OLEH: MOH.SAFRUDIN
Secara umum ajaran Islam dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori: 1) Akidah sebagai dasar pokok agama yang meliputi iman, tauhid, dan prinsip hidup; 2) Syari’ah yang meliputi aturan-aturan tata hidup manusia; dan 3) Akhlak sebagai puncak kemuliaan hidup manusia.
Peraturan-peraturan Ilahi yang biasa disebut dengan Syari’ah, sebagaimana juga Aqidah dan Akhlaq, terangkum dalam dua pusaka peninggalan Rasulullah Saw, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Dalam sabdanya, Rasulullah Saw menyatakan: “Tidak akan sesat siapapun yang berpegang teguh kepada keduanya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah”. Oleh karena itu, setiap amaliah, baik yang bersifat ibadah maupun muamalah, harus mengikuti al-Qur’an dan Sunnah. Meskipun problematika yang dihadapi dan dialami manusia semakin meningkat jenis dan kualitasnya, sementara secara tekstual al-Qur’an dan Sunnah bersifat statis, hal ini dapat diatasi dengan upaya ijtihad oleh para cendikia dan intelektual muslim.
Mendefinisikan Syari’ah
Dalam kajian fiqh dan ushul fiqh, tujuan utama yang hendak dicapai ketika mempelajari keduanya adalah untuk mengetahui hukum syara’ (syari’ah) yang berkaitan dengan perbuatan manusia mukallaf (yang dibebani hukum), sehingga akan diperoleh ketentuan apakah suatu perbuatan itu dikehendaki, dibolehkan, atau dilarang, atau bagaimana suatu perbuatan dapat dikatakan sah atau tidak. Upaya-upaya mengidentifikasi hukum syariat yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah senantiasa berkembang, meskipun sumber utama yang digali itu tidak akan bertambah lagi (statis) hingga akhir zaman. Ini tidak menjadi masalah karena dalam al-Qur’an sendiri, di samping terdapat ayat yang bermakna jelas dan pasti serta rinci, namun tidak sedikit juga ayat-ayat yang bersifat umum dan global. Jenis ayat yang terakhir inilah yang menjadi “ladang” ijtihad para intelektual muslim. Di lain pihak, dalam ayat-ayat lain diserukan kepada manusia untuk senantiasa menggunakan daya pikir dan nalarnya untuk mengkaji dan meneliti ayat-ayat Allah, baik yang tersurat dalam al-Qur’an maupun yang tersirat dalam alam raya. Ayat tersebut misalnya:
إن فى خلق السماوات والأرض واختلاف اليل والنهار لأيات لأولى الألباب
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta perbedaan siang dan malam ada tanda-tanda bagi orang yang menggunakan akalnya”. (QS. Ali ‘Imran: 190).
Hasil-hasil dari penalaran para ulama tentang berbagai ketentuan hukum berdasarkan dalil-dalil syara’ disebut fiqh, yang berbeda dengan Syari’ah. Syari’ah adalah ketentuan-ketentuan umum yang interpretable, terbuka, elastis, dan universal, sedangkan fiqh lebih bersifat uninterpretable (tidak bisa ditafsirkan lagi), baku, statis, dan lokal. Dengan demikian, siapapun atau lembaga apapun yang melaksanakan syari’ah, maka di dalamnya pastilah menganut fiqh tertentu.
Syari’ah meliputi segala perbuatan manusia, baik dalam rangka hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan dengan sesama manusia, maupun hubungan dengan lingkungannya. Jadi, syari’ah mencakup segala aspek amaliah manusia. Karena itu, dalam kajian para ulama, dibuatlah kategori-kategori khusus dalam bidang syari’ah tersebut, antara lain: Ibadah, Perkawinan, Warisan, Dagang, Pidana, Siyasah (politik), dan sebagainya.
Hikmah Syari’ah
Hikmah atau tujuan utama dari hukum-hukum syari’ah tidak lain adalah untuk memberikan kesejahteraan, kedamaian, ketenangan, dan kebahagiaan hidup manusia, baik di dunia maupun akhirat. Dalam sebuah ayat, Allah berfirman:
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
“Dan tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) melainkan sebagai rahmat ke seluruh alam”
Dengan mengacu kepada tujuan ini, maka hukum Islam (syari’ah) senantiasa mengarah kepada pencapaian tiga hal, yaitu:
1. Pemberdayaan individu (SDM);
Untuk mencapai suatu masyarakat yang damai dan tenteram, maka setiap muslim sebagai anggota masyarakat harus dapat menjadi pelopor kebajikan, bukan provokator keonaran. Ini dapat tercapai dari ketentuan pelaksanaan ibadah. Shalat misalnya, sebagaimana disebutkan dalam ayat:
إن ا لصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر
“Sesungguhnya shalat itu akan mencegah dari perbuatan keji dan munkar”.
Rasa persaudaraan dan kebersamaan tercermin jelas dalam pelaksanaan shalat berjamaah. Kepedulian akan nasib sesama terlihat dalam ibadah puasa dan zakat. Demikian juga halnya dengan perintah untuk menyembelih hewan qurban dan menunaikan ibadah haji.
2. Menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Keadilan dalam masyarakat termasuk tujuan akhir dari syari’ah. Ini tergambar dari hukum-hukum yang ada semisal persaksian, acara berperkara, penetapan ganti rugi, dan hukum pidana. Demikian pula dalam pergaulan, seorang muslim haruslah mempergauli saudaranya dengan cara yang menyenangkan, seperti sabda Rasulullah Saw:
عامل الناس بما تحب أن يعاملوك به
“Pergaulilah manusia dengan apa yang engkau sukai jika mereka mempergaulimu”.
Dalam penegakan keadilan ini, Islam telah mencanangkan persamaan derajat di kalangan umat manusia. Maka, tidak ditemukan dalam Islam ada perbedaan di depan hukum antara si kaya dan si miskin, atau golongan tertentu dari yang lain. Semua sama, karena mereka semua berasal dari tanah yang sama. Sabda Rasulullah Saw:
كلكم لآدم وآدم من تراب لا فضل لعربى على أعجمى إلا بالتقوى
“Setiap kamu adalah anak cucu Adam, sedangkan Adam berasal dari Tanah. Tidak ada pebedaan antara orang Arab dengan non-Arab selain taqwanya”.
3. Menyebarkan kemaslahatan.
Yang dimaksud dengan kemaslahatan adalah segala kebajkan yang memungkinkan tercapainya kedamaian dan kebahagiaan manusia. Kemashlahatan manusia adalah tujuan inti dari syari’ah. Karena itu, tidak ada satu perintah dalam syar’ah kecuali di dalamnya terdapat maslahat bagi manusia. Sebaliknya, tidak satupun dari larangannya kecuali akan mendatangkan bahaya jika dilakukan. Yang perlu diketahui adalah parameter atau ukuran dari kemashlahatan itu sendiri. Maslahat yang dimaksud di sini adalah maslahat hakiki yang umum dan diakui oleh seluruh manusia, bukan yang berdasarkan nafsu dan keserakahan, atau egoisme kelompok tertentu.
Dalam hal ini, terdapat 5 (lima) unsur pokok kemaslahatan manusia yang sangat dijaga dan dilindungi dalam hukum syari’ah. Kelima hal tersebut adalah: a) Agama; Maka, setiap muslim diwajibkan menjalankan ibadah sebagai upaya untuk membersihkan diri dari hawa nafsu juga untuk meningkatkan ruh keberagamaan itu sendiri. b) Jiwa; Syari’ah melindungi jiwa dengan larangan dan hukuman berat atas pelaku tindak pidana pembunuhan atau penganiayaan yang menghilangkan nyawa orang lain atau penganiayaan yang melukai. c) Akal; Akal bukanlah merupakan hak khusus atas diri orang yang bersangkutan itu saja. Orang lain dan masyarakat sesungguhnya punya hak atas kesehatan dan kestabilan akal seorang anggotanya, karena pengaruh baik atau buruk yang timbul dari kerusakan akal pasti akan menimpa masyarakatnya. Itulah sebabnya, segala yang memabukkan dan dapat merusak akal pikiran manusia sangat diharamkan dalam syari’ah. d) Keturunan; Maksud dari kemaslahatan keturunan adalah tercapainya keluarga dan keturunan yang terikat kuat oleh pernikahan yang sah dan akan melahirkan ikatan kasih sayang yang kuat. Karena itu, perzinaan dilarang keras, termasuk menuduh orang lain berzina tanpa bukti. Ini demi kehormatan keluarga dan keturunan. e) Harta; syari’ah melindungi harta yang diperoleh secara sah dengan memberi hukuman berat kepada pelaku perampokan, pencurian, dan penipuan. Di lain pihak, syari’ah menetapkan hak-hak tertentu atas orang miskin dan melarang pemborosan.
4. Memberikan Keteladanan
Rasulullah Saw. sebagai pembawa syari’ah lebih dahulu memberikan keteladanan dalam pelaksanaan syari’ah. Beliau bahkan pernah mengancam akan menghukum putrinya sendiri bila terbukti melanggar ajaran agama. Nah, demikian pula seharusnya yang dilakukan oleh setiap Muslim dalam melaksanakan syari’ah. Allah berfirman:
لقد كان لكم فى رسول الله أسوة حسنة
“Sungguh ada pada diri Rasullah teladan yang baik”.
5. Kontinyuitas
Syari’ah Islam bersifat permanen, sehingga tidak ada batasan waktu bagi masa berlakunya. Seorang muslim seumur hidupnya senantiasa terikat dengan aturan-aturan Ilahi, karena kemapanan hidup dan bermasyarakat hanya akan tercapai dengan kemapanan sistem aturan hidup. Dalam hal ini, syari’ah mencela keras bagi orang yang telah menyatakan diri memeluk Islam kemudian berpaling atau keluar dari agama.
Dengan demikian, syari’ah yang ada di hadapan kita sesungguhnya merupakan peraturan-peraturan suci yang di dalamnya Allah menunjukkan tata hidup ideal bagi manusia. Karena itu, selayaknya kita kembali menilai apakah amaliah yang kita lakukan sehari-hari sudah sesuai dengan tuntunan syari’ah atau tidak. Karena, hanya dengan senantiasa mengintrospeksi diri niscaya akan diperoleh jawaban yang memadai atas pertanyaan: Apakah saya sudah menjadi hamba Tuhan yang taat kepada-Nya? Semoga, dengan khutbah ini kita semakin terpicu untuk terus memperbaiki diri. Barakallâhu lî wa lakum.
Rabu, 10 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar