Oleh : Moh. Safrudin, M.PdI
(aktivis Gerakan Pemuda ANSOR Sultra dan Peneliti Sangia Institute)
Akhir-akhir ini kata berbohong atau kebohongan menjadi sangat popular. Sedemikian populernya di mana-mana dibicarakan. Banyak tokoh berbicara tentang kebohongan dan dampak yang diakibatkannya. Kemudian selain ditulis di koran, majalah, website, scrib, maka ikhwal kebohongan juga diperdebatkan melalui televise, radio, dan lain-lain.
Orang mengira bahwa seolah-olah yang berbohong itu adalah orang lain, sedangkan dirinya sendiri sudah bersih dan selalu benar. Kebohongan dianggap dilakukan oleh orang-orang atau kelompok tertentu, sementara dirinya sendiri dan kelompoknya merasa tidak melakukannya. Pertanyaannya adalah, apakah anggapan demikian itu benar, maka jawabnya, tidak selalu demikian.
Selain itu, sementara orang merasa senang, karena telah mengingatkan orang lain tentang kebohongan yang telah dilakukan. Mereka merasa tugasnya telah disampaikan, ------agar kalau mau, segera meninggalkan langkah yang dianggap keliru itu. Sementara ada juga pihak-pihak yang marah, tersinggung , atau setidak-tidaknya hatinya terganggu oleh karena dituduh telah berbuat bohong.
Sebutan berbohong atau kebohongan memang tidak enak didengar. Sehingga wajar apabila orang menjadi marah atau tersinggung tatkala disebut telah berbohong. Sebutan berbohong bagi banyak orang dianggap sebagai merendahkan, dan bukan sebatas peringatan. Peringatan, -----lebih-lebih antar elite, biasanya disampaikan dengan cara yang arif. Sebaliknya, semua orang ingin dianggap telah berkata dan berbuat benar, jujur, lurus dan apa adanya.
Ungkapan berbohong atau kebohongan akhir-akhir ini menjadi sedemikian ramai dan mengejutkan karena disampaikan oleh para elite agama dan dialamatkan kepada pemerintah. Uangkapan itu sangat mengejutkan oleh karena dianggap tidak lazim. Pemerintah tidak lazim disebut sebagai pihak yang melakukan kebohongan. Demikian pula elite agama tidak semestinya memilih istilah itu. Elite agama lazimnya memilih kata yang halus, yang sekiranya tidak menjadikan orang lain terganggu.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah betul kebohongan itu benar-benar terjadi. Jawabnya adalah bahwa, orang yang selalu benar, sehingga menyandang sifat siddiq, sebenarnya hanyalah dimiliki oleh nabi. Selain itu, semua orang, ----- dalam kadar tertentu, telah melakukannya. Setiap orang seharusnya mengikuti sifat nabi, yaitu selalu berkata dan berbuat benar. Sedangkan pada kenyataannya, tentu tidak selalu demikian.
Kebohongan bisa terjadi dan dapat dilihat di semua lapangan kehidupan dalam berbagai kadarnya. Sehingga sehari-hari dengan mudah dapat disaksikan orang berbohong, baik dilakukan oleh individu, kelompok, bahkan organisasi besar semisal birokrasi negara. Dalam contoh kecil di bidang ekonomi, di pasar misalkan, orang jual beli melakukan kebohongan.
Di bidang politik, mulai pemilihan kepala daerah dan bahkan lebih tinggi dari itu, dari zaman ke zaman, periode ke periode, kebohongan itu dapat dirasakan dengan mudah. Para elite mengatakan bahwa pemilu atau pilkada dilakukan dengan jujur, bebas, rahasia, dan adil. Padahal dalam kenyataannya tidak selalu begitu. Apalagi akhir-akhir ini, banyak orang protes, konflik, dan bahkan mengadu ke Mahkamah Konstitusi atas kekalahan dalam pilkada. Itu terjadi karena mereka merasa telah dibohongi.
Di bidang hukum, seseorang diadili dan dimasukkan ke penjara, ternyata dalam waktu singkat, ------ dengan berbagai dalih, sudah dikeluarkan. Seseorang ditahan dan bahkan di penjara, ternyata malah bisa menonton pertandingan olah di tempat jauh, pergi ke luar negeri dan seterusnya. Seserorang yang hanya mencuri barang dengan nilai yang tidak seberapa diadili dan dipenjarakan, sementara orang korupsi milyaran rupiah hanya dihukum beberapa tahun dan bahkan diputus bebas. Contoh sederhana ini membuktikan bahwa kebohongan itu terjadi di wilayah itu.
Di dunia pendidikan sekalipun, juga tidak pernah sepi dari kebohongan. Kasus-kasus penyimpangan ujian nasional telah terjadi secara nasional. Sertifikat palsu, surat keterangan palsu, dan bahkan ijazah palsu ditemukan di mana-mana. Demikian juga pada akhir-akhir ini terkait pelaksanaan sertifikasi guru atau juga dosen ditemukan dokumen-dokumen palsu. Bahkan seringkali terdengar telah ditemukan skripsi palsu, thesis palsu, dan juga disertasi palsu, berkas-berkas kelengkapan pengangkatan sebagai guru besar, juga bisa-bisanya dipalsukan.
Masih di dunia pendidikan, sedemikian mudah perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan yang tidak semestinya. Kegiatan itu dilaksanakan hanya dalam waktu tertentu, mengambil tempat sembarangan, di hotel misalnya, berbagai jenis program menyimpang dilaksanakan, -----akhirnya dikeluarkanlah ijazah sarjana. Akibatnya, banyak orang yang tidak terdengar, kapan mereka kuliah, tetapi ternyata gelarnya berpanjang-panjang.
Di langan agama sendiri juga tidak jauh dari keadaan itu. Seseorang elite agama berpidato berapi-api, mengajak agar orang lain rajin shalat berjamaáh, ternyata masjid di samping rumahnya pada setiap waktu shalat tidak pernah dihadiri, dan apalagi waktu shalat subuh. Zakat, infaq dan shadaqah hanya ramai dalam pembicaraan namun sepi dari pelaksanaannya. Tentu, masih banyak lagi kebohongan dan kepalsuan telah terjadi.
Al Qurán sendiri juga menyebutkan tentang orang-orang yang mendustakan agama, yaitu adalah orang yang tidak memperhatikan anak yatim dan memberi makan pada orang miskin. Disebutkan dalam kitab suci, bahwa mereka shalat, tetapi melupakan shalatnya. Mereka riya’dan tidak mau menolong sesamanya. Itu semua disebut telah mendustakan agama.
Maka sebenarnya, kebohongan itu adalah milik bersama, yaitu milik bagi semua orang, baik mereka yang sedang menjadi penguasa, elite, tokoh politik, pengusaha, guru, dosen, mahasiswa, murid, -----tidak terkecuali para tokoh agama sekalipun, termasuk mereka yang sedang menjadi rakyat biasa. Padahal, dinyatakan dalam sejarah kemanusiaan bahwa, bahaya kebohongan sebenarnya adalah sangat fatal, hingga sebuah suku, etnis, kelompok dan bahkan bangsa sekalipun bisa punah, itu disebabkan oleh kebohongan-kebohongan yang dilakukan.
Oleh karena itu, maka cara yang tepat untuk menghadapi keadaan sekarang ini adalah mestinya secara bersama-sama, segera meninggalkan kebohongan. Ekonomi hendaknya diurus secara jujur, birokrasi dijalankan secara benar, elite politik, pemerintahan termasuk para tokoh agama, hendaknya menjalankan perannya masing-masing secara jujur dan benar. Demikian pula pendidikan, yang merupakan faktor strategis untuk membangun masa depan bangsa, diurus dan dikelola secara adil, jujur dan benar. Pokoknya semuanya, tanpa terkecuali tidak boleh ada yang tertinggal untuk memperbaiki keadaan. Perintah agar selalu meninggalkan kebohongan juga dipesan oleh nabi, dengan kata singkat :” jangan berbohong”. Wallahu a’lam
Minggu, 06 Februari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar