Rabu, 21 Oktober 2009

MEMILIH PEMIMPIN


Tugas memilih kadangkala tidak mudah dilakukan, termasuk juga memilih calon pemimpin. Kesulitan itu bertambah lagi, jika pilihan-pilihan itu hampir sama. Memilih beberapa alternative yang berbeda tidak terlalu sulit, tetapi sebaliknya memilih sesuatu yang mirip, banyak orang mengalami kesulitan. Memilih antara hitam dan putih, jika memang yang dicari adalah wara hitam, maka segeralah warna hitam itu diambil. Akan tetapi jika yang akan dipilih itu adalah satu di antara beberapa jenis warna serupa, maka sekalipun sekedar memilih akan mengalami kesulitan.

Pada hari Rabu tanggal 8 Juli 2009 bangsa Indonesia memiliki tiga pilihan calon pemimpin yang harus dipilih salah satu. Ketiga calon itu adalah pasangan Ibu Mega-Prabowo, SBY-Budiono, JK-Wiranto. Semuanya sudah tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Mereka bisa disebut sebagai orang lama, yang telah banyak berbuat dan berjasa bagi bangsa ini. Ibu Mega pernah menjabat sebagai wakil presiden dan juga presiden, Pak Prabowo pernah berkarya di tentara, Pak SBY adalah presiden yang saat ini masih menjabat dan sebelumnya beberapa kali duduk di cabinet. Demikian Pak Budiono pernah menduduki jabatan kabinet dan sebelum ini menjadi direktur BI. Pak JK beberapa kali menjadi anggota kabinet, seorang pengusaha sukses, dan saat ini beliau menjabat sebagai wakil presiden. Terakhir Pak Wiranto, pernah menduduki posisi-posisi strategis di negeri ini.

Semua calon presiden dan wakil presiden tersebut tidak pernah merugikan, apalagi berbuat cacat terhadap bangsa ini. Pengetahuan, pengalaman, komitmen dan integritasnya terhadap bangsa tidak ada sedikitpun yang diragukan. Hal itu juga tampak dan dapat dirasakan pada sepanjang masa kampanye. Biasanya dalam masa kampanye, jika seseorang kandidat memiliki kekuarangan, maka kelemahan itu akan diungkap secara terbuka untuk menjatuhkannya. Tetapi hal itu tidak terdengar, sehingga artinya para kandidat tersebut memang telah teruji di hadapan public. Itulah sebabnya, ketiga pasangan tersebut sesungguhnya memiliki track record yang sama. Kemiripan seperti inilah yang kemudian justru menjadi sulit memilihnya, kecuali bagi mereka yang memiliki kedekatan dengan masing-masing kandidat pemimpin tersebut.

Atas kenyataan adanya kesamaan dari masing-masing calon pasangan tersebut, bangsa ini telah mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Di masa kampanye, masing-masing kandidat mampu menunjukkan jiwa besarnya tatkala sama-sama bersaing. Sekalipun dilakukan debat public oleh KPU di televisi yang disaksikan oleh seluruh rakyat, ketiganya menunjukkan dengan jelas kharakter sebagai pemimpin bangsa. Kata debat menggambarkan adanya saling beradu konsep, argumentasi dan bahkan menjatuhkan. Tetapi, dalam forum debat itu -------karena masing-masing saling mengenal dengan baik, maka apa yang dibayangkan oleh pemirsanya, akan berjalan sengit, ternyata biasa-biasa saja. Dalam debat itu tidak tampak permusuhan atau setidak-tidaknya saling menjatuhkan. Suasana saling menghormati dan menghargai di antara para calon pemimpin bangsa ini tampak dengan jelas. Saya kira siapapun akan menilai bahwa penampilan itu adalah merupakan pelajaran yang sangat mulia yang telah diberikan oleh pasangan calon pemimpin bangsa ini. Penampilan itu perlu mendapatkan apreasi yang tinggi, karena bangsa ini memang sedang memerlukan sifat-sifat mulia seperti itu.

Gambaran indah tatkala kampanye yang ditampakkan oleh para calon pasangan pemimpin bangsa ini, justru dianggap tidak menarik oleh sementara orang. Mereka mengatakan bahwa debat Capres dan Cawapres monoton, tidak ada perbedaan, mereka saling menjelaskan dan menguatkan pandangan satu sama lain sehingga tidak menarik dilihat. Semestinya memang sebagaimana sebuah perdebatan adalah seru, beradu konsep dengan argumentasinya masing-masing. Tetapi yang tampak agak aneh, seperti ujian lesan dan terbuka dari seorang guru besar terhadap calon presiden. Jika terjadi saling serang hanya sebatas pemanis.
Tatakrama debat yang disusun oleh KPU barangkali tujuannya baik. Agar melalui debat itu tidak akan ada yang menyerang hingga menjadikan salah satu calon yang diserang tersinggung. Jika itu terjadi maka proses menuju demokrasi, terganggu, kegiatan serupa pada masa depan tidak dilakukan. Tapi dengan cara itu memang menjadi tidak terlalu menarik. Biasanya selesai acara debat, orang berkomentar, sudah lebih baik dari yang lalu. Selama ini belum ada yang berkomentar bahwa debatnya amat baik.

Terlepas dari itu semua, memang perdebatan di antara pihak-pihak yang memiliki kesamaan, di mana pun dan kapan pun tidak akan menarik. Sehingga debat yang tampak kurang menarik seperti yang pernah kita saksikan itu, bukan semata-mata akibat scenario yang disusun oleh pihak KPU, tetapi memang sebenarnya secara jujur harus diakui bahwa berdebat di antara keluarga, teman, kolega sendiri yang setara dan bahkan serupa akan luar biasa sulitnya. Jika para pengamat ingin menonton debat yang menarik, maka harus menghadirkan para pedebat dari orang-orang yang memiliki latar belakang yang berbeda. Namun, apapun proses kampanye termasuk acara depat cawapres dan capres sudah merupakan kemajuan yang luar biasa dalam rangka menumbuhkan suasana demokrasi di negeri ini.

Pertanyaan yang harus dijawab kemudian adalah bagaimana memilih calon pemimpin yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang serupa itu. Maka jawabnya tidak terlalu sulit diberikan. Kita tatkala akan memilih apapun, sebenarnya memiliki instrument, termasuk memilih calon pemimpin. Jika menghadapi keadaan sulit seperti ini, dua instrument itu harus digunakan secara berbarengan. Kedua instrument itu adalah rasio dan rasa. Tatkala menggunakan instrument pertama, yakni rasio maka kita telah dibantu, yakni melalui berbagai informasi yang disampaikan saat kampanye. Hanya saja, informasi itu belum cukup karena masing-masing memberikan janji, keterangan yang semuanya. Dan bahkan, sampai jikrak-jingkrak yang ditampilkan di televisi pun juga mirip. Sehingga, memilih pemimpin kiranya naïf jika hanya mendasarkan pada keindahan jingkrak-jingkraknya itu.

Oleh karena itu masih ada lagi instrument yang kedua, yaitu rasa. Jika rasio lebih mendasarkan pada kekuatan otak atau pikiran, maka masih bisa memilih dengan pertimbangan rasa yang bersumber dari hati. Rasio biasanya bersifat obyektif. Tetapi jika data atau informasi yang dimiliki terbatas, maka keputusan itu bisa juga salah. Rasio biasanya terpengaruh oleh kepentingan, jumlah informasi, dan pandangan yang mendahuluinya. Sedangkan instrument yang kedua, yakni hati, biasanya lebih jernih, asli dan senyatanya. Hanya saja bisikan hati itu, seringkali terlalu halus, sehingga kurang bisa dirasakan, lebih-lebih tatkala rasa sudah dikalahkan oleh rasio yang mengambil keputusan sebelumnya.

Hati atau rasa biasanya memang tidak mengikuti pertimbangan-pertimbangan rasional, apalagi untung rugi yang bersifat material. Hati biasanya lebih mementingkan kedamaian, kesejukan, kebersamaan, dan sifat-sifat kemanusiaan yang tinggi lainnya. Setiap orang memiliki panggilan hati masing-masing. Mereka yang lagi gelisah, tidak tenteram, sedih, apalagi marah, -----semuanya itu pertanda sedang sakit, maka akan menjatuhkan pada pilihan yang bisa memuaskan emosinya itu. Sebaliknya, bagi yang menghendaki ketentraman dan kedamaian, maka akan memilih pemimpin yang dipandang bisa mengayomi dan mengajak pada jalan Tuhan yang teduh, benar, dan lurus. Sedangkan bagaimana mendapatkan petunjuk, tatkala menghadapi keadaan yang sulit seperti itu, maka Islam menganjurkan agar mengambil air wudhu, menuju tempat sholat,, dan mengenakan pakaian yang suci, kemudian menghadap kepada Dzat Yang Maha Suci, ialah sholat istiqoroh. Wallahu ‘alam. moh. Safrudin aktivis Dialog Kaum Muda Nahdlatul Ulama (NU) Sultra, peneliti Sangia Institute Email. Moh.safrudin@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar