh atau tamak dan hasad, yaitu kedengkian. Rasa tamak dan sifat hasad ini menjadi salah satu pintu yang menyebabkan setan bisa masuk ke dalam pikiran dan jiwa manusia kemudian setan menguasainya. Ketika setan sudah mampu menguasai jiwa, maka itu pertanda akan membawa pada kebinasaan.
Imam Abu Dawud dalam Kitab Sunnan-nya menyebutkan sebuah riwayat. Ketika Nabi Nuh ‘Alaihissalam menaiki perahu, dan memasukkan ke dalam perahu itu berbagai makhluk secara berpasang-pasangan, tiba-tiba beliau melihat seorang tua yang tidak dikenal. Orang itu tidak memiliki pasangan. Nabi Nuh ‘Alaihissalam bertanya, “Untuk apa kamu masuk kemari?” Orang itu menjawab, “Aku masuk kemari untuk mempengaruhi sahabat-sahabatmu supaya hati mereka bersamaku, sementara tubuh mereka bersamamu.” Orang tua itu adalah setan.
Lalu, Nabi Nuh ‘Alaihissalam berkata, “Keluarlah kamu dari sini, hai musuh Allah! Kamu terkutuk!” Iblis itu kemudian berkata kepada Nabi Nuh, “Ada lima hal yang dengan kelimanya aku membinasakan manusia. Akan kuberitahukan yang tiga, dan kusembunyikan yang dua.” Allah mewahyukan kepada Nabi Nuh: “Katakan, aku tidak membutuhkan yang tiga. Aku membutuhkan yang dua.” Lalu Nuh bertanya, “Apa yang dua itu?” Iblis menjawab, “Dua hal yang membinasakan manusia adalah ketamakkan dan kedengkian. Karena kedengkian inilah, aku dilaknat sehingga menjadi terkutuk. Karena dorongan ketamakkan itu pula, Adam dan Hawa tergoda untuk menuruti keinginannya.”
Ketiga : Memandang kecil dan meremehkan dosa-dosa kecil.
Dosa-dosa kecil dampaknya sangat berbahaya bagi manusia, seorang yang menganggap kecil suatu perbuatan dosa maka dengan demikian setan akan selalu menjadikan orang tersebut meremehkan dosa-dosa kecilnya, sehingga dia akan terus menerus melakukannya dan dosa itu akan membinasakannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya
tentang dosa-dosa kecil dengan sabdanya,
إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ وَإِنَّ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ مَتَى يُؤْخَذْ بِهَا صَاحِبُهَا تُهْلِكْهُ.

Jauhilah dosa-dosa dan sesuatu yang dianggap dosa kecil, karena dosa-dosa kecil itu ketika dilakukan seseorang maka ia akan membinasakannya. (HR. Ahmad, no. 23194)
Hadirin yang dimuliakan Allah.
Tentu ketika kita mengetahui pintu-pintu masuknya setan ini, Allah Subhanhu wa Ta'ala dengan rahmat-Nya memberikan petunjuk kepada para hamba-Nya melalui Al-Quran dan melalui lisan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, untuk menghadapi dan mengusir setiap bisikan dan godaan setan tersebut. Di antara hal-hal yang dapat dilakukan agar terhindar dari tipu daya setan dan kawanannya adalah sebagai berikut:
Pertama: Menjaga keikhlasan dalam setiap amal ibadah dan perbuatan.
Setiap ibadah ataupun amal perbuatan yang dilakukan oleh hamba Allah, pasti setan akan berupaya menyimpangkan amal tersebut agar tidak dilakukan dengan ikhlas, setan akan berupaya keras agar amal itu tidak bernilai di hadapan Allah, bahkan perbuatan itu menjadi amalan yang riya dan syirik. Karena ini sudah merupakan janjinya kepada Allah.
Hamba-hamba yang ikhlas akan dijaga dan diselamatkan dari gangguan setan. Allah yang menyatakan pengakuan setan tersebut dalam firman-Nya:

قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
"Iblis berkata, "Ya Rabb-ku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlash di antara mereka." [Al-Hijr/15:39-40].
Dalam ayat yang lain disebutkan:
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
"Iblis menjawab, "Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka." [Shâd/38:82-83].
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjamin bahwa seorang yang mampu menjaga keikhlasannya dalam beramal setan tidak punya kemampuan dalam menggodanya,

إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ
"Sesungguhnya hamba-hamba-Ku yang ikhlas tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikuti kamu, yaitu orang-orang yang sesat". [Al-Hijr/15:42].

Kedua : Menjaga Kestabilan kondisi Iman.
Setan selalu berupaya untuk menggoda dan melemahkan iman seseorang dengan berbagai macam carannya, baik itu kelalaian ataupun perbuatan maksiat. Dengan kemaksiatan, keimanan seseorang akan semakin menurun sehingga dengan mudah setan akan mencelakakann seorang tersebut sehingga ia melakukan perbuatan dosa.
Sesungguhnya seluruh kekuatan, kekuasaan, kesempurnaan hanyalah milik Allah. Oleh karena itu, seorang hamba yang ditolong dan dilindungi Allah dengan menjaga kondisi imannya dengan amal ibadah yang kontinyu, maka tidak ada satu makhlukpun yang mampu mencelakakannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberitakan hal ini di dalam Al-Quran, sebagaimana firmannya:

إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ
"Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabb-nya. Sesungguhnya kekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah".[An Nahl : 99, 100].
Ketiga: Berlindung Kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Untuk menghadapi setan dan terhindar dari godaannya, kita dianjurkan bahkan diperintahkan oleh Allah untuk senantiasa berlindung kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Dan jika kamu digoda oleh setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [Al-A'râf/7:200].
Dalam Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim disebutkan:
أن أبا هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم « يأتي الشيطان أحدكم فيقول من خلق كذا وكذا؟ حتى يقول له من خلق ربك ؟ فإذا بلغ ذلك فليستعذ بالله ولينته » . وعند أبي داود ( 4722 ) « فإذا قالوا ذلك فقولوا الله أحد الله الصمد لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفوا أحد . ثم ليتفل عن يساره ثلاثا وليستعذ من الشيطان »

Abu Hurairah berkata, Rosulullah bersabda: “Setan datang kepada salah seorang dari kalian lalu berkata, siapakah yang menciptakan ini dan ini? Sehingga setan berkata, “siapakah yang menciptakan Tuhanmu, maka apabila jika telah sampai kepadanya hal tersebut, hendaklah dia berlindung kepada Allah dan hendaklah dia menghentikan (waswas tersebut)".
Sedangkan dalam riwayat Abu Dawud disebutkan:
"Jika mereka mengucapkan hal itu (kalimat-kalimat was-was), maka ucapkanlah "Allah itu Maha Esa, Allah itu tempat bergantung, Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan," kemudian meludahlah ke kiri (3x) dan berlindunglah kepada Allah".
Keempat: Memperbanyak membaca Al-Quran dan memperkuat dzikrullah.
Al-Quran dan dzikrullah merupakan benteng yang kokoh yang dapat melindungi diri dari godaan dan gangguan setan dan membuatnya lari tunggang langgang, sebagaimana sabda Rosulullah:
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
"Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, janganlah kamu menjadikan rumah-rumah kamu sebagai kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan surat Al Baqarah di dalamnya". (HR Muslim, no. 780).
Dalam sabda yang lain disebutkan:
عَنْ الْحَارِثِ الْأَشْعَرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ أَمَرَ يَحْيَى بْنَ زَكَرِيَّا بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ أَنْ يَعْمَلَ بِهَا وَيَأْمُرَ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ يَعْمَلُوا بِهَا...وَآمُرُكُمْ أَنْ تَذْكُرُوا اللَّهَ فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ خَرَجَ الْعَدُوُّ فِي أَثَرِهِ سِرَاعًا حَتَّى إِذَا أَتَى عَلَى حِصْنٍ حَصِينٍ فَأَحْرَزَ نَفْسَهُ مِنْهُمْ كَذَلِكَ الْعَبْدُ لَا يُحْرِزُ نَفْسَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ إِلَّا بِذِكْرِ اللَّهِ.
Dari Al-Harits Al-Asy’ari, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah memerintahkan Yahya bin Zakaria Alaihissallam dengan lima kalimat, agar beliau mengamalkannya dan memerintahkan Bani Israil agar mereka mengamalkannya (di antaranya): Aku perintahkan kamu untuk dzikrullah. Sesungguhnya perumpamaan itu seperti perumpamaan seorang laki-laki yang dikejar oleh musuhnya dengan cepat, sehingga apabila dia telah mendatangi benteng yang kokoh, kemudian dia menyelamatkan dirinya dari mereka (dengan berlindung di dalam benteng tersebut). Demikianlah seorang hamba tidak akan dapat melindungi dirinya dari setan, kecuali dengan dzikrullah". (HR Ahmad)
Kelima: Menyelisihi Setan dari setiap perbuatannya.
Setan adalah musuh manusia, maka wajib pula untuk menjadikannya sebagai musuh, dan membenci serta meninggalkan perbuatannya. Sebagaimana firman Allah:

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُوا حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ
"Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala". (Fathir : 5, ).
Diantara perbuatan setan yang harus diselisihi adalah:
Pertama: Perbuatan mubadzir atau pemborosan. Allah berfirman:
وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (26) إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (27)

“Dan janganlah kamu melakukan perbuatan mubadzir, sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. (QS. Al-Isro :26-27)
Kedua: Makan dan minum dengan tangan kiri. Rosulullah bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «لاَ يَأْكُلْ أَحَدُكُمْ بِشِمَالِهِ وَلاَ يَشْرَبْ بِشِمَالِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ»
Dari Abdullah bin Umar, Nabi sallahu ‘alaihi wasallah bersabda: “Janganlah salah seorang diantara kalian makan dan minum dengan tangan kirinya, sesungguhnya setan makan dan minum dengan tangan kirinya”. (HR. Tirmidzi)
Ketiga: Tergesa-gesa dalam pekerjaan. Rosulullah bersabda:
وَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « الْعَجَلَةُ مِنْ الشَّيْطَانِ» أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ ، وَقَالَ : حَسَنٌ .
Dari Sahl bin Said, Rosulullah bersabda: “Tergesa-gesa itu dari perbuatan setan”. (HR. Tirmidzi)

Hadirin yang berbahagia.
Demikianlah khutbah singkat ini, semoga kita mampu membentengi diri kita dalam menghadapi permusuhan dan tipu daya setan yang selalu menyesatkan langkah kita menuju keridhoaan dan surga Allah subhanahu wa ta’ala.
بلرك الله لي ولكم في القرآن الكريم و نفعني و إياكم بما فيه من الأيات و الذكر الحكيم ، أقول قولي هذا و استغفر الله العظيم لي و لكم فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم.

ceritakan nikmat yang anda dapat

Ceritakan Nikmat Yang Anda Dapat!
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu (Muhammad) siarkan“. (Ad-Dhuhaa: 11)
Tahadduts bin ni’mah merupakan istilah yang sudah lazim dipakai untuk menggambarkan kebahagiaan seseorang atas kenikmatan yang diraihnya. Atas anugerah itu ia perlu menceritakan atau menyebut-nyebut dan memberitahukannya kepada orang lain sebagai implementasi rasa syukur yang mendalam. Perintah untuk menceritakan dan menyebut-nyebut kenikmatan pada ayat di atas, pertama kali memang ditujukan khusus untuk Rasulullah saw. Namun, perintah dalam ayat ini tetap berlaku umum berdasarkan kaedah “amrun lir Rasul Amrun li Ummatihi” (perintah yang ditujukan kepada Rasulullah, juga perintah yang berlaku untuk umatnya secara prioritas).
Ibnu Katsir mengemukakan dalam kitab tafsirnya, berdasarkan korelasi ayat per ayat dalam surah Ad-Dhuha, “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberimu petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Oleh karena itu, siarkanlah segala jenis kenikmatan tersebut dengan memujinya, mensyukurinya, menyebutnya, dan menceritakannya sebagai bentuk i’tiraf (pengakuan) atas seluruh nikmat tersebut.”
Para ulama tafsir sepakat bahwa pembicaraan ayat ini dalam konteks mensyukuri nikmat yang lebih tinggi dalam bentuk sikap dan implementasinya. Az-Zamakhsyari, misalnya, memahami tahadduts bin ni’mah dalam arti mensyukuri segala nikmat yang dianugerahkan oleh Allah dan menyiarkannya. Lebih luas lagi Abu Su’ud menyebutkan, tahadduts bin ni’mah berarti mensyukuri nikmat, menyebarkannya, menampakkan nikmat, dan memberitahukannya kepada orang lain.
Dalam konteks itu, Ibnul Qayyim dalam bukunya Madrijus Salikin mengemukakan korelasi makna antara memuji dan menyebut nikmat. Menurut beliau, memuji pemberi nikmat bisa dibagikan dalam dua bentuk: memuji secara umum dan memuji secara khusus. Memuji secara umum adalah dengan memuji sang pemberi nikmat sebagai yang dermawan, baik dan luas pemberiannya. Sedangkan memuji yang bersifat khusus adalah dengan memberitahukan dan menceritakan kenikmatan tersebut. Sehingga tahadduts bin ni’mat merupakan bentuk tertinggi dari memuji Allah Zat Pemberi nikmat.
Berdasarkan makna ayat di atas, mayoritas ulama salaf menganjurkan agar memberitahukan kebaikan yang dilakukan oleh seseorang jika ia mampu menghindarkan diri dari sifat riya’ dan agar bisa dijadikan contoh oleh orang lain. Sehingga secara hukum, tahadduts bin ni’mah dapat dibagi kepada dua kategori: jika terhindar dari fitnah riya’, ujub, dan tidak akan memunculkan kedengkian pada orang lain, maka sangat dianjurkan untuk menyebut dan menceritakan kenikmatan yang diterima oleh seseorang.
Namun, jika dikhawatirkan akan menimbulkan rasa dengki, dan untuk menghindarkan kerusakan akibat kedengkian dan tipu muslihat orang lain, maka menyembunyikan nikmat dalam hal ini bukan termasuk sikap kufur nikmat. Lebih tegas Imam Asy-Syaukani berpendapat bahwa tahadduts bin ni’mah bukan termasuk bagian dari tafaakhur (berbangga-bangga) maupun takabbur yang sangat dibenci oleh Allah swt. seperti dalam firmanNya, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (Luqman: 18)
Tahadduts bin ni’mah dalam konteks yang lebih luas, tidak hanya atas kenikmatan materi yang diterima seseorang. Atas kesungguhan beribadah dan taufiq untuk menjalankan amal shalih juga layak dan tidak ada salahnya untuk diceritakan dan diberitahukan kepada orang lain. Ini sebagai sebuah ungkapan rasa syukur dan agar bisa ditiru serta dijadikan contoh. Namun, tentu kepada mereka yang diharapkan mengikuti kebaikan dan amal shalih tersebut.
Al-Hasan bin Ali mengemukakan pernyataannya tentang hal itu, “Jika engkau mendapatkan kebaikan atau melakukan kebaikan, maka sebutlah dan ceritakanlah di depan saudaramu yang kamu percayai bahwa ia akan mengikuti jejak yang baik tersebut.” Kebiasaan seperti ini pernah dilakukan oleh Abu Firas, Abdullah bin Ghalib, seperti yang dituturkan oleh Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya, “Setiap kali aku bangun pagi, aku biasa menyebut amal yang aku lakukan di malam hari; aku sholat sekian, berdzikir sekian, membaca Al-Qur’an sekian dan sebagainya.” Ketika para sahabatnya mempertanyakan yang dilakukan oleh Abu Firas termasuk dalam kategori riya’, dengan tenang ia menjawab, “Allah memerintahkan dalam ayat-Nya untuk menceritakan kenikmatan, sedangkan kalian melarang untuk menyebut kenikmatan?”
Di sini sangat jelas bahwa tahadduts bin ni’mah merupakan salah satu kendali agar tidak terjerumus ke dalam kelompok yang dikecam oleh Allah karena menyembunyikan nikmat dan mengingkarinya serta tidak mengakui anugerah tersebut berasal dari Allah swt. Allah berfirman, “Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (An-Nahl: 83).
Tentang penduduk Negeri Saba’ yang ingkar dan enggan mensyukuri nikmat, Allah menggambarkan akhir kehidupan mereka yang mendapat azab. “Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” (Saba’: 15-17)
Dalam beberapa hadits Rasulullah dinyatakan bahwa Tahadduts dengan kenikmatan yang diraih merupakan salah satu dari impelemtasi syukur seorang hamba kepada Sang Pemberi nikmat, yaitu Allah. Dalam hal ini, At-Tirmidzi menukil sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa ia berkata, “Barangsiapa yang diberi kebaikan (kenikmatan), hendaklah ia membalasnya; Jika ia tidak punya sesuatu untuk membalasnya, hendaklah ia memuji pemberinya. Karena sesungguhnya apabila ia memuji berarti ia telah mensyukuri dan berterima kasih kepadanya. Akantetapi, jika ia menyembunyikannya, berarti ia telah mengingkari kebaikannya.” Dalam hadits lain dijelaskan masing-masing bentuk implementasi syukur secara lebih terperinci:
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ :قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ مَنْ لَمْ يَشْكُرْ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرْ الْكَثِيرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرْ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرْ اللَّهَ التَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللَّهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهَا كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
Dari An-Nu’man bin Basyir berkata, “Rasulullah saw. berkhutbah di atas mimbar menyampaikan sabdanya: ‘Barangsiapa tidak mensyukuri yang sedikit, berarti tidak bisa mensyukuri yang banyak. Barangsiapa tidak berterima kasih kepada manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah. Sesungguhnya menyebut-nyebut nikmat Allah adalah bersyukur dan meninggalkannya adalah kufur. Bersatu akan membawa rahmat dan bercerai-berai akan mendatangkan adzab’.” (Musnad Imam Ahmad, no. 17721)
Adalah anugerah Allah jika kita diberi kemampuan dan taufiq untuk senantiasa mensyukuri segala nikmatNya. Al-Hasan Al-Basri pernah berpesan, “Perbanyaklah oleh kalian menyebut-nyebut nikmat, karena sesungguhnya menyebut-nyebutnya sama dengan mensyukurinya.” Memang memperlihatkan kenikmatan merupakan sesuatu yang sangat dipuji oleh Allah karena Allah sangat cinta kepada hambaNya yang diberi nikmat lantas ia menampakkan atau memperlihatkan nikmat tersebut dalam sikap atau penampilan.
Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang berpenampilan jauh dan bertentangan dengan kenikmatan yang diterimanya. Seperti yang dikisahkan oleh Imam Al-Baihaqi bahwa salah seorang sahabat pernah datang menemui Rasulullah saw. dengan berpakaian lusuh dan kumal serta berpenampilan yang membuat sedih orang yang memandangnya. Melihat keadaan demikian, Rasulullah bertanya, “Apakah kamu memiliki harta?” Sahabat tersebut menjawab, “Ya, Alhamdulillah, Allah melimpahkan harta yang cukup kepadaku.” Maka Rasulullah berpesan, “Perlihatkanlah nikmat Allah tersebut dalam penampilanmu.” (Syu’abul Iman, Al-Baihaqi)
Mudah-mudahan kenikmatan yang semakin banyak mengalir mewarnai kehidupan kita, mampu kita jadikan sebagai modal untuk memperkuat dan memperbaiki semangat pengabdian kita kepada Allah dalam bentuk amal sholeh yang diridhoiNya. Tahadduts bin ni’mah yang kita lakukan semata untuk mendapatkan perhatian Allah, bukan perhatian dan pujian dari manusia. Namun begitu, harapan dari tahadduts bin ni’mah tersebut semoga akan bisa membangkitkan semangat orang lain untuk sama-sama menghadirkan kebaikan dan kemaslahatan pada bangsa tercinta ini.

Minggu, 18 Juli 2010

SUDAH KSHUSUKKAH SHALAT KITA SELAMA INI

Oleh : Moh. Safrudin, S.Ag, M.PdI
(Pengajar Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Kendari)
Salah satu problem yang dihadapi oleh kaebanyakan orang, tatkala menjalankan shalat adalah meraih kekhusuán. Shalat secara khusus’ternyata tidak mudah dilakukan. Untuk keluar dari persoalan ini, sampai-sampai ada buku yang membahas tentang shalat khusus’dilakukan. Selain itu juga ada pelatihan-pelatihan tentang shalat khusu’. Sejauh mana usaha itu berhasil, maka jawabannya adalah ada pada masing-masing orang yang menjalankannya.

Beratnya menjalankan shalat secara khusu’ juga dialami oleh orang-orang yang hidup di zaman nabi. Ada sebuah riwayat yang menggambarkan bahwa nabi pernah menyuruh seseorang agar mengulang kembali shalat seseorang yang baru saja menunaikannya. Menurut riwayat, hingga beberapa kali shalat itu supaya diulang, karena dianggap oleh Rasul, shalat tersebut belum sempurna.

Kisah tersebut menggambarkan bahwa memang shalat khusu’tidak mudah dilakukan. Akan tetapi, bagaimana membangun shalat khusu’tidak pernah ada jalan keluarnya secara umum. Bahkan yang ada justru semacam kritik, yang sering dilontarkan oleh mubaligh atau penceramah, terhadap orang-orang yang tidak khusu’shalatnya. Sudah barang tentu, kritik itu tidak akan menyelesaikan masalah, sebab bisa jadi, suatu saat pengritik sendiri juga melakukan kesalahan yang sama.

Dalam berbagai riwayat, Nabi Muhammad tatkala shalat selalu dilakukan secara sangat khusu’. Bahkan seringkali, Rasulullah tatkala sedang shalat menangis tersedu-sedu hingga mengeluarkan air mata, sampai membasahi bajunya. Bagi orang biasa akan mengatakan bahwa, sewajarnyalah sebagai seorang Rasul meraih puncak spiritual seperti itu, yang hal itu tidak akan diperoleh oleh manusia biasa.

Kekhusuán yang dialami oleh Rasulullah adalah sesuatu yang seharusnya memang demikian. Nabi Muhammad berbeda dengan manusia biasa. Nabi pernah mengalami peristiwa yang tidak pernah dirasakan oleh siapapun, yaitu peristiwa isra’dan mi’raj. Pada peristiwa tersebut melalui beberapa kisah yang bisa ditangkap, bahwa Nabi Muhammad melalui isra’dan mi’raj, berhasil menyaksikan sendiri berbagai peristiwa yang menakjubkan, yang tidak pernah dilihat oleh manusia lain siapapun.

Peristiwa yang dilihat oleh Nabi secara langsung, mengantarkannya pada puncak keyakinan dan keimanan yang kokoh. Sehingga, apapun yang diperintahkan oleh Allah akan dilakukan semaksimal mungkin. Perintah itu adalah kewajiban menjalanka shalat. Semula perintah shalat itu harus dilakukan 50 kali dalam sehari semalam. Tugas itu tanpa ditawar oleh Nabi akan dilaksanakan. Namun dalam perjalanan pulang, melewati beberapa langit yang dijaga oleh para Rasul yang dikenalnya, Nabi disarankan untuk memohon keringanan agar beban itu dikurangi.

Berulang kali Nabi menghadap Allah, -----memenuhi saran para Rasul penjaga langit itu, untuk memohon keringanan beban kewajiban menjalankan shalat, dan akhirnya atas kemurahan Allah, kewajiban shalat itu tinggal 5 kali dalam sehari semalam. Melalui kisah itu tergambar bahwa berapa kali saja perintah itu atau seberat apapun, akan dilaksanakan oleh Nabi. Kesediaan menerima perintah itu, didorong oleh keimanan yang dibangun atas dasar keyakinan yang kokoh. Sedangkan keyakinan itu didasarkan atas kesaksiannya secara langsung melalui peristiwa isra’ dan mi’raj tersebut.

Berbeda dengan para Rasul adalah para umatnya. Umat Muhammad tidak merasakan dan melihat sendiri peristiwa yang dahsyat itu. Gambaran tentang alam semesta, baik tentang benda-benda langit, kehidupan umat manusia, bahkan surga dan neraka, diperoleh melalui kisah-kisah yang dibawakan oleh Nabi Muhammad. Itulah kiranya yang menjadi sebab, betapa sulitnya membangun kekhusuán dalam shalat yang dialami oleh umatnya. Umat Islam tidak pernah melakukan isra’dan mi’raj, sebagaimana yang dialami oleh Rasul-Nya.

Jika benar bahwa melihat secara langsung akan melahirkan keyakinan yang kokoh dan mendalam, maka sesungguhnya melalui pendidikan, proses itu secara sederhana bisa dilakukan oleh siapapun. Ciptaan Allah melalui perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju, maka bisa dilihat oleh siapa saja. Perkembangan ilmu biologi, fisika,kimia, sosiologi, psikologi, sejarah dan lain-lain, adalah merupakan instrument bagi siapapun untuk memahami alam dan jagat raya ini. Dengan berbagai ilmu itu, jika diniati untuk menyaksikan dan memahami ayat-ayat Allah, maka akan mengantarkan bagi siapa saja sampai pada puncak keyakinan hingga menyebut kalimat subhanallah, yang artinya pintu marifatullah telah mulai terbuka.

Siapapun yang telah berhasil mengenal Allah, dan apalagi dalam hatinya telah tumbuh suasana mencitai-Nya, maka akan menjadi mudah tatkala harus menunaikan segala perintah-perintahnya. Pertanyaannya adalah bagaimana mempelajari ayat-ayat kawliyah dan sekaligus ayat-ayat kawniyah berhasil melahirkan suasana batin kagum, haru, takut, dan sekaligus mencintai, sehingga semua perintah-Nya ditunaikan dengan khusu’. Hal tersebut akan terjadi, jika tatkala seseorang dalam mempelajari kitab suci dan ilmu pengetahuan seperti fisika, biologi, kimia, sosiologi, psikologi dan lain-lain, bukan sebatas agar lulus ujian, melainkan sebagai bagian menuju makrifatullah, yang dibarengi dengan hati ikhlas. Itulah kaitan antara isra’ mi’raj dan kekhusuán dalam shalat yang sekiranya bisa dibangun oleh manusia biasa. Wallahu a’lam

Jumat, 16 Juli 2010

SUDAHKAH PENDIDIKAN MEMBENTUK KERAKTER PESERTA DIDIK ?

OLEH : MOH. SAFRUDIN, s.Ag, M.PdI
Akhir-akhir ini sudah semakin ramai dibicarakan tentang pendidikan karakter. Pada umumnya, semua pihak mendukung konsep itu. Menteri pendidikan nasional dan juga menteri agama beserta semua jajarannya membahas dan mensosialisasikan terhadap betapa pentingnya pendidikan karakter tersebut. Rupanya kesadaran itu muncul, setelah melihat kenyataan bahwa kehidupan bangsa ini, sudah terlalu banyak diwarnai oleh penyimpangan seperti korupsi, tewuran antar siswa, konflik antar kampung dan bahkan mahasiswa, penggunaan obat terlarang, pornografi dan lain-lain.



Terkait dengan pendidikan karakter ini, mungkin yang perlu dijawab adalah bagaimana bentuk pendidikan itu. Seringkali pendidikan, termasuk oleh pakarnya sediri, dimaknai secara sederhana. Pendidikan karakter, tentu saja bukan sebatas dilakukan dengan cara menugasi para peserta didik mengenali atau mengetahui tentang karakter yang seharusnya dijalankan, melainkan yang lebih penting dari itu semua adalah bagaimana melatih dan membiasakan karakter yang kuat, dan terpuji itu dalam kehidupan sehari-hari. Sebatas mengetahui dan atau mengenali sesuatu yang baik tidak cukup menjamin yang bersangkutan akan menjadikannya sebagai dasar berperilaku.



Betapa banyak orang telah memahami kerugian atau keburukan dan bahkan kejahatan bagi orang yang melaksanakan korupsi, tetapi mereka masih menjalankannya. Para koruptor tidak berarti bahwa mereka adalah orang yang tidak mengerti bahaya korupsi, baik terhadap dirinya sendiri dan bagi orang lain. Akan tetapi ternyata, mereka yang tahu dan bahkan bisa jadi sehari-hari berceramah tentang korupsi, ternyata melakukannya.



Oleh karena itu, mendidik karakter unggul tidak cukup hanya sebatas menyusun bahan pelajaran atau kuliah tentang karakter terpuji, kemudian menyampaikannya kepada para siswa di depan kelas, dengan menghitung berapa jam pelajaran dilaksanakan, berapa semester bahan itu bisa dihabiskan, termasuk buku pegangan apa yang digunakan dan seterusnya. Jika demikian yang dilakukan, maka pendidikan karakter yang dianggap penting itu tidak akan berhasil mengantarkan peserta didik menjadi berkarakter. Pendidikan seperti itu tidak akan berhasil membangun karakter. Bahkan karakter juga akan semakin merosot, apabila pendidikan karakter dijalankan dengan pendekatan proyek.



Saya berpandangan bahwa pendidikan karakter cukup dilakukan melalui pendidikan agama dalam pengertian yang luas. Sebab agama memberikan tuntutan bagaimana membangun kehidupan yang saleh secara utuh. Bagi bangsa Indonesia, agama sudah dijadikan sebagai dasar dalam kehidupan. Agama bagi bangsa ini diposisikan pada tempat yang amat strategis, yaitu menjadi bagian dari budaya bangsa. Agama mengajarkan tentang siapa sebenarnya manusia, tuhan, alam dan juga keselamatan bisa diraih. Orang yang mengerti dan paham tentang hal itu semua, terutama terkait arti kehidupan, mulai dari mana asal muasal manusia, ia sedang di mana, dan akan kemana kelanjutan kehidupan ini, maka akan terbangun watak dan karakter manusia. Tetapi lagi-lagi, pengetahuan itupun juga belum cukup. Nilai-nilai itu harus ditanamkan melalui pelatihan dan pembiasaan sehari-hari.



Konsep-konsep tentang kehidupan yang didapat dari ajaran agama, harus dilatih dan dibiasakan sehari-hari. Untuk melatih dan membiasakan itu semua diperlukan guru, orang tua, atau pelatih. Mereka itu adalah para guru di sekolah, orang tuanya sendiri dan bahkan juga orang-orang dekatnya. Tanpa pelatihan dan pembiasaan maka juga sulit perilaku berkarakter unggul tersebut terbentuk.



Betapa pentingnya pembiasaan dan pelatihan itu dilakukan, maka bisa digambarkan lewat contoh berikut. Seseorang yang sehari-hari berada di lapangan golf, oleh karena yang bersangkutan tidak pernah berlatih, maka ia tidak akan bisa bermain jenis olah raga ini. Demikian pula seorang penjaga toko buku, kepintarannya tidak akan menyamai mahasiswa yang sehari-hari menulis makalah yang bersumber dari buku yang dibeli dari toko itu. Maka pelatihan dan pembiasaan menjadi sangat penting dan harus dilakukan oleh masing-masing orang yang ingin membangun karakter.



Oleh karena itu pendidikan karakter tidak bisa diserahkan kepada pihak-pihak tertentu, tanpa melibatkan semua pihak secara keseluruhan. Pendidikan karakter harus terjadi di semua tempat seseorang berada. Oleh karena itu pendidikan karakter harus dilakukan secara padu baik di rumah, di sekolah dan di masyarakat di mana seseorang hidup. Jika ketiga-tiganya itu tidak bisa dipenuhi, maka setidak-tidaknya di lingkungan keluarga dan di sekolah harus bisa dijalankan. Dua lingkungan ini tidak boleh tidak melakukannya.



Pendidikan karakter yang terjadi di rumah dan di sekolah harus berlangsung sepanjang waktu. Misalnya, sejak pagi waktu bangun tidur, ------bagi yang muslim, maka anak-anak dibangunkan diajak datang ke masjid memenuhi panggilan adzan subuh. Orang tua, ----ayah dan ibu, bersama-sama anak-anaknya datang ke tempat ibadah itu. Demikian juga pada saat dikumandangkan adzan pada waktu sholat lainnya, yaitu pada sholat dhuhur, ashar, maghrib dan isya’.



Orang tua ketika dirumah selalu membiasakan hidup secara disiplin, jujur, berlaku adil, ikhlas, istiqomah dan tawakkal dalam semua kegiatan. Nilai-nilai yang indah itu harus berikan contoh pelaksnaannya oleh orang tuanya secara konsisten. Nilai-nilai itu harus menjadi kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. Jika terdapat pelanggaran, harus ada sanksi dari orang tua atau pihak yang dianggap memiliki otoritas untuk mememberikan tauladan terhadap nilai-nilai tersebut.



Cara yang sama juga dilakukan di sekolah. Seorang guru, -----bagi yang muslim, ketika masuk waktu sholat dhuhur misalnya, segera menugasi salah seorang untuk mengumandangkan adzan di masjid yang ada di lingkungan sekolah. Kepala sekolah dan para guru memberikan contoh, berupa datang ke masjid untuk berjama’ah. Guru juga seharusnya mengingatkan kepada siapa saja yang terlambat datang atau bahkan tidak hadir dengan alasan yang tidak jelas. Dengan cara itu, maka kepala sekolah atau guru benar-benar melakukan peran sebagai orang tua tatkala sedang di sekolah. Hubungan guru dan murid bagaikan hubungan orang tua dan anak, yaitu di antara mereka terbangun atas suasana kasih sayang yang mendalam.



Dengan demikian, yaitu baik ketika anak-anak sedang di rumah maupun pada waktu di sekolah, mereka selalu berada pada lingkungan yang berkarakter. Lingkungan yang berkarakter akan melahirkan orang-orang yang berkarakter pula. Memang tidak mungkin, anak akan tumbuh menjadi karakter unggul, sementara mereka berada di lingkungan yang kurang mendukungnya.



Akhirnya, pendidikan karakter akan terjadi jika beberapa aspek saling memperkukuh, yaitu adanya nilai-nilai karakter yang harus dijalankan, ------ bersumber dari kitab suci, terdapat role model, yaitu guru dan orang tua, dan yang ketiga adalah lingkungan pembentuk berkarakter itu sendiri. Persoalannya, bagaimana semua pihak menjadi ikhlas, tekun, istiqomah, dan sabar menjalankan peran dan tanggung jawabnya masing-masing itu. Pada tingkat teoritik mudah dilakukan, namun pada tingkat implementasinya, seringkali tidak terlalu gampang dilakukan, apalagi harus bersama-sama. Wallahu a’lam.

SUDAHKAH PENDIDIKAN MEMBENTUK KERAKTER PESERTA DIDIK ?

Akhir-akhir ini sudah semakin ramai dibicarakan tentang pendidikan karakter. Pada umumnya, semua pihak mendukung konsep itu. Menteri pendidikan nasional dan juga menteri agama beserta semua jajarannya membahas dan mensosialisasikan terhadap betapa pentingnya pendidikan karakter tersebut. Rupanya kesadaran itu muncul, setelah melihat kenyataan bahwa kehidupan bangsa ini, sudah terlalu banyak diwarnai oleh penyimpangan seperti korupsi, tewuran antar siswa, konflik antar kampung dan bahkan mahasiswa, penggunaan obat terlarang, pornografi dan lain-lain.



Terkait dengan pendidikan karakter ini, mungkin yang perlu dijawab adalah bagaimana bentuk pendidikan itu. Seringkali pendidikan, termasuk oleh pakarnya sediri, dimaknai secara sederhana. Pendidikan karakter, tentu saja bukan sebatas dilakukan dengan cara menugasi para peserta didik mengenali atau mengetahui tentang karakter yang seharusnya dijalankan, melainkan yang lebih penting dari itu semua adalah bagaimana melatih dan membiasakan karakter yang kuat, dan terpuji itu dalam kehidupan sehari-hari. Sebatas mengetahui dan atau mengenali sesuatu yang baik tidak cukup menjamin yang bersangkutan akan menjadikannya sebagai dasar berperilaku.



Betapa banyak orang telah memahami kerugian atau keburukan dan bahkan kejahatan bagi orang yang melaksanakan korupsi, tetapi mereka masih menjalankannya. Para koruptor tidak berarti bahwa mereka adalah orang yang tidak mengerti bahaya korupsi, baik terhadap dirinya sendiri dan bagi orang lain. Akan tetapi ternyata, mereka yang tahu dan bahkan bisa jadi sehari-hari berceramah tentang korupsi, ternyata melakukannya.



Oleh karena itu, mendidik karakter unggul tidak cukup hanya sebatas menyusun bahan pelajaran atau kuliah tentang karakter terpuji, kemudian menyampaikannya kepada para siswa di depan kelas, dengan menghitung berapa jam pelajaran dilaksanakan, berapa semester bahan itu bisa dihabiskan, termasuk buku pegangan apa yang digunakan dan seterusnya. Jika demikian yang dilakukan, maka pendidikan karakter yang dianggap penting itu tidak akan berhasil mengantarkan peserta didik menjadi berkarakter. Pendidikan seperti itu tidak akan berhasil membangun karakter. Bahkan karakter juga akan semakin merosot, apabila pendidikan karakter dijalankan dengan pendekatan proyek.



Saya berpandangan bahwa pendidikan karakter cukup dilakukan melalui pendidikan agama dalam pengertian yang luas. Sebab agama memberikan tuntutan bagaimana membangun kehidupan yang saleh secara utuh. Bagi bangsa Indonesia, agama sudah dijadikan sebagai dasar dalam kehidupan. Agama bagi bangsa ini diposisikan pada tempat yang amat strategis, yaitu menjadi bagian dari budaya bangsa. Agama mengajarkan tentang siapa sebenarnya manusia, tuhan, alam dan juga keselamatan bisa diraih. Orang yang mengerti dan paham tentang hal itu semua, terutama terkait arti kehidupan, mulai dari mana asal muasal manusia, ia sedang di mana, dan akan kemana kelanjutan kehidupan ini, maka akan terbangun watak dan karakter manusia. Tetapi lagi-lagi, pengetahuan itupun juga belum cukup. Nilai-nilai itu harus ditanamkan melalui pelatihan dan pembiasaan sehari-hari.



Konsep-konsep tentang kehidupan yang didapat dari ajaran agama, harus dilatih dan dibiasakan sehari-hari. Untuk melatih dan membiasakan itu semua diperlukan guru, orang tua, atau pelatih. Mereka itu adalah para guru di sekolah, orang tuanya sendiri dan bahkan juga orang-orang dekatnya. Tanpa pelatihan dan pembiasaan maka juga sulit perilaku berkarakter unggul tersebut terbentuk.



Betapa pentingnya pembiasaan dan pelatihan itu dilakukan, maka bisa digambarkan lewat contoh berikut. Seseorang yang sehari-hari berada di lapangan golf, oleh karena yang bersangkutan tidak pernah berlatih, maka ia tidak akan bisa bermain jenis olah raga ini. Demikian pula seorang penjaga toko buku, kepintarannya tidak akan menyamai mahasiswa yang sehari-hari menulis makalah yang bersumber dari buku yang dibeli dari toko itu. Maka pelatihan dan pembiasaan menjadi sangat penting dan harus dilakukan oleh masing-masing orang yang ingin membangun karakter.



Oleh karena itu pendidikan karakter tidak bisa diserahkan kepada pihak-pihak tertentu, tanpa melibatkan semua pihak secara keseluruhan. Pendidikan karakter harus terjadi di semua tempat seseorang berada. Oleh karena itu pendidikan karakter harus dilakukan secara padu baik di rumah, di sekolah dan di masyarakat di mana seseorang hidup. Jika ketiga-tiganya itu tidak bisa dipenuhi, maka setidak-tidaknya di lingkungan keluarga dan di sekolah harus bisa dijalankan. Dua lingkungan ini tidak boleh tidak melakukannya.



Pendidikan karakter yang terjadi di rumah dan di sekolah harus berlangsung sepanjang waktu. Misalnya, sejak pagi waktu bangun tidur, ------bagi yang muslim, maka anak-anak dibangunkan diajak datang ke masjid memenuhi panggilan adzan subuh. Orang tua, ----ayah dan ibu, bersama-sama anak-anaknya datang ke tempat ibadah itu. Demikian juga pada saat dikumandangkan adzan pada waktu sholat lainnya, yaitu pada sholat dhuhur, ashar, maghrib dan isya’.



Orang tua ketika dirumah selalu membiasakan hidup secara disiplin, jujur, berlaku adil, ikhlas, istiqomah dan tawakkal dalam semua kegiatan. Nilai-nilai yang indah itu harus berikan contoh pelaksnaannya oleh orang tuanya secara konsisten. Nilai-nilai itu harus menjadi kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. Jika terdapat pelanggaran, harus ada sanksi dari orang tua atau pihak yang dianggap memiliki otoritas untuk mememberikan tauladan terhadap nilai-nilai tersebut.



Cara yang sama juga dilakukan di sekolah. Seorang guru, -----bagi yang muslim, ketika masuk waktu sholat dhuhur misalnya, segera menugasi salah seorang untuk mengumandangkan adzan di masjid yang ada di lingkungan sekolah. Kepala sekolah dan para guru memberikan contoh, berupa datang ke masjid untuk berjama’ah. Guru juga seharusnya mengingatkan kepada siapa saja yang terlambat datang atau bahkan tidak hadir dengan alasan yang tidak jelas. Dengan cara itu, maka kepala sekolah atau guru benar-benar melakukan peran sebagai orang tua tatkala sedang di sekolah. Hubungan guru dan murid bagaikan hubungan orang tua dan anak, yaitu di antara mereka terbangun atas suasana kasih sayang yang mendalam.



Dengan demikian, yaitu baik ketika anak-anak sedang di rumah maupun pada waktu di sekolah, mereka selalu berada pada lingkungan yang berkarakter. Lingkungan yang berkarakter akan melahirkan orang-orang yang berkarakter pula. Memang tidak mungkin, anak akan tumbuh menjadi karakter unggul, sementara mereka berada di lingkungan yang kurang mendukungnya.



Akhirnya, pendidikan karakter akan terjadi jika beberapa aspek saling memperkukuh, yaitu adanya nilai-nilai karakter yang harus dijalankan, ------ bersumber dari kitab suci, terdapat role model, yaitu guru dan orang tua, dan yang ketiga adalah lingkungan pembentuk berkarakter itu sendiri. Persoalannya, bagaimana semua pihak menjadi ikhlas, tekun, istiqomah, dan sabar menjalankan peran dan tanggung jawabnya masing-masing itu. Pada tingkat teoritik mudah dilakukan, namun pada tingkat implementasinya, seringkali tidak terlalu gampang dilakukan, apalagi harus bersama-sama. Wallahu a’lam.

Senin, 12 Juli 2010

MENYIBAK MAKNA ISRA DAN MI'RAJ

Oleh Nasaruddin Umar

Peristiwa Isra Mi'raj adalah perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha yang sangat dramatik dan fantastik. Dalam tempo singkat-kurang dari semalam (minal lail)-tetapi Nabi berhasil menembus lapisan-lapisan spiritual yang amat jauh bahkan hingga ke puncak (Sidratil Muntaha).

Walaupun terjadi dalam sekejap, tetapi memori Rasulullah SAW berhasil menyalin pengalaman spiritual yang amat padat di sana. Kalau dikumpulkan seluruh hadis Isra Mi'raj (baik sahih maupun tidak), maka tidak cukup sehari-semalam untuk menceritakannya. Mulai dari perjalanan horizontalnya (ke Masjid Aqsha) sampai perjalanan vertikalnya (ke Sidratil Muntaha). Pengalaman dan pemandangan dari langit pertama hingga langit ketujuh dan sampai ke puncak Sidratil Muntaha.

Ada pertanyaan yang mengusik. Mengapa Allah SWT memperjalankan hambanya di malam hari (lailan), bukan di siang hari (naharan)? "Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS al-Isra [17]: 1).

Dalam bahasa Arab kata lailah mempunyai beberapa makna. Ada makna literal berarti malam, lawan dari siang. Ada makna alegoris (majaz) seperti gelap atau kegelapan, kesunyian, keheningan, dan kesyahduan; serta ada makna anagogis (spiritual) seperti kekhusyukan (khusyu'), kepasrahan (tawakkal), kedekatan (taqarrub) kepada Allah.

Dalam syair-syair klasik Arab, ungkapan lailah lebih banyak digunakan makna alegoris ketimbang makna literalnya. Seperti ungkapan syair seorang pengantin baru: "Ya lalila thul, ya shubhi qif" (wahai malam bertambah panjanglah, wahai Subuh berhentilah). Kata lailah di dalam bait itu berarti kesyahduan, keindahan, kenikmatan, dan kehangatan; sebagaimana dirasakan oleh para pengantin baru yang menyesali pendeknya malam.

Di dalam syair-syair sufistik orang bijak (hukama) juga lebih banyak menekankan makna anagogis kata lailah. Para sufi lebih banyak menghabiskan waktu malamnya untuk mendaki (taraqqi) menuju Tuhan. Mereka berterima kasih kepada lailah (malam) yang selalu menemani kesendirian mereka. Perhatikan ungkapan Imam Syafii: Man thalabal ula syahiral layali (barangsiapa yang mendambakan martabat utama banyaklah berjaga di waktu malam), bukan sekadar berjaga. Kata al-layali di sini berarti keakraban dan kerinduan antara hamba dan Tuhannya.

Arti lailah dalam ayat pertama surah al-Isra di atas menunjukkan makna anagogis, yang lebih menekankan aspek kekuatan spiritual malam (the power of night). Kekuatan emosional-spiritual malam hari yang dialami Rasulullah, dipicu oleh suasana sedih yang sangat mendalam, karena sang istri, Khadijah, dan sekaligus pelindungnya telah pergi untuk selama-lamanya. Rasulullah memanfaatkan suasana duka di malam hari sebagai kekuatan untuk bermunajat kepada Allah SWT.

Kesedihan dan kepasrahan yang begitu memuncak membawa Rasulullah menembus batas-batas spiritual tertentu, bahkan sampai pada jenjang puncak yang bernama Sidratil Muntaha. Di sanalah Rasulullah di-install (diisi) dengan spirit luar biasa sehingga malaikat Jibril sebagai panglima para malaikat juga tidak sanggup menembus puncak batas spiritual tersebut.

Kehebatan malam hari juga digambarkan Tuhan di dalam Alquran: "Dan pada sebahagian malam hari shalat Tahajudlah kalian sebagai suatu ibadah tambahan bagi kalian: mudah-mudahan Tuhan kalian mengangkat kalian ke tempat yang terpuji. (QS al-Isra [17]: 79).

"Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)." (QS al-Dzariyat [51]: 17).

Kata lailah dalam ketiga ayat di atas, mengisyaratkan malam sebagai rahasia untuk mencapai ketinggian dan martabat utama di sisi Allah SWT di malam hari.

Ayat pertama (QS al-'Alaq [96]: 1-5) di turunkan di malam hari, ayat-ayat tersebut sekaligus menandai pelantikan Muhammad SAW sebagai Nabi di malam hari. Tidak lama kemudian turun ayat dalam surah Al-Muddatstsir yang menandai pelantikan Nabi Muhammad, sekaligus sebagai Rasul menurut kalangan ulama 'Ulumul Qur'an.

Peristiwa Isra dan Mi'raj, ketika seorang hamba mencapai puncak maksimum (sudrah al-muntaha) juga terjadi di malam hari. Yang tidak kalah pentingnya ialah lailah al-qadr khair min alf syahr (malam lailatul qadr lebih mulia dari seribu bulan), bukannya siang hari Ramadlan (nahar al-qadr).

Kecerdasan

Surah al-Isra [17] diapit oleh dua surah yang serasi yaitu al-Nahl [16] dan al-Kahfi [18]. Surah al-Nahl dianggap simbol kecerdasan intelektual, karena berkaitan dengan dunia keilmuan (kisah lebah). Surah al-Kahfi sebagai simbol surah kecerdasan spiritual, karena berkaitan dengan cerita keyakinan dan spiritualitas (kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa, Ashabul Kahfi dan Dzulqarnain).

Sedangkan surah Al-Isra sering dijadikan sebagai simbol kecerdasan emosional, karena di dalamnya diceritakan pengaruh kematangan emosional dan prestasi puncak seorang hamba. Itulah sebabnya, ketiga surah yang menempati pertengahan juz Alquran disebut dengan surah tiga serangkai, yaitu surah IQ, EQ, SQ.

Keutamaan di malam hari, juga banyak membuat anak manusia menjadi lebih sadar (insyaf) dari perbuatan masa lalu yang kelam dan hitam. Malam hari banyak menumpahkan air mata tobat para hamba yang menyadari akan kesalahannya. Malam hari paling tepat untuk dijadikan momentum menentukan cita-cita luhur.

Mungkin inilah salah satu keistimewaan pondok pesantren yang memanfaatkan malam hari untuk memperbaiki akhlak dan budi pekerti santrinya. Sementara di sekolah-sekolah umum, jarang sekali memanfaatkan malam hari untuk pembinaan budi pekerti. Padahal, Allah sudah mengisyaratkan bahwa pada umumnya shalat itu ditempatkan di malam hari. Hanya shalat Zhuhur dan Ashar di siang hari, selebihnya di malam hari (shalat Maghrib, Isya, Tahajjud, Witir, Tarawih, Fajr, Subuh). Ini isyarat bahwa pendekatan pribadi secara khusus kepada Tuhan lebih utama di malam hari.

Sebenarnya peristiwa Isra-Mi'raj mempunyai dua macam peristiwa. Pertama, perjalanan horizontal dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha. Dan kedua, perjalanan vertikal dari Masjid Aqsha ke Sidratil Muntaha. Perjalanan Isra mungkin masih bisa dideteksi dengan sains dan teknologi, tetapi perjalanan Mi'raj sama sekali di luar kemampuan otak pikiran manusia.

Perjalanan Mi'raj ini, juga masih diperdebatkan banyak ulama, apakah dengan fisik dan roh Rasulullah atau hanya rohaninya saja. Mayoritas ulama Suni memahami bahwa yang diperjalankan Tuhan ke Sidratil Muntaha ialah Nabi Muhammad SAW secara utuh, lahir dan batin. Sementara pendapat lain memahami hanya rohaninya saja.

Yang pasti, perjalanan singkat itu berhasil merekam berbagai pemandangan spiritual bagi Rasulullah SAW, dan hendaknya bisa dijadikan pelajaran dan hikmah bagi umat Islam. Sebab, perjalanan malam hari itu, telah membangkitkan semangat baru Rasulullah dalam menyebarkan dakwah Islam.

Minggu, 11 Juli 2010

isra mi'raj dan kepemimipinan

Isro’dan Mi’roj hanya dialami oleh Nabi Muhammad saw., sendiri. Selain utusan Allah ini tidak pernah dan akan mengalaminya. Namun jika peristiwa itu direnungkan secara mendalam, akan mendapatkan nilai-nilai kehidupan yang luar biasa, tidak terkecuali terkait dengan kepemimpinan.

Perjalanan isra’dan mi’raj dilakukan di malam hari, sehingga tidak diketahui oleh siapapun, baik tatkala menjelang berangkat, sedang di perjalanan, maupun ketika tiba. Baru sepulang dari perjalanan malam itu, Rasulullah mengkhabarkan kepada para sahabatnya. Kita tidak bisa bayangkan apa yang terjadi, misalnya jika perjalanan itu dilakukan di siang hari, apalagi sempat berpamitan, dan juga ketemu orang. Maka peristiwa itu tidak akan ada yang terasa aneh dan sakral.

Rupanya sesuatu yang aneh, sacral, dan menakjubkan itu selalu diperlukan bagi kehidupan masyarakat, ----kapan saja, termasuk di zaman Rasul. Hal yang aneh, sacral dan menakjubkan tersebut kemudian dijadikan perbincangan, wacana, atau discourse secara terus menerus. Ternyata sesuatu yang tidak mudah dicari jawabnya itu penting, sebagai penggerak masyarakat. Dengan wacana, discourse, atau isu yang tidak mudah dicari jawabnya itu ternyata menjadikan pikiran banyak orang tertantang.

Kejadian Isra’dan mi’raj merupakan kejadian yang memiliki nilai dan berjangkauan tinggi. Hal itu rupanya sengaja diciptakan oleh Allah, agar manusia tidak saja terbelenggu oleh persoalan-persoalan kecil, teknis, sederhana dan mudah dicari jawabnya, seperti misalnya hanya terkait masalah ekonomi, politik, ilmu, dan lain-lain.

Oleh karena itu, bagi orang yang mau memikirkan secara mendalam, isro’dan mi’roj memberikan inspirasi mendalam terhadap para pemimpin masyarakat, bahwa hendaknya mampu membuat wacara yang sulit dijangkau oleh mereka yang dipimpinnya. Dalam bahasa leadership, maka pemimpin harus sanggup membuat isu-isu strategis yang digunakan untuk menggerakkan banyak orang.

Pemimpin yang gagal merumuskan isu besar dan strategis, bisanya menjadikan para pengikutnya kebingungan. Mereka akan bertanya-tanya, akan dibawa kemana lembaganya. Jika hal itu terjadi maka artinya pemimpin lembaga tersebut telah gagal dalam kepemimpinanya. Pertanyaan semacam itu menggambarkan bahwa sang pemimpin tidak mampu merumuskan isu yang seharusnya dibuat.

Nabi Muhammad sebagai seorang rasul, yang bertugas memperbaiki masyarakat manusia sepanjang zaman, maka membutuhkan isu besar dan strategis yang mampu bertahan lama. Rupanya isu strategis itu di antaraya berupa isro’dan mi’roj, yang hingga kini tidak pernah berhenti didiskusikan, diperbincangkan, digali hikmahnya dari zaman ke zaman dan tidak pernah putus-putusnya.

Pada kenyataannya, memang banyak pemimpin yang tidak mampu merumuskan isu-isu besar dan strategis, hingga berhasil menggerakkan orang agar berpikir dan berbuat. Sementara pemimpin hanya mampu merumuskan isu yang sifatnya sederhana dan berjangka pendek, sehingga tidak melampaui cara berpikir mereka yang dipimpinnya. Sebagai akibatnya, pemimpin tersebut tidak diapresiasi dan tidak ada sesuatu yang menjadi sebab dikagumi darinya. Akibatnya ia tidak berwibawa, sehingga perintahnya tidak diikuti dan perilakunya tidak dijadikan referensi oleh para pengikutnya.

Sudah barang tentu, peristiwa isro’dan mi’roj bukan sebatas menjadi sumber inspirasi kepemimpinan masyarakat sebagaimana diuraikan di muka. Tetapi, isro’dan mi’roj semestinya juga ditangkap oleh para pemimpin pada tingkat dan jenis apapun, bahwa dalam menggerakkan mereka yang dipimpin selalu memerlukan isu-isu strategis yang tidak mudah terjangkau oleh mereka yang dipimpinnya.

Isu besar dan strategis dalam setiap kepemimpinan sangat penting untuk menggerakkan pikiran, daya nalar, perasaan bagi siapa saja yang sedang dipimpinnya. Selanjutnya, jika kita mau jujur sebenarnya bangsa ini juga sedang memerlukan isu besar dan strategis untuk menggerakkan warga negara secara keseluruhan. Isu besar dan strategis tersebut sementara ini, seolah-olah belum terpikirkan kegunaannya. Akibatnya, bangsa ini seakan-akan berjalan tanpa isu besar dan strategis, sehingga sehari-hari hanya sibuk dengan hal kekinian seperti pemberantasan korupsi, tabung gas elpiji, video porno, dan sejenisnya.

Semestinya para pemimpinan bangsa ini segera menciptakan isu strategis yang bersifat universal, bernilai dan berjangkauan tinggi, sehingga menjadi wacana, perbincangan discourse dan bahkan cita-cita bagi semuanya. Atas dasar wacana itu maka semua orang akan memperbincangkan, memikirkan, dan berusaha meraihnya. Oleh karena tidak ada isu yang luar biasa tersebut, maka banyak orang hanya terjebak pada persoalan sederhana dan teknis sebagaimana dikemukakan di muka.

Biasanya kehidupan yang tidak dituntun dan digerakkan oleh isu atau tema besar dan strategis, akan bagaikan orang hidup tanpa tujuan, orientasi atau cita-cita. Akibatnya hidup akan dirasakan menjadi terlalu lama. Dengan suasana seperti itu orang akan mencari pelarian untuk memuaskan diri. Bentuk pelarian itu macam-macam misalnya, menumpuk harta dengan cara korupsi. Isu atau tema besar dan strategis kapan dan di manapun selalu diperlukan. Maka dalam kepemimpinan selalu memerlukan isu besar dan strategis. Tuhan pun ternyata juga membuat isu besar, di antaranya berupa isra’mi’raj. Mestinya, bangsa ini juga mempunyainya, tetapi siapa yang harus membuat? Wallahu a’lam

Kamis, 08 Juli 2010

MEMAHAMI ISRA DAN MI'RAJ PADA MASA KINI

OLEH : MOH. SAFRUDIN, S.Ag, M.PdI
(Pengasuh Acara Sentuhan Iman Agama dan Remaja (SINAR) RRI Kendari)
Salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah hidup (siirah) Rasulullah SAW adalah peristiwa diperjalankannya beliau (isra) dari Masjid al Haram di Makkah menuju Masjid al Aqsa di Jerusalem, lalu dilanjutkan dengan perjalanan vertikal (mi'raj) dari Qubbah As Sakhrah (terletak sekitar 150 meter dari Masjid al Aqsa) menuju ke Sidrat al Muntaha (akhir penggapaian). Peristiwa ini terjadi antara 16-12 bulan sebelum Rasulullah SAW diperintahkan untuk melakukan hijrah ke Yatsrib (Madinah).
Allah SWT mengisahkan peristiwa agung ini di S. Al Isra (dikenal juga dengan S. Bani Israil) ayat pertama:
"Maha Suci Allah Yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu (potongan) malam dari masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat".
Memang "Subhanallah", sebuah ungkapan indah yang terucapkan baik dalam kerangka kesadaran maupun diluar kesadaran seorang Mu'min di saat menyaksikan, merasakan atau mengalami sebuah kejadian yang "luar biasa" (kharij 'anil 'aadah). Ungkapan ini tidak pernah dan tak mungkin tertujukan kepada sang makhluk, termasuk Rasulullah SAW. Sebab sesuatu yang sifatnya "khalqi" atau makhluqi, tidak mungkin dikategorikan sebagai "kharij 'anil 'aadah" (luar biasa). Semua kejadian yang terjadi karena makhluk adalah biasa, dan tidak mungkin dianggap luar biasa.
Itulah sebabnya "tasbih" pada kata "Subhanallah" senantiasa bergandengan dengan Allah SWT. Bukankah memang kreasi-kreasi Ilahi dalam persepsi manusia semuanya adalah "di luar kemampuan kendali manusiawi"? Sehingga wajar, peristiwa Isra' wal Mi'raj, di mana Allah dengan sangat enteng memperjalankan hambaNya ('abdihi), Muhammad SAW, dengan jarak yang sangat-sangat jauh bahkan tak terbayangkan seorang manusia dapat terjadi, apalagi pada zaman kegelepan/kebodohan seperti itu. Tapi dengan akal yang sama, adakah yang tidak bisa terjadi dengan Pencipta semua yang manusia anggap biasa maupun luar biasa? Kalau sekiranya teori Black Holes menyatakan bahwa "pengetahuan manusia tentang alam hanyalah sekitar 3% saja, sedangkan 97% berada di luar kemampuannya", maka apakah secara akal pula, akal yang begitu naïf itu mampu mempertanyakan "ke Maha luar biasa-an" Allah SWT?
Saya justeru khawatir, jikalau banyak umat Islam yang terikut oleh kaum empiris dan rasionalis yang rela menghinakan "nurani" dan "qalbu"nya dalam memahami wahyu Ilahi secara proporsional, menjadi "murtad" tanpa sadar jika mengingkari berbagai kejadian "luar biasa" yang terjadi karena Allah seperti informasi Al Qur'an, termasuk Isra' wal Mi'raj. Dan oleh karenanya, saya hanya mengingatkan dua "sikap" manusia terhadap pertistiwa agung itu. Sikap "imani" yang ditempuh oleh para sahabat agung seperti Abu Bakar, dan sikap "kufri" yang ditempuh oleh kafir Qurays dengan standar akal pemikiran yang sempit. Umat Islam, dalam hal ini, kiranya tahu diri dan pintar-pintar bersikap sehingga tidak jatuh ke dalam perangkap "keraguan" yang ditembakkan oleh penjahat-penjahat iman. Pendekatan yang terbaik adalah pendekatan "imaniy", seperti yang ditempuh oleh Abu Bakar Al-Siddiq, seperti yang tercakup dalam ucapannya: "Apabila Muhammad yang mengatakannnya, pastilah benar adanya. Sungguh saya telah mempercayainya lebih dari itu".
Untuk itu, ketimbang terkooptasi oleh perbincangan yang berbahaya, atau minimal membawa kepada kesia-siaan, tidakkah akan lebih baik jika memontem ini dipergunakan untuk mentadabburi "hikam" atau "'ibar" (hikmah dan pelajaran) yang terkandung di dalamnya. Sebab memang, salah satu kelemahan umat Islam di hadapan untaian sejarah perjalanan Islam dan segala yang terkait dengannya, termasuk berbagai sejarah yang diungkapkan oleh Al Qur'an adalah bahwa umat Islam hanya mampu menyelami pesisir sejarah yang sesungguhnya "dalam" tersebut. Kisah Fir'aun, Qarun, Haman, Tsamud, Abu Lahab, dan berbagai kisah masa lalu perjalanan kehidupan, tak jarang dihafal namun tidak ditangkap secara jernih dan teliti makna-makna yang terkandung di dalamnya.
Lalu apa pelajaran yang dapat diambil dari perjalanan Isra wal Mi'raj ini? Barangkali catatan ringan berikut dapat memotivasi kita untul lebih jauh dan sungguh-sungguh menangkap pelajaran yang seharusnya kita tangkap dari perjalanan agung tersebut:
Pertama: Konteks situasi terjadinya
Kita kenal, Isra' wal Mi'raj terjadi sekitar setahun sebelum Hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah (Yatsrib ketika itu). Ketika itu, Rasulullah SAW dalam situasi yang sangat "sumpek", seolah tiada celah harapan masa depan bagi agama ini. Selang beberapa masa sebelumnya, isteri tercinta Khadijah r.a. dan paman yang menjadi dinding kasat dari penjuangan meninggal dunia. Sementara tekanan fisik maunpun psikologis kafir Qurays terhadap perjuangan semakin berat. Rasulullah seolah kehilangan pegangan, kehilangan arah, dan kini pandangan itu berkunang-kunang tiada jelas.
Dalam sitausi seperti inilah, rupanya "rahmah" Allah meliputi segalanya, mengalahkan dan menundukkan segala sesuatunya. "warahamatii wasi'at kulla syaein", demikian Allah deklarasikan dalam KitabNya. Beliau di suatu malam yang merintih kepedihan, mengenang kegetiran dan kepahitan langkah perjuangan, tiba-tiba diajak oleh Pemilik kesenangan dan kegetiran untuk "berjalan-jalan" (saraa) menelusuri napak tilas "perjuangan" para pejuang sebelumnya (para nabi). Bahkan dibawah serta melihat langsung kebesaran singgasana Ilahiyah di "Sidartul Muntaha". Sungguh sebuah "penyejuk" yang menyiram keganasan kobaran api permusuhan kaum kafir. Dan kinilah masanya bagi Rasulullah SAW untuk kembali "menenangkan" jiwa, mempermantap tekad menyingsingkan lengan baju untuk melangkah menuju ke depan.
Artinya, bahwa kita, saya dan anda semua, adalah "rasul-rasul" Rasulullah SAW dalam melanjutkan perjuangan ini. Betapa terkadang, di tengah perjalanan kita temukan tantangan dan penentangan yang menyesakkan dada, bahkan mengaburkan pandangan objektif dalam melangkahkan kaki ke arah tujuan. Jikalau hal ini terjadi, maka tetaplah yakin, Allah akan meraih tangan kita, mengajak kita kepada sebuah "perjalanan" yang menyejukkan. "Allahu Waliyyulladziina aamanu" (Sungguh Allah itu adalah Wali-nya mereka yang betul-betul beriman". Wali yang bertanggung jawab memenuhi segala keperluan dan kebutuhan. Kesumpekan dan kesempitan sebagai akibat dari penentangan dan rintangan mereka yang tidak senang dengan kebenaran, akan diselesaikan dengan cara da metode yang Hanya Allah yang tahu. Yang terpenting bagi seorang pejuang adalah, maju tak gentar, sekali mendayung pantang mundur, konsistensi memang harus menjadi karakter dasar badi seorang pejuang di jalanNya. "Wa laa taeasuu min rahmatillah" (jangan sekali-kali berputus asa dari rahmat Allah).
Kedua: Purifikasi/Pensucian Hati
Disebutkan bahwa sebelum di bawah oleh Jibril, beliau dibaringkan lalu dibelah dadanya, kemudian hatinya dibersihkan dengan air zamzam. Apakah hati Rasulullah kotor? Pernahkan Rasulullah SAW berbuat dosa? Apakah Rasulullah punya penyakit "dendam", dengki, iri hati, atau berbagai penyakit hati lainnya? Tidak…sungguh mati…tidak. Beliau hamba yang "ma'shuum" (terjaga dari berbuat dosa). Lalu apa signifikasi dari pensucian hatinya?
Rasulullah adalah sosok "uswah", pribadi yang hadir di tengah-tengah umat sebagai, tidak saja "muballigh" (penyampai), melainkan sosok pribadi unggulan yang harus menjadi "percontohan" bagi semua yang mengaku pengikutnya. "Laqad kaana lakum fi Rasulillahi uswah hasanah".
Memang betul, sebelum melakukan perjalanannya, haruslah dibersihkan hatinya. Sungguh, kita semua sedang dalam perjalanan. Perjalanan "suci" yang seharusnya dibangun dalam suasa "kefitrahan". Berjalan dariNya dan juga menuju kepadaNya. Dalam perjalanan ini, diperlukan lentera, cahaya, atau petunjuk agar selamat menempuhnya. Dan hati yang intinya "nurani" (cahaya yang menerangiku), itulah lentera perjalanan hidup.
Cahaya ini berpusat pada hati seseorang yang ternyata juga dilengkapi oleh gesekan-gesekan "karat" kehidupan (fa alhamaha fujuuraha). Semakin kuat gesekan karat, semakin jauh pula dari warna yang sesungguhnya (taqawaaha). Dan oleh karenanya, di setiap saat dan kesempatan, diperlukan pembersihan, diperlukan air zamzam untuk membasuh kotoran-kotoran hati yang melengket. Hanya dengan itu, hati akan bersinar tajam menerangi kegelapan hidup. Dan sungguh hati inilah yang kemudian "penentu" baik atau tidaknya seseorang pemilik hati. "Alaa inna fil jasadi mudhghah. Idzaa soluhat, soluhat sairu 'amalihi. Wa idza fasadat, fasada saairu 'amalihi".
Disebutkan bahwa hati manusia awalnya putih bersih. Ia ibarat kertas putih dengan tiada noda sedikitpun. Namun karena manusia, setiap kali melakukan dosa-dosa setiap kali pula terjatuh noda hitam pada hati, yang pada akhirnya menjadikannya hitam pekat. Kalaulah saja, manusia yang hatinya hitam pekat tersebut tidak sadar dan bahkan menambah dosa dan noda, maka akhirnya Allah akan akan membalik hati tersebut. Hati yang terbalik inilah yang kemudian hanya bisa disadarkan oleh api neraka. "Khatamallahu 'alaa quluubihim".
Di Al Qur'an sendiri, dalam rangka menjaga sinar "nurani" ini (kalbu), disebutkan dalam berbagai bentuk urgensi membersihkan dan menjaga kebersihan hari. "Sungguh beruntung siapa yang mensucikannya, dan sungguh buntunglah siapa yang mengotorinya". Maka sungguh perjalanan ini hanya akan bisa menuju "ilahi" dengan senantiasa membersihkan jiwa dan hati kita, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah sebelum perjalanan sucinya tersebut.
Ketiga: Memilih Susu - Menolak Khamar
Ketika ditawari dua pilihan minuman, dengan sigap Rasulullah mengambil gelas yang berisikan susu. Minuman halal dan penuh menfaat bagi kesehatan. Minuman yang berkalsium tinggi, menguatkan tulang belulang. Rasulullah menolak khamar, minuman yang menginjak-nginjak akal, menurunkan tingkat inteletualitas ke dasar yang paling rendah. Sungguh memang pilihan yang tepat, karena pilihan ini adalah pilihan fitri "suci".
Dengan bekal jiwa yang telah dibersihkan tadi, Rasulullah memang melanjutkan perjalanannya. Di tengah perjalanan, hanya memang ada dua alternatif di hadapan kita. Kebaikan dan keburukan. Kebaikan akan selalu identik dengan manfaat, sementara keburukan akan selalu identik dengan kerugian. Seseorang yang hatinya suci, bersih dari kuman dosa dan noda kezaliman, akan sensitif untuk menerima selalu menerima yang benar dan menolak yang salah. Bahkan hati yang bersih tadi akan merasakan "ketidak senangan" terhadap setiap kemungkaran. Lebih jauh lagi, pemiliknya akan memerangi setiap kemungkaran dengan segala daya yang dimilikinya.
Dalam hidup ini seringkali kita diperhadapkan kepada pilihan-pilihan yang samar. Namun sensitivitas jiwa yang bersih akan dengan mudah mengidentifikasi mana yang terbaik untuk diambil dan ditolak. Kejelian dalam memilih yang terbaik bagi keselamatan kita di dunia dan akhirat, akan ditentukan oleh ketajaman kalbu dan nurani itu sendiri. Inilah inti dari fitrah insani. Fitra menjadi acuan, lentera, pedoman dalam mengayuh bahtera kehidupan menuju tujuan akhir kita (akhirat). Dan oleh karenanya, jika ternyata kita dalam melakukan pilihan-pilihan dalam hidup ini, ternyata kita seringkali terperangkap kepada pilihan-pilihan yang salah, buruk lagi merugikan, maka yakinlah itu disebabkan oleh tumpulnya firtah insaniyah kita. Agaknya dalam situasi seperti ini, diperlukan asahan untuk mempertajam kembali fitrah Ilahiyah yang bersemayam dalam diri setiap insan.
Keempat: Arah Perjalanan; Vertikal - Horizontal
Perjalanan dua arah, satau menuju Jerusalem dan satu lagi menuju ke atas di Sidratul Muntaha. Perjalanan horizontal yang kemudian dilanjutkan dengan perjalanan vertikal. Dalam perjalanan horizontal ini beliau digambarkan bertolak dari masjid ke sebuah masjid, dari masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Artinya, bahwa dalam kita melangkahkan kaki di tengah perjalanan kita menuju tujuan akhir, alangkah pentingnya diperhatikan awal langkah. Motivasi dasar atau niat kita dalam melakukan sesuatu harus karena "masjid" (sujud) atau dalam kerangka ketaatan kepada Sang Khaliq. Lalu tujuan dari dilakukannya sesuatu itu pula tidak lain sekedar untuk menuju kepada masjid (sujud) atau ketaatan pula. Pertautan niat dan tujuan (karena ketaatan), menjadikan setiap langkah yang kita lakukan akan selalu harmonis dengan keduanya. Bagaimana mungkin seseorang melakukan karena dan untuk Allah, namun melakukannya dengan cara yang tidak diridhai olehNya? "Qul Inna shalaati wa nusuki wamahyaaya wamamaati lillaahi Rabbil'aalimiin".
Perjalanan horizontal di atas mutlak bersambungan dengan perjalanan vertikal menuju kehariabaanNya. Dalam agama Islam, setiap amalan "ta'abbud umuumi" (mu'amalaat) selalu bersambungan dengan "ta'abbud khushushi" (ibadah khassah). jika kamu telah menunaikan shalat, maka bertebaranglah di atas bumi dan carilah rezki Allah. Dan ingatlah kepada Allah yang banyak", demikian perintah Allah SWT.
Perjalanan horizontal yang dilakukan adalah proses menuju arah vertikal. "Addunya mazra'atul aakhirah" (dunia itu adalah tempat bercocok tanam untuk akhirat) jelas Rasulullah SAW. Maka kemanapun langkah kaki, dalam dunia horizontalnya, akhirnya jua akan menuju ke atas. "Kullu nafsin dzaaiqatul maut" (semua jiwa akan merasakan kematian), firman Allah. Maka lakukanlah langkah-langkah horizontal kita secara baik, karena itu akan menentukan proses langkah selanjutnya menuju atas. Kedua arah perjalanan kaki dalam kehidupan ini kemudian menjadi penentu ketentraman, kebahagiaan, keharmonisan dan kesuksesan hidup insani. Allah menggariskan: "Kenistaan dan kemiskinan akan menimpa mereka di mana saja mereka berada, kecuali menjalin hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia". Hubungan vertikal yang solid dan juga hubungan horizontal yang mantap.
Kelima: Imam Shalat Berjama'ah
Shalat adalah bentuk peribadatan tertinggi seorang Muslim, sekaligus merupakan simpol ketaatan totalitas kepadaYang Maha Pencipta. Pada shalatlah terkumpul berbagai hikmah dan makna, bekal dalam melanjutkan sisa-sisa langkah kehidupan seorang insan. Shalat menjadi simbol ketaatan total dan kebaikan universal yang seorang Muslim senantiasa menjadi tujuan hidupnya.
Maka ketika Rasulullah memimpin shalat berjama'ah, dan tidak tanggung-tanggung ma'mumnya adalah para anbiyaa (nabi-nabi), maka sungguh itu adalah suatu pengakuan kepemimpinan dari seluruh kaum yang ada. Memang jauh sebelumnya, Musa yang menjadi pemimpin sebuah umat besar pada masanya, bahkan diakui telah diberikan keutamaan di atas seluruh umat manusia (wa annii faddhaltukum 'alalaamiin), juga mengakui kepemimpinan Rasulullah SAW. Bahkan Ibrahim, Eyangnya banyak nabi dan Rasul, menerima menjadi Ma'mum Rasulullah SAW. Beliau menerima dengan rela hati, karena sadar bahwa Rasulullah memang memiliki kelebihan-kelebihan "leadership", walau secara senioritas beliaulah seharusnya menjadi Imam.
Kempimpinan dalam shalat berjama'ah sesungguhnya juga simbol kepemimpinan dalam segala skala kehidupan manusia. Allah menggambarkan sekaligus mengaitkan antara kepemimpinan shalat dan kebajikan secara menyeluruh: "Wahai orang-orang yang beriman, ruku'lah, sujudlah dan sembahlah Tuhanmu serta berbuat baiklah secara bersama-sama. Nisacaya dengan itu, kamu akan meraih keberuntungan" Sungguh, ruku dan sujud secara bersama-sama menjadi bagian integral dari penyembahan Allah bersama serta menjadi landasan dalam setiap perbuatan yang baik. Dalam situasi seperti inilah, seorang Muhammad telah membuktikan bahwa dirinya adalah pemimpin bagi seluruh pemimpin umat lainnya. Sehingga adalah menjadi "logic" jika umat Muhammad SAW juga seharusnya menjadi "pemimpin" bagi seluruh umat manusia. "Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat pertengahan, agar kamu menjadi penyaksi-penyaksi atas manusia yang lain, sebagaimana Rasul Allah telah menjadi penyaksi atas kamu".
Masalahnya, umat Islam saat ini tidak memiliki kriteria tersebut. Kriteria "imaamah" atau kepemimpinan yang disebutkan dalam Al Qur'an masih menjadi "tanda tanya" besar pada kalangan umat ini. "Dan demikian kami jadikan di antara mereka pemimpin yang mengetahui urusan Kami, memiliki kesabaran dan ketangguhan jiwa, dan adalah mereka yakin terhadap ayat-ayat Kami". Mengetahui urursan Kami. Itu adalah kriteria awal. Pengetahuan atau "keilmuan" menandakan bahwa seorang pemimpin itu mutlak memiliki "leadership skill" yang tinggi. Sehingga wajar saja kalau Rasulullah juga mensyaratkan kepemimpinan shalat misalnya dengan dua hal; "aqraukum" (terbaik bacaannya) dan "a'lamukum bilhadits" (yang paling berilmu dalam hadits). Ilmu hadits di sini tentunya adalah mengetahui secara baik tatatanan kehidupan Rasulullah sebagai pemimpin secara baik.
Dilemma umat terbesar adalah bahwa belum ada bukti kongkrit kepemimpinan yang dapat menjadi "bargaining". Sehingga ketika menklaim kepemimpinan, orang boleh saja bertanya: "Dalam hal apakah anda akan memimpin kami"? Politik, ekonomi, sosial budaya, atau bahkan moralitas? Saya heran termangu-mangu, ketika menyaksikan di dunia Islam orang berebutan naik bus umum. Orang tua, kaum wanita, orang lemah tak ada yang menolong apalgi memberikan "prioritas", sementara di dunia Barat, Amerika misalnya, mereka merupakan elemen masyarakat uyang mendapat perhatian khusus. Lalu apakah yang akan ditawarkan? Akankah kita tawarkan teori muluk yang ternyata belum mampu menyentuk kehidupan riil kita sendiri?
Kita umat Islam, yang seharusnya menjadi pemimpin umat lainnya, ternyata memang menjadi salah satu pemimpin. Sayang kepemimpinan dunia Islam saat ini terbalik, bukan dalam shalat berjama'ah, bukan dalam kebaikan dan kemajuan dalam kehidupan manusia. Tapi menurut laporan sebuah majalah baru-baru ini, menjadi salah satu negara terburuk (terkorup) dan termiskin di dunia. Inilah kepemimpinan sebagian dunia Islam masa kini. Murid saya di Labor Union (Retiree program) mengatakan: "I love your country, but not much your people". Saya bertanya: "Why?" Murid saya yang berumur 76 tahun ini menjawab: "They stole my wallat. In the immigration, they force me to pay them for nothing". Menyakitkan, tapi itulah realita.
Keenam: Kembali ke Bumi dengan Shalat
Setiap kali kita membicarakan Isra' wal Mi'raj, yang tergambar jelas dalam persepsi kita adalah perjalanan dari masjidil Haram ke masjidil Aqsa, dilanjutkan ke Sidratula Muntaha di al Baitul Ma'muur. Sangat sedikit yang menyadari, bahwa segera setelah selesai perjalanan suci itu, Rasulullah kembali ke bumi dengan satu bekal kehidupan yang paling penting, yaitu shalat.
Ada dua sisi pada poin ini. Pertama adalah kembalinya ke bumi. Kedua adalah dibekalkannya beliau dengan shalat.
Perjalanan singkat yang penuh hikmah tersebut segera berakhir, dan dengan segera pula beliau kembali menuju alam kekiniannya. Rasulullah sungguh sadar bahwa betapapun ni'matnya berhadapan langsung dengan Yang Maha Kuasa di suatu tempat yang agung nan suci, betapa ni'mat menyaksikan dan mengelilingi syurga, tapi kenyataannya beliau memiliki tanggung jawab duniawi. Untuk itu, semua kesenangan dan keni'matan yang dirasakan malam itu, harus ditinggalkan untuk kembali ke dunia beliau melanjutkan amanah perjuangan yang masih harus diembannya.
Demikianlah seharusnya semangat spiritualitas seorang Muslim, yang senantiasa terkait dengan dunia "atas", namun kenyataannya dunia "bawah" juga merupakan kenyataan yang harus dilalui. Menelusuri alam materi duniawi adalah keniscayaan. Mencari dunia adalah, tidak saja tuntutan hajat manusiawi, tapi menjadi kewajiban agama sekaligus. "Dan bekerja keraslah untuk akhiratmu, namun jangan lupa nasibmu di dunia ini", pesan Allah. Bahkan Al Qur'an, sebagaimana diperintahkan untuk sungguh-sungguh pergi mengingat Allah (fas'au ilaa dzikrillah), dan bahkan diperintahkan mengabaikan "kesibukan jual beli" (wadzarul bae'), juga segera setelah itu disusuli dengan perintah berlawanan: "faidzaa qudhiyatis Shalaah fantasyirru fil ardh wabtaghuu min fadhlillah". Kedua perintah tersebut adalah datang dari Tuhan yang sama. Dan oleh karenanya, harus disikapi secara sama pula. Artinya, kewajiban memenuhi ajakan untuk shaklat Jum'at adalah 100%, memenuhi aturan-aturanNya juga 100%. Namun pada saat yang sama, memenuhi ajakan kedua tadi, bertebaran mencari rezki Allah adalah juga perintah 100% dan juga harus memenuhi aturanNya 100%.
Inilah sikap seorang Muslim. Kita dituntut untuk turun ke bumi ini dengan membawa bekal shalat yang kokoh. Shalat berintikan "dzikir", dan karenanya dengan bekal dzikir inilah kita melanjutkan ayunan langkah kaki menelusuri lorong-lorong kehidupan menuju kepada ridhaNya. "Wadzkurullaha katsiira" (dan ingatlah kepada Allah banyak-banyak), pesan Allah kepada kita di saat kita bertebaran mencari "fadhalNya" dipermukaan bumi ini. Persis seperti Rasulullah SAW membawa bekal shalat 5 waktu berjalan kembali menuju bumi setelah melakukan serangkaian perjalanan suci ke atas (Mi'raj) Wallah a'lam bi ash-shawwab