Oleh : Moh. Safrudin, S.Ag, M.PdI
(Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Avicenna Kendari)
Dalam beberapa bulan mendatang di daerah kita Sulawesi Tenggara akan digelar Pemilukada, yakni, Bombana, Konawe utara, Muna, masing-masing calon Bupati dan wakil bupati disibukan dengan sosialisasi diri, kampanyekan diri atau mempromosikan diri, yang menjadi budaya masyarakat sekarang ini.
Dalam tradisi orang Timur, terutama bagi masyarakat jawa, sesungguhnya malu dan dianggap aib untuk memamerkan,menonjolkan kehebatan dirinya, sampai-sampai muncul ungkapan yang sangat populer: ojo dumeh, jangan mentangmentang berjasa.
Sikap adigangadigung- adiguna sangatlah tercela bagi masyarakat Jawa, yaitu merasa dirinya kuat,merasa dirinya keturunan ningrat, dan merasa dirinya paling berguna bagi orang lain. Tradisi ini juga pengaruh dari ajaran agama yang selalu menekankan keutamaan berbuat ikhlas, bekerja semata mengharap rida Allah, bukan mengharap pujian dan tepuk tangan manusia.
Karena itu, sering kita jumpai daftar penyumbang pembangunan masjid, misalnya, yang hanya menuliskan sebagai “hamba Allah”. Identitasdirinya disembunyikan untuk menghindari sikap pamer yang potensial merusak keikhlasan. Namun, sesungguhnya mengumumkan bahwa seseorang telah berbuat kebajikan juga disarankan Alquran.
”Jika engkau mendapatkan kenikmatan dari Tuhan,maka beritakanlah pada orang lain.”(QS 93:11). Menyampaikan berita kenikmatan dari Tuhan kepada masyarakat merupakan tanda syukur dan semoga menjadi pelajaran dan dorongan agar orang lain juga berbuat serupa, sehingga mendatangkan kebaikan berlipat ganda bagi masyarakat.
Dalam ajaran agama, seseorang yang memperoleh hidayah, lalu diringankan untuk beramal saleh, juga tidak salah memberitakan kenikmatankenikmatan itu kepada orang lain. Para rasul Tuhan juga, karena merasa dirinya mendapat amanah dari Tuhan dan jiwanya merasa terpanggil untuk memimpin umat, maka mereka tampil mengumumkan diri sebagai pemimpin.
Namun, para Rasul ini tampil dengan kekuatan moral dan tawaran gagasan yang sarat kebenaran dan mereka tidak membagi uang serta membujuk masyarakat agar dirinya diakui sebagai rasul. Pepatah lama bahwa “diam itu emas” (silent is golden) tampaknya tidak lagi berlaku.
Sebaliknya,untuk jadi pemimpin justru seseorang harus banyak tampil di forum, banyak bicara, dan membuat baliho sebesar dan sebanyak mungkin agar wajahnya dikenal luas masyarakat. Bahkan tidak segan-segan mereka membeli jam siaran di televisi dengan ongkos miliaran rupiah untuk mendongkrak citra dan polularitas.
Yang kemudian muncul di benak masyarakat, demokrasi berarti kompetisi. Kompetisi mesti menimbulkan kegaduhan dan berlomba menjual diri agar dibeli masyarakat. Anehnya, para politisi kita bukannya disumbang dana oleh masyarakat seperti Obama, misalnya, namun justru mereka yang membagi uang kepada masyarakat.
Saya tidak tahu, apakah ini simbol kedermawanan dan cinta pada rakyat ataukah sebuah upaya ibarat memancing ikan mesti diperlukan umpan? Apakah ini penghargaan pada rakyat ataukah pembodohan dan penghinaan pada rakyat? Dengan segala kekurangan yang ada,yang pasti rakyat saat ini semakin memiliki kedaulatan untuk memilih pemimpin melalui pemilihan umum secara langsung.
Hanya,karena tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat yang masih rendah,cara yang ditempuh para politisi untuk mempromosikan diri bukannya dengan kekuatan gagasan,moralitas,dan prestasi kerja yang meyakinkan, melainkan dengan membagi uang dan obral janji menebar angin surga serta memoles pesona.
Tradisi promosi diri ini sebagian karena pengaruh tradisi demokrasi Barat, terutama Amerika Serikat, yang secara kultural demografis mirip Indonesia,yaitu masyarakatnya yang sangat majemuk. Ketika sebuah masyarakat masih bersifat homogen dengan jumlah penduduk terbatas, maka pepatah “diam itu emas” masih tetap berlaku dan sangat mudah dipahami.
Tanpa kampanye secara lisan semua warga masyarakat sudah bisa menilai kualitas dan prestasi setiap warganya.Pada masyarakat yang homogen dan komunalistik bahasa tindakan lebih kuat ketimbang bahasa lisan. Namun ketika penduduk semakin banyak, perjumpaan lintas etnik, profesi, agama dan budaya semakin intens, maka seseorang dituntut untuk aktif memperkenalkan diri agar dikenal dan diterima masyarakat luas.
Terlebih kalau seseorang ingin jadi wakil rakyat, bupati,gubernur,atau presiden.Jika mereka diam saja,tak akan ada yang mengenal dan memilihnya.Sepintar apa pun seseorang, kalau tak ada forum untuk tampil mengampanyekan dirinya secara nasional, maka sulit untuk jadi pemimpin.
Di sinilah makanya peran media massa sangat strategis setiap musim kampanye. Masa kampanye calon Bupati wakil bupati (cabub-cawabub) yang relative singkat, akan semakin menguntungkan bisnis televisi karena panen iklan.Hanya melalui media televisi wajah dan pikiran calon akan dikenal luas masyarakat.
Hanya saja, titik lemah dari media televisi adalah bisa direkayasa sedemikian rupa agar menimbulkan efek kesan yang jauh lebih bagus dan lebih hebat dari kualitas aslinya. Mekanisme rekayasa virtual itu sulit dilakukan dalam sebuah komunitas yang homogen dan terbatas.
Ibarat sebuah keluarga besar, masing-masing kenal secara mendalam. Namun, dalam masyarakat Indonesia yang sangat majemuk,yang jumlah penduduknya tinggi dan tersebar ke dalam ribuan pulau, politisi yang ingin memenangi persaingan harus berlimpah dananya untuk biaya iklan dan membeli jam tayang agar dirinya dikenal secara nasional.
Itu sungguh bukan hal yang mudah dilakukan. Dengan demikian,saat ini politik citra menjadi bagian dari tradisi baru promosi diri.Panggung politik dan panggung sinetron lalu memiliki kemiripan dalam proses produksi dan mekanisme kerjanya, meski tujuannya berbeda. Sebaiknya para politisi maupun masyarakat bersama-sama menyadari perkembangan dan perubahan budaya “pamer diri” ini.
Kata pamer rasanya memang tidak tepat untuk kultur Indonesia. Tetapi dalam bahasa Inggris memang terdapat ungkapan: self-exposure dan selfpromotion dalam konotasi yang datar-datar saja. Di situ berlaku adagium, tak akan ada yang memperjuangkan diri Anda secara serius,kecuali Anda sendiri karena padadasarnya setiaporangcintadiri dan sibuk dengan dirinya sendiri.
Promosi diri akan menjadi persoalan moral ketika dilakukan dengan membohongi rakyat. Ketika mereka maju hanya dengan mengandalkan kekuatan uang tanpa visi, gagasan dan program jelas serta integritas kuat.Promosi diri agar terpilih menjadi pemimpin tingkat lokal maupun nasional jelas memerlukan dana besar, tim sukses yang solid dan profesional.
Dan itu semua memerlukan dana yang kuat. Pertanyaannya, dari mana miliaran itu didapat? Kapan bangsa ini lebih menghargai gagasan dan moral sehingga mampu mengalahkan rayuan uang?
Pemimpin Transaksional
Banyak orang mengatakan bahwa, masyarakat itu tergantung pada pimpinannya. Jika pimpinannya hebat, maka masyarakat akan dinamis dan berkembang dengan hebatnya. Sebaliknya, jika masyarakat itu dipimpin oleh orang yang biasa-biasa saja, maka masyarakatnya juga tidak akan maju. Apalagi, jika pemimpinnya lembek, maka bisa dibayangkan sendiri keadaannya.
Demikian pula sebuah institusi, tidak terkecuali institusi pendidikan. Lembaga pendidikan akan maju jika dipimpin oleh kepala sekolah yang maju dan dinamis. Tetapi jika kebetulan tidak sedang memiliki pimpinan yang dinamis dan kreatif, maka lembaga pendidikan tersebut tidak akan maju, stagnan, atau jalan di tempat. Kasus-kasus tentang itu banyak jumlahnya, sehingga dengan mudah dapat ditemui di mana saja. Misalnya, lembaga pendidikan yang semula maju pesat, karena pimpinannya berganti orang yang tidak kapabel dan kreatif, maka kemajuan itu segera berhenti, selanjutnya lembaga itu hanya sebatas bertahan, dan bahkan menurun.
Komunitas terkecil, seperti rumah tangga pun juga begitu. Sebuah keluarga kelihatan dinamis, karena kepala keluarganya berpikiran maju dan atau cerdas. Bahkan kalau ada siswa berprestasi di sebuah sekolah, maka segera akan ditanyakan, siapa nama guru dan orang tuanya. Pertanyaan itu muncul karena guru dan orang tuanya yang memimpin dan mendidik anak yang bersangkutan dianggap memiliki peran strategis.
Posisi pemimpin yang sedemikian strategis, ternyata masih belum terlalu disadari oleh sebagian besar masyarakat. Hal itu kelihatan dari tatklala terjadi proses pemilihan calon pemimpin. Di alam demokrasi seperti sekarang ini, pemimpin dipilih langsung oleh rakyat. Rakyat pun juga belum selalu tahu, siapa sesungguhnya calon pemimpinnya itu.
Untuk mengenalkan diri, calon pemimpin mereklamekan diri, lewat berbagai cara, baik melalui media elektronik maupun media lainnya. Kita lihat di berbagai sudut kota, bahkan juga di desa, setiap menjelang pemilihan pimpinan daerah, terpampang foto-foto berukuran besar, sebagai cara mempromosikan diri. Menawarkan diri sebagai calon pemimpin tak ubahnya mempromosikan barang-barang kebutuhan sehari-hari agar laku diajual.
Pemilihan secara langsung calon pemimpin sesungguhnya bukan hal baru di negeri ini. Rakyat di pedesaan pun sejak lama sudah terbiasa memilih calon pemimpin tingkat desa. Jika kepala desa berhenti, dengan sebab apapun, maka rakyat memilih calon kepala desa yang baru. Pemilihannya dilakukan secara langsung. Hal yang menarik, apakah para calon ketika itu masih malu-malu, ataukah karena belum ada pasphoto, sehingga identitas masing-masing calon disamarkan dengan lambang-lambang atau simbol. Misalnya calon A menggunakan lambang kelapa, calon B menggunakan pisang, calon C menggunakan lambang buang nangka dan seterusnya.
Orang zaman dulu rupanya masih malu-malu mengajukan dirinya sebagai calon pemimpin, sehingga harus menggunakan lambang atau simbol-simbol itu. Berbeda dengan itu, sekarang orang secara terus terang menyatakan diri sanggup dan bahkan menawarkan diri menjadi calon pemimpin. Bahkan, agar keinginannya berhasil terwujud, orang harus menebar janji-janji, dan bahkan juga secara langsung memberi uang, agar mereka memilihnya. Padahal dengan cara itu, posisi pemimpin menjadi kurang berwibawa dan sacral, dan hanya akan dianggap sebagai seorang yang bernafsu untuk menjadi pemimpin.
Pemilihan pimpinan di zaman demokratis seperti itu menjadikan orang yang tidak punya uang, sekalipun lebih mampu, tidak akan terpilih sebagai pemimpin. Begitu sebaliknya, seorang yang tidak memiliki kapabilitas apa-apa bisa terpilih, karena sejumlah uang yang dimilikinya. Sebagai akibat cara pemilihan pemimpin seperti itu, maka masyarakat yang dipimpinnya tidak maju. Bahkan pemimpin yang terpilih pun, karena harus mencari uang untuk mengembalikan biaya pemilihan, terpaksa korupsi, dan ketahuan lalu ditangkap, diadili, dan akhirnya masuk penjara. Dengan kenyataan seperti itu, masyarakat yang dipimpinnya tidak maju, sedangkan pemimpinnya masuk penjara. Maka, sempurnalah kebobrokan masyarakat yang bersangkutan.
Gejala yang memprihatinkan seperti ini merata di semua lapisan, mulai dari tingkatan yang terendah hingga yang tertinggi. Pemimpin yang sesungguhnya memiliki posisi yang amat strategis, selalu menentukan maju mundur, atau dinamika masyarakat yang dipimpin, -------sebatas hanya berdalih menjalankan demokrasi, ternyata dipilih melalui cara-cara yang tidak benar. Pemimpin hanya dipilih dan muncul atas dasar kekuatan financial. Pemilihan pemimpin yang dilakukan lewat cara transaksi-transaksi itu akhirnya bagaikan proses jual beli di pasar.
Padahal, pemimpin yang sukses adalah orang yang memiliki kapabilitas kepemimpinan, jujur, adil, dan memiliki jiwa pengabdian yang tinggi. Bahkan, pemimpin seharusnya selalu berjuang demi masyarakat yang dipimpinnya. Perjuangan yang dilakukan, masih harus disempurnakan oleh kesediaan berkorban. Sayang sekali, bangsa yang sudah sekian lama menginginkan kemakmuran dan keadilan, tatkala memilih para pemimpinnya, masih berada di jalan yang kurang benar, yaitu dilakukan di antaranya dengan cara transaksi, hingga yang didapat adalah pemimpin transaksional. Wallahu a’lam
Minggu, 06 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar