Jumat, 30 Oktober 2009

SEMANGAT GENERASI MUDA

Oleh Azyumardi AzraHari-hari ini, seputar peringatan 81 tahun Sumpah Pemuda, banyak kalangan generasi lebih senior gelisah. Kegelisahan itu tecermin dari berbagai konvensi, seminar, dan diskusi yang kebetulan saya terlibat sebagai narasumber sepanjang pekan lalu dan pekan terakhir Oktober ini. Temanya bisa beragam, sejak masalah jati diri pemuda dan bangsa; solidaritas dan kesetiakawanan sosial; sampai kepada pendidikan untuk membangkitkan kembali nasionalisme kaum muda. Meski kelihatan berbeda, semangat yang terkandung di dalamnya hampir sama; kecemasan terhadap generasi muda yang dipersepsikan kian sulit menggapai masa depan lebih baik, dan sekaligus juga tidak memiliki karakter, jati diri, etos kebangsaan, sehingga dapat mempengaruhi masa depan bangsa dan negara.Dalam berbagai forum itu, banyak narasumber berbicara tentang sisi gelap kehidupan generasi muda sekarang. Mulai dari pendidikan yang mereka pandang masih jauh tertinggal daripada negara-negara lain; atau karena generasi mudanya sendiri mereka pandang cenderung malas yang membuat mereka kalah bersaing dengan generasi muda bangsa-bangsa lain; sampai pada anak-anak muda yang menurut mereka lebih tertarik pada budaya global daripada budaya lokal dan nasional mereka sendiri.Kecemasan dan kekhawatiran tersebut, hemat saya, dalam segi-segi tertentu mencerminkan tidak hanya kesenjangan nilai di antara generasi lebih tua dengan generasi muda, tetapi sekaligus juga perbedaan persepsi masing-masing tentang realitas masa kini dan masa mendatang. Generasi lebih tua terbentuk lewat pengalaman yang berbeda, sesuai realitas yang ada pada masanya; sementara generasi muda kita sekarang ini hidup dalam lingkungan lokal, nasional dan internasional yang sangat berbeda. Karena itu, wajarlah jika generasi tua yang telah mapan dengan pengalaman dan nilainya sendiri memiliki kecemasan kepada generasi muda yang mempunyai nilainya dan persepsinya sendiri--yang tentu saja terbentuk di tengah dunia yang sudah dan terus dengan cepat berubah.Di tengah kecemasan generasi tua yang lebih cenderung melihat ''sisi gelap'' (dark sides) generasi muda itu, saya sendiri sejak lama lebih memiliki optimisme terhadap generasi muda bangsa. Banyak sisi positif generasi muda yang perlu mendapat apresiasi generasi lebih tua. Meski kita masih mengeluh tentang mutu pendidikan kita yang belum juga sesuai harapan, masa sekarang ini adalah masa di mana anak-anak muda kita semakin terdidik berkat pendidikan yang semakin merata tersedia.Optimisme juga ditemukan Harian Kompas (26 Oktober 2009) dalam jajak pendapat dalam rangka peringatan 81 tahun Sumpah Pemuda. Jajak pendapat yang dilaksanakan di 10 kota besar Indonesia menemukan bahwa generasi muda Indonesia sekarang ini sangat optimistis menyongsong dan sekaligus menghadapi tantangan masa depan mereka. Sekitar dua per tiga anak-anak muda berusia antara 16 dan 30 tahun berani memastikan bahwa kehidupan mereka nanti jauh lebih baik secara sosial ekonomis dibandingkan generasi muda 20 tahunan silam. Mereka memandang memiliki kesempatan lebih baik mendapatkan pendidikan yang juga lebih baik untuk kemudian mendapat penghasilan lebih besar, mencapai kehidupan lebih menyenangkan, menikmati kemudahan memperoleh hal-hal esensial dalam kehidupan serta turut serta dalam mendorong perubahan sosial.Salah satu sumber optimisme itu adalah semakin terbukanya berbagai akses bagi mereka untuk meningkatkan kualitas diri--tidak hanya melalui pendidikan formal yang mereka peroleh dari sekolah atau perguruan tinggi, tetapi juga sumber-sumber belajar lainnya. Dalam hal ini, yang paling penting adalah kemajuan telekomunikasi dan informasi, yang memungkinkan mereka mengakses ilmu dan informasi lainnya bahkan secara instan.Bila 20 tahun lalu, guru dan dosen hampir menjadi satu-satunya sumber belajar, generasi muda sekarang bahkan mendapatkan ilmu dan informasi dari beragam sumber yang tersedia dalam jaringan dunia maya.Sebab itu, generasi lebih tua--termasuk guru dan dosen--kini sama sekali tidak boleh meremehkan anak-anak muda; seolah-olah anak-anak muda tidak tahu apa-apa. Boleh jadi di kelas mereka lebih banyak diam; tetapi sikap seperti ini sangat mungkin karena tidak mau dianggap guru atau dosen sebagai murid atau mahasiswa yang kurang sopan. Di balik itu, sangat boleh jadi mereka telah lebih mengetahui apa yang disampaikan guru dan dosen mereka, karena lebih giat mengakses internet, misalnya. Tetapi, kegemaran anak-anak muda kita sekarang mengakses internet selama berjam-jam bahkan juga menimbulkan kecemasan kalangan orang tua dan para pendidik, karena jangan-jangan anak-anak muda ini mengakses situs-situs yang menyesatkan.Berkat kesempatan lebih besar mengakses sumber-sumber ilmu dan informasi, generasi muda sekarang cenderung semakin kosmopolitan dalam pandangan, persepsi, dan tingkah lakunya.Pada saat yang sama mereka seolah kian tercerabut dari akar-akar lokal dan nasionalnya; bahkan banyak di antara mereka tidak lagi dapat menyebut kelima Pancasila secara benar.Lagi-lagi, hemat saya tidak ada yang perlu dikhawatirkan benar dengan gejala-gejala seperti ini. Anak-anak muda kita, bagaimanapun masih dalam proses pengembangan diri. Karena itu, kian besar kesempatan bagi mereka mendapatkan akses-akses ilmu dan informasi untuk meningkatkan kualitas diri, kian baik pulalah sesungguhnya peluang mereka dalam menyongsong dan menghadapi tantangan hari ini dan masa depan. Di sinilah kita sekali lagi boleh optimistis dengan masa depan mereka yang lebih baik.

ZAKAT PERHIASAN WANITA

Sudah merupakan kodrat seorang wanita menyenangi perhiasan, baik yang terbuat dari emas perak maupun lainnya. Oleh Karena itulah syariat islam menghalalkan berbagai macam perhiasan itu bagi mereka dan mengharamkan sebagiannya seperti emas dan pakaian sutra bagi kaum laki-laki, sebagaimana sabda Rosululloh :عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ حُرِّمَ لِبَاسُ الْحَرِيرِ وَالذَّهَبِ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي وَأُحِلَّ لِإِنَاثِهِمْDari Abu Musa al Asy’ari bahwasannya Rosululloh bersabda : “Diharamkan pakiaian sutra dan emas bagi kaum laki-laki dari ummatku dan halal bagi wanita mereka.”(HR. Abu Dawud : 4057, Tirmidzi : 1720, Nasai 8/160 dan Ibnu Majah : 3595 dengan sanad shohih)Namun, karena berbagai macam perhiasan ini adalah sebuah barang mahal dan berharga, apakah wajib dikeluarkan zakatnya ataukah tidak ? dan kalau memang wajib bagaimana cara mengeluarkannya ?Inilah yang insya Alloh akan kita bahas pada edisi kali ini. Semoga Alloh menjadikannya bermanfaat. Wallohul MuwaffiqPerhiasan yang terbuat dari emas dan perak.Sudah maklum bersama bahwasannya orang yang memiliki emas dan perak wajib mengeluarkan zakatnya kalau sudah mencapai satu nishob dan sudah dimiliki selama satu tahun. Berdasarkan hadits :عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ قَالَ إِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ يَعْنِي فِي الذَّهَبِ حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا فَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍDari Ali bin Abi Tholib dari Rosululloh bersabda : “Jika engkau memiliki 200 dirham dan sudah lewat satu tahun , maka wajib mengeluarkan zakat lima dirham. Dan engkau tidak wajib mengeluarkan apapun sehingga engkau memiliki dua puluh dinar, namun jika engkau memiliki dua puluh dinar dan sudah lewat satu tahun, maka wajib mengeluarkan setengah dinar.”(HR. Abu Dawud : 1558, Tirmidzi : 616, Nasa’i 5/37, Ibnu Majah : 1790 dengan sanad shohih sebagaimana dinyatakan oleh Imam Bukhori, al Hafidz Ibnu Hajar dan al Albani)Hal ini adalah sesuatu yang disepakati oleh para ulama’, namun mereka berselisih tentang masalah perhiasan wanita, apakah masuk dalam hukum ini ataukah tidak.Namun sebelum beranjak lebih lanjut, harus diketahui bahwa perhiasan itu ada tiga macam :1. Ada yang dipakai2. Ada yang disimpan3. Ada yang dijadikan sebagai barang perdaganganUntuk perhiasan emas dan perak yang di simpan, maka ini wajib di keluarkan zakatnya, sedangkan yang dijadikan barang perdagangan, maka hukumnya kembali pada zakat perdagangan.Adapun yang dipakai oleh seorang wanita, maka inilah yang terdapat khilaf dikalangan para ulama’ menjadi empat pendapat, yaitu

Rabu, 28 Oktober 2009

EMANGAT MENUNAIKAN IBADAH HAJI


Pada setiap tahunnya jumlah jamaáh haji dari Indonesia, dibanding dari negara-negara lainnya termasuk yang terbesar. Karena itu, orang Indonesia di tranah suci sangat dikenal. Jika ada sedikit salah sangka, jamaáh Indonesia dikira sebagai orang Malaysia. Kekeliruan itu bisa dimengerti, karena memang antara orang Indonesia dan Malaysia sangat mirip.


Banyaknya jamaáh haji dari Indonesia, maka menjadikan para penaga toko di mall, pasar, atau pinggir jalan, untuk menawarkan dagangannya sekalipun terbatas dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Banyak pedagang Arab mampu menyapa orang Indonesia, dengan kata “apa kabar, ini murah”dan lain-lain. Pedagang Arab juga mengenal mata uang Indonesia, seperti sepuluh, seratus, seribu, dan seterusnya. Dengan begitu, bagi jamaáh Indonesia tidak terlalu sulit berkomunikasi tatkala berada di Makkah atau Madinah.

Sebagai hal mudah lainnya bagi jamaáh haji dari Indonesia bahwa baik di Makkah maupun di Madinah juga mudah menukarkan uang rupiah dengan real, yakni mata uang Saudi Arabia. Nilai tukar rupiah juga sama dengan jika menukarkan uang itu di Indonesia. Selain di Bank juga banyak tempat-tempat menukaran uang di sana. Hanya saja memang yang kadang dianggap aneh dan membingungkan bagi orang Arab, ada saja orang Indonesia yang belum bisa berbahasa Indonesia. Orang-orang yang dianggap aneh itu, adalah berasal dari pedesaan, yang sehari-hari menggunakan bahasa daerah.

Jumlah jamaáh haji dari Indenesia, jika tidak dibatasi kuotanya, setiap tahun selalu meningkat. Kabarnya, menurut catatan di Departemen Agama pada saat ini tidak kurang dari 800.000 orang yang antri. Dengan demikian, jika kuota haji dari Indonesia setiap tahunnya hanya sekitar 200.000 orang jamaáh, maka paling tidak untuk bisa berhaji sekalipun punya uang harus berantri setidak-tidaknya empat tahun dari waktu mereka mendaftar.

Melihat besarnya jumlah jamaáh tersebut menunjukkan bahwa semangat berhaji bagi bangsa Indonesia ini sedemikian besarnya. Lebih mengharukan lagi, bahwa mereka yang berhaji, bukan saja dari mereka yang berkelebihan uang, melainkan mereka selalu berusaha dengan cara menabung atau bahkan arisan agar bisa menunaikan rukun Islam yang ke lima ini. Sehingga, jamaáh haji tidak selalu disebut sebagai orang kaya, tetapi adalah orang yang memiliki tekat atau semangat menjalankan kewajiban itu. Menunaikan ibadah haji telah dijadikan sebagai cita-cita yang harus diraih dan diperjuangkan.

Atas dasar itulah maka berhasil menunaikan ibadah haji dianggap sebagai telah meraih sukses dalam hidup. Oleh karena itu berhaji merupakan kegembiraan yang luar biasa. Kegembiraan itu bukan saja dirasakan oleh yang bersangkutan, melainkan juga oleh keluarga, sanak pamili, atau kerabat, tetangga dan juga kenalan lainnya. Biasanya, untuk menyebut bahwa seseorang telah sukses hidupnya, selain dikatakan telah memiliki rumah, tanah, atau kekayaan lain, juga telah berhaji. Semakin sering berhaji, seseorang dianggap semakin sukses hidupnya.

Semangat berhaji, pada perkembangan terakhir ini tidak saja berasal dari kelompok masyarakat tertentu, melainkan merata di berbagai kalangan masyarakat. Para pejabat, mulai dari tingkat daerah hingga tingkat pusat bersemangat menunaikan ibadah haji. Demikian pula para pengusaha, karyawan, PNS, dan bahkan juga artis yang muslim bersemangat untuk menunaikan salah satu rukun Islam ini. Gejala yang sama juga dalam berumroh. Kita lihat, apalagi waktu-waktu tertentu, misalnya pada liburan atau di bulan puasa, jumlah jamaáh umroh, sebagaimana pendaftar haji, setiap tahun selalu meningkat.

Fenomena seperti ini tentu sangat menggembirakan, khususnya bagi kaum muslimin. Apapun niat atau motivasi mereka yang berumroh atau berhaji, kehadiran mereka ke tanah suci adalah sudah merupakan keindahan tersendiri. Tentang apakah ibadah mereka itu didasarkan atas niat yang benar dan ikhlas, sehingga diterima oleh Allah, tentu bukan merupakan wewenang sesama manusia dan oleh karena itu tidak memerlukan diskusi panjang-panjang. Keputusan itu ada pada Allah, kita berdoa saja semoga semua jamaáh haji tergolong mabrur. Wallahu a’lam.

Jumat, 23 Oktober 2009

Politik, Pemilihan Langsung, dan Peranan Kiai
04/08/2009

Oleh KH Afifuddin Muhajir *

Salah satu ciri khas agama Islam yang sangat menonjol adalah keterpaduannya antara ketegasan dan kelenturan yang tersebar dalam petunjuk-petunjuknya. Pada umumnya ketegasan terdapat dalam hal-hal yang menjadi tujuan (ghayat), sedangkan kelenturan menyangkut cara atau sarana mencapai tujuan (wasilah). Masalah kepemimpinan termasuk kepemimpinan politik bisa dikemukakan sebagai contoh konkrit bagi ciri khas Islam tersebut.

Dalam hal ini sekurangnya ada tiga ranah, yaitu tujuan pokok, tujuan perantara dan cara mencapai tujuan. Tegaknya keadilan, terwujudnya kesejahteraan, dan ketenteraman merupakan tujuan pokok adanya kepemimpinan. Sedangkan tegaknya kepemimpinan yang berkeadilan adalah tujuan antara yang bisa mengantarkan kepada tujuan pokok di atas. Sementara mekanisme pengangkatan pemimpin adalah cara mencapai tujuan. Dalam ranah yang terakhir inilah Islam memberi ruang gerak dan keleluasaan bagi umatnya untuk berijtihad dan memilih cara yang sesuai dengan perkembangan kehidupan.

Dalam banyak literatur fiqh siyasah (fiqh politik), dikemukakan beberapa cara pengangkatan pemimpin yang pernah terjadi dalam sejarah kepemimpinan Islam. Salah satunya adalah melalui mekanisme ikhtiyar (pemilihan), namun hak memilih hanya dimiliki oleh ahlu al-halli wa al-`aqdi (tokoh-tokoh masyarakat) yang memenuhi beberapa syarat penting, yaitu memiliki pengetahuan, termasuk pengetahuan tentang kandidat yang akan dipilih; memiliki sifat `adalah (keadilan) dan memiliki kebijakan yang bisa mengantarkan kepada terpilihnya pemimpin yang ideal.

Hal ini berbeda dengan pemilihan dalam sistem demokrasi langsung yang memberikan hak pilih kepada setiap warga negara yang telah cukup umur. Di sini tidak ada perbedaan antara yang alim dengan yang awam, antara kiai dengan santri, antara pejabat puncak dengan pengayuh becak, antara suara seorang profesor dengan suara tukang cukur, dan seterusnya.

Pada dasarnya, sistem pemilihan langsung itu baik, bahkan ideal, karena memberi kesempatan kepada setiap orang untuk memilih pemimpin yang disukai dan dicintai. Dalam hadits riwayat Muslim dijelaskan bahwa sebaik-baik pemimpin adalah pempimpin yang mencintai rakyat dan dicintai rakyat, dan sejelek-jelek pemimpin adalah pemimpin yang membenci rakyat dan dibenci oleh rakyat. Akan tetapi di Indonesia, sistem pemilihan langsung, baik Pilkada, Pilpres, maupun Pileg, banyak menghadapi kendala.

Kendala utama pemilihan langsung dalam konteks keindonesiaan adalah keawaman, kebutahurufan, dan kemiskinan sebagian masyarakat. Tampaknya masyarakat Indonesia sebagian besar buta politik dan tidak mengetahui syarat-syarat yang harus dimiliki pemimpin, sedangkan yang memiliki pengetahuan seringkali tidak menjatuhkan pilihan sesuai hati nuraninya. Faktor kemiskinan dari para pemilih menyebabkan suara mereka mudah dibeli dengan harga yang sangat murah. Oleh karena itu, demokrasi harus dibangun beriringan dengan peningkatan pendidikan dan pembangunan ekonomi masyarakat.

Selama kondisi kita masih seperti sekarang ini, ada sebuah pertanyaan yang perlu dijawab, perlukah taujihat (arahan) dari tokoh masyarakat, terutama tokoh agama dan para kiai sebagai pengawal moral untuk anggota masyarakat yang dianggap awam, dengan tujuan agar mereka memilih calon pemimpin yang dinilai memiliki atau lebih memiliki integritas dan kapabilitas? Ataukah, sebaiknya mereka dilepas dan dibiarkan mengikuti kehendak masing-masing?

Jawabannya, tergantung situasi dan kondisi, terutama kondisi para kandidat. Arahan dan fatwa politik kiai itu menjadi perlu, bahkan wajib bila masyarakat dihadapkan pada pilihan antara pemimpin yang baik dan yang buruk menurut pandangan para tokoh yang berkompeten. Dalam konteks yang lain, arahan politik dari para kiai bisa tidak diperlukan misalnya bila pilihan-pilihan yang ada masih dalam kategori syubuhat (remang-remang), tidak jelas halal-haramnya atau baik-buruknya, kerena persoalan yang masih syubuhat pada umumnya menjadi ajang terwujudnya khilâf (perbedaan) di antara para tokoh sendiri yang sangat potensial bagi terjadinya benturan dan disharmoni. Faktor syubuhat inilah yang menyebabkan terjadinya ketegangan di antara para kiai seperti tampak dalam beberapa kali Pilkada, Pileg, dan Pilpres. Walau tak bisa ditutupi pula, ketegangan politik di antara para kiai kerap bukan karena dilatari perbedaan ijtihad politik, melainkan karena motif duniawi lainnya. Ini yang memprihatinkan.

Dengan demikian, maka ketika arahan politik itu diperlukan, kejujuran dan keikhlasan merupakan modal utama bagi tokoh-tokoh agama dan para kiai di dalam memberikan fatwa politik. Dan, kita sangat ber-husnu al-zhan (berbaik sangka) bahkan yakin bahwa tak sedikit dari para kiai yang memiliki modal itu. Ini terbukti dengan banyaknya kiai yang lebih suka mendukung calon pemimpin hanya karena diyakini memiliki integritas dan kapabilitas dari calon lain yang diyakini akan memberikan keuntungan duniawi yang melimpah.

Oleh karena itu, fatwa politik (sebagian) kiai didasarkan pada pertimbangan etik-moral dan bukan pada kekuasaan. Mereka ingin mengarahkan dukungan kepada kandidat yang paling memenuhi kualifikasi dan standar, seperti yang mereka yakini. Namun, dukungan para kiai ini sekalilagi kerap kandas ketika berhadapan dengan politik uang. Fatwa kiai ini tak lagi didengar karena sebagian masyarakat terutama yang miskin lebih mendahulukan dan memilih kandidat yang memberi bantuan finansial, sembako, dan lain-lain.

Ke depan, saya kira itu membahayakan. Sebab, hanya orang-orang yang berkantong tebal yang akan menjadi pemimpin. Sementara mereka yang memiliki sumber dana terbatas tapi mempunyai kualifikasi pemimpin tak akan punya peluang untuk memimpin, baik di pusat maupun di daerah. Kiai sebagai tokoh agama bertugas untuk mengembalikan arah politik dari politik kekuasaan yang bersandar pada uang dan kapital semata-mata kepada politik kekuasaan yang bertunjang pada etika, moral, dan integritas. Publik secara umum perlu disadarkan bahwa pemimpin yang kuat, jujur, dan kapabel lebih didahulukan daripada pemimpin yang tidak jujur, berintegritas rendah dan melakukan politing uang.

Pengasuh Ma`had Aly Asembagus Situbondo, Jawa Timur

Rabu, 21 Oktober 2009

MEMILIH PEMIMPIN


Tugas memilih kadangkala tidak mudah dilakukan, termasuk juga memilih calon pemimpin. Kesulitan itu bertambah lagi, jika pilihan-pilihan itu hampir sama. Memilih beberapa alternative yang berbeda tidak terlalu sulit, tetapi sebaliknya memilih sesuatu yang mirip, banyak orang mengalami kesulitan. Memilih antara hitam dan putih, jika memang yang dicari adalah wara hitam, maka segeralah warna hitam itu diambil. Akan tetapi jika yang akan dipilih itu adalah satu di antara beberapa jenis warna serupa, maka sekalipun sekedar memilih akan mengalami kesulitan.

Pada hari Rabu tanggal 8 Juli 2009 bangsa Indonesia memiliki tiga pilihan calon pemimpin yang harus dipilih salah satu. Ketiga calon itu adalah pasangan Ibu Mega-Prabowo, SBY-Budiono, JK-Wiranto. Semuanya sudah tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Mereka bisa disebut sebagai orang lama, yang telah banyak berbuat dan berjasa bagi bangsa ini. Ibu Mega pernah menjabat sebagai wakil presiden dan juga presiden, Pak Prabowo pernah berkarya di tentara, Pak SBY adalah presiden yang saat ini masih menjabat dan sebelumnya beberapa kali duduk di cabinet. Demikian Pak Budiono pernah menduduki jabatan kabinet dan sebelum ini menjadi direktur BI. Pak JK beberapa kali menjadi anggota kabinet, seorang pengusaha sukses, dan saat ini beliau menjabat sebagai wakil presiden. Terakhir Pak Wiranto, pernah menduduki posisi-posisi strategis di negeri ini.

Semua calon presiden dan wakil presiden tersebut tidak pernah merugikan, apalagi berbuat cacat terhadap bangsa ini. Pengetahuan, pengalaman, komitmen dan integritasnya terhadap bangsa tidak ada sedikitpun yang diragukan. Hal itu juga tampak dan dapat dirasakan pada sepanjang masa kampanye. Biasanya dalam masa kampanye, jika seseorang kandidat memiliki kekuarangan, maka kelemahan itu akan diungkap secara terbuka untuk menjatuhkannya. Tetapi hal itu tidak terdengar, sehingga artinya para kandidat tersebut memang telah teruji di hadapan public. Itulah sebabnya, ketiga pasangan tersebut sesungguhnya memiliki track record yang sama. Kemiripan seperti inilah yang kemudian justru menjadi sulit memilihnya, kecuali bagi mereka yang memiliki kedekatan dengan masing-masing kandidat pemimpin tersebut.

Atas kenyataan adanya kesamaan dari masing-masing calon pasangan tersebut, bangsa ini telah mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Di masa kampanye, masing-masing kandidat mampu menunjukkan jiwa besarnya tatkala sama-sama bersaing. Sekalipun dilakukan debat public oleh KPU di televisi yang disaksikan oleh seluruh rakyat, ketiganya menunjukkan dengan jelas kharakter sebagai pemimpin bangsa. Kata debat menggambarkan adanya saling beradu konsep, argumentasi dan bahkan menjatuhkan. Tetapi, dalam forum debat itu -------karena masing-masing saling mengenal dengan baik, maka apa yang dibayangkan oleh pemirsanya, akan berjalan sengit, ternyata biasa-biasa saja. Dalam debat itu tidak tampak permusuhan atau setidak-tidaknya saling menjatuhkan. Suasana saling menghormati dan menghargai di antara para calon pemimpin bangsa ini tampak dengan jelas. Saya kira siapapun akan menilai bahwa penampilan itu adalah merupakan pelajaran yang sangat mulia yang telah diberikan oleh pasangan calon pemimpin bangsa ini. Penampilan itu perlu mendapatkan apreasi yang tinggi, karena bangsa ini memang sedang memerlukan sifat-sifat mulia seperti itu.

Gambaran indah tatkala kampanye yang ditampakkan oleh para calon pasangan pemimpin bangsa ini, justru dianggap tidak menarik oleh sementara orang. Mereka mengatakan bahwa debat Capres dan Cawapres monoton, tidak ada perbedaan, mereka saling menjelaskan dan menguatkan pandangan satu sama lain sehingga tidak menarik dilihat. Semestinya memang sebagaimana sebuah perdebatan adalah seru, beradu konsep dengan argumentasinya masing-masing. Tetapi yang tampak agak aneh, seperti ujian lesan dan terbuka dari seorang guru besar terhadap calon presiden. Jika terjadi saling serang hanya sebatas pemanis.
Tatakrama debat yang disusun oleh KPU barangkali tujuannya baik. Agar melalui debat itu tidak akan ada yang menyerang hingga menjadikan salah satu calon yang diserang tersinggung. Jika itu terjadi maka proses menuju demokrasi, terganggu, kegiatan serupa pada masa depan tidak dilakukan. Tapi dengan cara itu memang menjadi tidak terlalu menarik. Biasanya selesai acara debat, orang berkomentar, sudah lebih baik dari yang lalu. Selama ini belum ada yang berkomentar bahwa debatnya amat baik.

Terlepas dari itu semua, memang perdebatan di antara pihak-pihak yang memiliki kesamaan, di mana pun dan kapan pun tidak akan menarik. Sehingga debat yang tampak kurang menarik seperti yang pernah kita saksikan itu, bukan semata-mata akibat scenario yang disusun oleh pihak KPU, tetapi memang sebenarnya secara jujur harus diakui bahwa berdebat di antara keluarga, teman, kolega sendiri yang setara dan bahkan serupa akan luar biasa sulitnya. Jika para pengamat ingin menonton debat yang menarik, maka harus menghadirkan para pedebat dari orang-orang yang memiliki latar belakang yang berbeda. Namun, apapun proses kampanye termasuk acara depat cawapres dan capres sudah merupakan kemajuan yang luar biasa dalam rangka menumbuhkan suasana demokrasi di negeri ini.

Pertanyaan yang harus dijawab kemudian adalah bagaimana memilih calon pemimpin yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang serupa itu. Maka jawabnya tidak terlalu sulit diberikan. Kita tatkala akan memilih apapun, sebenarnya memiliki instrument, termasuk memilih calon pemimpin. Jika menghadapi keadaan sulit seperti ini, dua instrument itu harus digunakan secara berbarengan. Kedua instrument itu adalah rasio dan rasa. Tatkala menggunakan instrument pertama, yakni rasio maka kita telah dibantu, yakni melalui berbagai informasi yang disampaikan saat kampanye. Hanya saja, informasi itu belum cukup karena masing-masing memberikan janji, keterangan yang semuanya. Dan bahkan, sampai jikrak-jingkrak yang ditampilkan di televisi pun juga mirip. Sehingga, memilih pemimpin kiranya naïf jika hanya mendasarkan pada keindahan jingkrak-jingkraknya itu.

Oleh karena itu masih ada lagi instrument yang kedua, yaitu rasa. Jika rasio lebih mendasarkan pada kekuatan otak atau pikiran, maka masih bisa memilih dengan pertimbangan rasa yang bersumber dari hati. Rasio biasanya bersifat obyektif. Tetapi jika data atau informasi yang dimiliki terbatas, maka keputusan itu bisa juga salah. Rasio biasanya terpengaruh oleh kepentingan, jumlah informasi, dan pandangan yang mendahuluinya. Sedangkan instrument yang kedua, yakni hati, biasanya lebih jernih, asli dan senyatanya. Hanya saja bisikan hati itu, seringkali terlalu halus, sehingga kurang bisa dirasakan, lebih-lebih tatkala rasa sudah dikalahkan oleh rasio yang mengambil keputusan sebelumnya.

Hati atau rasa biasanya memang tidak mengikuti pertimbangan-pertimbangan rasional, apalagi untung rugi yang bersifat material. Hati biasanya lebih mementingkan kedamaian, kesejukan, kebersamaan, dan sifat-sifat kemanusiaan yang tinggi lainnya. Setiap orang memiliki panggilan hati masing-masing. Mereka yang lagi gelisah, tidak tenteram, sedih, apalagi marah, -----semuanya itu pertanda sedang sakit, maka akan menjatuhkan pada pilihan yang bisa memuaskan emosinya itu. Sebaliknya, bagi yang menghendaki ketentraman dan kedamaian, maka akan memilih pemimpin yang dipandang bisa mengayomi dan mengajak pada jalan Tuhan yang teduh, benar, dan lurus. Sedangkan bagaimana mendapatkan petunjuk, tatkala menghadapi keadaan yang sulit seperti itu, maka Islam menganjurkan agar mengambil air wudhu, menuju tempat sholat,, dan mengenakan pakaian yang suci, kemudian menghadap kepada Dzat Yang Maha Suci, ialah sholat istiqoroh. Wallahu ‘alam. moh. Safrudin aktivis Dialog Kaum Muda Nahdlatul Ulama (NU) Sultra, peneliti Sangia Institute Email. Moh.safrudin@yahoo.com

Jumat, 16 Oktober 2009

DOA INTISARI IBADAH

DOA SARI PATI IBADAH


Banyak petunjuk Rasulullah Saw. tentang cara berdoa, bahkan banyak sekali doa-doa yang beliau ajarkan untuk aneka waktu dan situasi, termasuk doa-doa bagi yang telah wafat.

Suatu ketika beliau mendengar seorang berdoa tanpa memuji Allah dan bershalawat. Maka, Nabi Saw. menerangkan bahwa: “Apabila seseorang di antara kamu berdoa, maka hendaklah dia memulai dengan memuja Tuhannya, mensucikan dan memuji-Nya, kemudian hendaklah dia bershalawat kepada Nabi, lalu berdoa memohon apa yang didambakannya” (HR. Abu Daud dan at-Tirmidzi melalui Fudhalah bin Ubaid).

Memulai dengan memuji Allah dan mengucapkan “al-hamdulillah” merupakan pengakuan tentang limpahan kasih sayang-Nya yang selama ini telah dinikmati si pemohon, sehingga kalaupun apa yang akan dimohonkan tidak/belum terpenuhi, maka itu tidak mengantar kepada kekesalan atau rasa ketidakadilan Ilahi. Bukankah selama ini nikmat-Nya telah melimpah, sehingga segala puji hanya diperuntukkan bagi-Nya?

Shalawat adalah permohonan kepada Allah Swt. kiranya rahmat dan kasih sayang-Nya tercurah kepada Nabi Muhammad Saw. Ini merupakan kunci pembuka, karena Nabi Muhammad Saw. adalah kekasih Ilahi dan melalui beliau kita umatnya memperoleh petunjuk. Shalawat membuktikan rasa terima kasih kita kepada beliau dan pengakuan akan jasa-jasanya sekaligus manifestasi dari kekaguman kepada beliau. Dengan mengucapkannya kita berharap memperoleh pula percikan kasih Allah Swt. serta kekuatan melaksanakan tuntunan-Nya.

Biasanya begitu banyak nama yang disebut-sebut sebelum mendoakan seseorang dalam sebuah prosesi doa. Ini antara lain cerminan dari kebersamaan yang merupakan ciri ajaran Islam. Dengan menyebut para Nabi dan Rasul, para Wali, Syuhada, serta Ulama yang mengamalkan ilmunya, si pendoa menampilkan mereka terlebih dahulu, lalu memasukkan dirinya dan seseorang yang menjadi tujuan perhelatan tersebut dalam kelompok manusia-manusia agung itu, kiranya berkat ketaatan mereka, Allah mengabulkan doa itu walau seandainya keadaan si pemohon belum memenuhi syarat untuk diterima permohonannya. Bermohon untuk orang lain mengundang Malaikat untuk mendoakan si pemohon. Nabi Saw. bersabda: “Apabila seseorang mendoakan saudaranya yang tidak hadir di hadapannya, maka para Malaikat berucap: “Amin, semoga engkau memperoleh seperti apa yang engkau mohonkan”. (HR. Muslim dan Abu Daud melalui Abu Darda).

Nah, setelah itu doa diakhiri dengan mengucapkan Subhanallah, menyucikan Allah dari segala kekurangan, seperti sifat kikir, enggan mengabulkan doa atau bersifat tidak adil, bahkan doa diakhiri dengan mensyukuri-Nya sekali lagi, sebagaimana petunjuk al-Quran: “ Akhir doa mereka adalah al-hamdulillahi rabbil ‘alamin (QS. Yunus [10]: 10). Ini mengandung makna bahwa si pemohon penuh dengan optimisme bahwa doanya tidak akan disia-siakan Allah.

Memang ada satu persoalan yang menjadi bahan perbedaan ulama, yaitu kebiasaan dalam doa penutup Tahlil yang dinyatakan bahwa: “Ya Allah, terimalah dan sampaikanlah ganjaran bacaan al-Quran, bacaan Tahlil, Tasbih, Istighfar, dan Shalawat yang telah kami baca, sebagai hadiah dari kami yang kiranya sampai serta rahmat yang tercurah dari-Mu yang kiranya diraih oleh Nabi Muhammad Saw. dan … (menyebut sekian nama, termasuk nama seseorang yang jadi tujuan perhelatan).” Kandungan doa ini diperselisihkan ulama. Banyak di antara mereka, antara lain Imam Syafi’i, berpendapat bahwa bacaan ayat-ayat al-Quran tidaklah sampai ganjarannya kepada siapapun dan untuk itu redaksi doa seperti di atas bukanlah pada tempatnya dimohonkan. Kendati demikian, ulama sama sekali tidak melarang membaca ayat-ayat al-Quran dan harapan kiranya berkat bacaan itu, doa-doa – apalagi yang diajarkan oleh Nabi Saw. – dapat diterima Allah Swt.

Demikian, semoga semua doa kita diterima sebaik-baiknya oleh Allah Swt. Subhâna Rabbika Rabbi al-‘Izzati ‘Ammâ Yashifûn wa Salâmun ‘Alâ al-Mursalîna wa al-Hamdu li Allâhi Rabi al- ‘آlamîn. Bâraka Allah lî wa lakum.

DOA SARI PATI IBADAH



Banyak petunjuk Rasulullah Saw. tentang cara berdoa, bahkan banyak sekali doa-doa yang beliau ajarkan untuk aneka waktu dan situasi, termasuk doa-doa bagi yang telah wafat.

Suatu ketika beliau mendengar seorang berdoa tanpa memuji Allah dan bershalawat. Maka, Nabi Saw. menerangkan bahwa: “Apabila seseorang di antara kamu berdoa, maka hendaklah dia memulai dengan memuja Tuhannya, mensucikan dan memuji-Nya, kemudian hendaklah dia bershalawat kepada Nabi, lalu berdoa memohon apa yang didambakannya” (HR. Abu Daud dan at-Tirmidzi melalui Fudhalah bin Ubaid).

Memulai dengan memuji Allah dan mengucapkan “al-hamdulillah” merupakan pengakuan tentang limpahan kasih sayang-Nya yang selama ini telah dinikmati si pemohon, sehingga kalaupun apa yang akan dimohonkan tidak/belum terpenuhi, maka itu tidak mengantar kepada kekesalan atau rasa ketidakadilan Ilahi. Bukankah selama ini nikmat-Nya telah melimpah, sehingga segala puji hanya diperuntukkan bagi-Nya?

Shalawat adalah permohonan kepada Allah Swt. kiranya rahmat dan kasih sayang-Nya tercurah kepada Nabi Muhammad Saw. Ini merupakan kunci pembuka, karena Nabi Muhammad Saw. adalah kekasih Ilahi dan melalui beliau kita umatnya memperoleh petunjuk. Shalawat membuktikan rasa terima kasih kita kepada beliau dan pengakuan akan jasa-jasanya sekaligus manifestasi dari kekaguman kepada beliau. Dengan mengucapkannya kita berharap memperoleh pula percikan kasih Allah Swt. serta kekuatan melaksanakan tuntunan-Nya.

Biasanya begitu banyak nama yang disebut-sebut sebelum mendoakan seseorang dalam sebuah prosesi doa. Ini antara lain cerminan dari kebersamaan yang merupakan ciri ajaran Islam. Dengan menyebut para Nabi dan Rasul, para Wali, Syuhada, serta Ulama yang mengamalkan ilmunya, si pendoa menampilkan mereka terlebih dahulu, lalu memasukkan dirinya dan seseorang yang menjadi tujuan perhelatan tersebut dalam kelompok manusia-manusia agung itu, kiranya berkat ketaatan mereka, Allah mengabulkan doa itu walau seandainya keadaan si pemohon belum memenuhi syarat untuk diterima permohonannya. Bermohon untuk orang lain mengundang Malaikat untuk mendoakan si pemohon. Nabi Saw. bersabda: “Apabila seseorang mendoakan saudaranya yang tidak hadir di hadapannya, maka para Malaikat berucap: “Amin, semoga engkau memperoleh seperti apa yang engkau mohonkan”. (HR. Muslim dan Abu Daud melalui Abu Darda).

Nah, setelah itu doa diakhiri dengan mengucapkan Subhanallah, menyucikan Allah dari segala kekurangan, seperti sifat kikir, enggan mengabulkan doa atau bersifat tidak adil, bahkan doa diakhiri dengan mensyukuri-Nya sekali lagi, sebagaimana petunjuk al-Quran: “ Akhir doa mereka adalah al-hamdulillahi rabbil ‘alamin (QS. Yunus [10]: 10). Ini mengandung makna bahwa si pemohon penuh dengan optimisme bahwa doanya tidak akan disia-siakan Allah.

Memang ada satu persoalan yang menjadi bahan perbedaan ulama, yaitu kebiasaan dalam doa penutup Tahlil yang dinyatakan bahwa: “Ya Allah, terimalah dan sampaikanlah ganjaran bacaan al-Quran, bacaan Tahlil, Tasbih, Istighfar, dan Shalawat yang telah kami baca, sebagai hadiah dari kami yang kiranya sampai serta rahmat yang tercurah dari-Mu yang kiranya diraih oleh Nabi Muhammad Saw. dan … (menyebut sekian nama, termasuk nama seseorang yang jadi tujuan perhelatan).” Kandungan doa ini diperselisihkan ulama. Banyak di antara mereka, antara lain Imam Syafi’i, berpendapat bahwa bacaan ayat-ayat al-Quran tidaklah sampai ganjarannya kepada siapapun dan untuk itu redaksi doa seperti di atas bukanlah pada tempatnya dimohonkan. Kendati demikian, ulama sama sekali tidak melarang membaca ayat-ayat al-Quran dan harapan kiranya berkat bacaan itu, doa-doa – apalagi yang diajarkan oleh Nabi Saw. – dapat diterima Allah Swt.

Demikian, semoga semua doa kita diterima sebaik-baiknya oleh Allah Swt. Subhâna Rabbika Rabbi al-‘Izzati ‘Ammâ Yashifûn wa Salâmun ‘Alâ al-Mursalîna wa al-Hamdu li Allâhi Rabi al- ‘آlamîn. Bâraka Allah lî wa lakum.

MAKNA KEMATIAN DALAM ISLAM

Umat manusia hidup di dunia ini sangat terbatas dan tidak bertahan lama, bila dibandingkan dengan eksistensi alam semesta ini. Rata-rata kehidupan di dunia ini selama 63 tahun, sebagaimana usia Rasulullah Saw. Apabila ada orang yang dianugerahi usia lebih dari itu, maka itu merupakan bonus dari Allah Swt. Setiap manusia mesti mengalami akhir kehidupan itu, yang sering disebut dengan kematian. Hal ini dinyatakan secara tegas di dalam al-Quranul Karim pada S. Ali ‘Imran: 185;

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan baru pada hari kiamatlah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan."

Kematian ini merupakan salah satu bahasan ilmu Eskatologi yang termasuk cabang Teologi. Menurut Eliade, Eskatalogi termasuk bagian dari agama dan filsafat yang menguraikan secara runtut semua persoalan dan pengetahuan tentang akhir zaman, seperti kematian, alam barzah, kehidupan surga dan neraka, hukuman bagi yang berdosa, pahala bagi yang berbuat baik, hari bangkit, pengadilan pada hari itu, dan sebagainya. Secara ringkas Barnhart menjelaskan "Eschatology is a doctrina of the last or final things, specially death, judgment, heaven and hell". Eskatologi ialah ajaran tentang akhir segala sesuatu, khususnya kematian, pembalasan, surga, dan neraka.

Kematian itu sesuatu yang mesti terjadi pada seseorang, walaupun ia berusaha menghindari kematian atau berusaha bersembunyi dan berlindung di tempat yang dikira aman. Seseorang tidak dapat lari dan menjauhi kematian. Hal ini secara tegas dikemukakan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya, S. An-Nisa: 78;

"Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkanmu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh."

Agama Islam memang menganjurkan untuk berobat apabila menderita sakit dan melakukan upaya-upaya jangan sampai terjangkit penyakit dengan menjaga kebersihan badan, tempat, dan lingkungan. Rasulullah Saw. juga banyak memberikan petunjuk dan arahan dalam rangka menjaga kesehatan dan menghindari dari terjangkit penyakit, seperti sabda beliau:

"Apabila kalian mendengar ada wabah penyakit di suatu negeri, maka kalian jangan masuk ke negeri itu. Sebaliknya, apabila kalian berada di suatu negeri di mana terjadi wabah penyakit, maka kalian jangan keluar dari negeri itu (maksudnya jangan sampai menularkan penyakit)."

Beliau juga memerintahkan untuk menjauhi orang yang berpenyakit levra sebagaimana menjauhi singa. Bahkan, beliau juga melarang kita buang air di air yang digunakan orang banyak untuk mengambil air wudhu,
mandi, atau lain-lainnya, juga buang air di jalan orang banyak dan di bawah naungan mereka.

Namun demikian, kematian tetap akan mengejar kita, betapapun kesehatan yang kita usahakan berhasil. Namun demikian, kita memang tidak boleh menyerah kepada takdir tanpa ikhtiar. Seringkali kita melihat ada seseorang yang benar-benar kelihatan sehat bugar, tiba-tiba meninggal dunia. Jadi, kematian tetap akan menjumpai kita, sebagaimana ditegaskan oleh Allah Swt. dalam S. Al-Jumu'ah: 8;

"Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya, sungguh akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan".

Bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang kematian itu? Kematian merupakan sesuatu yang tidak perlu ditakuti, karena kematian itu merupakan jalan kembali kepada Tuhan yang menciptakan kita semua. Dahulu kita berada di sisi Allah kemudian kita diturunkan atau dilahirkan di muka bumi ini menjalani kehidupan sementara, kemudian kita mengakhirinya dengan kematian, yang sebenarnya kita kembali ke sisi Allah lagi. Dengan kata lain, kita dipanggil oleh Yang Maha Kuasa agar kembali kepada-Nya. Karena itu, kita sering mengatakan kepada orang yang meninggal dunia itu "berpulang ke rahmatullah" atau kita mengucapkan Innalillahi wainna ilaihi raji'un, yang artinya "sesungguhnya kita ini milik Allah dan kepada-Nyalah kita kembali".

Pada dasarnya setiap manusia itu mengalami dua kali kematian dan dua kali kehidupan. Kematian yang pertama ialah sebelum kita dihidupkan di muka bumi ini dan kematian kedua waktu kita mengakhiri kehidupan ini. Kehidupan pertama ialah waktu kita hidup di dunia ini yang bersifat sementara dan kehidupan kedua adalah waktu kita dibangkitkan di akhirat nanti. Allah Swt. menjelaskan hal itu dalam S. Al-Baqarah: 28;

"Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan-Nya, kemudian dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan?".

Dalam ayat tersebut digunakan kata fa artinya "lalu" yang menunjukkan langsung, amwatan fa ahyakum (tadinya mati lalu dihidupkan), dan digunakan kata tsumma artinya "kemudian" yang menunjukkan tidak langsung tetapi ada senggang waktu faahyakum tsumma yumitukum (dihidupkan kemudian dimatikan), yakni setelah beberapa tahun umurnya. Betapa indahnya gaya bahasa al-Qur'an yang sangat tinggi fashahah dan balaghahnya.

Kematian merupakan awal atau pintu gerbang menuju kehidupan abadi sesuai dengan ayat di atas. Oleh karena itu, dalam al-Qur'an disebutkan bahwa sesungguhnya kematian itu sebenarnya kehidupan. Artinya, jika seseorang ingin hidup terus menerus, maka ia harus mengalami kematian terlebih dahulu. Tanpa kematian tidak akan ada kehidupan abadi. Atau dalam istilah al-Qur'an, orang yang mati disebut "Kembali kepada Sang Pencipta".

Dalam perspektif al-Qur'an, hidup dan mati merupakan ajang persaingan amal di antara manusia. Dalam hal ini dikhususkan kepada manusia, karena manusialah yang diberi beban untuk menjalankan segala aturan yang telah ditetapkan kepadanya. Dengan daya nalarnya manusia dapat memilah dan memisahkan antara yang baik dan yang buruk atau yang benar dan yang salah. Dengan begitu, Allah dapat mengevaluasi yang terbaik amalnya di kalangan manusia, sebagaimana ditegaskan Allah dalam S. Al-Mulk: 2;

"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun."

Sementara itu, Rasulullah Saw. menggambarkan kehidupan dunia ini laksana ladang, addunya mazra'atul akhirah, ladang untuk menanam tanaman berdasarkan timbangan nalar manusia tadi. Jika di dunia ini kita menanam mangga, umpamanya, maka di akhirat nanti kita akan mendapatkan buah mangga. Sebaliknya, jika kita menanamkan kopi, maka akan tumbuh buah kopi juga. Apabila seseorang menanam kebaikan, maka akan memperoleh balasan kebaikan pula, yakni surga. Sebaliknya, apabila menanam kejahatan, maka buahnya juga kejahatan, yakni neraka.

Mengingat penting persolan kematian yang berkaitan dengan akhirat, maka al-Qur'an banyak menyebutkan pesan-pesan tentang akhir segala sesuatu. Surat-surat Makiyah umumnya mengandung pesan-pesan ini. Hal ini dimaksudkan agar manusia sebelum mengamalkan ajaran agama, terlebih dahulu mempunyai motivasi untuk melakukannya, karena setiap apa yang dilakukan itu akan diberi balasan. Kemudian, keyakinan kepada hari akhirat menjadi bagian yang sangat esensial dalam beragama. Bahkan, dalam al-Qur'an pernyataan tentang keimanan kepada Allah senantiasa digandengkan dengan hari akhirat. Umpamanya, termaktub dalam S. Al-Baqarah: 62; "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari kemudian dan beramal shaleh maka mereka akan memperoleh pahala."