Senin, 11 Oktober 2010

DEMOKRASI ANTARA KONSEP DAN PELAKSANAAN

Oleh : Moh. Safrudin,S.Ag,M.PdI
(Ketua Departemen Idiologi dan Agama GP. ANSOR Sultra)

Hampir dalam semua hal, antara yang dianggap ideal dengan yang sebenarnya terjadi selalu berjarak, atau berlainan. Perbedaan itu kadang sedemikian jauh, sehingga sosok ideal itu seringkali tidak tergambarkan dalam kenyataan. Sesuatu digambarkan terlalu baik, dan karena itu orang mempercayainya. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak selalu seperti itu.
Hal yang demikian itu juga terjadi dalam berdemokrasi. Dalam tataran idealnya, demokrasi sedemikian indah. Bahkan dikatakan bahwa demokrasi, adalah sebuah tatanan kehidupan bersama yang pada zaman sekarang dianggap paling ideal. Digambarkan sedemikian indahnya demokrasi itu, sehingga konsep itu diperjuangkan sepanjang waktu dan menjadi cita-cita bagi banyak orang.
Sedemikian percaya orang terhadap demokrasi, sehingga orang menafsirkan bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan ajaran agamanya, tidak terkecuali Islam. Kemudian dicarikanlah dalil-dalil untuk membenarkan pandangannya itu. Ayat-ayat al Qurán dan hadits nabi dikutip untuk membuktikan, bahwa demokrasi sejalan dengan ajaran Islam. Dengan begitu, banyak orang menyetujui dan mendukungnya. Semangat berdemokrasi itu kadang terlalu jauh, sehingga orang yang kurang menyetujui, dianggap berpikiran sempit dan tidak mengikuti perkembangan zaman, -----yaitu zaman demokrasi itu.
Pandangan seperti itu, kiranya boleh-boleh saja, anggaplah sebagai sebuah hasil pemikiran. Al Qurán dan hadits nabi selalu benar. Akan tetapi jika ayat-ayat itu sudah masuk pada alam pikiran manusia, maka bisa jadi akan menjadi bersifat subyektiif. Arti subyektif di sini bukan terletak pada ayat al Qurán atau hadits nabi itu sendiri, melainkan pada penggunaannya telah diwarnai oleh subyektifitas orang yang bersangkutan.
Berdasarkan kenyataan sejarah selama ini, keindahan demokrasi baru berada pada tataran konseptual, atau tatkala masih berada pada tataran ide, teori, atau masih berupa buah pikiran. Sedangkan pada tataran implementasinya, belum seindah sebagaimana yang banyak digambarkan selama ini. Demokrasi menggambarkan bahwa kehidupan ini adalah milik bersama. Diumpamakan sebagai sebuah rumah, maka rumah itu adalah milik bersama. Oleh karena itu, seluruh penghuninya seharusnya memiliki hak yang sama. Atas dasar pandangan itu, apa saja yang terkait dengan pengambilan keputusan penting, tidak terkecuali kepemimpinan, harus dilakukan secara bersama, melalui pemilihan yang jujur, adil, dan melibatkan semua.
Jika gambaran demokrasi seperti itu, maka konsep itu memang baik. Melalui konsep itu, maka ada maksud untuk menghormati dan menghargai terhadap semua orang, tanpa kecuali sesuai aturan yang disepakati bersama. Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan di muka, bahwa apa yang terjadi, atau yang nyata tidak selalu sama dengan yang dipikirkan, digambarkan, diangan-angankan, atau diteoritikan itu. Teorinya sedemikian bagus dan indah, akan tetapi dalam pelaksanaaannya, menjadi sedemikian buruk, tidak terkecuali dalam berdemokrasi.
Bangsa ini telah meliliki sejarah panjang dalam berdemokrasi. Pada zaman orde baru, Presiden Soeharto selalu mengtakan bahwa Indonesia harus menjadi negara yang demokratis. Ketika itu setiap lima tahun sekali diselenggarakan pemilihan umum. Dikatakan bahwa pemilihan umum harus berjalan secara jujur dan adil. Pemungutan suara harus dilakukan secara bebas, umum, dan rahasia. Jargon-jargon tersebut disosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat. Bahkan hingga anak-anak seolah, diajari dan ditugasi untuk menghafalkannya.
Akan tetapi, apakah demokrasi benar-benar terjadi dalam praktek, ternyata Pak Harto justru disebut-sebut sebaliknya, yaitu sebagai pemimpin otoriter. Sebutan itu tidak tanpa dasar. Pada zaman pemerintahan Pak Harto, banyak orang dipaksa-paksa masuk partai politik pemerintah. Para ulama, kyai, para tokoh masyarakat, dan rakyat, dengan berbagai cara, mereka digiring pada organisasi politiknya. Selain itu, partai politik pemerintah tidak disebut sebagai partai, melainkan menggunakan sebutan golongan. Tetapi anehnya, selalu mengikuti pemilu dan harus menang dengan berbagai caranya.
Masih dalam hal berdemokrasi zaman orde baru, tidak semua wakil rakyat dipilih. Sebagiannya diangkat, agar kemenangan selalu diraihnya. Demikian pula, dalam banyak hal, undang-undang atau peraturan dibuat agar seolah-olah azas demokrasi dipenuhi. Semua syarat dan rukun berdemokrasi seolah-olah dijalaninya. Padahal yang terjadi sebenarnya, adalah bahwa semua itu diatur dan direkayasa, agar kemenangan tetap berpihak pada yang sedang berkuasa. Dengan dalih berdemokrasi, banyak pihak diperdaya dan ternyata semua tidak berkutik. Namun akhirnya, cara-cara seperti itu, ------sekalipun sudah sedemikian kokohnya, ternyata juga bisa runtuh.
Tekanan-tekanan yang sedemikian lama ternyata justru melahirkan kekuatan baru yang kemudian berhasil meruntuhkan rezim yang telah berkuasa sekian lama. Maka kemudian muncul era baru yang disebut zaman reformasi. Lagi-lagi yang diusung adalah demokrasi. Semua pihak menyerukan agar demokrasi diperjuangkan, dan ditegakkan. Atas nama demokrasi semua hal diperbaharui. Demokrasi seolah-olah menjadi dzikir bagi semua orang. Atas dasar demokrasi, maka partai politik berdiri sehingga jumlahnya sedemikian banyak, hingga masing-masing partai sulit dihafalkan, baik menyangkut nama, identitas, bahkan lambang-lambangnya.
Kehadiran partai politik disambut gembira, karena dengan begitu dipercaya demokrasi akan terwujud. Rakyat akan memiliki hak yang seluas-luasnya untuk ikut membangun negeri dan bangsanya. Namun lagi-lagi yang terjadi, demokrasi secara benar, tidak serta merta dapat dijalankan. Selain itu, melalui reformasi, yang semula dipercaya, bahwa penyakit sosial seperti korupsi, kolusi dan nepotisme bisa dihilangkan, pada kenyataannya masih jauh panggang dari api. Kasus-kasus korupsi masih tetap bejalan, dan bahkan semakin meluas. Kolusi terjadi di mana-mana, hingga menjadikan banyak pejabat, ------di berbagai level, ditengarainya hingga kemudian dimasukkan penjara. Nepotisme juga tidak berkurang. Tidak sedikit pejabat, yang melakukannya. Sekalipun seseorang belum terlalu dewasa dan berpengalaman, didorong-dorong menduduki jabatan publik. Di alam demokrasipun semua bisa diatur dan dicarikan alasan-alasan hingga seolah-olah dianggap patut dan rasional.
Sebagai akibatnya, maka banyak orang kecewa, frustasi, dan jengkel tatkala melihat kenyataan-kenyataan yang jauh dari apa yang diidealkan. Sejarah panjang bangsa ini, dari waktu ke waktu, -----dengan dalih berdemokrasi, ternyata menunjukkan gambaran yang tidak jauh berbeda. Apa yang diidealkan ternyata selalu tidak sama dengan kenyataannya. Apa yang dirumuskan atau dinyatakan selalu berbeda dari kenyataan yang terjadi. Oleh karena itu, rasanya bisa sampai pada kesimpulan, bahwa dalam membangun masyarakat tidak akan bisa hanya berdasar pada jargon, slogan-slogan, bahkan juga dengan konsep atau teori sebagus apapun. Semua itu harus dibarengi dengan adanya orang-orang yang tulus, ikhlas, dan semangat mengabdi, bahkan pengabdian itu juga terhadap Tuhan yang diimaninya.
Akhirnya tulisan singkat ini, perlu ditutup dengan kalimat, bahwa semua yang bersifat lahiriyah harus mengacu dan mendasarkan pada wilayah yang bersifat batiniyah. Dunia batin yang dimaksudkan itu adalah ikhlas, jujur, bisa dipercaya, adil, sabar, istiqomah. Sehingga, jika demokrasi masih dipercaya dan harus dipegangi, maka nilai-nilai luhur yang bernuansa spiritual sebagaimana dikemukkan itu, harus selalu dijadikan pijakannya, sehingga terjadi antara yang dipikirkan dengan yang dipraktekkan, atau antara yang diidealkan dengan kenyatannya, tidak selalu terpisah jauh. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar