Minggu, 27 Februari 2011

KEJUJURAN DALAM UJIAN NASIONAL

Oleh : Moh. Safrudin, S.Ag, M.PdI
(Staf Pengajar MAN 1 Kendari Peneliti Sangia Institute)
Perdebatan tentang perlu atau tidak perlu ujian negara dilaksanakan, rupanya akhir-akhir ini sudah tidak lagi dianggap perlu lagi. Bagi pemerintah, ujian negara dianggap perlu karena merupakan pelaksanaan undang-undang. Sedangkan bagi sementara orang yang selama ini merasa keberatan, mungkin sudah tidak ada harapan, bahwa pandangannya mendapatkan perhatian. Sehingga dengan demikian, ujian nasional akan dilaksanakan.
Namun terkait dengan itu, kiranya masih ada hal lain yang perlu direnungkan lebih jauh, jika hal itu dihubungkan dengan pendidikan secara keseluruhan. Ujian nasional sebagaimana tahun lalu, pengawasannya melibatkan perguruan tinggi. Para dosen perguruan tinggi mendapatkan tugas sebagai pengawas ujian di SMA/SMK dan MAN. Kebijakan tersebut mengindikasikan bahwa ternyata sebatas mengawasi ujian, pihak sekolah masih harus dibantu. Seolah-olah sekolah sudah tidak selayaknya mendapatkan kepercayaan itu sepenuhnya.
Selain itu, perguruan tinggi dalam menjalankan pengawasan ujian dianggap masih kredibel. Padahal semestinya kredibilitas perguruan tinggi bukan terletak dalam perannya sebagai pengawas ujian, melainkan dalam penelitian dan kegiatan pengembangan keilmuan lainnya. Dalam hal pengawasi ujian, para guru sendiri semestinya lebih tepat. Sehingga tatkala perguruan tinggi diperankan sebatas sebagai pengawas ujian, terasa agak aneh. Tetapi itulah yang terjadi.
Kebijakan tersebut diambil atas dasar pelajaran sebelumnya, bahwa banyak terdengar informasi tentang penyelewengan yang dilakukan. Penyelewenangan itu ditengarai telah dilakukan oleh semua pihak, baik para siswa, guru, kepala sekolah, maupun dinas pendidikan. Mereka berame-rame berupaya agar kelulusannya tidak jeblok.
Penyelewengan itu sendiri dilakukan, karena tidak ada pihak-pihak yang mau dirugikan. Para siswa ingin lulus, agar segera bisa meneruskan pendidikan ke jenjang berikutnya, atau agar segera lepas dari beban sehari-hari. Demikian pula para guru, kepala sekolah dan dinas pendidikan, menghendaki agar prosentase kelulusan jangan sampai rendah agar tidak dianggap tugasnya gagal. Sebab prosentase kelulusan akan mempengaruhi kredibilitas pribadi maupun jabatannya.
Jika prosentase lulusannya rendah, maka gurunya dianggap kurang cakap. Begitu pula kepala sekolah dan dinas pendidikan setempat. Semangat menjaga dan mempertahankan prestasi itu sedemikian kuat, sehingga muncul sesuatu yang tidak wajar. Sebagaimana Pilkades, Pilkada, maupun Pilpres, maka dalam ujian nasional juga dibentuk tim sukses yang bertugas meningkatkan hasil kelulusan ujian di lembaga pendidikannya. Sudah barang tentu, untuk memenuhi targetnya mereka melakukan hal-hal yang semestinya tidak boleh dilakukan.
Kejadian tersebut tampak sederhana, tetapi sebenarnya merupakan sesuatu hal yang sangat serius terkait dengan pembinaan watak bangsa. Penyimpangan seperti itu, ternyata terjadi di dunia pendidikan, yang oleh siapapun, seharusnya dihindari jauh-jauh. Pendidikan semestinya tidak boleh sedikitpun terkontaminasi oleh tindakan atau kebijakan yang mengganggu proses lahirnya anak-anak jujur dan berkepribadian.

Jika lembaga pendidikan sudah tidak mampu menjaga misi yang sebenarnya, sehingga melahirkan anak didik yang tidak jujur, maka sebenarnya institusi itu sudah kehilangan segala-galanya. Tujuan pendidikan adalah membentuk manusia taqwa, yang salah satu artinya adalah dapat dipercaya. Dengan keharusan adanya pengawasan yang sedemikian jauh itu menggambarkan bahwa dunia pendidikan sudah tidak berhasil menunaikan amanahnya. Persoalan ini sebenarnya bukan sederhana, apalagi bagi yang mengerti hakekat pendidikan, adalah sudah sangat serius.

Lembaga pendidikan pada saat sekarang ini ternyata sebatas membangun lulusan yang bisa dipercaya sudah sangat berat. Untuk mengatasinya maka perlu ada reorientasi para guru, kepala sekolah, dinas pendidikan dan juga para siswa secara keseluruhan. Harus ditumbuh-kembangkan penyadaran kembali bahwa kepercayaan adalah harta yang tidak boleh hilang. Demikian pula, pendidikan tidak boleh kontra produktif, yakni masih melahirkan orang yang tidak bisa dipercaya.
Pelaksanaan ujian nasional dengan melibatkan tenaga pengajar di perguruan tinggi seolah-olah mempertontonkan bahwa para guru, -----sebatas menjadi pengawas ujian, sudah tidak bisa dipercaya lagi. Sebenarnya kebijakan ini terasa aneh, mereka dipercaya mengajar dan mendidik, tetapi sebatas menjadi pengawas, masih perlu diawasi segala. Lebih memprihatinkan lagi, bahwa di tengah-tengah upaya memberantas korupsi yang sedemikian berat, ternyata lembaga pendidikan masih dianggap belum mampu menjalankan perannya secara maksimal.
Oleh karena itu pelajaran penting dari pelaksanaan ujian nasional, di antaranya adalah menyangkut betapa beratnya menjalankan pendidikan. Kepercayaan ternyata amat penting, tetapi berat dan mahal harganya. Menjadikan orang jujur dan bisa dipercaya, bukan sebatas diajar melainkan harus disempurnakan dengan dididik. Pendidikan yang baik harus ada tauladan yang sempurna. Di sisnilah letak pentingnya agama, ----- selalu ada tauladan dari seorang pilihan Tuhan, yaitu para Rasul-Nya. Para guru semestinya berposisi sebagai pewarisnya. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar