Jumat, 23 Oktober 2009

Politik, Pemilihan Langsung, dan Peranan Kiai
04/08/2009

Oleh KH Afifuddin Muhajir *

Salah satu ciri khas agama Islam yang sangat menonjol adalah keterpaduannya antara ketegasan dan kelenturan yang tersebar dalam petunjuk-petunjuknya. Pada umumnya ketegasan terdapat dalam hal-hal yang menjadi tujuan (ghayat), sedangkan kelenturan menyangkut cara atau sarana mencapai tujuan (wasilah). Masalah kepemimpinan termasuk kepemimpinan politik bisa dikemukakan sebagai contoh konkrit bagi ciri khas Islam tersebut.

Dalam hal ini sekurangnya ada tiga ranah, yaitu tujuan pokok, tujuan perantara dan cara mencapai tujuan. Tegaknya keadilan, terwujudnya kesejahteraan, dan ketenteraman merupakan tujuan pokok adanya kepemimpinan. Sedangkan tegaknya kepemimpinan yang berkeadilan adalah tujuan antara yang bisa mengantarkan kepada tujuan pokok di atas. Sementara mekanisme pengangkatan pemimpin adalah cara mencapai tujuan. Dalam ranah yang terakhir inilah Islam memberi ruang gerak dan keleluasaan bagi umatnya untuk berijtihad dan memilih cara yang sesuai dengan perkembangan kehidupan.

Dalam banyak literatur fiqh siyasah (fiqh politik), dikemukakan beberapa cara pengangkatan pemimpin yang pernah terjadi dalam sejarah kepemimpinan Islam. Salah satunya adalah melalui mekanisme ikhtiyar (pemilihan), namun hak memilih hanya dimiliki oleh ahlu al-halli wa al-`aqdi (tokoh-tokoh masyarakat) yang memenuhi beberapa syarat penting, yaitu memiliki pengetahuan, termasuk pengetahuan tentang kandidat yang akan dipilih; memiliki sifat `adalah (keadilan) dan memiliki kebijakan yang bisa mengantarkan kepada terpilihnya pemimpin yang ideal.

Hal ini berbeda dengan pemilihan dalam sistem demokrasi langsung yang memberikan hak pilih kepada setiap warga negara yang telah cukup umur. Di sini tidak ada perbedaan antara yang alim dengan yang awam, antara kiai dengan santri, antara pejabat puncak dengan pengayuh becak, antara suara seorang profesor dengan suara tukang cukur, dan seterusnya.

Pada dasarnya, sistem pemilihan langsung itu baik, bahkan ideal, karena memberi kesempatan kepada setiap orang untuk memilih pemimpin yang disukai dan dicintai. Dalam hadits riwayat Muslim dijelaskan bahwa sebaik-baik pemimpin adalah pempimpin yang mencintai rakyat dan dicintai rakyat, dan sejelek-jelek pemimpin adalah pemimpin yang membenci rakyat dan dibenci oleh rakyat. Akan tetapi di Indonesia, sistem pemilihan langsung, baik Pilkada, Pilpres, maupun Pileg, banyak menghadapi kendala.

Kendala utama pemilihan langsung dalam konteks keindonesiaan adalah keawaman, kebutahurufan, dan kemiskinan sebagian masyarakat. Tampaknya masyarakat Indonesia sebagian besar buta politik dan tidak mengetahui syarat-syarat yang harus dimiliki pemimpin, sedangkan yang memiliki pengetahuan seringkali tidak menjatuhkan pilihan sesuai hati nuraninya. Faktor kemiskinan dari para pemilih menyebabkan suara mereka mudah dibeli dengan harga yang sangat murah. Oleh karena itu, demokrasi harus dibangun beriringan dengan peningkatan pendidikan dan pembangunan ekonomi masyarakat.

Selama kondisi kita masih seperti sekarang ini, ada sebuah pertanyaan yang perlu dijawab, perlukah taujihat (arahan) dari tokoh masyarakat, terutama tokoh agama dan para kiai sebagai pengawal moral untuk anggota masyarakat yang dianggap awam, dengan tujuan agar mereka memilih calon pemimpin yang dinilai memiliki atau lebih memiliki integritas dan kapabilitas? Ataukah, sebaiknya mereka dilepas dan dibiarkan mengikuti kehendak masing-masing?

Jawabannya, tergantung situasi dan kondisi, terutama kondisi para kandidat. Arahan dan fatwa politik kiai itu menjadi perlu, bahkan wajib bila masyarakat dihadapkan pada pilihan antara pemimpin yang baik dan yang buruk menurut pandangan para tokoh yang berkompeten. Dalam konteks yang lain, arahan politik dari para kiai bisa tidak diperlukan misalnya bila pilihan-pilihan yang ada masih dalam kategori syubuhat (remang-remang), tidak jelas halal-haramnya atau baik-buruknya, kerena persoalan yang masih syubuhat pada umumnya menjadi ajang terwujudnya khilâf (perbedaan) di antara para tokoh sendiri yang sangat potensial bagi terjadinya benturan dan disharmoni. Faktor syubuhat inilah yang menyebabkan terjadinya ketegangan di antara para kiai seperti tampak dalam beberapa kali Pilkada, Pileg, dan Pilpres. Walau tak bisa ditutupi pula, ketegangan politik di antara para kiai kerap bukan karena dilatari perbedaan ijtihad politik, melainkan karena motif duniawi lainnya. Ini yang memprihatinkan.

Dengan demikian, maka ketika arahan politik itu diperlukan, kejujuran dan keikhlasan merupakan modal utama bagi tokoh-tokoh agama dan para kiai di dalam memberikan fatwa politik. Dan, kita sangat ber-husnu al-zhan (berbaik sangka) bahkan yakin bahwa tak sedikit dari para kiai yang memiliki modal itu. Ini terbukti dengan banyaknya kiai yang lebih suka mendukung calon pemimpin hanya karena diyakini memiliki integritas dan kapabilitas dari calon lain yang diyakini akan memberikan keuntungan duniawi yang melimpah.

Oleh karena itu, fatwa politik (sebagian) kiai didasarkan pada pertimbangan etik-moral dan bukan pada kekuasaan. Mereka ingin mengarahkan dukungan kepada kandidat yang paling memenuhi kualifikasi dan standar, seperti yang mereka yakini. Namun, dukungan para kiai ini sekalilagi kerap kandas ketika berhadapan dengan politik uang. Fatwa kiai ini tak lagi didengar karena sebagian masyarakat terutama yang miskin lebih mendahulukan dan memilih kandidat yang memberi bantuan finansial, sembako, dan lain-lain.

Ke depan, saya kira itu membahayakan. Sebab, hanya orang-orang yang berkantong tebal yang akan menjadi pemimpin. Sementara mereka yang memiliki sumber dana terbatas tapi mempunyai kualifikasi pemimpin tak akan punya peluang untuk memimpin, baik di pusat maupun di daerah. Kiai sebagai tokoh agama bertugas untuk mengembalikan arah politik dari politik kekuasaan yang bersandar pada uang dan kapital semata-mata kepada politik kekuasaan yang bertunjang pada etika, moral, dan integritas. Publik secara umum perlu disadarkan bahwa pemimpin yang kuat, jujur, dan kapabel lebih didahulukan daripada pemimpin yang tidak jujur, berintegritas rendah dan melakukan politing uang.

Pengasuh Ma`had Aly Asembagus Situbondo, Jawa Timur

1 komentar:

  1. saya sangat setuju dengan pendapat beliau. wa fil jumlah, ketidak setujuan saya berdasarkan pada tiga alasan 1. masyararakat masih miskin 2. masyarakat kita banyak yang 'awam atau tidak memiliki wawasan luas tentang politik dan negara 3. masyarakat kita masih lemah imannya, dengan pengertian lain tidak cukup memenuhi syarat menjadi pemilih. usul saya, pikiran beliau harus dikumandangkan pada semua elemen, supaya ke depan tidak perlu pemilihan langsung lagi.

    BalasHapus