Oleh : Moh. Safrudin, S.Ag, M.PdI
(Staf Pengajar MAN 1 Kendari Peneliti Sangia Institute)
Perdebatan tentang perlu atau tidak perlu ujian negara dilaksanakan, rupanya akhir-akhir ini sudah tidak lagi dianggap perlu lagi. Bagi pemerintah, ujian negara dianggap perlu karena merupakan pelaksanaan undang-undang. Sedangkan bagi sementara orang yang selama ini merasa keberatan, mungkin sudah tidak ada harapan, bahwa pandangannya mendapatkan perhatian. Sehingga dengan demikian, ujian nasional akan dilaksanakan.
Namun terkait dengan itu, kiranya masih ada hal lain yang perlu direnungkan lebih jauh, jika hal itu dihubungkan dengan pendidikan secara keseluruhan. Ujian nasional sebagaimana tahun lalu, pengawasannya melibatkan perguruan tinggi. Para dosen perguruan tinggi mendapatkan tugas sebagai pengawas ujian di SMA/SMK dan MAN. Kebijakan tersebut mengindikasikan bahwa ternyata sebatas mengawasi ujian, pihak sekolah masih harus dibantu. Seolah-olah sekolah sudah tidak selayaknya mendapatkan kepercayaan itu sepenuhnya.
Selain itu, perguruan tinggi dalam menjalankan pengawasan ujian dianggap masih kredibel. Padahal semestinya kredibilitas perguruan tinggi bukan terletak dalam perannya sebagai pengawas ujian, melainkan dalam penelitian dan kegiatan pengembangan keilmuan lainnya. Dalam hal pengawasi ujian, para guru sendiri semestinya lebih tepat. Sehingga tatkala perguruan tinggi diperankan sebatas sebagai pengawas ujian, terasa agak aneh. Tetapi itulah yang terjadi.
Kebijakan tersebut diambil atas dasar pelajaran sebelumnya, bahwa banyak terdengar informasi tentang penyelewengan yang dilakukan. Penyelewenangan itu ditengarai telah dilakukan oleh semua pihak, baik para siswa, guru, kepala sekolah, maupun dinas pendidikan. Mereka berame-rame berupaya agar kelulusannya tidak jeblok.
Penyelewengan itu sendiri dilakukan, karena tidak ada pihak-pihak yang mau dirugikan. Para siswa ingin lulus, agar segera bisa meneruskan pendidikan ke jenjang berikutnya, atau agar segera lepas dari beban sehari-hari. Demikian pula para guru, kepala sekolah dan dinas pendidikan, menghendaki agar prosentase kelulusan jangan sampai rendah agar tidak dianggap tugasnya gagal. Sebab prosentase kelulusan akan mempengaruhi kredibilitas pribadi maupun jabatannya.
Jika prosentase lulusannya rendah, maka gurunya dianggap kurang cakap. Begitu pula kepala sekolah dan dinas pendidikan setempat. Semangat menjaga dan mempertahankan prestasi itu sedemikian kuat, sehingga muncul sesuatu yang tidak wajar. Sebagaimana Pilkades, Pilkada, maupun Pilpres, maka dalam ujian nasional juga dibentuk tim sukses yang bertugas meningkatkan hasil kelulusan ujian di lembaga pendidikannya. Sudah barang tentu, untuk memenuhi targetnya mereka melakukan hal-hal yang semestinya tidak boleh dilakukan.
Kejadian tersebut tampak sederhana, tetapi sebenarnya merupakan sesuatu hal yang sangat serius terkait dengan pembinaan watak bangsa. Penyimpangan seperti itu, ternyata terjadi di dunia pendidikan, yang oleh siapapun, seharusnya dihindari jauh-jauh. Pendidikan semestinya tidak boleh sedikitpun terkontaminasi oleh tindakan atau kebijakan yang mengganggu proses lahirnya anak-anak jujur dan berkepribadian.
Jika lembaga pendidikan sudah tidak mampu menjaga misi yang sebenarnya, sehingga melahirkan anak didik yang tidak jujur, maka sebenarnya institusi itu sudah kehilangan segala-galanya. Tujuan pendidikan adalah membentuk manusia taqwa, yang salah satu artinya adalah dapat dipercaya. Dengan keharusan adanya pengawasan yang sedemikian jauh itu menggambarkan bahwa dunia pendidikan sudah tidak berhasil menunaikan amanahnya. Persoalan ini sebenarnya bukan sederhana, apalagi bagi yang mengerti hakekat pendidikan, adalah sudah sangat serius.
Lembaga pendidikan pada saat sekarang ini ternyata sebatas membangun lulusan yang bisa dipercaya sudah sangat berat. Untuk mengatasinya maka perlu ada reorientasi para guru, kepala sekolah, dinas pendidikan dan juga para siswa secara keseluruhan. Harus ditumbuh-kembangkan penyadaran kembali bahwa kepercayaan adalah harta yang tidak boleh hilang. Demikian pula, pendidikan tidak boleh kontra produktif, yakni masih melahirkan orang yang tidak bisa dipercaya.
Pelaksanaan ujian nasional dengan melibatkan tenaga pengajar di perguruan tinggi seolah-olah mempertontonkan bahwa para guru, -----sebatas menjadi pengawas ujian, sudah tidak bisa dipercaya lagi. Sebenarnya kebijakan ini terasa aneh, mereka dipercaya mengajar dan mendidik, tetapi sebatas menjadi pengawas, masih perlu diawasi segala. Lebih memprihatinkan lagi, bahwa di tengah-tengah upaya memberantas korupsi yang sedemikian berat, ternyata lembaga pendidikan masih dianggap belum mampu menjalankan perannya secara maksimal.
Oleh karena itu pelajaran penting dari pelaksanaan ujian nasional, di antaranya adalah menyangkut betapa beratnya menjalankan pendidikan. Kepercayaan ternyata amat penting, tetapi berat dan mahal harganya. Menjadikan orang jujur dan bisa dipercaya, bukan sebatas diajar melainkan harus disempurnakan dengan dididik. Pendidikan yang baik harus ada tauladan yang sempurna. Di sisnilah letak pentingnya agama, ----- selalu ada tauladan dari seorang pilihan Tuhan, yaitu para Rasul-Nya. Para guru semestinya berposisi sebagai pewarisnya. Wallahu a’lam.
Minggu, 27 Februari 2011
Minggu, 13 Februari 2011
MAULID SEBAGAI MOMEN UNTUK MENIRU SIFAT RASULULLAH
MAULID SEBAGAI MOMEN UNTUK MENIRU SIFAT RASULULLAH
oleh : Moh. Sarudin, S,Ag, M.PdI
(Pengasuh Acara Sentuhan Iman Agama dan Remaja RRI Kendari)
Saya ingin memulai tulisan ini dengan menyampaikan dua buah hadits tentang kecintaan kepada Rasulullah saw. Pertama, hadits yang masyhur diriwayatkan dalam kitab-kitab ahli sunnah, di antaranya dalam Al-Targhib wal Takhib, sebuah kitab hadits yang sangat populer di antara kita. Kedua, hadits yang dikutip dari Bihar Al-Anwar, kitab hadits yang cukup besar dan menjadi rujukan mazhab Ahlul Bayt.
Hadits yang pertama menceritakan bahwa pada suatu hari ketika Rasulullah saw sedang berbincang-bincang dengan para sahabatnya, seorang pemuda datang mendekati Rasul sambil berkata, “Ya Rasulullah, aku mencintaimu.” Lalu Rasulullah saw berkata: “Kalau begitu, bunuh bapakmu!” Pemuda itu pergi untuk melaksanakan perintah Nabi. Kemudian Nabi memanggilnya kembali seraya berkata, “Aku tidak diutus untuk menyuruh orang berbuat dosa.” Aku hanya ingin tahu, apa betul kamu mencintai aku dengan kecintaan yang sesungguhnya?”
Tidak lama setelah itu, pemuda ini jatuh sakit dan pingsan. Rasulullah saw datang menjenguknya. Namun pemuda itu masih dalam keadaan tidak sadar. Nabi berkata, “Nanti kalau anak muda ini bangun, beritahu aku.” Rasululah saw kemudian kembali ke tempatnya. Lewat tengah malam pemuda itu bangun. Yang pertama kali ia tanyakan ialah apakah Rasulullah saw telah berkunjung kepadanya. Diceritakanlah kepada pemuda itu bahwa Rasulullah saw bukan saja berkunjung, tapi beliau juga berpesan agar diberitahu jika pemuda itu bangun. Pemuda itu berkata, “Tidak, jangan beritahukan Rasulullah saw. Bila Rasulullah harus pergi pada malam seperti ini, aku kuatir orang-orang Yahudi akan mengganggunya di perjalanan.” Segera setelah itu, pemuda itu menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Pagi hari usai shalat subuh, Rasulullah saw diberitahu tentang kematian pemuda itu. Rasul datang melayat jenazah pemuda itu dan berdo’a dengan do’a yang pendek tetapi sangat menyentuh hati, “Ya Allah, sambutlah Thalhah di sisi-Mu, Thalhah tersenyum kepada-Mu dan Engkau tersenyum kepadanya.”
Dengan hal itu Nabi menggambarkan kepada kita, bahwa orang yang mencintainya akan dido’akan oleh Nabi untuk berjumpa dengan Allah swt. Allah akan ridha kepadanya dan dia ridha kepada Allah, Radhiyyatan Mardhiyyah. Dia tersenyum melihat Allah dan Allah tersenyum melihatnya.
Hadits yang kedua mengisahkan seorang pedagang minyak goreng di Madinah. Setiap kali dia hendak pergi, termasuk pergi ke pasar, dia selalu melewati rumah Rasulullah saw. Dia selalu singgah di tempat itu sampai dia puas memandang wajah Rasul. Setelah itu ia pergi ke pasar. Suatu saatetelah melepaskan rindunya kepada Rasul, seperti biasanya ia pergi ke pasar. Tapi tidak berapa lama setelah itu, dia datang lagi. Nabi terkejut sehingga bertanya, “Kenapa kau balik lagi?” Ia menjawab, “Ya Rasulullah, setelah saya sampai di pasar hati saya gelisah. Saya ingin kembali lagi. Izinkan saya memandang Engkau sebentar saja untuk memuaskan kerinduan saya.” Kemudian Rasul berbincang-bincang dengan orang itu.
Tidak lama setelah itu Nabi tidak lagi melihat tukang minyak itu lewat di depan rumahnya. Berhari-hari orang itu tidak lagi kelihatan batang hidungnya di depan Rasulullah saw. Lalu Rasul mengajak sahabat-sahabatnya untuk menjenguk dia. Berangkatlah mereka ke pasar dan mendapat kabar bahwa orang itu telah meninggal dunia. Rupanya pertemuan sampai dua kali waktu itu merupakan isyarat bahwa dia tidak bisa lagi memandang wajah Rasulullah saw.
Rasul bertanya kepada orang-orang di pasar, “Bagaimana akhlak orang itu?” Mereka berkata, “Orang itu pedagang yang sangat jujur. Cuma ada sedikit saja, orang ini senang perempuan.” Kemudian Rasul berkata, “Sekiranya orang itu dalam dagangnya agak lancung sedikit, Allah akan mengampuni dosanya karena kecintaannya kepadaku.” Tetapi orang itu sangat jujur dan kecintaannya kepada Rasul dibuktikan dalam kejujurannya di dalam berdagang.
Dua hadits di atas menceritakan kepada kita tentang pentingnya mencintai Rasulullah saw. Sudah sering kita mendengar hadits yang berbunyi, “Belum beriman kamu sebelum aku lebih kamu cintai daripada dirimu, anak-anakmu, dan seluruh ummat manusia.”
Kita semua diperintahkan mencintai Rasulullah saw. Mencintai Rasul merupakan bagian dari seluruh bangunan keislaman kita. Oleh karena itu, dahulu para ulama melakukan berbagai cara agar kecintaan kepada Nabi terus-menerus dibangkitkan. Di antaranya dengan menghias majelis-majelis mereka dengan bacaan shalawat, mengadakan peringatan maulid, dan mengungkapkan kecintaan mereka dengan puisi-puisi, sehingga sepanjang sejarah sudah terkumpul ribuan puisi yang ditulis untuk mengungkapkan kecintaan kepada Rasululah saw.
Beberapa waktu yang lalu di masjid Asy-Syifâ, Universitas Diponegoro, saya mengajak semua orang untuk kembali membangkitkan kecintaan kepada junjungan kita Rasulullah saw. Ada orang yang bertanya kepada saya: “Saya ingin mencintai Rasulullah, tapi apa yang harus saya lakukan supaya kecintaan itu tertanam di dalam hati saya. Kalau saya ini mencintai seorang perempuan, saya bayangkan wajahnya, rambutnya, dan bibirnya supaya tumbuh kerinduan saya kepada perempuan itu. Apakah saya harus membayangkan wajah Rasululah saw, supaya saya bisa men-cintainya?” Waktu itu saya menjawab: “Inilah bencana paling besar yang menimpa kita sekarang ini. Kita hanya bisa mencintai sesuatu yang bisa dilihat, diraba, dan disaksikan. Kita ini sama dengan orang-orang kafir yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Mereka hanya mencintai yang zhahir saja, mata mereka tidak dapat menembus hal-hal yang bathiniyah.
Jadi, kalau kita mau mencintai, maka cinta kita hanya cinta fisikal saja, cinta yang sensual. Kita tidak dididik untuk mencintai orang bukan karena tubuhnya. Di dalam ilmu percintaan, cinta karena tubuh adalah tahapan cinta yang paling rendah. Para ahli jiwa mengatakan, cinta pertama pada anak-anak adalah cinta pada sesuatu yang bisa dilihat. Menurut Sigmund Freud, pertama kali seseorang mencintai ialah ketika dia merasakan kenikmatan pada waktu menyusu kepada ibunya. Itulah cinta yang paling rendah. Makin dewasa orang itu, makin abstrak atau makin tidak kelihatan cintanya. Sayang, tampaknya kedewasaan kita ini lambat.
Salah satu ciri ketidakdewasaan kita adalah bila kita mencintai sesuatu, itu dikarenakan oleh hal-hal yang kongkret dan bisa dilihat. Kita cinta kepada gunung, karena kehijauannya yang bisa dilihat dan kesejukkan anginnya yang bisa dirasakan. Bukan karena keanggunannya dan misteri yang ada dibalik gunung itu. Kalau kita menceritakan laut, yang kita ceritakan adalah gelombangnya, batu-batu karangnya, dan ikan-ikannya. Tidak kita ceritakan keluasan samudera itu, kedahsyatannya, dan pengaruhnya kepada jiwa kita. Sebab, semua hal itu terlalu abstrak dan kita terbiasa dengan hal-hal yang kongkret.
Ketika Pemilu, kita memilih partai bukan program-programnya. Karena program bersifat abstrak, tidak kelihatan. Kita jugamemilih bukan karena perilaku para politisinya, karena perilaku itu tidak kelihatan.
Tapi saya tidak akan menceritakan hal itu, saya akan membawa Anda mencintai Rasulullah saw dengan kecintaan yang lebih tinggi tingkatnya. Bukan kecintaan fisikal atau jasmaniah. Kecintaan jasmaniah itu adalah kecintaan ala ABG, yang tidak layak buat orang-orang dewasa seperti kita.
Kalau kita buka ayat Al-Qur’an, ketika Allah berkisah tentang Rasulullah saw, tidak pernah diceritakan sifat-sifat jasmaniah Rasulullah saw. Al-Qur’an selalu menceritakan sifat-sifat ruhaniah Rasulullah saw. Bercerita tentang akhlak Rasulullah saw, bukan penampilan fisiknya.
Berbeda dengan para sahabat. Kalau sahabat bercerita tentang Rasulullah saw sering berupa penampilan fisiknya. Misalnya diceritakan bahwa Rasul itu kalau tertawa sampai kelihatan gusinya. Atau diceritakan tentang tetesan keringat Rasul. Siti Aisyah pernah terpesona dengan tetesan keringat di dahi Rasul, sampai dia berkata: “Ya Rasulullah, ingin saya bacakan sebuah puisi kepadamu.” Lalu Siti Aisyah menuliskan puisinya dengan mengutip syair seorang Arab tentang tetesan keringatnya. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa Siti Aisyah hanya mencintai Rasulullah saw karena jasmaninya.
Saya ingin mengetengahkan satu ayat Al-Qur’an. Ada riwayat yang agak lucu tentang ayat ini. Katanya setelah Al-Qur’an terkumpul dan tertulis pada zaman Abu Bakar, seseorang berkata bahwa ada satu ayat yang hilang. Pada waktu itu, seseorang yang mengumpul-kan ayat harus membawa saksi satu orang. Sehingga jumlah pengumpul ayat ada dua orang. Seseorang berbicara, “Ada yang terlewat, satu ayat belum masuk ke situ.” Dia hanya seorang diri, tidak mempunyai saksi. Namanya Khuzaimah bin Tsabit. Lalu orang-orang berkata, “Kesaksian Khuzaimah bin Tsabit dihitung menjadi dua, karena hanya dia yang mengetahui ayat Al-Qur’an ini.”
Lepas dari persoalan hadits ini shahih atu tidak, ayat itu bercerita tentang akhlak Rasullullah saw dan ayat itu sering menjadi wirid kita semua. Mungkin ini juga merupakan cara agar kita mampu memasukkan akhlak itu dalam kehidupan kita. Ayat itu berbunyi, “Laqad Jâ’akum Rasûlum Min Anfusikum…” (QS Al-Taubah 128). Menurut Fakhrur Râzi, kata anfusikum menurut qira’at nabi saw, qira’at Fatimah as, dan qira’at Aisyah dari Ibnu Abbas as harus dibaca Anfasikum. Dibacanya difathahkan bukan didhammahkan. Hal ini akan kita ceritakan kemudian.
Fakhrur Razi menjelaskan ada empat sifat Nabi yang tergambar dalam Surat At-Taubah ayat 128. Pertama, Min Anfusikum, dari kalanganmu sendiri. Nabi berasal dari sesama manusia seperti kamu. Nabi yang datang itu bukanlah Nabi yang datang sebagai makhluk ghaib, bukan pula Superman, tapi Nabi yang datang dari tengah-tengah manusia. Bahkan Nabi diperintahkan untuk berkata bahwa Nabi adalah manusia seperti kita semua, seperti dalam ayat “Qul innamâ anâ basyârum mitslukum…” (QS. Al-Kahfi 110) Nabi adalah manusia biasa. Kalau ia berjalan, ada bayang-bayang badannya. Kalau terkena panas matahari, berkeringat kulitnya. Kalau terkena anak panah, berdarah tubuhnya. Ia bukan manusia istimewa dari segi jasmaniahnya, ia pun merasakan lapar dan dahaga. Al-Qur’an menegaskan bahwa kehidupan Nabi itu sama seperti kehidupan manusia biasa. Nabi dapat merasakan kepedihan dan penderitaan seperti manusia biasa yang mendapatkan musibah.
Dalam qira’at Min Anfasikum, diterangkan bahwa kata Anfas mengandung arti yang paling mulia. Jadi ayat ini berarti, “Sudah datang di antara kamu seorang Rasul yang paling mulia.” Artinya Rasulullah diakui kemuliaannya, bahkan sebelum Rasul membawa ajaran Islam. Dia adalah orang yang paling baik di tengah-tengah masyarakatnya dilihat dari segi akhlaknya. Sebagian orang ada yang menyebutkan bahwa Rasul berasal dari kabilah yang paling baik. Jadi sifat pertama nabi adalah paling mulia akhlaknya, sampai orang-orang di sekitarnya memberi gelar Al-Amîn, orang yang terpercaya.
Sifat kedua Nabi ialah, berat hatinya melihat penderitaan umat manusia. Para ahli tafsir mengatakan yang dimaksud dengan berat hati Nabi ialah kalau manusia menemukan hal-hal yang tidak enak. Dalam riwayat yang lain, yang diartikan dengan berat hati Rasul ialah jika orang Islam berbuat dosa kepada Allah. Dalam sebuah hadits, diriwayatkan bahwa sampai sekarang Rasulullah masih dapat melihat perbuatan-perbuatan kita dan Rasul akan menderita jika melihat kita berbuat dosa. Karena beliau sangat ingin supaya kita memperoleh petunjuk Allah. Bahkan Rasul sampai bersujud di hadapan Allah agar diizinkan untuk dapat memberi syafaat kepada umatnya.
Jalaluddin Rumi bercerita dalam salah satu syairnya yang dibukukan dalam Al-Matsnawi tentang Rasulullah saw. Pada suatu hari di mesjid, Rasul kedatangan serombongan kafir yang meminta untuk bertamu. Mereka berkata, “Kami ini datang dari jarak yang jauh, kami ingin bertamu kepada Engkau, Ya Rasulullah.” Lalu Rasul mengantarkan para tamu tersebut kepada para sahabatnya. Salah seorang kafir yang bertubuh besar seperti raksasa tertinggal di mesjid, karena tidak ada seorang sahabat pun yang mau menerimanya. Dalam syair itu disebutkan, ia tertinggal di mesjid seperti tertinggalnya ampas di dalam gelas. Mungkin para sahabat takut menjamu dia, karena membayangkan harus menyediakan wadah yang sangat besar.
Lalu Rasul membawa dan menempatkannya di sebuah rumah. Dia diberi jamuan susu dengan mendatangkan tiga ekor kambing dan seluruh susu itu habis diminumnya. Dia juga menghabiskan makanan untuk delapan belas orang, sampai orang yang ditugaskan melayani dia jengkel. Akhirnya petugas itu menguncinya di dalam. Tengah malam, orang kafir itu menderita sakit perut. Dia hendak membuka pintu tapi pintu itu terkunci. Ketika rasa sakit tidak tertahankan lagi, akhirnya orang itu mengeluarkan kotoran di rumah itu.
Setelah itu, ia merasa malu dan terhina. Seluruh perasaan bergolak dalam pikirannya. Dia menunggu sampai menjelang subuh dan berharap ada orang yang akan membukakan pintu. Pada saat subuh dia mendengar pintu itu terbuka, segera saja dia lari keluar. Yang membuka pintu itu adalah Rasulullah saw.
Rasul tahu apa yang terjadi kepada orang kafir itu. Ketika Rasul membuka pintu itu, Rasul sengaja bersembunyi agar orang kafir itu tidak merasa malu untuk meninggalkan tempat tersebut.
Ketika orang kafir itu sudah pergi jauh, dia teringat bahwa azimatnya tertinggal di rumah itu. Jalaluddin Rumi berkata, “Kerasukan mengalahkan rasa malunya. Keinginan untuk memperoleh barang yang berharga menghilangkan rasa malunya.” Akhirnya dia kembali ke rumah itu.
Sementara itu, seorang sahabat membawa tikar yang dikotori oleh orang kafir itu kepada Rasul, “Ya Rasulullah, lihat apa yang dilakukan oleh orang kafir itu!” Kemudian Rasul berkata, “Ambilkan wadah, biar aku bersihkan.” Para sahabat meloncat dan berkata, “Ya Rasulullah, engkau adalah Sayyidul Anâm. Tanpa engkau tidak akan diciptakan seluruh alam semesta ini. Biarlah kami yang membersihkan kotoran ini. Tidak layak tangan yang mulia seperti tanganmu membersihkan kotoran ini.” “Tidak,” kata Rasul, “ini adalah kehormatan bagiku.” Para sahabat berkata, “Wahai Nabi yang namanya dijadikan sumpah kehormatan oleh Allah, kami ini diciptakan untuk berkhidmat kepadamu. Kalau engkau melakukan ini, maka apalah artinya kami ini.”
Begitu orang kafir itu datang ke tempat itu, dia melihat tangan Rasulullah saw yang mulia sedang membersihkan kotoran yang ditinggalkannya. Orang kafir tidak sanggup menahan emosinya. Ia memukul-mukul kepalanya sambil berkata, “Hai kepala yang tidak memiliki pengetahuan.” Dia memukul-mukul dadanya sambil berkata, “Hai hati yang tidak pernah memperoleh berkas cahaya.” Dia bergetar ketakutan menahan rasa malu yang luar biasa. Kemudi-an Rasul menepuk bahunya menenangkan dia. Singkat cerita, orang kafir itu masuk Islam.
Boleh jadi cerita Jalaluddin Rumi ini adalah sebuah metafora. Suatu perlambang bahwa kedatangan Rasul adalah untuk membersihkan kotoran dan noda-noda yang ada pada diri kita. Betapa banyaknya kaum muslimin menodai rumah Rasul dengan kemaksiatan dan akhlak yang buruk. Kita ini sama dengan orang kafir yang menaburkan kotoran di rumah Rasul yang suci. Bedanya ialah, kita percaya karena kecintaan Nabi kepada kita, Rasul akan mengulurkan syafaatnya kepada kita. Derita kita adalah juga derita Rasul. Karena itu, jangan ragu-ragu untuk datang meminta syafaatnya dan bersimpuh di hadapan Nabi sambil mengucapkan, “Yâ Abal Qâsim, Yâ Rasûlallâh, Yâ Wajîhan ‘Indallâh, Isyfa’lanâ ‘Indallâh.”
Terlalu banyak kotoran yang kita taburkan di rumah Nabi yang mulia. Seperti tertulis dalam sebuah puisi Iqbal. Ketika sakit keras, Iqbal pernah berdo’a: “Ya Allah kalau Engkau adili aku di hari kiamat nanti, jangan dampingkan aku di samping Nabi Al-Musthafa. Karena aku malu mengaku sebagai umatnya padahal hidupku bergelimang dalam dosa.”
Kita sebenarnya harus malu seperti malunya orang kafir itu. Kita datang berziarah kepada Rasul di bulan Maulid ini dengan membawa seluruh kemaksiatan. Kita sudah banyak mengotori rumah Rasul yang mulia dengan akhlak yang tercela. Tapi kita percaya bahwa Nabi mendengar jeritan kita. Kita sadari kejelekan akhlak-akhlak kita dan kita malu bertemu dengan Rasul dengan membawa dosa. Tetapi kita percaya bahwa kita menantikan tepukan tangan Rasul untuk menentramkan batin kita dan mengharapkan syafaatnya.
Sifat ketiga Rasullullah saw, ialah bahwa ia sangat ingin agar kaum muslimin memperoleh kebaikan. Ia ingin memberikan petunjuk kepada umatnya. Keinginan untuk memberikan petunjuk kepada kita begitu besar, sehingga Rasul bersedia memikul seluruh penderitaan dalam berdakwah.
Adapun sifat keempat Rasulullah saw, ialah bahwa ia sangat penyantun dan penyayang kepada kaum mukminin. Menurut para ahli tafsir, belum pernah Allah menghimpunkan dua nama-Nya sekaligus pada nama seorang nabi, kecuali kepada Nabi Muhammad saw. Nama yang dimaksud ialah nama Raûfur Rahîm.
Raûfur Rahîm itu adalah nama Allah. Nama itu pun dinisbahkan Allah kepada Rasulullah. Menurut sebagian ulama, Raûfun artinya penyayang dan Rahîm artinya pengasih. Jika kedua kata itu digabungkan dalam satu tempat, maka artinya berbeda. Menurut sebagian ahli tafsir, nama itu berarti sifat Nabi yang penyayang tidak hanya kepada orang yang taat kepadanya, tapi juga penyayang kepada orang yang berbuat dosa. Nabi melihat amal kita setiap hari. Beliau berduka cita melihat amal-amal kita yang buruk.
Dalam riwayat yang lain, Rasul itu Raûfun Liman Râ’ah, Rahîmun Liman Lam Yarâh. Artinya, Rasul itu penyayang kepada orang yang pernah berjumpa dengannya dan juga penyayang kepada orang yang tidak pernah berjumpa dengannya. Suatu hari Rasul berkata, “Alangkah rindunya aku untuk berjumpa dengan ikhwânî.” Para sahabat bertanya, “Bukankah kami ini ikhwânuka.” “Tidak,” jawab Rasul, “kalian ini sahabat-sahabatku. Saudara-saudaraku adalah orang yang tidak pernah berjumpa denganku, tapi membenarkanku dan beriman kepadaku.” Rasul sangat sayang kepada orang yang tidak pernah berjumpa dengan Rasul tetapi beriman kepadanya.
Di dalam Tafsir Al-Dûrrul Mantsûr, diriwayatkan sebagai berikut, “Berbahagialah orang yang beriman kepadaku, padahal tidak pernah berjumpa denganku.” Rasul menye-butnya sampai tiga kali. Rasul juga sayang bukan hanya kepada orang Islam saja, tetapi juga kepada orang kafir.
Saya akan menceritakan hadits lain. Diriwayatkan bahwa ketika Rasul berdakwah di Thaif, Rasul dilempari batu sehingga tubuhnya berdarah. Kemudian Rasul berlindung di kebun Uthbah bin Rabi’ah. Rasul berdo’a dengan do’a yang sangat mengharukan. Rasul memanggil Allah dengan ucapan, “Wahai yang melindungi orang-orang yang tertindas, kepada siapa Engkau akan serahkan aku, kepada saudara jauh yang mengusir aku?” Kemudian datang malaikat Jibril seraya berkata: “Ya Muhammad, ini Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu. Dan ini malaikat yang mengurus gunung-gunung, diperintah Allah untuk mematuhi seluruh perintahmu. Dan dia tidak akan melakukan apapun kecuali atas perintahmu.” Lalu malaikat dan gunung berkata kepada Nabi, “Allah memerintahkan aku untuk berkhidmat kepadamu. Jika engkau mau, biarlah aku jatuhkan gunung itu kepada mereka.” Namun Nabi berucap, “Hai malaikat dan gunung, aku datang kepada mereka karena aku berharap mudah-mudahan akan keluar dari keturunan mereka orang-orang yang mengucapkan kalimat Lâilâha illallâh.” Nabi tidak mau menurunkan azab kepada mereka. Nabi berharap kalau pun mereka tidak beriman, keturunan mereka nanti akan beriman. Kemudian berkata para malaikat dan gunung, “Engkau seperti disebut oleh Tuhanmu, sangat penyantun dan penyayang.”
Kasih sayangnya tidak terbatas kepada umatnya. Perasaan cinta kita kepada Nabi tidak sebanding dengan besarnya kecintaan Nabi kepada kita semua. Kecintaan Nabi terhadap orang-orang yang menderita begitu besar. Menurut Siti Aisyah, Nabi tidak makan selama tiga hari berturut-turut dalam keadaan kenyang. Ketika Aisyah bertanya apa sebabnya, Nabi menjawab, “Selama masih ada ahli shufah —orang-orang miskin yang kelaparan di sekitar mesjid— saya tidak akan makan kenyang.” Dan itu tidak cukup hanya pada saat itu, Nabi juga memikirkan umatnya di kemudian hari. Beliau khawatir ada umatnya yang makan kenyang sementara tetangga di sekitarnya kelaparan.
Karena itu, Nabi berpesan, “Tidak beriman kamu, jika kamu tidur dalam keadaan kenyang sementara tetanggamu kelaparan.” Nabi pun mengatakan, “Orang yang senang membantu melepaskan penderitaan orang lain, akan senantiasa mendapat bantuan Allah swt.” Empat sifat Rasulullah kepada umatnya, yang sangat luar biasa.
Marilah kita kenang kecintaan Rasulullah yang agung kepada kita dan bandingkanlah apa yang bisa membuktikan kecintaan kita kepadanya. Sekarang kita bertanya, sudah sejauh mana kita mengikuti sunnah Rasulullah saw? Dapatkah akhlak kita seperti akhlak Nabi sebagaimana yang disebut dalam surat Al-Taubah 128? Bagai-mana kita dapat ikut merasakan penderitaan orang-orang di sekitar kita? Bagaimana kita menjadi orang yang berusaha agar orang- orang lain itu hidup bahagia dan memperoleh petunjuk Allah? Bagaimana kita menumbuh-kan sikap Raûfur Rahîm di dalam diri kita seperti Rasulullah saw contohkan kepada kita?
Marilah kita sebarkan kecintaan kepada Rasulullah saw di dalam diri kita, keluarga kita, dan pada masyarakat di sekitar kita. Akhirul kalam, yang harus selalu kita ingatkan pada diri kita adalah misi Rasulullah yang paling utama, yaitu misi akhlak yang mulia. Tidak ada artinya menisbahkan diri kita kepada Rasulullah saw tanpa memelihara akhlak yang mulia. Hendaknya kita selalu malu untuk mengucapkan shalawat kepada junjungan kita, sementara di punggung kita penuh dengan dosa dan maksiat. Kita telah mengotori rumah Rasulullah saw dengan akhlak buruk kita. ***
oleh : Moh. Sarudin, S,Ag, M.PdI
(Pengasuh Acara Sentuhan Iman Agama dan Remaja RRI Kendari)
Saya ingin memulai tulisan ini dengan menyampaikan dua buah hadits tentang kecintaan kepada Rasulullah saw. Pertama, hadits yang masyhur diriwayatkan dalam kitab-kitab ahli sunnah, di antaranya dalam Al-Targhib wal Takhib, sebuah kitab hadits yang sangat populer di antara kita. Kedua, hadits yang dikutip dari Bihar Al-Anwar, kitab hadits yang cukup besar dan menjadi rujukan mazhab Ahlul Bayt.
Hadits yang pertama menceritakan bahwa pada suatu hari ketika Rasulullah saw sedang berbincang-bincang dengan para sahabatnya, seorang pemuda datang mendekati Rasul sambil berkata, “Ya Rasulullah, aku mencintaimu.” Lalu Rasulullah saw berkata: “Kalau begitu, bunuh bapakmu!” Pemuda itu pergi untuk melaksanakan perintah Nabi. Kemudian Nabi memanggilnya kembali seraya berkata, “Aku tidak diutus untuk menyuruh orang berbuat dosa.” Aku hanya ingin tahu, apa betul kamu mencintai aku dengan kecintaan yang sesungguhnya?”
Tidak lama setelah itu, pemuda ini jatuh sakit dan pingsan. Rasulullah saw datang menjenguknya. Namun pemuda itu masih dalam keadaan tidak sadar. Nabi berkata, “Nanti kalau anak muda ini bangun, beritahu aku.” Rasululah saw kemudian kembali ke tempatnya. Lewat tengah malam pemuda itu bangun. Yang pertama kali ia tanyakan ialah apakah Rasulullah saw telah berkunjung kepadanya. Diceritakanlah kepada pemuda itu bahwa Rasulullah saw bukan saja berkunjung, tapi beliau juga berpesan agar diberitahu jika pemuda itu bangun. Pemuda itu berkata, “Tidak, jangan beritahukan Rasulullah saw. Bila Rasulullah harus pergi pada malam seperti ini, aku kuatir orang-orang Yahudi akan mengganggunya di perjalanan.” Segera setelah itu, pemuda itu menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Pagi hari usai shalat subuh, Rasulullah saw diberitahu tentang kematian pemuda itu. Rasul datang melayat jenazah pemuda itu dan berdo’a dengan do’a yang pendek tetapi sangat menyentuh hati, “Ya Allah, sambutlah Thalhah di sisi-Mu, Thalhah tersenyum kepada-Mu dan Engkau tersenyum kepadanya.”
Dengan hal itu Nabi menggambarkan kepada kita, bahwa orang yang mencintainya akan dido’akan oleh Nabi untuk berjumpa dengan Allah swt. Allah akan ridha kepadanya dan dia ridha kepada Allah, Radhiyyatan Mardhiyyah. Dia tersenyum melihat Allah dan Allah tersenyum melihatnya.
Hadits yang kedua mengisahkan seorang pedagang minyak goreng di Madinah. Setiap kali dia hendak pergi, termasuk pergi ke pasar, dia selalu melewati rumah Rasulullah saw. Dia selalu singgah di tempat itu sampai dia puas memandang wajah Rasul. Setelah itu ia pergi ke pasar. Suatu saatetelah melepaskan rindunya kepada Rasul, seperti biasanya ia pergi ke pasar. Tapi tidak berapa lama setelah itu, dia datang lagi. Nabi terkejut sehingga bertanya, “Kenapa kau balik lagi?” Ia menjawab, “Ya Rasulullah, setelah saya sampai di pasar hati saya gelisah. Saya ingin kembali lagi. Izinkan saya memandang Engkau sebentar saja untuk memuaskan kerinduan saya.” Kemudian Rasul berbincang-bincang dengan orang itu.
Tidak lama setelah itu Nabi tidak lagi melihat tukang minyak itu lewat di depan rumahnya. Berhari-hari orang itu tidak lagi kelihatan batang hidungnya di depan Rasulullah saw. Lalu Rasul mengajak sahabat-sahabatnya untuk menjenguk dia. Berangkatlah mereka ke pasar dan mendapat kabar bahwa orang itu telah meninggal dunia. Rupanya pertemuan sampai dua kali waktu itu merupakan isyarat bahwa dia tidak bisa lagi memandang wajah Rasulullah saw.
Rasul bertanya kepada orang-orang di pasar, “Bagaimana akhlak orang itu?” Mereka berkata, “Orang itu pedagang yang sangat jujur. Cuma ada sedikit saja, orang ini senang perempuan.” Kemudian Rasul berkata, “Sekiranya orang itu dalam dagangnya agak lancung sedikit, Allah akan mengampuni dosanya karena kecintaannya kepadaku.” Tetapi orang itu sangat jujur dan kecintaannya kepada Rasul dibuktikan dalam kejujurannya di dalam berdagang.
Dua hadits di atas menceritakan kepada kita tentang pentingnya mencintai Rasulullah saw. Sudah sering kita mendengar hadits yang berbunyi, “Belum beriman kamu sebelum aku lebih kamu cintai daripada dirimu, anak-anakmu, dan seluruh ummat manusia.”
Kita semua diperintahkan mencintai Rasulullah saw. Mencintai Rasul merupakan bagian dari seluruh bangunan keislaman kita. Oleh karena itu, dahulu para ulama melakukan berbagai cara agar kecintaan kepada Nabi terus-menerus dibangkitkan. Di antaranya dengan menghias majelis-majelis mereka dengan bacaan shalawat, mengadakan peringatan maulid, dan mengungkapkan kecintaan mereka dengan puisi-puisi, sehingga sepanjang sejarah sudah terkumpul ribuan puisi yang ditulis untuk mengungkapkan kecintaan kepada Rasululah saw.
Beberapa waktu yang lalu di masjid Asy-Syifâ, Universitas Diponegoro, saya mengajak semua orang untuk kembali membangkitkan kecintaan kepada junjungan kita Rasulullah saw. Ada orang yang bertanya kepada saya: “Saya ingin mencintai Rasulullah, tapi apa yang harus saya lakukan supaya kecintaan itu tertanam di dalam hati saya. Kalau saya ini mencintai seorang perempuan, saya bayangkan wajahnya, rambutnya, dan bibirnya supaya tumbuh kerinduan saya kepada perempuan itu. Apakah saya harus membayangkan wajah Rasululah saw, supaya saya bisa men-cintainya?” Waktu itu saya menjawab: “Inilah bencana paling besar yang menimpa kita sekarang ini. Kita hanya bisa mencintai sesuatu yang bisa dilihat, diraba, dan disaksikan. Kita ini sama dengan orang-orang kafir yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Mereka hanya mencintai yang zhahir saja, mata mereka tidak dapat menembus hal-hal yang bathiniyah.
Jadi, kalau kita mau mencintai, maka cinta kita hanya cinta fisikal saja, cinta yang sensual. Kita tidak dididik untuk mencintai orang bukan karena tubuhnya. Di dalam ilmu percintaan, cinta karena tubuh adalah tahapan cinta yang paling rendah. Para ahli jiwa mengatakan, cinta pertama pada anak-anak adalah cinta pada sesuatu yang bisa dilihat. Menurut Sigmund Freud, pertama kali seseorang mencintai ialah ketika dia merasakan kenikmatan pada waktu menyusu kepada ibunya. Itulah cinta yang paling rendah. Makin dewasa orang itu, makin abstrak atau makin tidak kelihatan cintanya. Sayang, tampaknya kedewasaan kita ini lambat.
Salah satu ciri ketidakdewasaan kita adalah bila kita mencintai sesuatu, itu dikarenakan oleh hal-hal yang kongkret dan bisa dilihat. Kita cinta kepada gunung, karena kehijauannya yang bisa dilihat dan kesejukkan anginnya yang bisa dirasakan. Bukan karena keanggunannya dan misteri yang ada dibalik gunung itu. Kalau kita menceritakan laut, yang kita ceritakan adalah gelombangnya, batu-batu karangnya, dan ikan-ikannya. Tidak kita ceritakan keluasan samudera itu, kedahsyatannya, dan pengaruhnya kepada jiwa kita. Sebab, semua hal itu terlalu abstrak dan kita terbiasa dengan hal-hal yang kongkret.
Ketika Pemilu, kita memilih partai bukan program-programnya. Karena program bersifat abstrak, tidak kelihatan. Kita jugamemilih bukan karena perilaku para politisinya, karena perilaku itu tidak kelihatan.
Tapi saya tidak akan menceritakan hal itu, saya akan membawa Anda mencintai Rasulullah saw dengan kecintaan yang lebih tinggi tingkatnya. Bukan kecintaan fisikal atau jasmaniah. Kecintaan jasmaniah itu adalah kecintaan ala ABG, yang tidak layak buat orang-orang dewasa seperti kita.
Kalau kita buka ayat Al-Qur’an, ketika Allah berkisah tentang Rasulullah saw, tidak pernah diceritakan sifat-sifat jasmaniah Rasulullah saw. Al-Qur’an selalu menceritakan sifat-sifat ruhaniah Rasulullah saw. Bercerita tentang akhlak Rasulullah saw, bukan penampilan fisiknya.
Berbeda dengan para sahabat. Kalau sahabat bercerita tentang Rasulullah saw sering berupa penampilan fisiknya. Misalnya diceritakan bahwa Rasul itu kalau tertawa sampai kelihatan gusinya. Atau diceritakan tentang tetesan keringat Rasul. Siti Aisyah pernah terpesona dengan tetesan keringat di dahi Rasul, sampai dia berkata: “Ya Rasulullah, ingin saya bacakan sebuah puisi kepadamu.” Lalu Siti Aisyah menuliskan puisinya dengan mengutip syair seorang Arab tentang tetesan keringatnya. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa Siti Aisyah hanya mencintai Rasulullah saw karena jasmaninya.
Saya ingin mengetengahkan satu ayat Al-Qur’an. Ada riwayat yang agak lucu tentang ayat ini. Katanya setelah Al-Qur’an terkumpul dan tertulis pada zaman Abu Bakar, seseorang berkata bahwa ada satu ayat yang hilang. Pada waktu itu, seseorang yang mengumpul-kan ayat harus membawa saksi satu orang. Sehingga jumlah pengumpul ayat ada dua orang. Seseorang berbicara, “Ada yang terlewat, satu ayat belum masuk ke situ.” Dia hanya seorang diri, tidak mempunyai saksi. Namanya Khuzaimah bin Tsabit. Lalu orang-orang berkata, “Kesaksian Khuzaimah bin Tsabit dihitung menjadi dua, karena hanya dia yang mengetahui ayat Al-Qur’an ini.”
Lepas dari persoalan hadits ini shahih atu tidak, ayat itu bercerita tentang akhlak Rasullullah saw dan ayat itu sering menjadi wirid kita semua. Mungkin ini juga merupakan cara agar kita mampu memasukkan akhlak itu dalam kehidupan kita. Ayat itu berbunyi, “Laqad Jâ’akum Rasûlum Min Anfusikum…” (QS Al-Taubah 128). Menurut Fakhrur Râzi, kata anfusikum menurut qira’at nabi saw, qira’at Fatimah as, dan qira’at Aisyah dari Ibnu Abbas as harus dibaca Anfasikum. Dibacanya difathahkan bukan didhammahkan. Hal ini akan kita ceritakan kemudian.
Fakhrur Razi menjelaskan ada empat sifat Nabi yang tergambar dalam Surat At-Taubah ayat 128. Pertama, Min Anfusikum, dari kalanganmu sendiri. Nabi berasal dari sesama manusia seperti kamu. Nabi yang datang itu bukanlah Nabi yang datang sebagai makhluk ghaib, bukan pula Superman, tapi Nabi yang datang dari tengah-tengah manusia. Bahkan Nabi diperintahkan untuk berkata bahwa Nabi adalah manusia seperti kita semua, seperti dalam ayat “Qul innamâ anâ basyârum mitslukum…” (QS. Al-Kahfi 110) Nabi adalah manusia biasa. Kalau ia berjalan, ada bayang-bayang badannya. Kalau terkena panas matahari, berkeringat kulitnya. Kalau terkena anak panah, berdarah tubuhnya. Ia bukan manusia istimewa dari segi jasmaniahnya, ia pun merasakan lapar dan dahaga. Al-Qur’an menegaskan bahwa kehidupan Nabi itu sama seperti kehidupan manusia biasa. Nabi dapat merasakan kepedihan dan penderitaan seperti manusia biasa yang mendapatkan musibah.
Dalam qira’at Min Anfasikum, diterangkan bahwa kata Anfas mengandung arti yang paling mulia. Jadi ayat ini berarti, “Sudah datang di antara kamu seorang Rasul yang paling mulia.” Artinya Rasulullah diakui kemuliaannya, bahkan sebelum Rasul membawa ajaran Islam. Dia adalah orang yang paling baik di tengah-tengah masyarakatnya dilihat dari segi akhlaknya. Sebagian orang ada yang menyebutkan bahwa Rasul berasal dari kabilah yang paling baik. Jadi sifat pertama nabi adalah paling mulia akhlaknya, sampai orang-orang di sekitarnya memberi gelar Al-Amîn, orang yang terpercaya.
Sifat kedua Nabi ialah, berat hatinya melihat penderitaan umat manusia. Para ahli tafsir mengatakan yang dimaksud dengan berat hati Nabi ialah kalau manusia menemukan hal-hal yang tidak enak. Dalam riwayat yang lain, yang diartikan dengan berat hati Rasul ialah jika orang Islam berbuat dosa kepada Allah. Dalam sebuah hadits, diriwayatkan bahwa sampai sekarang Rasulullah masih dapat melihat perbuatan-perbuatan kita dan Rasul akan menderita jika melihat kita berbuat dosa. Karena beliau sangat ingin supaya kita memperoleh petunjuk Allah. Bahkan Rasul sampai bersujud di hadapan Allah agar diizinkan untuk dapat memberi syafaat kepada umatnya.
Jalaluddin Rumi bercerita dalam salah satu syairnya yang dibukukan dalam Al-Matsnawi tentang Rasulullah saw. Pada suatu hari di mesjid, Rasul kedatangan serombongan kafir yang meminta untuk bertamu. Mereka berkata, “Kami ini datang dari jarak yang jauh, kami ingin bertamu kepada Engkau, Ya Rasulullah.” Lalu Rasul mengantarkan para tamu tersebut kepada para sahabatnya. Salah seorang kafir yang bertubuh besar seperti raksasa tertinggal di mesjid, karena tidak ada seorang sahabat pun yang mau menerimanya. Dalam syair itu disebutkan, ia tertinggal di mesjid seperti tertinggalnya ampas di dalam gelas. Mungkin para sahabat takut menjamu dia, karena membayangkan harus menyediakan wadah yang sangat besar.
Lalu Rasul membawa dan menempatkannya di sebuah rumah. Dia diberi jamuan susu dengan mendatangkan tiga ekor kambing dan seluruh susu itu habis diminumnya. Dia juga menghabiskan makanan untuk delapan belas orang, sampai orang yang ditugaskan melayani dia jengkel. Akhirnya petugas itu menguncinya di dalam. Tengah malam, orang kafir itu menderita sakit perut. Dia hendak membuka pintu tapi pintu itu terkunci. Ketika rasa sakit tidak tertahankan lagi, akhirnya orang itu mengeluarkan kotoran di rumah itu.
Setelah itu, ia merasa malu dan terhina. Seluruh perasaan bergolak dalam pikirannya. Dia menunggu sampai menjelang subuh dan berharap ada orang yang akan membukakan pintu. Pada saat subuh dia mendengar pintu itu terbuka, segera saja dia lari keluar. Yang membuka pintu itu adalah Rasulullah saw.
Rasul tahu apa yang terjadi kepada orang kafir itu. Ketika Rasul membuka pintu itu, Rasul sengaja bersembunyi agar orang kafir itu tidak merasa malu untuk meninggalkan tempat tersebut.
Ketika orang kafir itu sudah pergi jauh, dia teringat bahwa azimatnya tertinggal di rumah itu. Jalaluddin Rumi berkata, “Kerasukan mengalahkan rasa malunya. Keinginan untuk memperoleh barang yang berharga menghilangkan rasa malunya.” Akhirnya dia kembali ke rumah itu.
Sementara itu, seorang sahabat membawa tikar yang dikotori oleh orang kafir itu kepada Rasul, “Ya Rasulullah, lihat apa yang dilakukan oleh orang kafir itu!” Kemudian Rasul berkata, “Ambilkan wadah, biar aku bersihkan.” Para sahabat meloncat dan berkata, “Ya Rasulullah, engkau adalah Sayyidul Anâm. Tanpa engkau tidak akan diciptakan seluruh alam semesta ini. Biarlah kami yang membersihkan kotoran ini. Tidak layak tangan yang mulia seperti tanganmu membersihkan kotoran ini.” “Tidak,” kata Rasul, “ini adalah kehormatan bagiku.” Para sahabat berkata, “Wahai Nabi yang namanya dijadikan sumpah kehormatan oleh Allah, kami ini diciptakan untuk berkhidmat kepadamu. Kalau engkau melakukan ini, maka apalah artinya kami ini.”
Begitu orang kafir itu datang ke tempat itu, dia melihat tangan Rasulullah saw yang mulia sedang membersihkan kotoran yang ditinggalkannya. Orang kafir tidak sanggup menahan emosinya. Ia memukul-mukul kepalanya sambil berkata, “Hai kepala yang tidak memiliki pengetahuan.” Dia memukul-mukul dadanya sambil berkata, “Hai hati yang tidak pernah memperoleh berkas cahaya.” Dia bergetar ketakutan menahan rasa malu yang luar biasa. Kemudi-an Rasul menepuk bahunya menenangkan dia. Singkat cerita, orang kafir itu masuk Islam.
Boleh jadi cerita Jalaluddin Rumi ini adalah sebuah metafora. Suatu perlambang bahwa kedatangan Rasul adalah untuk membersihkan kotoran dan noda-noda yang ada pada diri kita. Betapa banyaknya kaum muslimin menodai rumah Rasul dengan kemaksiatan dan akhlak yang buruk. Kita ini sama dengan orang kafir yang menaburkan kotoran di rumah Rasul yang suci. Bedanya ialah, kita percaya karena kecintaan Nabi kepada kita, Rasul akan mengulurkan syafaatnya kepada kita. Derita kita adalah juga derita Rasul. Karena itu, jangan ragu-ragu untuk datang meminta syafaatnya dan bersimpuh di hadapan Nabi sambil mengucapkan, “Yâ Abal Qâsim, Yâ Rasûlallâh, Yâ Wajîhan ‘Indallâh, Isyfa’lanâ ‘Indallâh.”
Terlalu banyak kotoran yang kita taburkan di rumah Nabi yang mulia. Seperti tertulis dalam sebuah puisi Iqbal. Ketika sakit keras, Iqbal pernah berdo’a: “Ya Allah kalau Engkau adili aku di hari kiamat nanti, jangan dampingkan aku di samping Nabi Al-Musthafa. Karena aku malu mengaku sebagai umatnya padahal hidupku bergelimang dalam dosa.”
Kita sebenarnya harus malu seperti malunya orang kafir itu. Kita datang berziarah kepada Rasul di bulan Maulid ini dengan membawa seluruh kemaksiatan. Kita sudah banyak mengotori rumah Rasul yang mulia dengan akhlak yang tercela. Tapi kita percaya bahwa Nabi mendengar jeritan kita. Kita sadari kejelekan akhlak-akhlak kita dan kita malu bertemu dengan Rasul dengan membawa dosa. Tetapi kita percaya bahwa kita menantikan tepukan tangan Rasul untuk menentramkan batin kita dan mengharapkan syafaatnya.
Sifat ketiga Rasullullah saw, ialah bahwa ia sangat ingin agar kaum muslimin memperoleh kebaikan. Ia ingin memberikan petunjuk kepada umatnya. Keinginan untuk memberikan petunjuk kepada kita begitu besar, sehingga Rasul bersedia memikul seluruh penderitaan dalam berdakwah.
Adapun sifat keempat Rasulullah saw, ialah bahwa ia sangat penyantun dan penyayang kepada kaum mukminin. Menurut para ahli tafsir, belum pernah Allah menghimpunkan dua nama-Nya sekaligus pada nama seorang nabi, kecuali kepada Nabi Muhammad saw. Nama yang dimaksud ialah nama Raûfur Rahîm.
Raûfur Rahîm itu adalah nama Allah. Nama itu pun dinisbahkan Allah kepada Rasulullah. Menurut sebagian ulama, Raûfun artinya penyayang dan Rahîm artinya pengasih. Jika kedua kata itu digabungkan dalam satu tempat, maka artinya berbeda. Menurut sebagian ahli tafsir, nama itu berarti sifat Nabi yang penyayang tidak hanya kepada orang yang taat kepadanya, tapi juga penyayang kepada orang yang berbuat dosa. Nabi melihat amal kita setiap hari. Beliau berduka cita melihat amal-amal kita yang buruk.
Dalam riwayat yang lain, Rasul itu Raûfun Liman Râ’ah, Rahîmun Liman Lam Yarâh. Artinya, Rasul itu penyayang kepada orang yang pernah berjumpa dengannya dan juga penyayang kepada orang yang tidak pernah berjumpa dengannya. Suatu hari Rasul berkata, “Alangkah rindunya aku untuk berjumpa dengan ikhwânî.” Para sahabat bertanya, “Bukankah kami ini ikhwânuka.” “Tidak,” jawab Rasul, “kalian ini sahabat-sahabatku. Saudara-saudaraku adalah orang yang tidak pernah berjumpa denganku, tapi membenarkanku dan beriman kepadaku.” Rasul sangat sayang kepada orang yang tidak pernah berjumpa dengan Rasul tetapi beriman kepadanya.
Di dalam Tafsir Al-Dûrrul Mantsûr, diriwayatkan sebagai berikut, “Berbahagialah orang yang beriman kepadaku, padahal tidak pernah berjumpa denganku.” Rasul menye-butnya sampai tiga kali. Rasul juga sayang bukan hanya kepada orang Islam saja, tetapi juga kepada orang kafir.
Saya akan menceritakan hadits lain. Diriwayatkan bahwa ketika Rasul berdakwah di Thaif, Rasul dilempari batu sehingga tubuhnya berdarah. Kemudian Rasul berlindung di kebun Uthbah bin Rabi’ah. Rasul berdo’a dengan do’a yang sangat mengharukan. Rasul memanggil Allah dengan ucapan, “Wahai yang melindungi orang-orang yang tertindas, kepada siapa Engkau akan serahkan aku, kepada saudara jauh yang mengusir aku?” Kemudian datang malaikat Jibril seraya berkata: “Ya Muhammad, ini Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu. Dan ini malaikat yang mengurus gunung-gunung, diperintah Allah untuk mematuhi seluruh perintahmu. Dan dia tidak akan melakukan apapun kecuali atas perintahmu.” Lalu malaikat dan gunung berkata kepada Nabi, “Allah memerintahkan aku untuk berkhidmat kepadamu. Jika engkau mau, biarlah aku jatuhkan gunung itu kepada mereka.” Namun Nabi berucap, “Hai malaikat dan gunung, aku datang kepada mereka karena aku berharap mudah-mudahan akan keluar dari keturunan mereka orang-orang yang mengucapkan kalimat Lâilâha illallâh.” Nabi tidak mau menurunkan azab kepada mereka. Nabi berharap kalau pun mereka tidak beriman, keturunan mereka nanti akan beriman. Kemudian berkata para malaikat dan gunung, “Engkau seperti disebut oleh Tuhanmu, sangat penyantun dan penyayang.”
Kasih sayangnya tidak terbatas kepada umatnya. Perasaan cinta kita kepada Nabi tidak sebanding dengan besarnya kecintaan Nabi kepada kita semua. Kecintaan Nabi terhadap orang-orang yang menderita begitu besar. Menurut Siti Aisyah, Nabi tidak makan selama tiga hari berturut-turut dalam keadaan kenyang. Ketika Aisyah bertanya apa sebabnya, Nabi menjawab, “Selama masih ada ahli shufah —orang-orang miskin yang kelaparan di sekitar mesjid— saya tidak akan makan kenyang.” Dan itu tidak cukup hanya pada saat itu, Nabi juga memikirkan umatnya di kemudian hari. Beliau khawatir ada umatnya yang makan kenyang sementara tetangga di sekitarnya kelaparan.
Karena itu, Nabi berpesan, “Tidak beriman kamu, jika kamu tidur dalam keadaan kenyang sementara tetanggamu kelaparan.” Nabi pun mengatakan, “Orang yang senang membantu melepaskan penderitaan orang lain, akan senantiasa mendapat bantuan Allah swt.” Empat sifat Rasulullah kepada umatnya, yang sangat luar biasa.
Marilah kita kenang kecintaan Rasulullah yang agung kepada kita dan bandingkanlah apa yang bisa membuktikan kecintaan kita kepadanya. Sekarang kita bertanya, sudah sejauh mana kita mengikuti sunnah Rasulullah saw? Dapatkah akhlak kita seperti akhlak Nabi sebagaimana yang disebut dalam surat Al-Taubah 128? Bagai-mana kita dapat ikut merasakan penderitaan orang-orang di sekitar kita? Bagaimana kita menjadi orang yang berusaha agar orang- orang lain itu hidup bahagia dan memperoleh petunjuk Allah? Bagaimana kita menumbuh-kan sikap Raûfur Rahîm di dalam diri kita seperti Rasulullah saw contohkan kepada kita?
Marilah kita sebarkan kecintaan kepada Rasulullah saw di dalam diri kita, keluarga kita, dan pada masyarakat di sekitar kita. Akhirul kalam, yang harus selalu kita ingatkan pada diri kita adalah misi Rasulullah yang paling utama, yaitu misi akhlak yang mulia. Tidak ada artinya menisbahkan diri kita kepada Rasulullah saw tanpa memelihara akhlak yang mulia. Hendaknya kita selalu malu untuk mengucapkan shalawat kepada junjungan kita, sementara di punggung kita penuh dengan dosa dan maksiat. Kita telah mengotori rumah Rasulullah saw dengan akhlak buruk kita. ***
Minggu, 06 Februari 2011
SIAPA SEBENARNYA YANG BERBOHONG
Oleh : Moh. Safrudin, M.PdI
(aktivis Gerakan Pemuda ANSOR Sultra dan Peneliti Sangia Institute)
Akhir-akhir ini kata berbohong atau kebohongan menjadi sangat popular. Sedemikian populernya di mana-mana dibicarakan. Banyak tokoh berbicara tentang kebohongan dan dampak yang diakibatkannya. Kemudian selain ditulis di koran, majalah, website, scrib, maka ikhwal kebohongan juga diperdebatkan melalui televise, radio, dan lain-lain.
Orang mengira bahwa seolah-olah yang berbohong itu adalah orang lain, sedangkan dirinya sendiri sudah bersih dan selalu benar. Kebohongan dianggap dilakukan oleh orang-orang atau kelompok tertentu, sementara dirinya sendiri dan kelompoknya merasa tidak melakukannya. Pertanyaannya adalah, apakah anggapan demikian itu benar, maka jawabnya, tidak selalu demikian.
Selain itu, sementara orang merasa senang, karena telah mengingatkan orang lain tentang kebohongan yang telah dilakukan. Mereka merasa tugasnya telah disampaikan, ------agar kalau mau, segera meninggalkan langkah yang dianggap keliru itu. Sementara ada juga pihak-pihak yang marah, tersinggung , atau setidak-tidaknya hatinya terganggu oleh karena dituduh telah berbuat bohong.
Sebutan berbohong atau kebohongan memang tidak enak didengar. Sehingga wajar apabila orang menjadi marah atau tersinggung tatkala disebut telah berbohong. Sebutan berbohong bagi banyak orang dianggap sebagai merendahkan, dan bukan sebatas peringatan. Peringatan, -----lebih-lebih antar elite, biasanya disampaikan dengan cara yang arif. Sebaliknya, semua orang ingin dianggap telah berkata dan berbuat benar, jujur, lurus dan apa adanya.
Ungkapan berbohong atau kebohongan akhir-akhir ini menjadi sedemikian ramai dan mengejutkan karena disampaikan oleh para elite agama dan dialamatkan kepada pemerintah. Uangkapan itu sangat mengejutkan oleh karena dianggap tidak lazim. Pemerintah tidak lazim disebut sebagai pihak yang melakukan kebohongan. Demikian pula elite agama tidak semestinya memilih istilah itu. Elite agama lazimnya memilih kata yang halus, yang sekiranya tidak menjadikan orang lain terganggu.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah betul kebohongan itu benar-benar terjadi. Jawabnya adalah bahwa, orang yang selalu benar, sehingga menyandang sifat siddiq, sebenarnya hanyalah dimiliki oleh nabi. Selain itu, semua orang, ----- dalam kadar tertentu, telah melakukannya. Setiap orang seharusnya mengikuti sifat nabi, yaitu selalu berkata dan berbuat benar. Sedangkan pada kenyataannya, tentu tidak selalu demikian.
Kebohongan bisa terjadi dan dapat dilihat di semua lapangan kehidupan dalam berbagai kadarnya. Sehingga sehari-hari dengan mudah dapat disaksikan orang berbohong, baik dilakukan oleh individu, kelompok, bahkan organisasi besar semisal birokrasi negara. Dalam contoh kecil di bidang ekonomi, di pasar misalkan, orang jual beli melakukan kebohongan.
Di bidang politik, mulai pemilihan kepala daerah dan bahkan lebih tinggi dari itu, dari zaman ke zaman, periode ke periode, kebohongan itu dapat dirasakan dengan mudah. Para elite mengatakan bahwa pemilu atau pilkada dilakukan dengan jujur, bebas, rahasia, dan adil. Padahal dalam kenyataannya tidak selalu begitu. Apalagi akhir-akhir ini, banyak orang protes, konflik, dan bahkan mengadu ke Mahkamah Konstitusi atas kekalahan dalam pilkada. Itu terjadi karena mereka merasa telah dibohongi.
Di bidang hukum, seseorang diadili dan dimasukkan ke penjara, ternyata dalam waktu singkat, ------ dengan berbagai dalih, sudah dikeluarkan. Seseorang ditahan dan bahkan di penjara, ternyata malah bisa menonton pertandingan olah di tempat jauh, pergi ke luar negeri dan seterusnya. Seserorang yang hanya mencuri barang dengan nilai yang tidak seberapa diadili dan dipenjarakan, sementara orang korupsi milyaran rupiah hanya dihukum beberapa tahun dan bahkan diputus bebas. Contoh sederhana ini membuktikan bahwa kebohongan itu terjadi di wilayah itu.
Di dunia pendidikan sekalipun, juga tidak pernah sepi dari kebohongan. Kasus-kasus penyimpangan ujian nasional telah terjadi secara nasional. Sertifikat palsu, surat keterangan palsu, dan bahkan ijazah palsu ditemukan di mana-mana. Demikian juga pada akhir-akhir ini terkait pelaksanaan sertifikasi guru atau juga dosen ditemukan dokumen-dokumen palsu. Bahkan seringkali terdengar telah ditemukan skripsi palsu, thesis palsu, dan juga disertasi palsu, berkas-berkas kelengkapan pengangkatan sebagai guru besar, juga bisa-bisanya dipalsukan.
Masih di dunia pendidikan, sedemikian mudah perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan yang tidak semestinya. Kegiatan itu dilaksanakan hanya dalam waktu tertentu, mengambil tempat sembarangan, di hotel misalnya, berbagai jenis program menyimpang dilaksanakan, -----akhirnya dikeluarkanlah ijazah sarjana. Akibatnya, banyak orang yang tidak terdengar, kapan mereka kuliah, tetapi ternyata gelarnya berpanjang-panjang.
Di langan agama sendiri juga tidak jauh dari keadaan itu. Seseorang elite agama berpidato berapi-api, mengajak agar orang lain rajin shalat berjamaáh, ternyata masjid di samping rumahnya pada setiap waktu shalat tidak pernah dihadiri, dan apalagi waktu shalat subuh. Zakat, infaq dan shadaqah hanya ramai dalam pembicaraan namun sepi dari pelaksanaannya. Tentu, masih banyak lagi kebohongan dan kepalsuan telah terjadi.
Al Qurán sendiri juga menyebutkan tentang orang-orang yang mendustakan agama, yaitu adalah orang yang tidak memperhatikan anak yatim dan memberi makan pada orang miskin. Disebutkan dalam kitab suci, bahwa mereka shalat, tetapi melupakan shalatnya. Mereka riya’dan tidak mau menolong sesamanya. Itu semua disebut telah mendustakan agama.
Maka sebenarnya, kebohongan itu adalah milik bersama, yaitu milik bagi semua orang, baik mereka yang sedang menjadi penguasa, elite, tokoh politik, pengusaha, guru, dosen, mahasiswa, murid, -----tidak terkecuali para tokoh agama sekalipun, termasuk mereka yang sedang menjadi rakyat biasa. Padahal, dinyatakan dalam sejarah kemanusiaan bahwa, bahaya kebohongan sebenarnya adalah sangat fatal, hingga sebuah suku, etnis, kelompok dan bahkan bangsa sekalipun bisa punah, itu disebabkan oleh kebohongan-kebohongan yang dilakukan.
Oleh karena itu, maka cara yang tepat untuk menghadapi keadaan sekarang ini adalah mestinya secara bersama-sama, segera meninggalkan kebohongan. Ekonomi hendaknya diurus secara jujur, birokrasi dijalankan secara benar, elite politik, pemerintahan termasuk para tokoh agama, hendaknya menjalankan perannya masing-masing secara jujur dan benar. Demikian pula pendidikan, yang merupakan faktor strategis untuk membangun masa depan bangsa, diurus dan dikelola secara adil, jujur dan benar. Pokoknya semuanya, tanpa terkecuali tidak boleh ada yang tertinggal untuk memperbaiki keadaan. Perintah agar selalu meninggalkan kebohongan juga dipesan oleh nabi, dengan kata singkat :” jangan berbohong”. Wallahu a’lam
(aktivis Gerakan Pemuda ANSOR Sultra dan Peneliti Sangia Institute)
Akhir-akhir ini kata berbohong atau kebohongan menjadi sangat popular. Sedemikian populernya di mana-mana dibicarakan. Banyak tokoh berbicara tentang kebohongan dan dampak yang diakibatkannya. Kemudian selain ditulis di koran, majalah, website, scrib, maka ikhwal kebohongan juga diperdebatkan melalui televise, radio, dan lain-lain.
Orang mengira bahwa seolah-olah yang berbohong itu adalah orang lain, sedangkan dirinya sendiri sudah bersih dan selalu benar. Kebohongan dianggap dilakukan oleh orang-orang atau kelompok tertentu, sementara dirinya sendiri dan kelompoknya merasa tidak melakukannya. Pertanyaannya adalah, apakah anggapan demikian itu benar, maka jawabnya, tidak selalu demikian.
Selain itu, sementara orang merasa senang, karena telah mengingatkan orang lain tentang kebohongan yang telah dilakukan. Mereka merasa tugasnya telah disampaikan, ------agar kalau mau, segera meninggalkan langkah yang dianggap keliru itu. Sementara ada juga pihak-pihak yang marah, tersinggung , atau setidak-tidaknya hatinya terganggu oleh karena dituduh telah berbuat bohong.
Sebutan berbohong atau kebohongan memang tidak enak didengar. Sehingga wajar apabila orang menjadi marah atau tersinggung tatkala disebut telah berbohong. Sebutan berbohong bagi banyak orang dianggap sebagai merendahkan, dan bukan sebatas peringatan. Peringatan, -----lebih-lebih antar elite, biasanya disampaikan dengan cara yang arif. Sebaliknya, semua orang ingin dianggap telah berkata dan berbuat benar, jujur, lurus dan apa adanya.
Ungkapan berbohong atau kebohongan akhir-akhir ini menjadi sedemikian ramai dan mengejutkan karena disampaikan oleh para elite agama dan dialamatkan kepada pemerintah. Uangkapan itu sangat mengejutkan oleh karena dianggap tidak lazim. Pemerintah tidak lazim disebut sebagai pihak yang melakukan kebohongan. Demikian pula elite agama tidak semestinya memilih istilah itu. Elite agama lazimnya memilih kata yang halus, yang sekiranya tidak menjadikan orang lain terganggu.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah betul kebohongan itu benar-benar terjadi. Jawabnya adalah bahwa, orang yang selalu benar, sehingga menyandang sifat siddiq, sebenarnya hanyalah dimiliki oleh nabi. Selain itu, semua orang, ----- dalam kadar tertentu, telah melakukannya. Setiap orang seharusnya mengikuti sifat nabi, yaitu selalu berkata dan berbuat benar. Sedangkan pada kenyataannya, tentu tidak selalu demikian.
Kebohongan bisa terjadi dan dapat dilihat di semua lapangan kehidupan dalam berbagai kadarnya. Sehingga sehari-hari dengan mudah dapat disaksikan orang berbohong, baik dilakukan oleh individu, kelompok, bahkan organisasi besar semisal birokrasi negara. Dalam contoh kecil di bidang ekonomi, di pasar misalkan, orang jual beli melakukan kebohongan.
Di bidang politik, mulai pemilihan kepala daerah dan bahkan lebih tinggi dari itu, dari zaman ke zaman, periode ke periode, kebohongan itu dapat dirasakan dengan mudah. Para elite mengatakan bahwa pemilu atau pilkada dilakukan dengan jujur, bebas, rahasia, dan adil. Padahal dalam kenyataannya tidak selalu begitu. Apalagi akhir-akhir ini, banyak orang protes, konflik, dan bahkan mengadu ke Mahkamah Konstitusi atas kekalahan dalam pilkada. Itu terjadi karena mereka merasa telah dibohongi.
Di bidang hukum, seseorang diadili dan dimasukkan ke penjara, ternyata dalam waktu singkat, ------ dengan berbagai dalih, sudah dikeluarkan. Seseorang ditahan dan bahkan di penjara, ternyata malah bisa menonton pertandingan olah di tempat jauh, pergi ke luar negeri dan seterusnya. Seserorang yang hanya mencuri barang dengan nilai yang tidak seberapa diadili dan dipenjarakan, sementara orang korupsi milyaran rupiah hanya dihukum beberapa tahun dan bahkan diputus bebas. Contoh sederhana ini membuktikan bahwa kebohongan itu terjadi di wilayah itu.
Di dunia pendidikan sekalipun, juga tidak pernah sepi dari kebohongan. Kasus-kasus penyimpangan ujian nasional telah terjadi secara nasional. Sertifikat palsu, surat keterangan palsu, dan bahkan ijazah palsu ditemukan di mana-mana. Demikian juga pada akhir-akhir ini terkait pelaksanaan sertifikasi guru atau juga dosen ditemukan dokumen-dokumen palsu. Bahkan seringkali terdengar telah ditemukan skripsi palsu, thesis palsu, dan juga disertasi palsu, berkas-berkas kelengkapan pengangkatan sebagai guru besar, juga bisa-bisanya dipalsukan.
Masih di dunia pendidikan, sedemikian mudah perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan yang tidak semestinya. Kegiatan itu dilaksanakan hanya dalam waktu tertentu, mengambil tempat sembarangan, di hotel misalnya, berbagai jenis program menyimpang dilaksanakan, -----akhirnya dikeluarkanlah ijazah sarjana. Akibatnya, banyak orang yang tidak terdengar, kapan mereka kuliah, tetapi ternyata gelarnya berpanjang-panjang.
Di langan agama sendiri juga tidak jauh dari keadaan itu. Seseorang elite agama berpidato berapi-api, mengajak agar orang lain rajin shalat berjamaáh, ternyata masjid di samping rumahnya pada setiap waktu shalat tidak pernah dihadiri, dan apalagi waktu shalat subuh. Zakat, infaq dan shadaqah hanya ramai dalam pembicaraan namun sepi dari pelaksanaannya. Tentu, masih banyak lagi kebohongan dan kepalsuan telah terjadi.
Al Qurán sendiri juga menyebutkan tentang orang-orang yang mendustakan agama, yaitu adalah orang yang tidak memperhatikan anak yatim dan memberi makan pada orang miskin. Disebutkan dalam kitab suci, bahwa mereka shalat, tetapi melupakan shalatnya. Mereka riya’dan tidak mau menolong sesamanya. Itu semua disebut telah mendustakan agama.
Maka sebenarnya, kebohongan itu adalah milik bersama, yaitu milik bagi semua orang, baik mereka yang sedang menjadi penguasa, elite, tokoh politik, pengusaha, guru, dosen, mahasiswa, murid, -----tidak terkecuali para tokoh agama sekalipun, termasuk mereka yang sedang menjadi rakyat biasa. Padahal, dinyatakan dalam sejarah kemanusiaan bahwa, bahaya kebohongan sebenarnya adalah sangat fatal, hingga sebuah suku, etnis, kelompok dan bahkan bangsa sekalipun bisa punah, itu disebabkan oleh kebohongan-kebohongan yang dilakukan.
Oleh karena itu, maka cara yang tepat untuk menghadapi keadaan sekarang ini adalah mestinya secara bersama-sama, segera meninggalkan kebohongan. Ekonomi hendaknya diurus secara jujur, birokrasi dijalankan secara benar, elite politik, pemerintahan termasuk para tokoh agama, hendaknya menjalankan perannya masing-masing secara jujur dan benar. Demikian pula pendidikan, yang merupakan faktor strategis untuk membangun masa depan bangsa, diurus dan dikelola secara adil, jujur dan benar. Pokoknya semuanya, tanpa terkecuali tidak boleh ada yang tertinggal untuk memperbaiki keadaan. Perintah agar selalu meninggalkan kebohongan juga dipesan oleh nabi, dengan kata singkat :” jangan berbohong”. Wallahu a’lam
Langganan:
Postingan (Atom)