Rasulullah SAW mengatakan dalam H.R Bukhari dan Muslim bahwa “barang siapa yang ingin rizkinya diluaskan dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah menghubungkan tali silaturahim.”
Kebanyakan dari kita memaknai silaturahim dengan saling bertegur sapa, saling mengunjungi, saling menolong, dan saling berbuat kebaikan. Namun, sesungguhnya bukan itu makna sebenarnya, silaturahim bukan ditandai dengan saling berbalasan. Berdasarkan asal katanya yaitu sila yang berarti hubungan dan rahim yang berarti kasih sayang, maka silaturahim diartikan sebagai menghubungkan kasih sayang antar sesama makhluk. Silaturahim juga bermakna menghubungkan yang terputus dan memberi kepada orang yang tidak memberi kepada kita. Contohnya adalah ketika ada salah satu pihak yang lebih dulu menyapa saudaranya maka dialah yang mendapat pahala lebih besar.
Rasulullah juga pernah bersabda bahwa “tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturahim.” Sudah ada balasan dari Allah bagi orang yang bersilaturahim yaitu surga dan sebaliknya bagi orang yang memutuskan tali silaturahim yaitu neraka. Begitu besarnya balasan Allah sehingga begitu besar juga cobaan yang akan dihadapi. Dalam cobaan tersebut, hendaknya tidak mendahulukan hawa nafsu dan dendam, sehingga akan hilang balasan surga dari Allah.
Ada 4 resep dari Rasulullah SAW untuk saling mencintai dan berbuat baik sesama muslim, yaitu:
1. Tebarkan salam
2. Menghubungkan tali silaturahim
3. Memberi makan kepada yang membutuhkan
4. Shalat di saat manusia tertidur pulas
Semua resep di atas mengantarkan kita ke surga Nya tanpa harus mampir ke neraka Nya dan silaturahim ada dalam salah satu resep tersebut. Betapa pentingnya silaturahim dalam hubungan manusia. Rasulullah bahkan berpesan “sayangilah apa yang ada di muka bumi, niscaya Allah dan semesta alam akan menyayangimu” (H.R Tirmidzi), yang dapat diartikan bahwa hak berkasih sayang dan silaturahim tidak terbatas pada kerabat tetapi sesama makhluk Allah SWT. Semoga kita bisa meraih surga Nya dengan membina silaturahim antar sesama.
Kamis, 30 September 2010
Selasa, 28 September 2010
SUKA MEMBERI ADALAH SALAH SATU CARA MENCEGAH KORUPSI
OLEH : MOH. SAFRUDIN, M.PdI
Ternyata ada saja orang-orang yang sukanya memberi. Mereka itu lebih suka memberi daripada menerima. Dengan telah berhasil memberi maka hati mereka gembira dan puas. Tugas dan kewajibannya telah merasa ditunaikan. Itulah orang yang bermental pemberi.
Hanya mungkin saja jumlah mereka itu tidak bayak. Yang selalu kita temukan adalah orang-orang yang gembira tatkala menerima. Orang-orang seperti itu, setiap hari yang dipikir adalah mencari sumbangan. Tatkala mendapatkannya, mereka merasa beruntung dan hatinya gembira. Mereka berprestasi dan bangga, karena telah mendapatkan sumbangan itu.
Islam mengajak umatnya menjadi pemberi dan bukan sebaliknya, menjadi penerima. Dikatakan dalam sebuah hadits nabi, bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Artinya pemberi lebih baik dari mereka yang menerimanya. Orang Islam dianjurkan selalu memberi sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Hingga juga ada hadits nabi yang mengatakan bahwa, sebaik-baik orang adalah mereka yang banyak memberi manfaat bagi orang lain.
Tatkala memberi sudah menjadi kesenangan, atau seseorang telah bermental pemberi, maka mereka merasa sukses dan berhasil hidupnya tatkala keinginan atau jiwanya itu telah terpenuhi. Mereka bekerja dan hasilnya agar bisa diberikan kepada orang lain. Orang seperti ini, biasanya tidak suka menumpuk-numpuk hartanya. Keberhasilan menumpuk harta bukan menjadi kebanggaan, bahkan sebaliknya, risih dan atau malu.
Orang yang bermental seperti itu, tidak suka korupsi. Mengambil harta bukan haknya dirasakan olehnya sebagai kenistaan, hina, dan rendah. Seseorang jangankan mengambil sesuatu yang bukan haknya, haram hukumnya, barang yang tidak semestinya, sedangkan yang merupakan milik dan halal saja, segera barang itu diberikan kepada orang lain. Orang yang bermental seperti ini, ternyata di mana-mana ada, sekalipun tidak banyak jumlahnya.
Orang bermental pemberi tidak selalu kaya. Apa yang diberikan, sebatas yang mereka miliki. Apa yang dimiliki dan tidak sedang diperlukan, -----jika mungkin, diberikan pada orang lain. Mereka itulah pemilik sifat atau berjiwa pemberi. Tatkala mereka berhasil memberikan sesuatu kepada orang lain, maka mereka hatinya puas, gembira, dan bahagia. Kebanggaan atau kesenangan yang didapat oleh mereka tatkala berhasil memberi, melebihi kebanggaan atau kesenangan yang dirasakan oleh orang lain yang menerimanya.
Para koruptor sebenarnya adalah orang-orang yang berjiwa atau hatinya lebih menyukai ketika mendapatkan, ------darimana pun datangnya, dan bukan sebaliknya, memberi atau melepas sesuatu. Para koruptor itu, sebenarnya adalah orang-orang yang lebih menyukai harta atau uang. Mereka lebih menyukai dirinya menjadi penerima.
Mental pemberi bisa dimiliki oleh siapapun, baik orang kaya maupun orang yang tidak tergolong kaya. Tidak selalu orang kaya bermental murah hati atau suka member. Tidak sulit kita temukan dalam kehidupan sehatri-hari, orang kaya justru pelit, dan sebaliknya orang yang miskin tetapi bermental pemberi. Mental pemberi bisa dilatih, hingga seseorang yang semula pelit, ------karena latihan itu, maka lama kelamaan berubah menjadi suka memberi.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah birokrasi pemerintah selama ini lebih menumbuh-suburkan mental pemberi dan atau sebaliknya, bermental penerima. Sebagai abdi negara, masyarakat, dan rakyat, semestinya lingkungan birokrasi ditumbuh-kembangkan mental atau jiwa pemberi, pejuang dan berkorban. Mental pemberi, pejuang, dan berkorban sebenarnya bisa ditumbuh-kembangkan, tidak terkecuali di lingkungan birokrasi.
Jika di birokrasi ------birokrasi apa saja, yang ditumbuh-kembangkan adalah jiwa atau mental penerima, maka akan tumbuh mental korup. Orang yang gemarnya menerima, akan puas kalau kegemarannya terpenuhi. Para pimpinan birokrasi yang selalu berpikir tunjangan, fasilitas, hak-hak, kenaikan honor, dan seterusnya maka pada jiwanya akan lahir mental korup itu. Mental korup akhirnya menjadi tumbuh dan berkembang. Bahkan juga bisa menular ke orang lain. Sehingga, seseorang yang semula baik, bermental dan berjiwa pemberi, suatu saaat berubah menjadi koruptor.
Ada kesan umum bahwa birokrasi selalu diwarnai oleh mental korup. Jika kesan itu benar, maka bagi orang-orang yang masuk birokrasi atau menjadi birokrat perlu dikasihani. Mereka berada di lingkungan, iklim atau suasana yang sedemikian mudah berkorupsi. Oleh karena itu, dari memahami bahwa birokrasi selalu melahirkan mental korup, maka menghindarinya perlu dikembangkan mental atau jiwa pemberi itu.
Mengembangkan mental pemberi bisa ditempuh dengan cara selalu membiasakan untuk mengapresiasi, menghormati, memuliakan, dan menghargai terhadap orang-orang yang terbiasa memberi sesuatu kepada orang lain. Sebaliknya, mental suka menerima dan mendapatkan perlu dihindari. Sebab, orang yang hanya merasa nikmat tatkala menerima, maka sehari-hari akan berusaha menerima sebanyak-banyaknya, sekalipun berasal dari jalan korupsi. Di lingkungan para birokrat pada tingkatan atau level apapun, perlu ditumbuh-kembangkan mental dan jiwa pemberi, pejuang, sekaligus berkorban.
Konsep jihad dalam Islam, sebenarnya adalah terkait dengan upaya menumbuh-kembangkan mental pemberi, pejuang dan sekaligus berkorban. Maka, jihad yang benar selalu berhubungan dengan kebaikan, kemuliaan, kebenaran, dan keagungan. Para mujahid selalu berjiwa atau bermental pemberi. Mereka tidak pernah akan korupsi. Sebaliknya, para koruptor adalah orang yang suka menerima, memperoleh, atau mendapatkan.
Oleh karena itu, sebenarnya cara efektif mengurangi fenomena korupsi, bisa dilakukan dengan jalan menghindari kebiasaan menerima, mendapatkan fasilitas, atau honor-honor tambahan lainnya. Jika itu dilakukan, maka sama halnya sehari-hari membenci korupsi, tetapi secara nyata sehari-hari pula, ------disadari atau tidak, telah menumbuh-kembangkan mental korup. Wallahu a’lam.
Ternyata ada saja orang-orang yang sukanya memberi. Mereka itu lebih suka memberi daripada menerima. Dengan telah berhasil memberi maka hati mereka gembira dan puas. Tugas dan kewajibannya telah merasa ditunaikan. Itulah orang yang bermental pemberi.
Hanya mungkin saja jumlah mereka itu tidak bayak. Yang selalu kita temukan adalah orang-orang yang gembira tatkala menerima. Orang-orang seperti itu, setiap hari yang dipikir adalah mencari sumbangan. Tatkala mendapatkannya, mereka merasa beruntung dan hatinya gembira. Mereka berprestasi dan bangga, karena telah mendapatkan sumbangan itu.
Islam mengajak umatnya menjadi pemberi dan bukan sebaliknya, menjadi penerima. Dikatakan dalam sebuah hadits nabi, bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Artinya pemberi lebih baik dari mereka yang menerimanya. Orang Islam dianjurkan selalu memberi sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Hingga juga ada hadits nabi yang mengatakan bahwa, sebaik-baik orang adalah mereka yang banyak memberi manfaat bagi orang lain.
Tatkala memberi sudah menjadi kesenangan, atau seseorang telah bermental pemberi, maka mereka merasa sukses dan berhasil hidupnya tatkala keinginan atau jiwanya itu telah terpenuhi. Mereka bekerja dan hasilnya agar bisa diberikan kepada orang lain. Orang seperti ini, biasanya tidak suka menumpuk-numpuk hartanya. Keberhasilan menumpuk harta bukan menjadi kebanggaan, bahkan sebaliknya, risih dan atau malu.
Orang yang bermental seperti itu, tidak suka korupsi. Mengambil harta bukan haknya dirasakan olehnya sebagai kenistaan, hina, dan rendah. Seseorang jangankan mengambil sesuatu yang bukan haknya, haram hukumnya, barang yang tidak semestinya, sedangkan yang merupakan milik dan halal saja, segera barang itu diberikan kepada orang lain. Orang yang bermental seperti ini, ternyata di mana-mana ada, sekalipun tidak banyak jumlahnya.
Orang bermental pemberi tidak selalu kaya. Apa yang diberikan, sebatas yang mereka miliki. Apa yang dimiliki dan tidak sedang diperlukan, -----jika mungkin, diberikan pada orang lain. Mereka itulah pemilik sifat atau berjiwa pemberi. Tatkala mereka berhasil memberikan sesuatu kepada orang lain, maka mereka hatinya puas, gembira, dan bahagia. Kebanggaan atau kesenangan yang didapat oleh mereka tatkala berhasil memberi, melebihi kebanggaan atau kesenangan yang dirasakan oleh orang lain yang menerimanya.
Para koruptor sebenarnya adalah orang-orang yang berjiwa atau hatinya lebih menyukai ketika mendapatkan, ------darimana pun datangnya, dan bukan sebaliknya, memberi atau melepas sesuatu. Para koruptor itu, sebenarnya adalah orang-orang yang lebih menyukai harta atau uang. Mereka lebih menyukai dirinya menjadi penerima.
Mental pemberi bisa dimiliki oleh siapapun, baik orang kaya maupun orang yang tidak tergolong kaya. Tidak selalu orang kaya bermental murah hati atau suka member. Tidak sulit kita temukan dalam kehidupan sehatri-hari, orang kaya justru pelit, dan sebaliknya orang yang miskin tetapi bermental pemberi. Mental pemberi bisa dilatih, hingga seseorang yang semula pelit, ------karena latihan itu, maka lama kelamaan berubah menjadi suka memberi.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah birokrasi pemerintah selama ini lebih menumbuh-suburkan mental pemberi dan atau sebaliknya, bermental penerima. Sebagai abdi negara, masyarakat, dan rakyat, semestinya lingkungan birokrasi ditumbuh-kembangkan mental atau jiwa pemberi, pejuang dan berkorban. Mental pemberi, pejuang, dan berkorban sebenarnya bisa ditumbuh-kembangkan, tidak terkecuali di lingkungan birokrasi.
Jika di birokrasi ------birokrasi apa saja, yang ditumbuh-kembangkan adalah jiwa atau mental penerima, maka akan tumbuh mental korup. Orang yang gemarnya menerima, akan puas kalau kegemarannya terpenuhi. Para pimpinan birokrasi yang selalu berpikir tunjangan, fasilitas, hak-hak, kenaikan honor, dan seterusnya maka pada jiwanya akan lahir mental korup itu. Mental korup akhirnya menjadi tumbuh dan berkembang. Bahkan juga bisa menular ke orang lain. Sehingga, seseorang yang semula baik, bermental dan berjiwa pemberi, suatu saaat berubah menjadi koruptor.
Ada kesan umum bahwa birokrasi selalu diwarnai oleh mental korup. Jika kesan itu benar, maka bagi orang-orang yang masuk birokrasi atau menjadi birokrat perlu dikasihani. Mereka berada di lingkungan, iklim atau suasana yang sedemikian mudah berkorupsi. Oleh karena itu, dari memahami bahwa birokrasi selalu melahirkan mental korup, maka menghindarinya perlu dikembangkan mental atau jiwa pemberi itu.
Mengembangkan mental pemberi bisa ditempuh dengan cara selalu membiasakan untuk mengapresiasi, menghormati, memuliakan, dan menghargai terhadap orang-orang yang terbiasa memberi sesuatu kepada orang lain. Sebaliknya, mental suka menerima dan mendapatkan perlu dihindari. Sebab, orang yang hanya merasa nikmat tatkala menerima, maka sehari-hari akan berusaha menerima sebanyak-banyaknya, sekalipun berasal dari jalan korupsi. Di lingkungan para birokrat pada tingkatan atau level apapun, perlu ditumbuh-kembangkan mental dan jiwa pemberi, pejuang, sekaligus berkorban.
Konsep jihad dalam Islam, sebenarnya adalah terkait dengan upaya menumbuh-kembangkan mental pemberi, pejuang dan sekaligus berkorban. Maka, jihad yang benar selalu berhubungan dengan kebaikan, kemuliaan, kebenaran, dan keagungan. Para mujahid selalu berjiwa atau bermental pemberi. Mereka tidak pernah akan korupsi. Sebaliknya, para koruptor adalah orang yang suka menerima, memperoleh, atau mendapatkan.
Oleh karena itu, sebenarnya cara efektif mengurangi fenomena korupsi, bisa dilakukan dengan jalan menghindari kebiasaan menerima, mendapatkan fasilitas, atau honor-honor tambahan lainnya. Jika itu dilakukan, maka sama halnya sehari-hari membenci korupsi, tetapi secara nyata sehari-hari pula, ------disadari atau tidak, telah menumbuh-kembangkan mental korup. Wallahu a’lam.
Kamis, 23 September 2010
HALAL BI HALAL
OLEH : MOH.SAFRUDIN
Al-Quran adalah kitab rujukan untuk memperoleh petunjuk dan bimbingan agama. Ada tiga cara yang diperkenalkan ulama untuk memperoleh pesan-pesan kitab suci itu. Pertama, melalui penjelasan Nabi Saw., para sahabat beliau, dan murid-murid mereka. Hal ini dinamai tafsir bir-riwayah. Kedua, melalui analisis kebahasaan dengan menggunakan nalar yang didukung oleh kaidah-kaidah ilmu tafsir. Ini, dinamai tafsir bid-dinyah. Ketiga, melalui kesan yang diperoleh dari penggunaan kosa kata ayat atau bilangannya, yang dinamai tafsir bir-riwayah.
Kajian ini akan mencoba mencari substansi halal bihalal melalui Al-Quran dengan menitikberatkan pandangan pada cara yang ketiga.
Untuk maksud tersebut, tulisan ini akan berpangkal tolak pada beberapa istilah yang lumrah digunakan dalam konteks halal bihalal, yaitu Idul Fitri, halal bi halal, dan Minal 'Aidin wal-Faizin.
IDUL FITRI
Kata 'Id terambil dari akar kata yang berarti kembali, yakni kembali ke tempat atau ke keadaan semula. Ini berarti bahwa sesuatu yang "kembali" pada mulanya berada pada suatu keadaan atau tempat, kemudian meninggalkan tempat atau keadaan itu, lalu kembali dalam arti ke tempat dan keadaan semula.
Nah, apakah keadaan atau tempat semula itu?
Hal ini dijelaskan oleh kata fithr, yang antara lain berarti asal kejadian, agama yang benar, atau kesucian.
Dalam pandangan Al-Quran, asal kejadian manusia bebas dari dosa dan suci, sehingga 'idul fithr antara lain berarti kembalinya manusia kepada keadaan sucinya, atau keterbebasannya dari segala dosa dan noda, sehingga dengan demikian ia berada dalam kesucian.
Dosa memang mengakibatkan manusia menjauh dari posisinya semula. Baik kedekatan posisinya terhadap Allah maupun sesama manusia. Demikianlah salah satu kesan yang diperoleh dari sekian banyak ayat Al-Quran.
Ketika Adam dan Hawa berada di surga, Allah menyampaikan pesan yaitu, Janganlah mendekati pohon ini (QS Al-Baqarah [2]: 35). Namun, begitu keduanya melanggar perintah Allah (karena berdosa dengan memakan buah pohon itu), Al-Quran menyatakan, maka Tuhan mereka menyeru keduanya, "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua mendekati pohon itu?" (QS Al-A'raf [7] 22).
Kesan yang ditimbulkan oleh redaksi ayat-ayat di atas antara lain:
Pertama, bahwa sebelum terjadinya pelanggaran, Allah bersama Adam dan Hawa berada pada suatu posisi berdekatan, yakni masing-masing tidak jauh dari pohon terlarang. Karena itu, isyarat kata yang dipergunakan untuk menunjuk pohon adalah isyarat dekat, yakni "ini". Tetapi, ketika Adam dan Hawa melanggar, mereka berdua menjauh dari posisi semula, dan Allah pun demikian, sehingga Allah harus "menyeru mereka" (yakni berbicara dari tempat yang jauh), dan ini pula yang menyebabkan Tuhan menunjuk pohon terlarang itu dengan isyarat jauh, yakni "itu" (perhatikan kembali bunyi ayat-ayat di atas).
Di sini terlihat bahwa baik Adam maupun Allah masing-masing menjauh, tetapi jika mereka kembali, masing-masing akan mendekat sehingga pada akhirnya akan berada pada posisi semula. Memang, tegas Al-Quran,
Jika hamba-hamba-Ku (yang taat dan menyadari kesalahannya) bertanya kepadamu tentang Aku, sesunguhnya Aku dekat, dan memperkenankan permohonan jika mereka bermohon kepada-Ku (QS Al-Baqarah [2]: 186).
Kesadaran manusia terhadap kesalahannya mengantarkan Allah mendekat kepadanya. Pada gilirannya, hal itu akan menyebabkan manusia bertobat. Perlu diingat, bahwa tobat secara harfiah berarti kembali. Sehingga dengan demikian Allah pun akan kembali pada posisi semula. Al-Quran memperkenalkan dua pelaku tobat, yaitu manusia dan Allah Swt.
Adam menerima kalimat-kalimat dari Tuhannya, maka Dia (Allah) menerima tobatnya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima tobat lagi Maha Pengasih (QS Al-Baqarah [2]:37).
Walau bukan kembali dalam konteks memohon ampun, namun dapat diperoleh kesan dari firman-Nya yang menyatakan "Jikalau kamu kembali Kami pun akan kembali" (QS Al-Isra' [l7]: 8), bahwa Allah selalu rindu akan kembalinya manusia kepada-Nya.
Hadis Nabi Saw. pun menjelaskan bahwa Allah berfirman antara lain,
Apabila hamba-Ku mendekat kepada-Ku (Allah) sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Bila ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Bila ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang menemuinya dengan berlari (HR Bukhari dari Anas bin Malik).
Kegembiraan Allah itu tercermin dari hadis Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Saw. bersabda,
Allah lebih gembira karena tobatnya seseorang, pada saat ia bertobat dari salah seorang di antara kamu yang mengendarai binatang kendaraannya di padang pasir, kemudian binatang itu pergi menjauh padahal di pundak binatang itu terdapat makanan dan minumannya. Dia berputus asa untuk menemukannya kembali, hingga ia berbaring di bawah naungan pohon, dan tiba-tiba saja binatang tadi muncul di hadapannya. Lantas dia pun memegang tali kendalinya sambil berkata saking gembiranya, "Engkau adalah hambaku dan Aku Tuhanmu."
Dalam konteks hubungan manusia dengan sesamanya, dapat ditarik kesan dari penamaan manusia dengan kata al-Insan. Kata ini --menurut sebagian ulama-- terambil dari kata uns yang berarti senang atau harmonis. Sehingga dari sini dapat dipahami, bahwa pada dasarnya manusia selalu merasa senang dan memiliki potensi untuk menjalin hubungan harmonis antarsesamanya. Dengan melakukan dosa terhadap sesama manusia, hubungan tersebut menjadi terganggu dan tidak harmonis lagi. Namun manusia akan kembali ke posisi semula (harmonis) pada saat ia menyadari kesalahannya, dan berusaha mendekat kepada siapa yang pernah ia lukai hatinya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa idul fitri mengandung pesan agar yang merayakannya mewujudkan kedekatan kepada Allah dan sesama manusia. Kedekatan tersebut diperoleh antara lain dengan kesadaran terhadap kesalahan yang telah diperbuat.
HALAL BIHALAL
Kata halal dari segi hukum diartikan sebagai sesuatu yang bukan haram; sedangkan haram merupakan perbuatan yang mengakibatkan dosa dan ancaman siksa.
Hukum Islam memperkenalkan panca hukum yaitu: wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Empat yang pertama termasuk kelompok halal (termasuk yang makruh, dalam arti, yang dianjurkan untuk ditinggalkan). Nabi Saw. bersabda, "Abghadu al-halal ila Allah, ath-thalaq" (Halal yang paling dibenci Allah adalah pemutusan hubungan suami-istri).
Jikalau halal bi halal diartikan dalam konteks hukum, hal itu tidak akan menyebahkan lahirnya hubungan harmonis antarsesama, bahkan mungkin dalam beberapa hal dapat menimbulkan kebencian Allah kepada pelakunya. Karena itu, sebaiknya kata halal pada konteks halal bihalal tidak dipahami dalam bihalal pengertian hukum.
Dalam Al-Quran, kata halal terulang sebanyak enam kali. Dua di antaranya pada konteks kecaman, yaitu:
Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?" (QS Yunus [10]:59).
Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. (Itu adalah) kesenangan sementara yang sedikit, dan bagi mereka siksa yang pedih (QS Al-Nahl [16]: 116-117).
Kesan apakah yang dapat diperoleh dari ayat ini? Paling tidak, terdapat kecaman terhadap mereka yang mencampurbaurkan antara yang halal dan yang haram. Jika yang mencampurbaurkan saja telah dikecam dan diancam dengan siksa yang pedih, lebih-lebih lagi orang yang seluruh aktivitasnya adalah haram.
Empat halal lainnya yang tersebut dalam Al-Quran mempunyai dua ciri yang sama, yaitu:
a. Dikemukakan dalam konteks perintah makan (kulu),
b. Kata halal digandengkan dengan kata thayyibah (baik).
Perhatikan keempat ayat berikut:
Kulu mimma fil ardhi halalan thayyiban (Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi) (QS Al-Baqarah [2]: 168)
Wakulu mimma razaqakamullah halalan thayyiban... (Dan makanlah makanan yang halal lagi baik, dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu) (QS Al-Ma-idah [5]: 88)
Faku1u mimma ghanimtum halalan thayyiban (Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu) (QS Al-Anfal [8]: 69).
Fakulu mimma razaqakumullahu halalan thayyiban (Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu) (QS An-Nahl [16]: 114)
Kata makan dalam Al-Quran sering diartikan "melakukan aktivitas apa pun." Ini agaknya disebabkan karena makan merupakan sumber utama perolehan kalori yang dapat menghasilkan aktivitas. Dengan demikian, perintah makan dalam ayat-ayat di atas bermakna perintah melakukan aktivitas, sedangkan aktivitasnya tidak sekadar halal, tetapi juga harus thayyib (baik). Nah jika dikembalikan pada empat jenis halal yang diperkenalkan oleh hukum Islam, maka yang makruh tidak termasuk dalam kategori halalan thayyiban.
Al-Quran menyatakan secara tegas cinta Allah (Innallaha yuhib) sebanyak delapan belas kali, yang dapat dirinci sebagai berikut:
Masing-masing sekali untuk at-tawabin (orang yang bertobat), ash-shabirin (orang-orang sabar) dan shaffan wahida (orang yang berada dalam satu barisan/kesatuan).
Masing-masing dua kali terhadap al-mutawakkilin (orang yang berserah diri kepada Allah) dan al-mutathahirin (orang-orang yang menyucikan diri).
Masing-masing tiga kali terhadap al-muttaqin (orang yang bertakwa) dan al-muqsithin (orang yang berlaku adil), dan lima kali terhadap al-muhsinin.
Kesan yang ditimbulkan oleh angka-angka itu paling tidak mengisyaratkan bahwa sikap yang paling disenangi oleh Allah adalah al-muhsinin (orang-orang yang berbuat baik terhadap mereka yang pernah melakukan kesalahan). Hal ini sesuai sekali dengan perintah Al-Quran untuk melakukan perbuatan halal yang baik, tidak sekadar perbuatan halal (boleh), tetapi tidak menghasilkan kebaikan.
Dalam Al-Quran surat Ali-'Imran ayat 134 diisyaratkan tingkat-tingkat terjalinnya keserasian hubungan.
Mereka yang menafkahkan hartanya, baik pada saat keadaan mereka senang (lapang) maupun sulit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan orang-orang yang bersalah (bahkan berbuat baik terhadap mereka). Sesunguhnya Allah menyukai mereka yang berbuat baik (terhadap orang yang bersalah).
Di sini terbaca, bahwa tahap pertama adalah menahan amarah, tahap kedua memberi maaf, dan tahap berikutnya adalah berbuat baik terhadap orang yang bersalah.
MINAL 'AIDIN WAL FAIZIN
Salah satu ucapan populer dalam konteks Idul Fitri ada Minal 'Aidin wal Faizin.
Kata 'Aidin, adalah bentuk pelaku 'Id.
Kata al-faizin adalah bentuk jamak dari faiz, yang berarti orang yang beruntung. Kata ini terambil dari kata fauz yang berarti keberuntungan.
Dalam Al-Quran ditemukan sebanyak 29 kali kata tersebut dengan berbagai bentuknya. Masing-masing delapan belas kali pada bentuk kata jadian fauz/al-fauz (keberuntungan), tiga kali dalam bentuk mafaz (tempat keberuntungan), dua kali dalam bentuk kata kerja faza (beruntung), empat kali dengan bentuk al-faizin, dan hanya sekali dalam bentuk kata kerja tunggal yang menunjuk kepada orang pertama afuz (saya beruntung). Yang terakhir itu diucapkan oleh orang munafik yang menyesal karena tidak ikut berperang bersama-sama orang Islam, sehingga ia tidak memperoleh pembagian harta rampasan perang.
Sesungguhnya di antara kamu ada orang yang sangat berlambat-lambat ke medan perang. Maka jika kamu ditimpa musibah, mereka berkata, "Sesungguhnya Tuhan telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena tidak ikut menyaksikan (peperangan) bersama mereka." Sungguh, jika kamu memperoleh karunia (kemenangan dan harta rampasan perang) pasti dia berkata seolah-olah belum pernah ada hubungan kasih sayang di antara kamu dengan dia, "Aduhai" kiranya saya bersama mereka, tentu saya memperoleh keberuntungan yang besar (kemenangan dan harta rampasan perang)" (QS Al-Nisa' [4]: 72-73).
Kesan yang ditimbulkan ayat ini, antara lain adalah bahwa bagi orang munafik, keberuntungan adalah keuntungan material, dan popularitas, dan keberuntungan itu hanya ingin dinikmatinya sendiri. Keberuntungan orang lain bukan merupakan keberuntungan pula baginya. Itu antara lain yang menyebab dia dikecam oleh ayat di atas. Berbeda dengan petunjuk A1-Quran yang tidak mengaitkan keberuntungan dengan orang tertentu, dan kalaupun dikaitkan dengan orang-orang tertentu tidak ditujukan kepada individu perorangan, melainkan kepada bentuk kolektif (al-faizin atau al-faizun).
Yang tidak kurang pentingnya adalah makna keberuntungan. Dari ayat-ayat yang berbicara tentang al-fauz dalam berbagai bentuknya itu (kecuali surat Al-Nisa [73]), seluruhnya bermakna pengampunan Ilahi maupun kenikmatan surgawi, sebagai ganjaran ketaatan kepada Allah Swt. Perhatikan misalnya:
Penghuni surga adalah orang-orang yang beruntung Al-Hasyr [59]: 20).
Barangsiapa yang dijauhkan --walaupun sedikit-- dari neraka, dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dia telah beruntung (QS Ali 'Imran [3]: 185).
PENGAMPUNAN
Terdapat beberapa istilah yang digunakan Al-Quran untuk menyebutkan pengampunan (pembebasan dosa), dan upaya menjalin hubungan serasi antara manusia dengan Tuhannya, antara lain taba (tobat), 'afa (memaafkan), ghafara (mengampuni), kaffara (menutupi), dan shafah.
Masing-masing istilah digunakan untuk tujuan tertentu dan memberikan maksud yang berbeda.
a. Taubat (Tobat)
Terdahulu telah dikemukakan bahwa Al-Quran mengisyaratkan adanya dua pelaku tobat, yakni Allah dan manusia. Di sini dapat ditambahkan bahwa ada dua macam tobat (kembalinya) Allah. Pertama, lahir sebelum lahirnya tobat manusia secara aktual. Ketika itu ia baru dalam bentuk keinginan dan kesadaran tentang dosa-dosanya. Tobat pertama Tuhan ini antara lain tercermin dari firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 186,
Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat...
Kata 'ibadi (hamba-hamba-Ku) baik yang ditulis dengan memakai huruf Ya' (sebanyak 17 kali) maupun tidak (4 kali), semuanya digunakan untuk menunjukkan hamba Allah yang taat atau yang bergelimang di dalam dosa tetapi berkeinginan kembali kepada-Nya.
Perhatikan firman-Nya:
Masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku (QS Al-Fajr [89]: 29-30).
Dan firman-Nya:
Wahai hamba-hamba-Ku yang bergelimang dalam dosa (dan telah menyadari dosanya sehingga ingin kembali), janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah (QS Al-Zumar [39]: 53)
Surat Al-Baqarah ayat 186 di atas menjelaskan bahwa Allah dekat dengan hamba-hamba-Nya, walaupun mereka masih bergelimang dalam dosa dan maksiat tetapi telah memiliki kesadaran untuk bertobat.
Tobat Allah (kembalinya Allah) terhadap yang berkeinginan dekat kepada-Nya, lebih jelas terlihat pada ayat berikut:
Maka Adam menerima dan Tuhan-Nya (petunjuk) berupa kalimat-kalimat, dan Dia bertobat (mengampuninya) (QS Al-Baqarah [2]: 37).
Pemberian kalimat-kalimat itu memberi isyarat bahwa Allah membuka pintu tobat-Nya, dan memberi taufik kepada mereka yang berdosa, yang terketuk hatinya untuk kembali. "Penerimaan kalimat-kalimat dari Tuhan" itulah yang mengantarkan Adam mengajukan permohonan ampun kepada Allah.
Langkah pertama dari tobat Allah ini, antara lain dipahami pula dari redaksi-redaksi fashilat (penutup) ayat-ayat yang berbicara tentang tobat-Nya.
Perhatikanlah kedua ayat berikut ini:
Allah hendak menerangkan kepada kamu dan mengantarmu ke jalan orang-orang sebelum kamu (para Nabi dan orang-orang saleh) dan hendak menerima tobatmu. Allah Maha Mengetahui lagi Bijaksana (QS Al-Nisa' [4]: 261.
Maka barangsiapa bertobat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatannya, dan memperbaiki diri, sesungguhnya Allah bertobat kepadanya (menerima tobatnya). Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Al-Ma-idah [5]: 39).
Penutup surat An-Nisa ayat 26 mengisyaratkan langkah pertama tobat Allah, yang dilakukan-Nya kepada mereka yang diketahui terketuk hatinya atau memiliki kesadaran terhadap dosanya. Langkah tersebut dilakukan oleh Allah karena Dia Maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk bisikan-bisikan hati manusia, dan karena Dia Maha Bijaksana. Dalam posisi inilah Allah memberi petunjuk kepada Adam dengan kalimat-kalimat yang wajar diucapkan untuk memohon ampun, karena betapapun, manusia selalu membutuhkan petunjuk-Nya, lebih-lebih pada saat ia jauh dari Allah Swt.
Penutup surat Al-Ma-idah juga berbicara tentang tobat Allah, tetapi kali ini dia benar-benar telah "tobat" (kembali) ke posisi semula. Namun harus disadari bahwa hal ini baru terjadi jika sang hamba yang berdosa bertobat dan memperbaiki diri. Allah mendekatkan diri dan kembali ke posisi semula, disebabkan Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
b. Al-'Afw (Maaf)
Kata al-'afw terulang dalam Al-Quran sebanyak 34 kali. Kata ini pada mulanya berarti berlebihan, seperti firman-Nya:
Mereka bertanya kepadamu tentang hal yang mereka nafkahkan (kepada orang). Katakanlah, "al-'afw" (yang berlebih dari keperluan) (QS Al-Baqarah [2]: 219).
Yang berlebih seharusnya diberikan agar keluar. Keduanya menjadikan sesuatu yang tadinya berada di dalam (dimiliki) menjadi tidak di dalam dan tidak dimiliki lagi. Akhirnya kata al-'afw berkembang maknanya menjadi keterhapusan. Memaafkan, berarti menghapus luka atau bekas-bekas luka yang ada di dalam hati.
Membandingkan ayat-ayat yang berbicara tentang tobat dan maaf, ditemukan bahwa kebanyakan ayat tersebut didahului oleh usaha manusia untuk bertobat. Sebaliknya, tujuh ayat yang menggunakan kata 'afa, dan berbicara tentang pemaafan semuanya dikemukakan tanpa adanya usaha terlebih dahulu dari orang yang bersalah. Perhatikan ayat-ayat berikut:
Allah mengetahui bahwa kamu tadinya mengkhianati dirimu sendiri (tidak dapat menahan nafsumu sehingga bersetubuh di malam hari bulan Ramadhan dengan dugaan bahwa itu haram) maka Allah memaafkan kamu (QS Al-Baqarah [2]: 187).
Allah memaafkan kamu, mengapa engkau memberi izin kepada mereka, sebelum engkau mengetahui orang-orang yang benar (dalam alasannya) dan sebelum engkau mengetahui pula para pembohong? (QS Al-Tawbah [9]: 43).
Balasan terhadap kejahatan adalah pembalasan yang setimpal, tetapi barangsiapa yang memaafkan dan berbuat baik, ganjarannya ditanggung oleh Allah (QS Al-Syura [42]: 40).
Perhatikan juga firman-Nya dalam surat Ali-'Imran ayat 152 dan 155, juga Al-Maidah ayat 95 dan 101. Ternyata tidak ditemukan satu ayat pun yang menganjurkan agar meminta maaf, tetapi yang ada adalah perintah untuk memberi maaf.
Hendaklah mereka memberi maaf dan melapangkan dada. Tidakkah kamu ingin diampuni oleh Allah? (QS Al-Nur [24): 22).
Kesan yang disampaikan oleh ayat-ayat ini adalah anjuran untuk tidak menanti permohonan maaf dari orang yang bersalah, melainkan hendaknya memberi maaf sebelum diminta. Mereka yang enggan memberi maaf pada hakikatnya enggan memperoleh pengampunan dari Allah Swt. Tidak ada alasan untuk berkata, "Tiada maaf bagimu", karena segalanya telah dijamin dan ditanggung oleh Allah Swt.
Perlu dicatat pula, bahwa pemaafan yang dimaksud bukan hanya menyangkut dosa atau kesalahan kecil, tetapi juga untuk dosa dan kesalahan-kesalahan besar.
Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 51-52, berbicara tentang pemaafan Allah bagi umat Nabi Musa a.s. yang mempertuhankan lembu:
Dan (ingatlah) ketika Kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah empat puluh hari, lalu kamu menjadikan anak lembu (yang dibuat dari emas) untuk disembah sepeninggalnya, dan kamu adalah orang-orang yang zalim. Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu, agar kamu bersyukur (QS Al-Baqarah [2]:51-52).
c. Al-Shafh (Lapang Dada)
Kata al-shafh dalam berbagai bentuk terulang sebanyak delapan kali dalam Al-Quran. Kata ini pada mulanya berarti lapang. Halaman pada sebuah buku dinamai shafhat karena kelapangan dan keluasannya.
Dari sini, al-shafh dapat diartikan kelapangan dada. Berjabat tangan dinamai mushafahat karena melakukannya menjadi perlambang kelapangan dada.
Dari delapan kali bentuk al-shafh yang dikemukakan, empat di antaranya didahului oleh perintah memberi maaf.
Perhatikan ayat-ayat berikut:
Apabila kamu memaafkan, dan melapangkan dada serta melindungi, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang (QS Al-Thaghabun [64]: 14).
Hendaklah mereka memaafkan dan melapangkan dada! Apakah kamu tidak ingin diampuni oleh Allah? (QS Al-Nur [24]:22) .
Maafkanlah mereka dan lapangkan dada. Sesungguhnya Allah cinta kepada orang-orang yang berbuat kebajikan (terhadap yang melakukan kesalahan kepadanya) (QS Al-Ma-idah [5]: l3. Juga baca surat Al-Baqarah [2]:l09).
Ulama-ulama Al-Quran seperti Ar-Raghib Al-Isfahani menyatakan bahwa al-shafa lebih tinggi kedudukannya dari al-'afw (maaf). Pernyataan yang dikemukakan itu dapat dipahami melalui alasan kebahasaan sebagai berikut:
Seperti dikemukakan terdahulu dari kata al-shafh lahirlah shafhat yang berarti halaman. Jika Anda memiliki selembar kertas yang ditulisi suatu kesalahan, lantas kesalahan itu ditulis dengan pensil, Anda tentu dapat mengambil penghapus karet untuk menghapusnya. Seperti demikianlah ketika Anda melakukan 'afw (memberi maaf). Seandainya kesalahan pada kertas itu ditulis dengan tinta, tentu Anda akan menghapusnya dengan Tipp Ex agar tidak terlihat lagi, dan di sini Anda melakukan takfir seperti yang akan dijelaskan kemudian. Betapapun Anda menghapus bekas kesalahan, namun pasti sedikit banyak, lembaran tersebut tidak lagi sama sepenuhnya dengan lembaran baru. Malah barangkali kertas itu menjadi kusut. Nah, di sinilah letak perbedaan antara al-shafh yang mengandung arti lapang dan lembaran baru dengan takfir. Al-Shafh menuntut seseorang untuk membuka lembaran baru hingga sedikit pun hubungan tidak ternodai, tidak kusut, dan tidak seperti halaman yang telah dihapus kesalahannya.
Mushafahat (jabat tangan) adalah lambang kesediaan seseorang untuk membuka lembaran baru, dan tidak mengingat atau menggunakan lagi lembaran lama. Sebab, walaupun kesalahan telah dihapus, kadang-kadang masih saja ada kekusutan masalah.
Tadi telah dikemukakan bahwa memberi maaf dilanjutkan dengan perintah al-shafh. Perintah memaafkan tetap diperlukan, karena tidak mungkin membuka lembaran baru dengan membiarkan lembar yang telah ada kesalahannya tanpa terhapus. Itu sebabnya ayat-ayat yang memerintahkan al-shafh tetapi tidak didahului oleh perintah memberi maaf, dirangkaikan dengan jamil yang berarti indah. Selain itu, al-shafh juga dirangkaikan dengan perintah menyatakan kedamaian dan keselamatan bagi semua pihak (perhatikan firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-Hijr [15]: 85, serta Al-Zukhruf [43]: 89):
Berlapang dadalah terhadap mereka dengan cara yang baik (Al-Hijri [5]: 85).
Berlapang dadalah terhadap mereka dengan mengatakan salam/kedamaian (QS Al-Zukhruf [43]: 84).
d. Al-Ghufran
Al-ghufran terambil dari kata kerja ghafara yang pada mulanya berarti menutup. Rambut putih yang disemir hingga tertutup putihnya disebutkan dengan ghafara asy-sya'ra. Dari akar kata yang sama, lahir kata ghifarah, yang berarti sepotong kain yang menghalangi kerudung sehingga tidak ternodai oleh minyak rambut. Maghfirah Ilahi adalah "perlindungan-Nya dari siksa neraka."
Dalam Al-Quran surat Ali Imran (3): 31 dinyatakannya bahwa,
Katakanlah, "Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan menutupi dosa-dosamu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Kemudian dalam Al-Quran surat Al-Anfal (8): 29, dinyatakan,
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan (petunjuk membedakan yang hak dan yang batil), dan menghapuskan kesalahan-kesalahan kamu, serta yaghfir lakum (melindungi kamu dari siksa). Dan Allah mempunyai karunia yang besar.
Dari kedua ayat di atas terlihat, bahwa kata yaghfir bila dirangkaikan dengan menyebutkan dosa, berarti menutup dosa dengan sesuatu. Sedangkan bila tidak dirangkaikan dengan menyebutkan dosa --sebagaimana ditunjukkan dalam surat Al-Anfal ayat 29-- berarti melindungi manusia dari siksa atau bencana. Baik dalam konteks pertama maupun konteks kedua, ayat-ayat tersebut memperlihatkan bahwa ghufran (pengampunan atau perlindungan) tidak dapat diperoleh kecuali setelah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Dari kedua ayat tersebut juga terbaca bahwa syarat penutupan dosa dan perlindungan dari siksa adalah berbuat kebajikan. Di sini terlihat salah satu perbedaan antara al-'afw (maaf) dengan ghufran. Karena itu, ditemukan ayat yang menggabungkan keduanya, yakni:
Hapuskanlah dosa kami, lindungilah kami, dan rahmatilah kami (QS Al-Baqarah [2]: 286).
TAKFIR
Untuk menutup dosa dengan pekerjaan tertentu, Al-Quran juga menggunakan istilah takfir. Kata ini, terambil dari kata kaffara yang berarti menutup.
Al-Quran mempergunakan kata kaffara dengan berbagai bentuknya sebanyak 14 kali (kecuali kaffarat), pelakunya adalah Allah Swt.
Yang empat kali itu selalu digandengkan dengan syarat melakukan amal-amal saleh, atau upaya meninggalkan dosa-dosa besar.
Perhatikan misalnya firman Allah:
Apabila kamu menghindari dosa-dosa besar yang dilarang untuk melakukannya, akan Kami tutupi kesalahan-kesalahanmu (QS Al-Nisa' [4]: 3l).
Orang-orang yang beriman dengan beramal saleh pasti Kami tutupi kesalahan-kesalahan mereka ... (QS Al-'Ankabut [29]: 7)
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan beramal saleh, ditutupi kesalahan-kesalahannya (QS Al-Taghabun [64]: 9).
Dari keempat belas kali yang disebut itu, teramati pula tiga belas di antaranya dirangkaikan dengan kata as-sayyiat yang diterjemahkan sebagai kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa kecil. Hanya satu ayat yang tidak menyebutkan kata as-sayyiat, melainkan menggunakan istilah aswa' alladzi 'amilu (perbuatan terjelek yang mereka lakukan), yang pada hakikatnya dapat juga diartikan sebagai dosa-dosa kecil.
Nah, dari sini dapat dipahami bahwa dosa-dosa kecil seseorang dapat ditoleransi oleh Allah Swt. akibat adanya amal-amal saleh yang menutupinya .
Dalam konteks ini Nabi Saw. berpesan,
Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada, dan susulkanlah kesalahan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu menghapusnya dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik. (HR At-Tirmidzi melalui sahabat Nabi Abu Dzar).
Demikian sedikit dan banyak kesan yang dapat diperoleh dari ayat-ayat Al-Quran berkaitan dengan halal-bihalal/maaf-memaafkan. []
Al-Quran adalah kitab rujukan untuk memperoleh petunjuk dan bimbingan agama. Ada tiga cara yang diperkenalkan ulama untuk memperoleh pesan-pesan kitab suci itu. Pertama, melalui penjelasan Nabi Saw., para sahabat beliau, dan murid-murid mereka. Hal ini dinamai tafsir bir-riwayah. Kedua, melalui analisis kebahasaan dengan menggunakan nalar yang didukung oleh kaidah-kaidah ilmu tafsir. Ini, dinamai tafsir bid-dinyah. Ketiga, melalui kesan yang diperoleh dari penggunaan kosa kata ayat atau bilangannya, yang dinamai tafsir bir-riwayah.
Kajian ini akan mencoba mencari substansi halal bihalal melalui Al-Quran dengan menitikberatkan pandangan pada cara yang ketiga.
Untuk maksud tersebut, tulisan ini akan berpangkal tolak pada beberapa istilah yang lumrah digunakan dalam konteks halal bihalal, yaitu Idul Fitri, halal bi halal, dan Minal 'Aidin wal-Faizin.
IDUL FITRI
Kata 'Id terambil dari akar kata yang berarti kembali, yakni kembali ke tempat atau ke keadaan semula. Ini berarti bahwa sesuatu yang "kembali" pada mulanya berada pada suatu keadaan atau tempat, kemudian meninggalkan tempat atau keadaan itu, lalu kembali dalam arti ke tempat dan keadaan semula.
Nah, apakah keadaan atau tempat semula itu?
Hal ini dijelaskan oleh kata fithr, yang antara lain berarti asal kejadian, agama yang benar, atau kesucian.
Dalam pandangan Al-Quran, asal kejadian manusia bebas dari dosa dan suci, sehingga 'idul fithr antara lain berarti kembalinya manusia kepada keadaan sucinya, atau keterbebasannya dari segala dosa dan noda, sehingga dengan demikian ia berada dalam kesucian.
Dosa memang mengakibatkan manusia menjauh dari posisinya semula. Baik kedekatan posisinya terhadap Allah maupun sesama manusia. Demikianlah salah satu kesan yang diperoleh dari sekian banyak ayat Al-Quran.
Ketika Adam dan Hawa berada di surga, Allah menyampaikan pesan yaitu, Janganlah mendekati pohon ini (QS Al-Baqarah [2]: 35). Namun, begitu keduanya melanggar perintah Allah (karena berdosa dengan memakan buah pohon itu), Al-Quran menyatakan, maka Tuhan mereka menyeru keduanya, "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua mendekati pohon itu?" (QS Al-A'raf [7] 22).
Kesan yang ditimbulkan oleh redaksi ayat-ayat di atas antara lain:
Pertama, bahwa sebelum terjadinya pelanggaran, Allah bersama Adam dan Hawa berada pada suatu posisi berdekatan, yakni masing-masing tidak jauh dari pohon terlarang. Karena itu, isyarat kata yang dipergunakan untuk menunjuk pohon adalah isyarat dekat, yakni "ini". Tetapi, ketika Adam dan Hawa melanggar, mereka berdua menjauh dari posisi semula, dan Allah pun demikian, sehingga Allah harus "menyeru mereka" (yakni berbicara dari tempat yang jauh), dan ini pula yang menyebabkan Tuhan menunjuk pohon terlarang itu dengan isyarat jauh, yakni "itu" (perhatikan kembali bunyi ayat-ayat di atas).
Di sini terlihat bahwa baik Adam maupun Allah masing-masing menjauh, tetapi jika mereka kembali, masing-masing akan mendekat sehingga pada akhirnya akan berada pada posisi semula. Memang, tegas Al-Quran,
Jika hamba-hamba-Ku (yang taat dan menyadari kesalahannya) bertanya kepadamu tentang Aku, sesunguhnya Aku dekat, dan memperkenankan permohonan jika mereka bermohon kepada-Ku (QS Al-Baqarah [2]: 186).
Kesadaran manusia terhadap kesalahannya mengantarkan Allah mendekat kepadanya. Pada gilirannya, hal itu akan menyebabkan manusia bertobat. Perlu diingat, bahwa tobat secara harfiah berarti kembali. Sehingga dengan demikian Allah pun akan kembali pada posisi semula. Al-Quran memperkenalkan dua pelaku tobat, yaitu manusia dan Allah Swt.
Adam menerima kalimat-kalimat dari Tuhannya, maka Dia (Allah) menerima tobatnya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima tobat lagi Maha Pengasih (QS Al-Baqarah [2]:37).
Walau bukan kembali dalam konteks memohon ampun, namun dapat diperoleh kesan dari firman-Nya yang menyatakan "Jikalau kamu kembali Kami pun akan kembali" (QS Al-Isra' [l7]: 8), bahwa Allah selalu rindu akan kembalinya manusia kepada-Nya.
Hadis Nabi Saw. pun menjelaskan bahwa Allah berfirman antara lain,
Apabila hamba-Ku mendekat kepada-Ku (Allah) sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Bila ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Bila ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang menemuinya dengan berlari (HR Bukhari dari Anas bin Malik).
Kegembiraan Allah itu tercermin dari hadis Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Saw. bersabda,
Allah lebih gembira karena tobatnya seseorang, pada saat ia bertobat dari salah seorang di antara kamu yang mengendarai binatang kendaraannya di padang pasir, kemudian binatang itu pergi menjauh padahal di pundak binatang itu terdapat makanan dan minumannya. Dia berputus asa untuk menemukannya kembali, hingga ia berbaring di bawah naungan pohon, dan tiba-tiba saja binatang tadi muncul di hadapannya. Lantas dia pun memegang tali kendalinya sambil berkata saking gembiranya, "Engkau adalah hambaku dan Aku Tuhanmu."
Dalam konteks hubungan manusia dengan sesamanya, dapat ditarik kesan dari penamaan manusia dengan kata al-Insan. Kata ini --menurut sebagian ulama-- terambil dari kata uns yang berarti senang atau harmonis. Sehingga dari sini dapat dipahami, bahwa pada dasarnya manusia selalu merasa senang dan memiliki potensi untuk menjalin hubungan harmonis antarsesamanya. Dengan melakukan dosa terhadap sesama manusia, hubungan tersebut menjadi terganggu dan tidak harmonis lagi. Namun manusia akan kembali ke posisi semula (harmonis) pada saat ia menyadari kesalahannya, dan berusaha mendekat kepada siapa yang pernah ia lukai hatinya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa idul fitri mengandung pesan agar yang merayakannya mewujudkan kedekatan kepada Allah dan sesama manusia. Kedekatan tersebut diperoleh antara lain dengan kesadaran terhadap kesalahan yang telah diperbuat.
HALAL BIHALAL
Kata halal dari segi hukum diartikan sebagai sesuatu yang bukan haram; sedangkan haram merupakan perbuatan yang mengakibatkan dosa dan ancaman siksa.
Hukum Islam memperkenalkan panca hukum yaitu: wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Empat yang pertama termasuk kelompok halal (termasuk yang makruh, dalam arti, yang dianjurkan untuk ditinggalkan). Nabi Saw. bersabda, "Abghadu al-halal ila Allah, ath-thalaq" (Halal yang paling dibenci Allah adalah pemutusan hubungan suami-istri).
Jikalau halal bi halal diartikan dalam konteks hukum, hal itu tidak akan menyebahkan lahirnya hubungan harmonis antarsesama, bahkan mungkin dalam beberapa hal dapat menimbulkan kebencian Allah kepada pelakunya. Karena itu, sebaiknya kata halal pada konteks halal bihalal tidak dipahami dalam bihalal pengertian hukum.
Dalam Al-Quran, kata halal terulang sebanyak enam kali. Dua di antaranya pada konteks kecaman, yaitu:
Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?" (QS Yunus [10]:59).
Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. (Itu adalah) kesenangan sementara yang sedikit, dan bagi mereka siksa yang pedih (QS Al-Nahl [16]: 116-117).
Kesan apakah yang dapat diperoleh dari ayat ini? Paling tidak, terdapat kecaman terhadap mereka yang mencampurbaurkan antara yang halal dan yang haram. Jika yang mencampurbaurkan saja telah dikecam dan diancam dengan siksa yang pedih, lebih-lebih lagi orang yang seluruh aktivitasnya adalah haram.
Empat halal lainnya yang tersebut dalam Al-Quran mempunyai dua ciri yang sama, yaitu:
a. Dikemukakan dalam konteks perintah makan (kulu),
b. Kata halal digandengkan dengan kata thayyibah (baik).
Perhatikan keempat ayat berikut:
Kulu mimma fil ardhi halalan thayyiban (Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi) (QS Al-Baqarah [2]: 168)
Wakulu mimma razaqakamullah halalan thayyiban... (Dan makanlah makanan yang halal lagi baik, dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu) (QS Al-Ma-idah [5]: 88)
Faku1u mimma ghanimtum halalan thayyiban (Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu) (QS Al-Anfal [8]: 69).
Fakulu mimma razaqakumullahu halalan thayyiban (Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu) (QS An-Nahl [16]: 114)
Kata makan dalam Al-Quran sering diartikan "melakukan aktivitas apa pun." Ini agaknya disebabkan karena makan merupakan sumber utama perolehan kalori yang dapat menghasilkan aktivitas. Dengan demikian, perintah makan dalam ayat-ayat di atas bermakna perintah melakukan aktivitas, sedangkan aktivitasnya tidak sekadar halal, tetapi juga harus thayyib (baik). Nah jika dikembalikan pada empat jenis halal yang diperkenalkan oleh hukum Islam, maka yang makruh tidak termasuk dalam kategori halalan thayyiban.
Al-Quran menyatakan secara tegas cinta Allah (Innallaha yuhib) sebanyak delapan belas kali, yang dapat dirinci sebagai berikut:
Masing-masing sekali untuk at-tawabin (orang yang bertobat), ash-shabirin (orang-orang sabar) dan shaffan wahida (orang yang berada dalam satu barisan/kesatuan).
Masing-masing dua kali terhadap al-mutawakkilin (orang yang berserah diri kepada Allah) dan al-mutathahirin (orang-orang yang menyucikan diri).
Masing-masing tiga kali terhadap al-muttaqin (orang yang bertakwa) dan al-muqsithin (orang yang berlaku adil), dan lima kali terhadap al-muhsinin.
Kesan yang ditimbulkan oleh angka-angka itu paling tidak mengisyaratkan bahwa sikap yang paling disenangi oleh Allah adalah al-muhsinin (orang-orang yang berbuat baik terhadap mereka yang pernah melakukan kesalahan). Hal ini sesuai sekali dengan perintah Al-Quran untuk melakukan perbuatan halal yang baik, tidak sekadar perbuatan halal (boleh), tetapi tidak menghasilkan kebaikan.
Dalam Al-Quran surat Ali-'Imran ayat 134 diisyaratkan tingkat-tingkat terjalinnya keserasian hubungan.
Mereka yang menafkahkan hartanya, baik pada saat keadaan mereka senang (lapang) maupun sulit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan orang-orang yang bersalah (bahkan berbuat baik terhadap mereka). Sesunguhnya Allah menyukai mereka yang berbuat baik (terhadap orang yang bersalah).
Di sini terbaca, bahwa tahap pertama adalah menahan amarah, tahap kedua memberi maaf, dan tahap berikutnya adalah berbuat baik terhadap orang yang bersalah.
MINAL 'AIDIN WAL FAIZIN
Salah satu ucapan populer dalam konteks Idul Fitri ada Minal 'Aidin wal Faizin.
Kata 'Aidin, adalah bentuk pelaku 'Id.
Kata al-faizin adalah bentuk jamak dari faiz, yang berarti orang yang beruntung. Kata ini terambil dari kata fauz yang berarti keberuntungan.
Dalam Al-Quran ditemukan sebanyak 29 kali kata tersebut dengan berbagai bentuknya. Masing-masing delapan belas kali pada bentuk kata jadian fauz/al-fauz (keberuntungan), tiga kali dalam bentuk mafaz (tempat keberuntungan), dua kali dalam bentuk kata kerja faza (beruntung), empat kali dengan bentuk al-faizin, dan hanya sekali dalam bentuk kata kerja tunggal yang menunjuk kepada orang pertama afuz (saya beruntung). Yang terakhir itu diucapkan oleh orang munafik yang menyesal karena tidak ikut berperang bersama-sama orang Islam, sehingga ia tidak memperoleh pembagian harta rampasan perang.
Sesungguhnya di antara kamu ada orang yang sangat berlambat-lambat ke medan perang. Maka jika kamu ditimpa musibah, mereka berkata, "Sesungguhnya Tuhan telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena tidak ikut menyaksikan (peperangan) bersama mereka." Sungguh, jika kamu memperoleh karunia (kemenangan dan harta rampasan perang) pasti dia berkata seolah-olah belum pernah ada hubungan kasih sayang di antara kamu dengan dia, "Aduhai" kiranya saya bersama mereka, tentu saya memperoleh keberuntungan yang besar (kemenangan dan harta rampasan perang)" (QS Al-Nisa' [4]: 72-73).
Kesan yang ditimbulkan ayat ini, antara lain adalah bahwa bagi orang munafik, keberuntungan adalah keuntungan material, dan popularitas, dan keberuntungan itu hanya ingin dinikmatinya sendiri. Keberuntungan orang lain bukan merupakan keberuntungan pula baginya. Itu antara lain yang menyebab dia dikecam oleh ayat di atas. Berbeda dengan petunjuk A1-Quran yang tidak mengaitkan keberuntungan dengan orang tertentu, dan kalaupun dikaitkan dengan orang-orang tertentu tidak ditujukan kepada individu perorangan, melainkan kepada bentuk kolektif (al-faizin atau al-faizun).
Yang tidak kurang pentingnya adalah makna keberuntungan. Dari ayat-ayat yang berbicara tentang al-fauz dalam berbagai bentuknya itu (kecuali surat Al-Nisa [73]), seluruhnya bermakna pengampunan Ilahi maupun kenikmatan surgawi, sebagai ganjaran ketaatan kepada Allah Swt. Perhatikan misalnya:
Penghuni surga adalah orang-orang yang beruntung Al-Hasyr [59]: 20).
Barangsiapa yang dijauhkan --walaupun sedikit-- dari neraka, dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dia telah beruntung (QS Ali 'Imran [3]: 185).
PENGAMPUNAN
Terdapat beberapa istilah yang digunakan Al-Quran untuk menyebutkan pengampunan (pembebasan dosa), dan upaya menjalin hubungan serasi antara manusia dengan Tuhannya, antara lain taba (tobat), 'afa (memaafkan), ghafara (mengampuni), kaffara (menutupi), dan shafah.
Masing-masing istilah digunakan untuk tujuan tertentu dan memberikan maksud yang berbeda.
a. Taubat (Tobat)
Terdahulu telah dikemukakan bahwa Al-Quran mengisyaratkan adanya dua pelaku tobat, yakni Allah dan manusia. Di sini dapat ditambahkan bahwa ada dua macam tobat (kembalinya) Allah. Pertama, lahir sebelum lahirnya tobat manusia secara aktual. Ketika itu ia baru dalam bentuk keinginan dan kesadaran tentang dosa-dosanya. Tobat pertama Tuhan ini antara lain tercermin dari firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 186,
Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat...
Kata 'ibadi (hamba-hamba-Ku) baik yang ditulis dengan memakai huruf Ya' (sebanyak 17 kali) maupun tidak (4 kali), semuanya digunakan untuk menunjukkan hamba Allah yang taat atau yang bergelimang di dalam dosa tetapi berkeinginan kembali kepada-Nya.
Perhatikan firman-Nya:
Masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku (QS Al-Fajr [89]: 29-30).
Dan firman-Nya:
Wahai hamba-hamba-Ku yang bergelimang dalam dosa (dan telah menyadari dosanya sehingga ingin kembali), janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah (QS Al-Zumar [39]: 53)
Surat Al-Baqarah ayat 186 di atas menjelaskan bahwa Allah dekat dengan hamba-hamba-Nya, walaupun mereka masih bergelimang dalam dosa dan maksiat tetapi telah memiliki kesadaran untuk bertobat.
Tobat Allah (kembalinya Allah) terhadap yang berkeinginan dekat kepada-Nya, lebih jelas terlihat pada ayat berikut:
Maka Adam menerima dan Tuhan-Nya (petunjuk) berupa kalimat-kalimat, dan Dia bertobat (mengampuninya) (QS Al-Baqarah [2]: 37).
Pemberian kalimat-kalimat itu memberi isyarat bahwa Allah membuka pintu tobat-Nya, dan memberi taufik kepada mereka yang berdosa, yang terketuk hatinya untuk kembali. "Penerimaan kalimat-kalimat dari Tuhan" itulah yang mengantarkan Adam mengajukan permohonan ampun kepada Allah.
Langkah pertama dari tobat Allah ini, antara lain dipahami pula dari redaksi-redaksi fashilat (penutup) ayat-ayat yang berbicara tentang tobat-Nya.
Perhatikanlah kedua ayat berikut ini:
Allah hendak menerangkan kepada kamu dan mengantarmu ke jalan orang-orang sebelum kamu (para Nabi dan orang-orang saleh) dan hendak menerima tobatmu. Allah Maha Mengetahui lagi Bijaksana (QS Al-Nisa' [4]: 261.
Maka barangsiapa bertobat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatannya, dan memperbaiki diri, sesungguhnya Allah bertobat kepadanya (menerima tobatnya). Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Al-Ma-idah [5]: 39).
Penutup surat An-Nisa ayat 26 mengisyaratkan langkah pertama tobat Allah, yang dilakukan-Nya kepada mereka yang diketahui terketuk hatinya atau memiliki kesadaran terhadap dosanya. Langkah tersebut dilakukan oleh Allah karena Dia Maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk bisikan-bisikan hati manusia, dan karena Dia Maha Bijaksana. Dalam posisi inilah Allah memberi petunjuk kepada Adam dengan kalimat-kalimat yang wajar diucapkan untuk memohon ampun, karena betapapun, manusia selalu membutuhkan petunjuk-Nya, lebih-lebih pada saat ia jauh dari Allah Swt.
Penutup surat Al-Ma-idah juga berbicara tentang tobat Allah, tetapi kali ini dia benar-benar telah "tobat" (kembali) ke posisi semula. Namun harus disadari bahwa hal ini baru terjadi jika sang hamba yang berdosa bertobat dan memperbaiki diri. Allah mendekatkan diri dan kembali ke posisi semula, disebabkan Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
b. Al-'Afw (Maaf)
Kata al-'afw terulang dalam Al-Quran sebanyak 34 kali. Kata ini pada mulanya berarti berlebihan, seperti firman-Nya:
Mereka bertanya kepadamu tentang hal yang mereka nafkahkan (kepada orang). Katakanlah, "al-'afw" (yang berlebih dari keperluan) (QS Al-Baqarah [2]: 219).
Yang berlebih seharusnya diberikan agar keluar. Keduanya menjadikan sesuatu yang tadinya berada di dalam (dimiliki) menjadi tidak di dalam dan tidak dimiliki lagi. Akhirnya kata al-'afw berkembang maknanya menjadi keterhapusan. Memaafkan, berarti menghapus luka atau bekas-bekas luka yang ada di dalam hati.
Membandingkan ayat-ayat yang berbicara tentang tobat dan maaf, ditemukan bahwa kebanyakan ayat tersebut didahului oleh usaha manusia untuk bertobat. Sebaliknya, tujuh ayat yang menggunakan kata 'afa, dan berbicara tentang pemaafan semuanya dikemukakan tanpa adanya usaha terlebih dahulu dari orang yang bersalah. Perhatikan ayat-ayat berikut:
Allah mengetahui bahwa kamu tadinya mengkhianati dirimu sendiri (tidak dapat menahan nafsumu sehingga bersetubuh di malam hari bulan Ramadhan dengan dugaan bahwa itu haram) maka Allah memaafkan kamu (QS Al-Baqarah [2]: 187).
Allah memaafkan kamu, mengapa engkau memberi izin kepada mereka, sebelum engkau mengetahui orang-orang yang benar (dalam alasannya) dan sebelum engkau mengetahui pula para pembohong? (QS Al-Tawbah [9]: 43).
Balasan terhadap kejahatan adalah pembalasan yang setimpal, tetapi barangsiapa yang memaafkan dan berbuat baik, ganjarannya ditanggung oleh Allah (QS Al-Syura [42]: 40).
Perhatikan juga firman-Nya dalam surat Ali-'Imran ayat 152 dan 155, juga Al-Maidah ayat 95 dan 101. Ternyata tidak ditemukan satu ayat pun yang menganjurkan agar meminta maaf, tetapi yang ada adalah perintah untuk memberi maaf.
Hendaklah mereka memberi maaf dan melapangkan dada. Tidakkah kamu ingin diampuni oleh Allah? (QS Al-Nur [24): 22).
Kesan yang disampaikan oleh ayat-ayat ini adalah anjuran untuk tidak menanti permohonan maaf dari orang yang bersalah, melainkan hendaknya memberi maaf sebelum diminta. Mereka yang enggan memberi maaf pada hakikatnya enggan memperoleh pengampunan dari Allah Swt. Tidak ada alasan untuk berkata, "Tiada maaf bagimu", karena segalanya telah dijamin dan ditanggung oleh Allah Swt.
Perlu dicatat pula, bahwa pemaafan yang dimaksud bukan hanya menyangkut dosa atau kesalahan kecil, tetapi juga untuk dosa dan kesalahan-kesalahan besar.
Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 51-52, berbicara tentang pemaafan Allah bagi umat Nabi Musa a.s. yang mempertuhankan lembu:
Dan (ingatlah) ketika Kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah empat puluh hari, lalu kamu menjadikan anak lembu (yang dibuat dari emas) untuk disembah sepeninggalnya, dan kamu adalah orang-orang yang zalim. Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu, agar kamu bersyukur (QS Al-Baqarah [2]:51-52).
c. Al-Shafh (Lapang Dada)
Kata al-shafh dalam berbagai bentuk terulang sebanyak delapan kali dalam Al-Quran. Kata ini pada mulanya berarti lapang. Halaman pada sebuah buku dinamai shafhat karena kelapangan dan keluasannya.
Dari sini, al-shafh dapat diartikan kelapangan dada. Berjabat tangan dinamai mushafahat karena melakukannya menjadi perlambang kelapangan dada.
Dari delapan kali bentuk al-shafh yang dikemukakan, empat di antaranya didahului oleh perintah memberi maaf.
Perhatikan ayat-ayat berikut:
Apabila kamu memaafkan, dan melapangkan dada serta melindungi, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang (QS Al-Thaghabun [64]: 14).
Hendaklah mereka memaafkan dan melapangkan dada! Apakah kamu tidak ingin diampuni oleh Allah? (QS Al-Nur [24]:22) .
Maafkanlah mereka dan lapangkan dada. Sesungguhnya Allah cinta kepada orang-orang yang berbuat kebajikan (terhadap yang melakukan kesalahan kepadanya) (QS Al-Ma-idah [5]: l3. Juga baca surat Al-Baqarah [2]:l09).
Ulama-ulama Al-Quran seperti Ar-Raghib Al-Isfahani menyatakan bahwa al-shafa lebih tinggi kedudukannya dari al-'afw (maaf). Pernyataan yang dikemukakan itu dapat dipahami melalui alasan kebahasaan sebagai berikut:
Seperti dikemukakan terdahulu dari kata al-shafh lahirlah shafhat yang berarti halaman. Jika Anda memiliki selembar kertas yang ditulisi suatu kesalahan, lantas kesalahan itu ditulis dengan pensil, Anda tentu dapat mengambil penghapus karet untuk menghapusnya. Seperti demikianlah ketika Anda melakukan 'afw (memberi maaf). Seandainya kesalahan pada kertas itu ditulis dengan tinta, tentu Anda akan menghapusnya dengan Tipp Ex agar tidak terlihat lagi, dan di sini Anda melakukan takfir seperti yang akan dijelaskan kemudian. Betapapun Anda menghapus bekas kesalahan, namun pasti sedikit banyak, lembaran tersebut tidak lagi sama sepenuhnya dengan lembaran baru. Malah barangkali kertas itu menjadi kusut. Nah, di sinilah letak perbedaan antara al-shafh yang mengandung arti lapang dan lembaran baru dengan takfir. Al-Shafh menuntut seseorang untuk membuka lembaran baru hingga sedikit pun hubungan tidak ternodai, tidak kusut, dan tidak seperti halaman yang telah dihapus kesalahannya.
Mushafahat (jabat tangan) adalah lambang kesediaan seseorang untuk membuka lembaran baru, dan tidak mengingat atau menggunakan lagi lembaran lama. Sebab, walaupun kesalahan telah dihapus, kadang-kadang masih saja ada kekusutan masalah.
Tadi telah dikemukakan bahwa memberi maaf dilanjutkan dengan perintah al-shafh. Perintah memaafkan tetap diperlukan, karena tidak mungkin membuka lembaran baru dengan membiarkan lembar yang telah ada kesalahannya tanpa terhapus. Itu sebabnya ayat-ayat yang memerintahkan al-shafh tetapi tidak didahului oleh perintah memberi maaf, dirangkaikan dengan jamil yang berarti indah. Selain itu, al-shafh juga dirangkaikan dengan perintah menyatakan kedamaian dan keselamatan bagi semua pihak (perhatikan firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-Hijr [15]: 85, serta Al-Zukhruf [43]: 89):
Berlapang dadalah terhadap mereka dengan cara yang baik (Al-Hijri [5]: 85).
Berlapang dadalah terhadap mereka dengan mengatakan salam/kedamaian (QS Al-Zukhruf [43]: 84).
d. Al-Ghufran
Al-ghufran terambil dari kata kerja ghafara yang pada mulanya berarti menutup. Rambut putih yang disemir hingga tertutup putihnya disebutkan dengan ghafara asy-sya'ra. Dari akar kata yang sama, lahir kata ghifarah, yang berarti sepotong kain yang menghalangi kerudung sehingga tidak ternodai oleh minyak rambut. Maghfirah Ilahi adalah "perlindungan-Nya dari siksa neraka."
Dalam Al-Quran surat Ali Imran (3): 31 dinyatakannya bahwa,
Katakanlah, "Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan menutupi dosa-dosamu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Kemudian dalam Al-Quran surat Al-Anfal (8): 29, dinyatakan,
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan (petunjuk membedakan yang hak dan yang batil), dan menghapuskan kesalahan-kesalahan kamu, serta yaghfir lakum (melindungi kamu dari siksa). Dan Allah mempunyai karunia yang besar.
Dari kedua ayat di atas terlihat, bahwa kata yaghfir bila dirangkaikan dengan menyebutkan dosa, berarti menutup dosa dengan sesuatu. Sedangkan bila tidak dirangkaikan dengan menyebutkan dosa --sebagaimana ditunjukkan dalam surat Al-Anfal ayat 29-- berarti melindungi manusia dari siksa atau bencana. Baik dalam konteks pertama maupun konteks kedua, ayat-ayat tersebut memperlihatkan bahwa ghufran (pengampunan atau perlindungan) tidak dapat diperoleh kecuali setelah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Dari kedua ayat tersebut juga terbaca bahwa syarat penutupan dosa dan perlindungan dari siksa adalah berbuat kebajikan. Di sini terlihat salah satu perbedaan antara al-'afw (maaf) dengan ghufran. Karena itu, ditemukan ayat yang menggabungkan keduanya, yakni:
Hapuskanlah dosa kami, lindungilah kami, dan rahmatilah kami (QS Al-Baqarah [2]: 286).
TAKFIR
Untuk menutup dosa dengan pekerjaan tertentu, Al-Quran juga menggunakan istilah takfir. Kata ini, terambil dari kata kaffara yang berarti menutup.
Al-Quran mempergunakan kata kaffara dengan berbagai bentuknya sebanyak 14 kali (kecuali kaffarat), pelakunya adalah Allah Swt.
Yang empat kali itu selalu digandengkan dengan syarat melakukan amal-amal saleh, atau upaya meninggalkan dosa-dosa besar.
Perhatikan misalnya firman Allah:
Apabila kamu menghindari dosa-dosa besar yang dilarang untuk melakukannya, akan Kami tutupi kesalahan-kesalahanmu (QS Al-Nisa' [4]: 3l).
Orang-orang yang beriman dengan beramal saleh pasti Kami tutupi kesalahan-kesalahan mereka ... (QS Al-'Ankabut [29]: 7)
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan beramal saleh, ditutupi kesalahan-kesalahannya (QS Al-Taghabun [64]: 9).
Dari keempat belas kali yang disebut itu, teramati pula tiga belas di antaranya dirangkaikan dengan kata as-sayyiat yang diterjemahkan sebagai kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa kecil. Hanya satu ayat yang tidak menyebutkan kata as-sayyiat, melainkan menggunakan istilah aswa' alladzi 'amilu (perbuatan terjelek yang mereka lakukan), yang pada hakikatnya dapat juga diartikan sebagai dosa-dosa kecil.
Nah, dari sini dapat dipahami bahwa dosa-dosa kecil seseorang dapat ditoleransi oleh Allah Swt. akibat adanya amal-amal saleh yang menutupinya .
Dalam konteks ini Nabi Saw. berpesan,
Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada, dan susulkanlah kesalahan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu menghapusnya dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik. (HR At-Tirmidzi melalui sahabat Nabi Abu Dzar).
Demikian sedikit dan banyak kesan yang dapat diperoleh dari ayat-ayat Al-Quran berkaitan dengan halal-bihalal/maaf-memaafkan. []
Selasa, 21 September 2010
SBI DAN RSBI PERLU SEGERA DIEVALUASI
Oleh Moh. Safrudin, S.Ag, M.PdI
(Ketua Presidium Wilayah Majelis Alumni IPNU Sultra)
Berawal dari Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) pasal 50 ayat 3 yang menyatakan bahwa pemerintah dan /atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional, sekolah-sekolah rintisan internasional di berbagai jenjang pendidikan menjamur di Tanah Air. Belakangan program tersebut tidak saja dikembangkan di lembaga pendidikan di bawah Kementerian Pendidikan Nasional (sekolah), tetapi juga lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama (madrasah). Jika tidak salah pada tahun 2010 ini saja Kementerian Agama mencanangkan dua belas Madrasah Aliyah sebagai Rintisan Madrasah Bertaraf Internasional. Dalihnya jelas, yakni untuk menjalankan amanah undang-undang tersebut. Tak ketinggalan, sekolah-sekolah pinggriran pun juga melabel diri mereka sebagai sekolah bertaraf, setidaknya rintisan, internasional. Dalam waktu singkat jumlah sekolah dan madrasah yang merintis program internasional sangat banyak.
Setelah tujuh tahun sejak peraturan yang memayungi pendirian sekolah bertaraf internasional itu diundangkan, kini sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh tentang kebijakan tersebut. Sebab, kenyataannya pemahaman tentang visi, tujuan, dan manajemen sekolah bertaraf internasional sebagaimana maksud semula undang-undang tidak sepenuhnya dipahami baik oleh pihak sekolah maupun pemerintah daerah. Akibatnya, pelaksanaannya telah melenceng agak jauh dari maksud semula. Ini bisa dilihat dari kesalahan dalam mengartikan ‘internasional’.
Konsep internasionalisasi pendidikan bukan sekadar menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan belajar mengajar, tetapi juga mulai sistem pendidikan, kurikulum, standar, dan kualitasnya yang internasional. Karena itu, jika berbahasa Inggris dijadikan satu-satunya tanda sudah berinternasional, maka sungguh konyol. Semua pihak hanya berkonsentrasi bagaimana meningkatkan kemampuan bahasa Inggris. Para guru sibuk belajar bahasa Inggris agar bisa mengajar di kelas internasional karena merasa lebih bergengsi dan tentu ada tambahan honorarium yang berbeda dengan yang tidak mengajar di kelas internasional. Sedangkan para siswa lebih berkonsentrasi belajar bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Karena itu, tak mengherankan jika matapelajaran bahasa Indonesia pada Ujian Nasional 2010 sangat jeblok. Nilai matapelajaran bahasa Inggris lebih baik daripada nilai bahasa Indonesia. Sebuah ironi terjadi di dunia pendidikan kita. Bahasa asing lebih dikuasai daripada bahasa nasional yang mestinya dijunjung tinggi.
Yang lebih parah lagi adalah terjadinya pungutan dana yang jauh dari ukuran kemampuan masyarakat pada umumnya. Sekadar ilustrasi di sebuah sekolah favorit di sebuah kota ukuran sedang ada orangtua siswa yang sanggup membayar uang masuk sebesar Rp. 25 juta rupiah jika anaknya diterima di kelas program internasional. Saya kira untuk ukuran masyarakat kita uang sebesar untuk beaya masuk SMA itu jauh di atas kemampuan rata-rata masyarakat kita. Padahal, untuk beaya masuk perguruan tinggi saja tidak sebesar itu.
Tak pelak lagi pungutan tersebut mengundang reaksi dari berbagai pihak akhir-akhir ini sehingga program internasionalisasi pendidikan tak ubahnya merupakan komersialisasi pendidikan. Padahal, dari pengamatan sekilas yang disebut kelas program internasional tersebut sama sekali tak ada bedanya dengan kelas-kelas lain, kecuali untuk mata pelajaran IPA disampaikan dalam bahasa Inggris oleh guru yang baru saja kursus bahasa Inggris dengan kemampuan pas-pasan. Akhirnya yang terjadi bukan mengajarkan matapelajaran IPA dalam bahasa Inggris, melainkan mengajar bahasa Inggris (not teaching physics in English, but teaching English). Jika terpaksa menyampaikan matapelajaran IPA tersebut dalam bahasa Inggris, siswa juga tidak paham sebab bahasa Inggris tidak komunikatif. Tentu semua paham bahwa mengajar bahasa Inggris tidak sama dengan mengajar dalam bahasa Inggris.
Latar belakang pendirian sekolah bertaraf internasional adalah semakin ketatnya kehidupan di era globalisasi saat ini. Sebagai bagian dari masyarakat global, Indonesia perlu segera mengambil langkah-langkah konkret menghadapi kompetisi global tersebut yakni membekali siswa dengan kemampuan kompetitif yang tinggi sehingga mampu bersaing di kancah global. Karena itu lahirlah undang-undang yang memberikan kesempatan kepada sekolah-sekolah yang sudah mapan untuk mengembangkan diri menuju sekolah internasional.
Ukuran mapan atau tidak ditakar dari pemenuhan delapan komponen standar nasional pendidikan, mulai dari isi, proses, lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, manajemen, keuangan, hingga evaluasi. Jika delapan komponen standar itu terpenuhi, maka sekolah bisa mengembangkannya menuju rintisan internasional dengan memfokuskan pada pendalaman, pengembangan, dan perluasan isi sehingga lulusanya memiliki daya saing tinggi. Singkatnya SBI adalah SNP + X. Kenyataannya yang terjadi adalah sekolah-sekolah yang masih jauh dari pemenuhan delapan standar nasional pendidikan itu dicanangkan atau mencanangkan diri sebagai sekolah internasional. Bisa dibayangkan hasilnya seperti apa.
Uniknya lagi jika ada pihak yang mengkritisi statusnya sebagai sekolah bertaraf internasional, pengelola umumnya menjawab ‘sebagai rintisan’, sehingga sekolah itu berlabel RSBI. Jadi belum bertaraf internasional. Kata ‘rintisan’ ternyata cukup ampuh untuk menarik minat masyarakat menyekolahkan putra-putrinya di sekolah tersebut. Dalam benak pengelola, karena masih berstatus ‘rintisan’, maka kalaupun kualitasnya belum sepadan yang diharapkan sebagai sekolah internasional, mohon semua pihak memakluminya. Tetapi pada saat yang sama, karena masih tahap merintis menuju yang sesungguhnya diperlukan dana cukup besar. Karena itu, orangtua yang menyekolahkan anaknya di program rintisan itu mesti rela mengeluarkan beaya jutaan rupiah yang hasil dan akuntabilitasnya tidak jelas.
Dari gambaran di atas, kini sudah saatnya kebijakan internasionalisasi pendidikan segera dievaluasi oleh pemerintah bersama wakil rakyat (DPR). Semua sekolah dan madrasah yang selama ini melabel diri mereka sebagai Sekokah/Madrasah Bertaraf Internasional atau Rintisan Sekolah/Madrasah Internasional diminta akuntabilitasnya baik dari sisi akademik maupun keuangannya. Dari sisi akademik, dicek apa saja produk akademik yang telah dihasilkan dari program tersebut, dan dari sisi keuangan dicek untuk apa saja dana yang diserap dari masyarakat dalam jumlah yang cukup besar itu.
Dari evaluasi menyeluruh itu akan bisa diketahui sekolah-sekolah yang memang layak dan berpotensi layak menuju internasional untuk diteruskan dengan pembinaan intensif dan dukungan dana dari pemerintah sehingga tidak menarik dana dari masyarakat secara berlebihan. Sesuai undang-undang pendidikan merupakan tanggung jawab penuh pemerintah dan masyarakat ikut serta dalam pengembangan pendidikan. Karena itu, menarik dana besar-besaran dari masyarakat untuk program internasionalisasi sekolah bertentangan dengan undang-undang.
Sementara itu, jika dalam evaluasi ditemukan sekolah yang belum layak mengembangkan program internasionalisasi pendidikan segera dikembalikan ke status semula sebagai Sekolah Nasional. Menjadi sekolah nasional dengan kualitas unggul tidak kalah gengsi dan akan jauh lebih bermartabat daripada melabel diri dengan kata ‘internasional’ tetapi tidak berkualitas dan hanya dipakai sebagai kedok untuk memungut dana masyarakat secara berlebihan. Muncul kekhawatiran jika tidak segera ada evaluasi dan program sejenis terus tumbuh, maka akan terjadi komersialisasi pendidikan yang luar biasa. Korbannya adalah masyarakat yang tidak berkantong tebal.
Perlu disadari oleh semua bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Pendidikan merupakan kebutuhan sangat mendasar setiap warga negara. Karena itu, adalah kewajiban pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada semua warga negara memperoleh pendidikan yang layak. Pendidikan bukan monopoli anggota masyarakat yang berduit. Ada gejala program internasionalisasi pendidikan di sekolah-sekolah kita berpotensi melahirkan ketidakadilan memperoleh pendidikan.
(Ketua Presidium Wilayah Majelis Alumni IPNU Sultra)
Berawal dari Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) pasal 50 ayat 3 yang menyatakan bahwa pemerintah dan /atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional, sekolah-sekolah rintisan internasional di berbagai jenjang pendidikan menjamur di Tanah Air. Belakangan program tersebut tidak saja dikembangkan di lembaga pendidikan di bawah Kementerian Pendidikan Nasional (sekolah), tetapi juga lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama (madrasah). Jika tidak salah pada tahun 2010 ini saja Kementerian Agama mencanangkan dua belas Madrasah Aliyah sebagai Rintisan Madrasah Bertaraf Internasional. Dalihnya jelas, yakni untuk menjalankan amanah undang-undang tersebut. Tak ketinggalan, sekolah-sekolah pinggriran pun juga melabel diri mereka sebagai sekolah bertaraf, setidaknya rintisan, internasional. Dalam waktu singkat jumlah sekolah dan madrasah yang merintis program internasional sangat banyak.
Setelah tujuh tahun sejak peraturan yang memayungi pendirian sekolah bertaraf internasional itu diundangkan, kini sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh tentang kebijakan tersebut. Sebab, kenyataannya pemahaman tentang visi, tujuan, dan manajemen sekolah bertaraf internasional sebagaimana maksud semula undang-undang tidak sepenuhnya dipahami baik oleh pihak sekolah maupun pemerintah daerah. Akibatnya, pelaksanaannya telah melenceng agak jauh dari maksud semula. Ini bisa dilihat dari kesalahan dalam mengartikan ‘internasional’.
Konsep internasionalisasi pendidikan bukan sekadar menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan belajar mengajar, tetapi juga mulai sistem pendidikan, kurikulum, standar, dan kualitasnya yang internasional. Karena itu, jika berbahasa Inggris dijadikan satu-satunya tanda sudah berinternasional, maka sungguh konyol. Semua pihak hanya berkonsentrasi bagaimana meningkatkan kemampuan bahasa Inggris. Para guru sibuk belajar bahasa Inggris agar bisa mengajar di kelas internasional karena merasa lebih bergengsi dan tentu ada tambahan honorarium yang berbeda dengan yang tidak mengajar di kelas internasional. Sedangkan para siswa lebih berkonsentrasi belajar bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Karena itu, tak mengherankan jika matapelajaran bahasa Indonesia pada Ujian Nasional 2010 sangat jeblok. Nilai matapelajaran bahasa Inggris lebih baik daripada nilai bahasa Indonesia. Sebuah ironi terjadi di dunia pendidikan kita. Bahasa asing lebih dikuasai daripada bahasa nasional yang mestinya dijunjung tinggi.
Yang lebih parah lagi adalah terjadinya pungutan dana yang jauh dari ukuran kemampuan masyarakat pada umumnya. Sekadar ilustrasi di sebuah sekolah favorit di sebuah kota ukuran sedang ada orangtua siswa yang sanggup membayar uang masuk sebesar Rp. 25 juta rupiah jika anaknya diterima di kelas program internasional. Saya kira untuk ukuran masyarakat kita uang sebesar untuk beaya masuk SMA itu jauh di atas kemampuan rata-rata masyarakat kita. Padahal, untuk beaya masuk perguruan tinggi saja tidak sebesar itu.
Tak pelak lagi pungutan tersebut mengundang reaksi dari berbagai pihak akhir-akhir ini sehingga program internasionalisasi pendidikan tak ubahnya merupakan komersialisasi pendidikan. Padahal, dari pengamatan sekilas yang disebut kelas program internasional tersebut sama sekali tak ada bedanya dengan kelas-kelas lain, kecuali untuk mata pelajaran IPA disampaikan dalam bahasa Inggris oleh guru yang baru saja kursus bahasa Inggris dengan kemampuan pas-pasan. Akhirnya yang terjadi bukan mengajarkan matapelajaran IPA dalam bahasa Inggris, melainkan mengajar bahasa Inggris (not teaching physics in English, but teaching English). Jika terpaksa menyampaikan matapelajaran IPA tersebut dalam bahasa Inggris, siswa juga tidak paham sebab bahasa Inggris tidak komunikatif. Tentu semua paham bahwa mengajar bahasa Inggris tidak sama dengan mengajar dalam bahasa Inggris.
Latar belakang pendirian sekolah bertaraf internasional adalah semakin ketatnya kehidupan di era globalisasi saat ini. Sebagai bagian dari masyarakat global, Indonesia perlu segera mengambil langkah-langkah konkret menghadapi kompetisi global tersebut yakni membekali siswa dengan kemampuan kompetitif yang tinggi sehingga mampu bersaing di kancah global. Karena itu lahirlah undang-undang yang memberikan kesempatan kepada sekolah-sekolah yang sudah mapan untuk mengembangkan diri menuju sekolah internasional.
Ukuran mapan atau tidak ditakar dari pemenuhan delapan komponen standar nasional pendidikan, mulai dari isi, proses, lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, manajemen, keuangan, hingga evaluasi. Jika delapan komponen standar itu terpenuhi, maka sekolah bisa mengembangkannya menuju rintisan internasional dengan memfokuskan pada pendalaman, pengembangan, dan perluasan isi sehingga lulusanya memiliki daya saing tinggi. Singkatnya SBI adalah SNP + X. Kenyataannya yang terjadi adalah sekolah-sekolah yang masih jauh dari pemenuhan delapan standar nasional pendidikan itu dicanangkan atau mencanangkan diri sebagai sekolah internasional. Bisa dibayangkan hasilnya seperti apa.
Uniknya lagi jika ada pihak yang mengkritisi statusnya sebagai sekolah bertaraf internasional, pengelola umumnya menjawab ‘sebagai rintisan’, sehingga sekolah itu berlabel RSBI. Jadi belum bertaraf internasional. Kata ‘rintisan’ ternyata cukup ampuh untuk menarik minat masyarakat menyekolahkan putra-putrinya di sekolah tersebut. Dalam benak pengelola, karena masih berstatus ‘rintisan’, maka kalaupun kualitasnya belum sepadan yang diharapkan sebagai sekolah internasional, mohon semua pihak memakluminya. Tetapi pada saat yang sama, karena masih tahap merintis menuju yang sesungguhnya diperlukan dana cukup besar. Karena itu, orangtua yang menyekolahkan anaknya di program rintisan itu mesti rela mengeluarkan beaya jutaan rupiah yang hasil dan akuntabilitasnya tidak jelas.
Dari gambaran di atas, kini sudah saatnya kebijakan internasionalisasi pendidikan segera dievaluasi oleh pemerintah bersama wakil rakyat (DPR). Semua sekolah dan madrasah yang selama ini melabel diri mereka sebagai Sekokah/Madrasah Bertaraf Internasional atau Rintisan Sekolah/Madrasah Internasional diminta akuntabilitasnya baik dari sisi akademik maupun keuangannya. Dari sisi akademik, dicek apa saja produk akademik yang telah dihasilkan dari program tersebut, dan dari sisi keuangan dicek untuk apa saja dana yang diserap dari masyarakat dalam jumlah yang cukup besar itu.
Dari evaluasi menyeluruh itu akan bisa diketahui sekolah-sekolah yang memang layak dan berpotensi layak menuju internasional untuk diteruskan dengan pembinaan intensif dan dukungan dana dari pemerintah sehingga tidak menarik dana dari masyarakat secara berlebihan. Sesuai undang-undang pendidikan merupakan tanggung jawab penuh pemerintah dan masyarakat ikut serta dalam pengembangan pendidikan. Karena itu, menarik dana besar-besaran dari masyarakat untuk program internasionalisasi sekolah bertentangan dengan undang-undang.
Sementara itu, jika dalam evaluasi ditemukan sekolah yang belum layak mengembangkan program internasionalisasi pendidikan segera dikembalikan ke status semula sebagai Sekolah Nasional. Menjadi sekolah nasional dengan kualitas unggul tidak kalah gengsi dan akan jauh lebih bermartabat daripada melabel diri dengan kata ‘internasional’ tetapi tidak berkualitas dan hanya dipakai sebagai kedok untuk memungut dana masyarakat secara berlebihan. Muncul kekhawatiran jika tidak segera ada evaluasi dan program sejenis terus tumbuh, maka akan terjadi komersialisasi pendidikan yang luar biasa. Korbannya adalah masyarakat yang tidak berkantong tebal.
Perlu disadari oleh semua bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Pendidikan merupakan kebutuhan sangat mendasar setiap warga negara. Karena itu, adalah kewajiban pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada semua warga negara memperoleh pendidikan yang layak. Pendidikan bukan monopoli anggota masyarakat yang berduit. Ada gejala program internasionalisasi pendidikan di sekolah-sekolah kita berpotensi melahirkan ketidakadilan memperoleh pendidikan.
Kamis, 16 September 2010
MENJAGA KESUCIAN PASCA RAMADHAN
OLEH : MOH. SAFRUDIN
"(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali
orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. As-Syu'arâ’
[26]: 88-89).
”...dan demi jiwa serta (demi) penyempurnaan ciptaannya, maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan, sungguh beruntung
orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.”
(QS. asy-Syams [91]: 1-10).
Mengapa Hati?
Hati berperan sebagai pengendali bagi seluruh gerak langkah manusia. Makanya
Rasulullah saw selalu mengingatkan agar memelihara hati dengan baik.
”Ketahuilah bahwa dalam jasad itu terdapat segumpal daging; jika daging
tersebut baik, maka seluruh tubuh pun akan menjadi baik. Sebaliknya, jika
daging tersebut rusak, maka seluruh tubuh ikut rusak.” (HR. Ibnu Majah; Shahih)
Melalui ayat di atas, Allah SWT menerangkan kepada kita bahwa hati yang bersih
dari rasa dengki dan berbagai penyakit hati merupakan faktor keselamatan dan
kebahagiaan di akhirat kelak.
Hati yang bersih adalah hati yang terbebas dari berbagai penyakit, seperti
menyekutukan Allah, ragu, syubhat, sesat, munafik, dengki, sombong, takabbur,
keinginan-keinginan tidak baik dan lain sebagainya.
Menurut Ibnu Qayyim, sebagimana disebutkan dalam Dalam kitab Al-Jawab al-Kafi,
Ibnu, ”Hati yang bersih adalah hati yang terbebas dari syirik, khianat, iri dan
dengki, sombong, kikir, takabbur, cinta dunia dan jabatan, dan terbebas dari
penyakit yang menjauhkannya dari Allah SWT, dari keraguan akan wahyu-Nya, dari
nafsu yang menentang perintah-Nya, dari keinginan yang membebani pikirannya,
dan terbebas dari faktor yang menjadikannya terputus dari Allah. Hati yang
bersih ini akan berada dalam surga dunia, surga di alam barzakh, dan surga pada
hari kembali (akhirat).”
Bahkan, dalam banyak hadits, Rasulullah saw menjelaskan, bahwa sucinya hati
dari berbagai penyakit, seperti sifat curang, iri dan dengki, takabbur, dan
sebagainya, merupakan penyebab terbesar masuk surga.
Anas bin Malik, salah seorang pemuka para sahabat menceritakan, bahwa sekali
waktu ia duduk dalam sebuah majlis bersama Rasulullah dan sahabat-sahabat
lainnya. Dalam pada itu, Rasulullah saw kemudian bersabda, ”Akan tampak (masuk)
kepada kalian orang (yang termasuk) dari ahli surga.” Tak lama kemudian,
masuklah seorang laki-laki dari kaum Anshar; air wudhunya menetes dari
janggutnya, dan menenteng sendalnya dengan tangan kirinya.
Besoknya, Rasulullah saw berkata dengan ucapan yang sama (sebentar lagi akan
masuk kepada kalian orang yang termasuk ahli surga). Lagi-lagi muncul
laki-laki itu dalam kondisi yang sama seperti kemarin (air wudhunya menetes
dari janggutnya, menenteng sandalnya dengan tangan kirinya).
Di hari ketiga, Rasulullah saw juga berkata demikian (sebentar lagi akan masuk
kepada kalian orang yang termasuk ahli surga). Ternyata, laki-laki itu yang
muncul kembali.
Maka, ketika Rasulullah saw telah pergi, Abdullah bin Amru bin ’Ash mengikuti
laki-laki itu. Amru berkata kepadanya, ”Aku sedang berseteru dengan ayahku. Aku
bersumpah tidak akan menemuinya selama tiga hari, aku berharap engkau bisa
menampungku sementara waktu.”
Laki-laki itu menjawab, ”Baiklah.”
Maka, ”Pada saat itu, Abdullah pun tinggal bersamanya selama tiga malam. Namun,
Amru tidsak pernah melihat laki-laki itu bangun shalat malam. Yang ditemukannya
jika laki-laki itu terbangun, dia hanya berdzikir dan bertakbir di atas tempat
tidurnya sampai datang waktu subuh.”
Abdullah menuturkan, ”Aku juga tidak pernah mendengar ucapan kecuali yang baik
darinya. Dan ketika tiba hari ketiga, hampir saja aku meremehkan amalannya. Aku
(Abdullah) pun bertanya padanya, ”Wahai hamba Allah, sebetulnya antara aku dan
ayahku tidak ada masalah apa-apa. Namun, aku pernah mendengar Rasulullah saw
bercerita tentang dirimu sampai tiga kali. Beliau saw berkata, ’Akan muncul
kepada kalian seorang dari ahli surga.’ Rasulullah saw mengucapkan hal itu
sebanyak tiga kali. Setiap kali beliau mengucapkannya, selama itu pula
engkaulah yang muncul, sebanyak tiga kali berturut-turut. Aku penasaran hingga
tinggal bersama engkau untuk mengetahui apa amalan yang engkau lakukan, dan aku
aka ikuti. Akan tetapi aku tidak pernah melihat amalan yang banyak dari dirimu.
Sebetulnya apa yang engkau lakukan sehingga Rasulullah saw berkata seperti itu?’
Laki-laki itu menjawab, ”Ya, seperti yang engkau lihat, itulah amal ibadahku.”
mendengar jawaban tersebut, Abdullah merasa tidak puas. Dia semakin penasaran.
Maka, Abdullah pun terus membujuknya, agar mau mengatakannya. Maka, laki-laki
itupun berkata, ”Tidak lain, saya tidak pernah memiliki perasaan curang kepada
seorang pun, saya tidak pernah merasa dengki kepada mereka atas nikmat yang
Allah berikan kepada mereka.”
Lalu Abdullah pun berkata, ”Inilah yang membuat engkau memperoleh hal itu
(surga), karena hal inilah yang paling sulit dilakukan.’” (HR. Ahmad dan Nasa’i
dari Anas bin Malik ra.)
Dalam hadits shahih yang lain menyatakan bahwa orang yang bersih dari rasa iri
dan dengki, selalu istiqamah dan konsisten dalam iman dan takwa, dialah orang
yang paling utama dan paling sempurna di sisi Allah.
Diriwayatkan dari Abdullah ibn ’Amr ra, ia berkata, ”Ada yang bertanya, ’Wahai
Rasulullah, siapa orang yang paling utama?’ Beliau menjawab, ’Setiap orang yang
hatinya bersih dan jujur.’ Mereka (sahabat) berkata, ’Orang jujur kami
mengerahuinya, tapi apa yang dimaksud dengan hati yang bersih?’ Rasulullah saw
menjawab, ’Yaitu bersih dan suci, tak ada dosa di dalamnya, tak ada perasaan
zalim, khianat dan dengki.” (HR. Ibnu Majah; shahih menurut Al-Mundziri dan
Al-Albani-dalam Shahih Al-Jami’).***
Sarana Menjaga Kesucian Hati dan Diri
1. Memantapkan Akidah (Tauhid)
Ini hal yang paling penting dalam melakukan Tazkiyatun Nufus, sebagaimana
dijelaskan oleh al-Qur'an; "Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang
menyekutukan-Nya, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat (tauhid) dan
mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS. Fushshilat: 6-7).
Ibnu Abbas menjelaskan makna zakat dalam ayat tersebut dengan makna tauhid
(Shafwatut Tafasir, Ali ash-Shabuni, jilid 3 hal 116). Yaitu mengikrarkan
syahadat lâ ilâha illallâh, sebab dengan mengikrarkan hal itu akan menyucikan
hati, karena kandungan kalimat tauhid tersebut adalah mengikis habis dan
mengosongkan dari lubuk hati kita segala bentuk tuhan yang bathil. Artinya
menyucikan hati kita dari segala kotoran syirik, lalu kita penuhi isi hati kita
dengan menetapkan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang kita ibadahi dan yang
kita sembah. Kita menyucikan hati kita dengan menauhidkan Allah, dan inilah
dasar, pondasi, serta azaz penyucian jiwa. Tanpa tauhid seseorang tidak akan
bisa menyucikan jiwanya. Tauhid adalah suci, sedangkan syirik adalah kotoran
dan najis, dua hal yang kontradiktif yang mustahil bersatu.
Termasuk dalam hal ini adalah riya’. Karena riya merupakan syirik yang paling
ditakutkan menimpa manusia. Rasulullah saw bersabda, ”Sesungguhnya termasuk
yang paling aku takuti atas kalian adalah syirik kecil.” Sahabat bertanya, ”Apa
itu, wahai Rasulullah?”. Beliau saw menjawab, ”(Yaitu) riya.” (Hadits Shahih).
2. Menjaga Shalat
Shalat adalah realisasi tauhid yang paling utama, sebab shalat itu menyucikan
jiwa kita dari segala kotoran dosa dan maksiat. Rasulullah menjelaskan hal itu
dalam hadits berikut, "Bagaimana menurut kalian jikakalau sebuah sungai ada di
depan pintu rumah salah seorang di antara kalian (dan) dia mandi di situ 5 kali
dalam sehari, apakah menurut kalian masih ada kotoran yang menempel pada
tubuhnya?” Mereka menjawab, “Tentu tidak ada.” Lalu beliau bersabda, “Demikian
halnya dengan shalat yang lima waktu, yang dengannya Allah membersihkan
dosa-dosa yang diperbuat nya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
3. Bersedekah
Allah berfirman, "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdo'alah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah [9]: 103).
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa bershadaqah membersihkan dan menyucikan dari
dosa-dosa mereka yang telah lalu.
4. Banyak Berdzikir
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim,
laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang
sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama)
Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
(QS. Al-Ahzab [33]: 35)
Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang senantiasa memperbanyak istigfar, maka
Allah SWT berikan padanya kelapangan jika bersedih, jalan keluar dari masalah
yang dihadapinya, dan memberinya rezeki dari arah yang tak terduga. (HR. Abu
Daud)
5. Takwa dan Berkata yang Benar
Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada
Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati
Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang
besar.” (QS. Al-Ahzab [33]: 71)
6. Muhasabah.
Rasulullah bersabda, "Seorang yang cerdik adalah orang yang mengoreksi diri dan
beramal untuk menghadapi kematiannya." (HR.Ahmad).
Hasan Al-Bashri mengatakan, "Seorang mukmin adalah pemimpin atas dirinya
sendiri dan mengoreksi dirinya karena Allah.”
"(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali
orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. As-Syu'arâ’
[26]: 88-89).
”...dan demi jiwa serta (demi) penyempurnaan ciptaannya, maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan, sungguh beruntung
orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.”
(QS. asy-Syams [91]: 1-10).
Mengapa Hati?
Hati berperan sebagai pengendali bagi seluruh gerak langkah manusia. Makanya
Rasulullah saw selalu mengingatkan agar memelihara hati dengan baik.
”Ketahuilah bahwa dalam jasad itu terdapat segumpal daging; jika daging
tersebut baik, maka seluruh tubuh pun akan menjadi baik. Sebaliknya, jika
daging tersebut rusak, maka seluruh tubuh ikut rusak.” (HR. Ibnu Majah; Shahih)
Melalui ayat di atas, Allah SWT menerangkan kepada kita bahwa hati yang bersih
dari rasa dengki dan berbagai penyakit hati merupakan faktor keselamatan dan
kebahagiaan di akhirat kelak.
Hati yang bersih adalah hati yang terbebas dari berbagai penyakit, seperti
menyekutukan Allah, ragu, syubhat, sesat, munafik, dengki, sombong, takabbur,
keinginan-keinginan tidak baik dan lain sebagainya.
Menurut Ibnu Qayyim, sebagimana disebutkan dalam Dalam kitab Al-Jawab al-Kafi,
Ibnu, ”Hati yang bersih adalah hati yang terbebas dari syirik, khianat, iri dan
dengki, sombong, kikir, takabbur, cinta dunia dan jabatan, dan terbebas dari
penyakit yang menjauhkannya dari Allah SWT, dari keraguan akan wahyu-Nya, dari
nafsu yang menentang perintah-Nya, dari keinginan yang membebani pikirannya,
dan terbebas dari faktor yang menjadikannya terputus dari Allah. Hati yang
bersih ini akan berada dalam surga dunia, surga di alam barzakh, dan surga pada
hari kembali (akhirat).”
Bahkan, dalam banyak hadits, Rasulullah saw menjelaskan, bahwa sucinya hati
dari berbagai penyakit, seperti sifat curang, iri dan dengki, takabbur, dan
sebagainya, merupakan penyebab terbesar masuk surga.
Anas bin Malik, salah seorang pemuka para sahabat menceritakan, bahwa sekali
waktu ia duduk dalam sebuah majlis bersama Rasulullah dan sahabat-sahabat
lainnya. Dalam pada itu, Rasulullah saw kemudian bersabda, ”Akan tampak (masuk)
kepada kalian orang (yang termasuk) dari ahli surga.” Tak lama kemudian,
masuklah seorang laki-laki dari kaum Anshar; air wudhunya menetes dari
janggutnya, dan menenteng sendalnya dengan tangan kirinya.
Besoknya, Rasulullah saw berkata dengan ucapan yang sama (sebentar lagi akan
masuk kepada kalian orang yang termasuk ahli surga). Lagi-lagi muncul
laki-laki itu dalam kondisi yang sama seperti kemarin (air wudhunya menetes
dari janggutnya, menenteng sandalnya dengan tangan kirinya).
Di hari ketiga, Rasulullah saw juga berkata demikian (sebentar lagi akan masuk
kepada kalian orang yang termasuk ahli surga). Ternyata, laki-laki itu yang
muncul kembali.
Maka, ketika Rasulullah saw telah pergi, Abdullah bin Amru bin ’Ash mengikuti
laki-laki itu. Amru berkata kepadanya, ”Aku sedang berseteru dengan ayahku. Aku
bersumpah tidak akan menemuinya selama tiga hari, aku berharap engkau bisa
menampungku sementara waktu.”
Laki-laki itu menjawab, ”Baiklah.”
Maka, ”Pada saat itu, Abdullah pun tinggal bersamanya selama tiga malam. Namun,
Amru tidsak pernah melihat laki-laki itu bangun shalat malam. Yang ditemukannya
jika laki-laki itu terbangun, dia hanya berdzikir dan bertakbir di atas tempat
tidurnya sampai datang waktu subuh.”
Abdullah menuturkan, ”Aku juga tidak pernah mendengar ucapan kecuali yang baik
darinya. Dan ketika tiba hari ketiga, hampir saja aku meremehkan amalannya. Aku
(Abdullah) pun bertanya padanya, ”Wahai hamba Allah, sebetulnya antara aku dan
ayahku tidak ada masalah apa-apa. Namun, aku pernah mendengar Rasulullah saw
bercerita tentang dirimu sampai tiga kali. Beliau saw berkata, ’Akan muncul
kepada kalian seorang dari ahli surga.’ Rasulullah saw mengucapkan hal itu
sebanyak tiga kali. Setiap kali beliau mengucapkannya, selama itu pula
engkaulah yang muncul, sebanyak tiga kali berturut-turut. Aku penasaran hingga
tinggal bersama engkau untuk mengetahui apa amalan yang engkau lakukan, dan aku
aka ikuti. Akan tetapi aku tidak pernah melihat amalan yang banyak dari dirimu.
Sebetulnya apa yang engkau lakukan sehingga Rasulullah saw berkata seperti itu?’
Laki-laki itu menjawab, ”Ya, seperti yang engkau lihat, itulah amal ibadahku.”
mendengar jawaban tersebut, Abdullah merasa tidak puas. Dia semakin penasaran.
Maka, Abdullah pun terus membujuknya, agar mau mengatakannya. Maka, laki-laki
itupun berkata, ”Tidak lain, saya tidak pernah memiliki perasaan curang kepada
seorang pun, saya tidak pernah merasa dengki kepada mereka atas nikmat yang
Allah berikan kepada mereka.”
Lalu Abdullah pun berkata, ”Inilah yang membuat engkau memperoleh hal itu
(surga), karena hal inilah yang paling sulit dilakukan.’” (HR. Ahmad dan Nasa’i
dari Anas bin Malik ra.)
Dalam hadits shahih yang lain menyatakan bahwa orang yang bersih dari rasa iri
dan dengki, selalu istiqamah dan konsisten dalam iman dan takwa, dialah orang
yang paling utama dan paling sempurna di sisi Allah.
Diriwayatkan dari Abdullah ibn ’Amr ra, ia berkata, ”Ada yang bertanya, ’Wahai
Rasulullah, siapa orang yang paling utama?’ Beliau menjawab, ’Setiap orang yang
hatinya bersih dan jujur.’ Mereka (sahabat) berkata, ’Orang jujur kami
mengerahuinya, tapi apa yang dimaksud dengan hati yang bersih?’ Rasulullah saw
menjawab, ’Yaitu bersih dan suci, tak ada dosa di dalamnya, tak ada perasaan
zalim, khianat dan dengki.” (HR. Ibnu Majah; shahih menurut Al-Mundziri dan
Al-Albani-dalam Shahih Al-Jami’).***
Sarana Menjaga Kesucian Hati dan Diri
1. Memantapkan Akidah (Tauhid)
Ini hal yang paling penting dalam melakukan Tazkiyatun Nufus, sebagaimana
dijelaskan oleh al-Qur'an; "Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang
menyekutukan-Nya, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat (tauhid) dan
mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS. Fushshilat: 6-7).
Ibnu Abbas menjelaskan makna zakat dalam ayat tersebut dengan makna tauhid
(Shafwatut Tafasir, Ali ash-Shabuni, jilid 3 hal 116). Yaitu mengikrarkan
syahadat lâ ilâha illallâh, sebab dengan mengikrarkan hal itu akan menyucikan
hati, karena kandungan kalimat tauhid tersebut adalah mengikis habis dan
mengosongkan dari lubuk hati kita segala bentuk tuhan yang bathil. Artinya
menyucikan hati kita dari segala kotoran syirik, lalu kita penuhi isi hati kita
dengan menetapkan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang kita ibadahi dan yang
kita sembah. Kita menyucikan hati kita dengan menauhidkan Allah, dan inilah
dasar, pondasi, serta azaz penyucian jiwa. Tanpa tauhid seseorang tidak akan
bisa menyucikan jiwanya. Tauhid adalah suci, sedangkan syirik adalah kotoran
dan najis, dua hal yang kontradiktif yang mustahil bersatu.
Termasuk dalam hal ini adalah riya’. Karena riya merupakan syirik yang paling
ditakutkan menimpa manusia. Rasulullah saw bersabda, ”Sesungguhnya termasuk
yang paling aku takuti atas kalian adalah syirik kecil.” Sahabat bertanya, ”Apa
itu, wahai Rasulullah?”. Beliau saw menjawab, ”(Yaitu) riya.” (Hadits Shahih).
2. Menjaga Shalat
Shalat adalah realisasi tauhid yang paling utama, sebab shalat itu menyucikan
jiwa kita dari segala kotoran dosa dan maksiat. Rasulullah menjelaskan hal itu
dalam hadits berikut, "Bagaimana menurut kalian jikakalau sebuah sungai ada di
depan pintu rumah salah seorang di antara kalian (dan) dia mandi di situ 5 kali
dalam sehari, apakah menurut kalian masih ada kotoran yang menempel pada
tubuhnya?” Mereka menjawab, “Tentu tidak ada.” Lalu beliau bersabda, “Demikian
halnya dengan shalat yang lima waktu, yang dengannya Allah membersihkan
dosa-dosa yang diperbuat nya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
3. Bersedekah
Allah berfirman, "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdo'alah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah [9]: 103).
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa bershadaqah membersihkan dan menyucikan dari
dosa-dosa mereka yang telah lalu.
4. Banyak Berdzikir
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim,
laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang
sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama)
Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
(QS. Al-Ahzab [33]: 35)
Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang senantiasa memperbanyak istigfar, maka
Allah SWT berikan padanya kelapangan jika bersedih, jalan keluar dari masalah
yang dihadapinya, dan memberinya rezeki dari arah yang tak terduga. (HR. Abu
Daud)
5. Takwa dan Berkata yang Benar
Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada
Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati
Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang
besar.” (QS. Al-Ahzab [33]: 71)
6. Muhasabah.
Rasulullah bersabda, "Seorang yang cerdik adalah orang yang mengoreksi diri dan
beramal untuk menghadapi kematiannya." (HR.Ahmad).
Hasan Al-Bashri mengatakan, "Seorang mukmin adalah pemimpin atas dirinya
sendiri dan mengoreksi dirinya karena Allah.”
Rabu, 15 September 2010
MUDIK DAN SILATURAHIM
OLEH : MOH. SAFRUDIN, S.Ag,M.PdI
(Dosen STIK Avicenna Kendari Sultra)
Di saat hari raya idul fitri seperti sekarang ini, maka yang terasa penting adalah silaturahim yang lebih akrab dengan istilah bersilaturrahmi. Bertemu dengan orang tua, keluarga, sahabat, kenalan, atau siapa saja, terasa sangat penting. Sialturrahmi menjadi sebuah kebutuhan. Di suasana hari raya, dengan alasan tertentu, tidak ketemu orang tua, atau saudara, maka terasa ada sesuatu yang kurang. Kekurangan itu tidak bisa diganti atau ditukar dengan apapun.
Maka, itulah sebabnya, bersilatirrahmi dengan keluarga, atau disebut mudik dirasakan menjadi sangat penting. Sekalipun kadang sedemikian mahal dan berat, maka tetap saja dijalani. Silaturrahmi tidak selalu bisa diganti dengan alat modern, seperti berkirim kartu lebaran, atau berkomunikasi melalui facebook, scrib, tilpun, e mail, atau lainnya. Bagi keluarga dekat akan lebih sempurna jika mereka saling datang dan bertemu.
Latar belakang pendidikan, jabatan seseorang, atau juga tingkat kekayaan, tidak berpengaruh terhadap kebutuhan bersilaturrahmi di hari raya. Misalnya, orang yang semakin kaya, berpendidikan tinggi atau berjabatan penting di sebuah instansi tidak akan bisa menurunkan semangat bersilaturrahmi di hari raya. Oleh karena itu, untuk melayani kebutuhan hilir mudik orang kembali ke tempat asal kelahirannya masing-masing, maka pihak yang paling sibuk adalah para pejabat yang terkait dengan keamanan dan perhubungan. Mereka harus bertanggung jawab memberikan pelayanan, baik para pemudik yang menggunakan jasa transportasi udara, laut, maupun darat.
Pada hari raya pertama, saya bertakziyah ke Kolaka mengunjungi orang tua saya yang semestinya bisa ditempuh sekitar 4 jam, menjadi molor, karena lalu lintas kendaraan sedemikian padat. Saya perhatikan mobil dan sepeda motor berseliweran, sehingga di sepanjang perjalanan semua kendaraan tidak bisa melaju cepat.
Banyak sekali mobil yang bergerak melaju ke semua arah. Mereka yang dari barat ke timur, dan sebaliknya, yang dari timur ke barat. Perjalanan orang banyak itu, persis bagaikan arak-arakan semut. Keadaan seperti itu kiranya juga terjadi di mana-mana. Bahkan kabarnya di beberapa titik tertentu, malah macet hingga beberapa kilometer.
Selain itu, kalau hari-hari biasa, jalan-jalan hanya dipenuhi oleh mobil-mobil berplat nomor kota setempat, maka pada hari raya hampir semua jenis plat nomor mobil ada. Perjalanan antara Kendari keKolaka terdapat mobil berplat nomor kendari, Makassar bahkan ada plat B atau Jakartadan sterusnya. Mobilitas masyarakat pada hari raya sedemikian tinggi. Mereka itu semua, rupanya hanya memenuhi kebutuhan bersilaturrahmi, dan bukan untuk dinas dan berbisnis.
Seperti disebutkan di muka, bahwa silaturrahmi seperti itu memang menyenangkan, akan tetapi sekaligus juga sedemikian berat dan mahal. Mungkin dirasakan oleh semuanya, bahwa tatkala bertemu dengan orang tua, saudara, sahabat, kenalan, teman sekolah dan sebagainya, terasa sedemikian indah. Mereka hanya sebatas ketemu, bercakap-cakap, berbagi informasi, namun itu semua terasa sedemikian penting dan indah, sehingga harus dilakukan.
Selain berat dan mahal, silaturrahmi kadang juga beresiko tinggi. Biaya atau uang yang diperlukan untuk bersilaturrahmi seperti itu, oleh sementara orang hingga tidak merasa perlu dihitung, atau dibanding-bandingkan dengan betapa sulit mencarinya. Kalkulasi untung rugi untuk memenuhi keinginan bersilaturrahmi, oleh banyak orang tidak dilakukan. Bagi mereka yang penting adalah bisa bersilaturrahmi dan ketemu dengan orang-orang yang dicintainya.
Resiko mudik yang sedemikian berat juga tidak selalu diperhitungkan. Padatnya lalu lintas di jalan-jalan, mengakibatkan beratus-ratus kendaraan macet dan bahkan tidak sedikit yang mengalami kecelakaan. Harian Suara Pembaruan, sejak H-7 hingga hari Idul Fitri mencatat tidak kurang dari 144 orang meninggal akibat kecelakaan. Selain itu, harian tersebut mencatat ada sekitar 28 juta orang mudik. Jumlah kecelakaan yang meninggal itu berlum termasuk korban lainnya, baik yang luka berat atau luka ringan.
Resiko tersebut sebenarnya juga sudah dikenali oleh siapapun yang melakukan perjalanan jauh untuk mudik. Namun kegiatan itu tetap juga dijalani. Mereka tidak takut dengan mahalnya biaya dan bahkan resiko yang sedemikian berat itu. Bagi mereka yang penting mudik, bersilaturrahmi atau bertemu keluarga, karena hal itu merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Bersilaturrahmi memang, ------bagi mereka yang bisa merasakannya, sedemikian indah.
Islam mengajarkan kepada umatnya agar mencintai bersilaturrahmi, dan menjalin hubungan persaudaraan. Dalam suatu hadits Nabi dikatakan bahwa, siapa saja yang ingin agar usianya dipanjangkan dan dibanyakkan rezkinya, maka supaya menjalin tali silaturrahmi. Tentu anjuran ini sebenarnya bukan hanya pada momentum idul fitri , tetapi juga pada hari lainnya. Sebaliknya, Islam tidak menyukai bercerai berai, sekalipun tidak sedikit orang, ------bahkan para tokoh umat melakukannya. Wallahu a’lam.
(Dosen STIK Avicenna Kendari Sultra)
Di saat hari raya idul fitri seperti sekarang ini, maka yang terasa penting adalah silaturahim yang lebih akrab dengan istilah bersilaturrahmi. Bertemu dengan orang tua, keluarga, sahabat, kenalan, atau siapa saja, terasa sangat penting. Sialturrahmi menjadi sebuah kebutuhan. Di suasana hari raya, dengan alasan tertentu, tidak ketemu orang tua, atau saudara, maka terasa ada sesuatu yang kurang. Kekurangan itu tidak bisa diganti atau ditukar dengan apapun.
Maka, itulah sebabnya, bersilatirrahmi dengan keluarga, atau disebut mudik dirasakan menjadi sangat penting. Sekalipun kadang sedemikian mahal dan berat, maka tetap saja dijalani. Silaturrahmi tidak selalu bisa diganti dengan alat modern, seperti berkirim kartu lebaran, atau berkomunikasi melalui facebook, scrib, tilpun, e mail, atau lainnya. Bagi keluarga dekat akan lebih sempurna jika mereka saling datang dan bertemu.
Latar belakang pendidikan, jabatan seseorang, atau juga tingkat kekayaan, tidak berpengaruh terhadap kebutuhan bersilaturrahmi di hari raya. Misalnya, orang yang semakin kaya, berpendidikan tinggi atau berjabatan penting di sebuah instansi tidak akan bisa menurunkan semangat bersilaturrahmi di hari raya. Oleh karena itu, untuk melayani kebutuhan hilir mudik orang kembali ke tempat asal kelahirannya masing-masing, maka pihak yang paling sibuk adalah para pejabat yang terkait dengan keamanan dan perhubungan. Mereka harus bertanggung jawab memberikan pelayanan, baik para pemudik yang menggunakan jasa transportasi udara, laut, maupun darat.
Pada hari raya pertama, saya bertakziyah ke Kolaka mengunjungi orang tua saya yang semestinya bisa ditempuh sekitar 4 jam, menjadi molor, karena lalu lintas kendaraan sedemikian padat. Saya perhatikan mobil dan sepeda motor berseliweran, sehingga di sepanjang perjalanan semua kendaraan tidak bisa melaju cepat.
Banyak sekali mobil yang bergerak melaju ke semua arah. Mereka yang dari barat ke timur, dan sebaliknya, yang dari timur ke barat. Perjalanan orang banyak itu, persis bagaikan arak-arakan semut. Keadaan seperti itu kiranya juga terjadi di mana-mana. Bahkan kabarnya di beberapa titik tertentu, malah macet hingga beberapa kilometer.
Selain itu, kalau hari-hari biasa, jalan-jalan hanya dipenuhi oleh mobil-mobil berplat nomor kota setempat, maka pada hari raya hampir semua jenis plat nomor mobil ada. Perjalanan antara Kendari keKolaka terdapat mobil berplat nomor kendari, Makassar bahkan ada plat B atau Jakartadan sterusnya. Mobilitas masyarakat pada hari raya sedemikian tinggi. Mereka itu semua, rupanya hanya memenuhi kebutuhan bersilaturrahmi, dan bukan untuk dinas dan berbisnis.
Seperti disebutkan di muka, bahwa silaturrahmi seperti itu memang menyenangkan, akan tetapi sekaligus juga sedemikian berat dan mahal. Mungkin dirasakan oleh semuanya, bahwa tatkala bertemu dengan orang tua, saudara, sahabat, kenalan, teman sekolah dan sebagainya, terasa sedemikian indah. Mereka hanya sebatas ketemu, bercakap-cakap, berbagi informasi, namun itu semua terasa sedemikian penting dan indah, sehingga harus dilakukan.
Selain berat dan mahal, silaturrahmi kadang juga beresiko tinggi. Biaya atau uang yang diperlukan untuk bersilaturrahmi seperti itu, oleh sementara orang hingga tidak merasa perlu dihitung, atau dibanding-bandingkan dengan betapa sulit mencarinya. Kalkulasi untung rugi untuk memenuhi keinginan bersilaturrahmi, oleh banyak orang tidak dilakukan. Bagi mereka yang penting adalah bisa bersilaturrahmi dan ketemu dengan orang-orang yang dicintainya.
Resiko mudik yang sedemikian berat juga tidak selalu diperhitungkan. Padatnya lalu lintas di jalan-jalan, mengakibatkan beratus-ratus kendaraan macet dan bahkan tidak sedikit yang mengalami kecelakaan. Harian Suara Pembaruan, sejak H-7 hingga hari Idul Fitri mencatat tidak kurang dari 144 orang meninggal akibat kecelakaan. Selain itu, harian tersebut mencatat ada sekitar 28 juta orang mudik. Jumlah kecelakaan yang meninggal itu berlum termasuk korban lainnya, baik yang luka berat atau luka ringan.
Resiko tersebut sebenarnya juga sudah dikenali oleh siapapun yang melakukan perjalanan jauh untuk mudik. Namun kegiatan itu tetap juga dijalani. Mereka tidak takut dengan mahalnya biaya dan bahkan resiko yang sedemikian berat itu. Bagi mereka yang penting mudik, bersilaturrahmi atau bertemu keluarga, karena hal itu merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Bersilaturrahmi memang, ------bagi mereka yang bisa merasakannya, sedemikian indah.
Islam mengajarkan kepada umatnya agar mencintai bersilaturrahmi, dan menjalin hubungan persaudaraan. Dalam suatu hadits Nabi dikatakan bahwa, siapa saja yang ingin agar usianya dipanjangkan dan dibanyakkan rezkinya, maka supaya menjalin tali silaturrahmi. Tentu anjuran ini sebenarnya bukan hanya pada momentum idul fitri , tetapi juga pada hari lainnya. Sebaliknya, Islam tidak menyukai bercerai berai, sekalipun tidak sedikit orang, ------bahkan para tokoh umat melakukannya. Wallahu a’lam.
Kamis, 09 September 2010
MENYAMBUT DATANGNYA HARI RAYA IDUL FITRI
Tidak terasa satu bulan penuh kita telah menjalankan ibadah puasa Ramadhan, satu bulan kita telah berhasil menahan lapar dan dahaga dari terbitnya fajar hingga terbenam matahari. Di saat bulan penuh berkah, rahmat dan ampunan itu telah pergi, hari ini kita dipertemukan dalam momen kegembiraan, yaitu hari raya idul fitri. Kalau kita artikan secara tekstual, bermakna "hari berbuka" atau "hari kembali kepada fitrah", fase kehidupan manusia yang dianggap suci, bersih dan terbebas dari segala dosa.
Di hari kemenangan ini, mungkin di antara kita ada yang bertanya-tanya: kegembiraan apa yang patut kita rayakan pada saat idul fitri tiba? Apakah hanya sekedar datang dan berlalunya "suatu hari" tanpa ada arti sebagimana hari-hari yang lain? Atau ada sebuah keistimewaan yang patut kita banggakan di hari ini?
Pada kesempatan kali ini, saya akan mengupas tentang tiga kebahagiaan bagi komunitas muslim dalam menyambut datangnya idul fitri. Yaitu; Bahagia telah sempurna menemui bulan Ramadhan, dengan menjalankan perintah puasa, bahagia telah berbagi kepada saudara se-iman, dengan menunaikan kewajiban zakat fitrah, dan bahagia dengan kesempatan halal bi halal atau bersilaturrahim, saling mema'afkan segala kesalahan menghapus luka yang pernah tergores dan mempererat hubungan persaudaraan.
Bahagia telah sempurna menjumpai Ramadhan:
Harus kita akui bahwa berhasil menjumpai bulan Ramadhan, dengan kondisi fisik dan mental yang sehat, sehingga mampu melaksanakan perintah puasa dengan khidmat, adalah anugerah besar dari yang maha kuasa, sahabat Ali bin Abi Thalib Ra (w: 40 H / 661 M) berkata: "Sehat jasmani adalah anugrah yang paling indah"
Kita bisa membayangkan, bagaimana orang-orang yang pergi ke alam baqa' (meninggal dunia) sesaat menjelang datangnya bulan Ramadhan, mereka tidak bisa menjumpai bulan yang penuh berkah, rahmat dan ampunan. Padahal, melalui ibadah di bulan Ramadhan, kita diberi bonus pahala berlipat dan kesempatan untuk melebur dosa-dosa yang pernah dilakukan. Rasulullah Saw - dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim - menjelaskan bahwa Ramadhan adalah bulan penuh ampunan.
Atau tidak sedikit saudara-saudara kita yang pada saat tiba bulan Ramadhan dalam keadaan sakit, fisik maupun mentalnya tidak sehat, sehingga tidak bisa menjalankan kewajiban ibadah puasa, atau kalaupun tetap menjalankan, tidak dengan khidmat sebagaimana orang yang normal kesehatannya. Tentu saja dengan uzur sakit, mereka itu tidak bisa merasakan bagaimana nikmatnaya saat berbuka, saat bersahur, bagaimana nikmatnya kita mampu mengendalikan hawa nafsu dengan sedikit mengekang hasrat jasmani dan biologis.
Dalam satu kesempatan, ulama besar di zaman tabi'in (setelah zaman para sahabat Nabi) imam Ibnu Sirin, (w: 110 H / 728 M) berterus terang bahwa urusan hawa nafsu adalah urusan yang paling pelik dalam hidup ini, ia berkata: “Aku tidak pernah mempunyai urusan yang lebih pelik ketimbang urusan jiwa”. Betapa urusan jiwa yang menyangkut pengendalian hawa nafsu adalah kendala besar yang kerap merintangi hidup manusia, Rasulullah Saw dalam hal ini mengingatkan: "Jalan ke sorga dilapangkan dengan mengendalikan hawa nafsu, sedangkan jalan ke neraka dilapangkan dengan menuruti hawa nafsu" (HR. Bukhori dan Muslim)
Dengan tibanya idul fitri ini, sangatlah wajar jika kita berbahagia menampakkan kegembiraan bersama, bukan atas dasar telah berlalunya bulan suci Ramadhan, akan tetapi kebahagiaan ini dilandaskan pada keberhasilan kita dalam mengekang hawa nafsu dalam kadar dan rentang waktu tertentu.
Bahagia dengan peduli terhadap sesama:
Kebahagiaan kedua yang semestinya kita rasakan pada momen datangnya hari raya idul fitri adalah, kita telah mengeluarkan zakat fitrah. Sebuah ibadah yang tidak lain sebagai bentuk penyucian diri setiap muslim sekaligus sebagai penyempurna puasa Ramadhan.
Zakat fitrah merupakan salah satu ibadah yang berdimensi horisontal. kalau kita perhatikan secara kasat mata, sangatlah sepele, tidak membutuhkan jumlah harta yang berlimpah, akan tetapi setiap muslim yang pada saat tibanya idul fitri memiliki kebutuhan pokok untuk dirinya, keluarga dan orang yang harus dinafkahinya, maka dia berkewajiban untuk mengelurakan zakat. Nominasi harta yang dikeluarakan pun sangat sedikit, hanya 1 Sha' sekitar 2,5 kg makanan pokok setempat, atau bisa diuangkan sesuai dengan standar harganya.
Berbeda dengan zakat harta, zakat hewan ternak, zakat hasil bumi, zakat profesi dan zakat niaga, jenis-jenis zakat ini hanya bisa ditunaikan oleh kalangan berada saja. Maka dari itu, prosentasi muslim yang berkewajiban mengeluarkan zakat fitrah jauh lebih banyak dari pada zakat-zakat tersebut, hal ini sesuai dengan maqasid (tujuan) disyari'atkannya zakat fitrah yaitu untuk mengembalikan setiap manusia pada fitrahnya.
Kalau sejenak kita menengok maqasid (tujuan) dan hikmah diwajibkannya ibadah zakat secara umum, ternyata ajaran Islam, disamping mengupayakan kesucian diri setiap insan, juga mengharapkan kesucian dan keberkahan harta benda yang dimilikinya. Dalam al Qur'an di jelaskan, saat Allah Swt memerintahkan Muhammad Saw untuk merealisasikan kewajiban zakat kepada para sahabatnya: "Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan – dan mensucikan - mereka" (Qs. at Taubah: 103).
Dalam kesempatan lain Allah Swt menjelaskan: " Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah di sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridha'an Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan " (Qs. Ar Ruum: 39)
Kalau demikian kenyataannya, maka kesempatan kita untuk menjalankan kewajiban zakat fitrah, adalah suatu kebahagiaan tersendiri. Kita telah diberi kesempatan oleh Allah Swt untuk mensucikan jiwa sekaligus mewujudkan rasa peduli terhadap kondisi di sekitar kita. Bagaimanapun kebahagiaan dalam menyambut datangnya idul fitri, juga berhak dirasakan oleh kaum miskin yang sama sekali tidak memiliki makanan pokok saat hari raya tiba.
Berbahagia dengan bersilaturrahim:
Tradisi “halal bi halal” yang ada di setiap hari raya idul fitri adalah kesempatan bagi kita untuk bersilaturrahim. Tentunya silaturrahim dalam maknanya yang luas, yaitu saling memafkan atas segala kesalahan yang pernah dilakukan, saling mempererat hubungan persaudaraan atas dasar keimanan dan kebangsaan, bukan hanya sebatas persaudaraan atas dasar kekerabatan dan hubungan nasab keturunan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al Qur’an: "Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu" (Qs. Al Hujurat: 10)
Sebagaimana kita semua sadari, bahwa interaksi keseharian dalam komunitas umat manusia akan selalu di warnai dengan berbagai hal, sesuai dengan situasi dan kondisi. Adakalanya baik ada kalanya buruk, kadang damai kadang konflik. Implikasi dari hubungan keseharian antar sesama manusia ini tidak selamanya menyakitkan sehingga menimbulkan kebencian, begitu juga tidak semuanya menyenangkan sehingga menimbulkan kecintaan, pada saat-saat tertentu emosi, egois dan kesombongan bisa saja menguasai diri kita.
Implikasi buruk yang kita terima dari sikap orang lain, begitu juga kelakuan tidak bersahabat yang kita tunjukkan kepada orang lain, baik dengan penuh kesadaran maupun dalam ketidaksadaran, harus kita netralisir dengan bersilaturrahim. Kita percaya, bahwa hari raya idul fitri sebagai momen yang tepat untuk menetralisir atau paling tidak meminimalisir ketegangan hubungan antar sesama umat manusia. Rasulullah Saw bersabda : "Wahai manusia, tebarkanlah kedamaian dan sambunglah persaudaraan" (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Melalui silaturrahim, kita juga akan mendapatkan hikmah dan faedah yang luar biasa. Di antaranya; akan mempermudah segala urusan, bisa menjalin partner usaha, dan memperbanyak kolega yang tentunya akan saling menguntungkan dalam bekerjasama. Dalam satu kesempatan Rasulullah Saw bersabda: "Barangsiapa yang ingin dijembarkan rezekinya dan dipanjangkan usianya maka sambunglah persaudaraan" (HR. Bukhori dan Muslim). Sebagian ulama mengartikan kalimat "panjang usia" dalam hadist di atas dengan makna "keberkahan hidup".
Akhir tulisan:
Kita semua berharap, mudah-mudahan hari raya idul fitri kali ini adalah momen yang dapat mengembalikan pada fitrah keimanan kita, di mana idul fitri datang setelah kita menyelesaikan proses latihan mengendalikan jiwa melalui puasa Ramadhan, ia tiba dibarengi dengan kewajiban zakat fitrah yang merupakan wujud kepedulian, dan ia juga datang dengan tradisi “halal bi halal” sebagai upaya mempererat tali persaudaraan dan persahabatan. Tidak lain, tiga kebahagian yang kita rasakan sekaligus dalam momen hari raya idul fitri adalah anugerah dari Allah Swt yang wajib kita syukuri. "Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. " (Qs. Yunus: 58)
Di hari kemenangan ini, mungkin di antara kita ada yang bertanya-tanya: kegembiraan apa yang patut kita rayakan pada saat idul fitri tiba? Apakah hanya sekedar datang dan berlalunya "suatu hari" tanpa ada arti sebagimana hari-hari yang lain? Atau ada sebuah keistimewaan yang patut kita banggakan di hari ini?
Pada kesempatan kali ini, saya akan mengupas tentang tiga kebahagiaan bagi komunitas muslim dalam menyambut datangnya idul fitri. Yaitu; Bahagia telah sempurna menemui bulan Ramadhan, dengan menjalankan perintah puasa, bahagia telah berbagi kepada saudara se-iman, dengan menunaikan kewajiban zakat fitrah, dan bahagia dengan kesempatan halal bi halal atau bersilaturrahim, saling mema'afkan segala kesalahan menghapus luka yang pernah tergores dan mempererat hubungan persaudaraan.
Bahagia telah sempurna menjumpai Ramadhan:
Harus kita akui bahwa berhasil menjumpai bulan Ramadhan, dengan kondisi fisik dan mental yang sehat, sehingga mampu melaksanakan perintah puasa dengan khidmat, adalah anugerah besar dari yang maha kuasa, sahabat Ali bin Abi Thalib Ra (w: 40 H / 661 M) berkata: "Sehat jasmani adalah anugrah yang paling indah"
Kita bisa membayangkan, bagaimana orang-orang yang pergi ke alam baqa' (meninggal dunia) sesaat menjelang datangnya bulan Ramadhan, mereka tidak bisa menjumpai bulan yang penuh berkah, rahmat dan ampunan. Padahal, melalui ibadah di bulan Ramadhan, kita diberi bonus pahala berlipat dan kesempatan untuk melebur dosa-dosa yang pernah dilakukan. Rasulullah Saw - dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim - menjelaskan bahwa Ramadhan adalah bulan penuh ampunan.
Atau tidak sedikit saudara-saudara kita yang pada saat tiba bulan Ramadhan dalam keadaan sakit, fisik maupun mentalnya tidak sehat, sehingga tidak bisa menjalankan kewajiban ibadah puasa, atau kalaupun tetap menjalankan, tidak dengan khidmat sebagaimana orang yang normal kesehatannya. Tentu saja dengan uzur sakit, mereka itu tidak bisa merasakan bagaimana nikmatnaya saat berbuka, saat bersahur, bagaimana nikmatnya kita mampu mengendalikan hawa nafsu dengan sedikit mengekang hasrat jasmani dan biologis.
Dalam satu kesempatan, ulama besar di zaman tabi'in (setelah zaman para sahabat Nabi) imam Ibnu Sirin, (w: 110 H / 728 M) berterus terang bahwa urusan hawa nafsu adalah urusan yang paling pelik dalam hidup ini, ia berkata: “Aku tidak pernah mempunyai urusan yang lebih pelik ketimbang urusan jiwa”. Betapa urusan jiwa yang menyangkut pengendalian hawa nafsu adalah kendala besar yang kerap merintangi hidup manusia, Rasulullah Saw dalam hal ini mengingatkan: "Jalan ke sorga dilapangkan dengan mengendalikan hawa nafsu, sedangkan jalan ke neraka dilapangkan dengan menuruti hawa nafsu" (HR. Bukhori dan Muslim)
Dengan tibanya idul fitri ini, sangatlah wajar jika kita berbahagia menampakkan kegembiraan bersama, bukan atas dasar telah berlalunya bulan suci Ramadhan, akan tetapi kebahagiaan ini dilandaskan pada keberhasilan kita dalam mengekang hawa nafsu dalam kadar dan rentang waktu tertentu.
Bahagia dengan peduli terhadap sesama:
Kebahagiaan kedua yang semestinya kita rasakan pada momen datangnya hari raya idul fitri adalah, kita telah mengeluarkan zakat fitrah. Sebuah ibadah yang tidak lain sebagai bentuk penyucian diri setiap muslim sekaligus sebagai penyempurna puasa Ramadhan.
Zakat fitrah merupakan salah satu ibadah yang berdimensi horisontal. kalau kita perhatikan secara kasat mata, sangatlah sepele, tidak membutuhkan jumlah harta yang berlimpah, akan tetapi setiap muslim yang pada saat tibanya idul fitri memiliki kebutuhan pokok untuk dirinya, keluarga dan orang yang harus dinafkahinya, maka dia berkewajiban untuk mengelurakan zakat. Nominasi harta yang dikeluarakan pun sangat sedikit, hanya 1 Sha' sekitar 2,5 kg makanan pokok setempat, atau bisa diuangkan sesuai dengan standar harganya.
Berbeda dengan zakat harta, zakat hewan ternak, zakat hasil bumi, zakat profesi dan zakat niaga, jenis-jenis zakat ini hanya bisa ditunaikan oleh kalangan berada saja. Maka dari itu, prosentasi muslim yang berkewajiban mengeluarkan zakat fitrah jauh lebih banyak dari pada zakat-zakat tersebut, hal ini sesuai dengan maqasid (tujuan) disyari'atkannya zakat fitrah yaitu untuk mengembalikan setiap manusia pada fitrahnya.
Kalau sejenak kita menengok maqasid (tujuan) dan hikmah diwajibkannya ibadah zakat secara umum, ternyata ajaran Islam, disamping mengupayakan kesucian diri setiap insan, juga mengharapkan kesucian dan keberkahan harta benda yang dimilikinya. Dalam al Qur'an di jelaskan, saat Allah Swt memerintahkan Muhammad Saw untuk merealisasikan kewajiban zakat kepada para sahabatnya: "Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan – dan mensucikan - mereka" (Qs. at Taubah: 103).
Dalam kesempatan lain Allah Swt menjelaskan: " Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah di sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridha'an Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan " (Qs. Ar Ruum: 39)
Kalau demikian kenyataannya, maka kesempatan kita untuk menjalankan kewajiban zakat fitrah, adalah suatu kebahagiaan tersendiri. Kita telah diberi kesempatan oleh Allah Swt untuk mensucikan jiwa sekaligus mewujudkan rasa peduli terhadap kondisi di sekitar kita. Bagaimanapun kebahagiaan dalam menyambut datangnya idul fitri, juga berhak dirasakan oleh kaum miskin yang sama sekali tidak memiliki makanan pokok saat hari raya tiba.
Berbahagia dengan bersilaturrahim:
Tradisi “halal bi halal” yang ada di setiap hari raya idul fitri adalah kesempatan bagi kita untuk bersilaturrahim. Tentunya silaturrahim dalam maknanya yang luas, yaitu saling memafkan atas segala kesalahan yang pernah dilakukan, saling mempererat hubungan persaudaraan atas dasar keimanan dan kebangsaan, bukan hanya sebatas persaudaraan atas dasar kekerabatan dan hubungan nasab keturunan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al Qur’an: "Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu" (Qs. Al Hujurat: 10)
Sebagaimana kita semua sadari, bahwa interaksi keseharian dalam komunitas umat manusia akan selalu di warnai dengan berbagai hal, sesuai dengan situasi dan kondisi. Adakalanya baik ada kalanya buruk, kadang damai kadang konflik. Implikasi dari hubungan keseharian antar sesama manusia ini tidak selamanya menyakitkan sehingga menimbulkan kebencian, begitu juga tidak semuanya menyenangkan sehingga menimbulkan kecintaan, pada saat-saat tertentu emosi, egois dan kesombongan bisa saja menguasai diri kita.
Implikasi buruk yang kita terima dari sikap orang lain, begitu juga kelakuan tidak bersahabat yang kita tunjukkan kepada orang lain, baik dengan penuh kesadaran maupun dalam ketidaksadaran, harus kita netralisir dengan bersilaturrahim. Kita percaya, bahwa hari raya idul fitri sebagai momen yang tepat untuk menetralisir atau paling tidak meminimalisir ketegangan hubungan antar sesama umat manusia. Rasulullah Saw bersabda : "Wahai manusia, tebarkanlah kedamaian dan sambunglah persaudaraan" (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Melalui silaturrahim, kita juga akan mendapatkan hikmah dan faedah yang luar biasa. Di antaranya; akan mempermudah segala urusan, bisa menjalin partner usaha, dan memperbanyak kolega yang tentunya akan saling menguntungkan dalam bekerjasama. Dalam satu kesempatan Rasulullah Saw bersabda: "Barangsiapa yang ingin dijembarkan rezekinya dan dipanjangkan usianya maka sambunglah persaudaraan" (HR. Bukhori dan Muslim). Sebagian ulama mengartikan kalimat "panjang usia" dalam hadist di atas dengan makna "keberkahan hidup".
Akhir tulisan:
Kita semua berharap, mudah-mudahan hari raya idul fitri kali ini adalah momen yang dapat mengembalikan pada fitrah keimanan kita, di mana idul fitri datang setelah kita menyelesaikan proses latihan mengendalikan jiwa melalui puasa Ramadhan, ia tiba dibarengi dengan kewajiban zakat fitrah yang merupakan wujud kepedulian, dan ia juga datang dengan tradisi “halal bi halal” sebagai upaya mempererat tali persaudaraan dan persahabatan. Tidak lain, tiga kebahagian yang kita rasakan sekaligus dalam momen hari raya idul fitri adalah anugerah dari Allah Swt yang wajib kita syukuri. "Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. " (Qs. Yunus: 58)
Kamis, 02 September 2010
hikmah lailatul qadar
oleh: moh. safrudin
“Sesunguhnya Kami telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS al-Qadr [97]: 1-5).
Saudaraku, begitu besar kasih sayang yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Lihattlah kita, manusia, sebagai hamba-Nya dengan tabiat yang sering jatuh bangun dalam lumpur dosa. Namun Allah senantiasa mengasihi dengan memberi kita kemudahan-kemudahan untuk mensucikan diri dari karat-karat dosa dan kemaksiatan. Tak bisa dibayangkan, sebesar apa noda hitam kemaksiatan itu tergores dalam hati, apabila Allah tidak melimpahkan ampunan-Nya yang Maha Luas.
Ramadhan, merupakan salah satu sarana yang Allah berikan kepada kita memperoleh ampunan-Nya. Banyak sekali kelebihan-kelebihan yang Allah berikan kepada hamba-Nya melalui Ramadhan ini, sehingga wajar kalau Rasulullah mengekspresikan keutamaannya dengan perkataan “Apabila umat ini tahu apa yang ada dalam Ramadhan, niscaya mereka akan mengharapkan hal itu selam satu tahun penuh.” (HR Tabrani).
Bahkan salah satu malam yang diselimuti keberkahan hanya terdapat pada salah satu malam di bulan Ramadhan. Betapa agungnya Ramadhan sehingga tak ada selainnya yang mendapatkan malam mulia yang lebih baik dari seribu bulan. Rasulullah saw, bersabda, “Barangsiapa yang beribadah pada malam Lailatul Qadr, niscaya diampuni dosa-dosanya yang sudah lewat. (HR Bukhari dan Muslim)
Banyak penjelasan Rasulullah saw yang sampai pada kita tentang keutamaan-keutamaan malam yang penuh berkah ini. Sebagai malam yang terbaik dan paling barakah diantara malam yang ada, didalamnya Allah telah menjanjikan pada hambanya yang ikhlas dan berharap untuk mendapatkan perlindungan-Nya di hari akhir, akan melipatgandakan sampai 1000 bulan untuk amal-amalan kebaikan yang dilakukan pada malam ini.
Banyak sekali hadist yang menerangkan bahwa kaum muslim hendaklah mencari lailatul qadar diantara tanggal ganjil pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan (HR Bukhari) atau tujuh malam terakhir bulan itu (HR Bukhari). Tampaknya bagi kita tidak menjadi persoalan kapan lailatul qadar itu didatangkan, tetapi yang penting adalah menjemput kedatangannya pada setiap waktu dan mempersiapkan diri untuk itu. Mungkin lebih baik jika kita pusatkan perhatian pada kesiapan mental, kejernihan hati, ketulusan jiwa, keadilan pikiran, kepenuhan iman kita, serta totalitas iman dan kepasrahan jiwa kita kepada Allah Azza Wa Jalla.
Karena itulah, Ramadhan dengan lailatul Qadar-Nya sebagai media yang bisa mengantarkan kita pada kesucian. Adalah sangat disunahkan bagi kita untuk berusaha memperolehnya dengan memperbanyak ibadah dan amalan-amalan yang baik. Rasulullah, suatu ketika mengatakan “Barang siapa beramal pada malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka terampunilah dosa-dosanya yang telah lalu”. Tidak berlebihan memang, kalau Allah menamainya yang kebaikannya melebihi seribu bulan.
Tentu alangkah sombongnya manusia yang sangat membutuhkan pengampunan dari Allah atas perbuatan-perbuatan mereka yang banyak menyimpang, apabila mereka menyia-nyiakan kesempatan emas yang bersifat tak tentu akan mereka dapatkan di masa-masa yang akan datang. Siapa yang bisa menjamin bahwa usia kita akan sampai Ramadhan tahun-tahun yang akan datang. Oleh karena itu merupakan keharusan yang tidak bisa tidak bagi kita, untuk mengejarnya, sehingga janji-janji Allah yang telah ditaburkan itu benar-benar bisa kita dapatkan.
Berangkat dari sini, kita bisa menyikapinya dengan senatiasa mengoptimalkan ibadah kita di 10 malam terakhir dalam bulan yang penuh rahmat ini. Dengan begitu kita tidak khawatir akan terlepas dari malam lailatul qadar. Karena kita mencarinya hanya pada malam-malam tertentu.
Kemudian setelah paparan diatas, kita sebagai hamba Allah yang benar-benar memahami kebenaran kekuasaannya sadar bahwa usaha kita dalam mencari lailatul qadar ini adalah untuk membuktikan dan merealisasikan penghambaan kita kepada Allah Swt, sehingga hal itu mengingatkan kita, seharusnya kita bersama-sama mendekatkan diri kapanpun dan dimanapun, tanpa dibatasi ruang dan waktu. Semoga Allah Yang Maha Agung, memberi kesempatan kepada kita untuk mengecap, menikmati, dan melampaui malam lailatul qadar pada bulan Ramadhan ini dengan kesungguhan beribadah dan keikhlasan hati.
Saudaraku yang budiman, para ulama menerangkan bahwa hikmah disembunyikannya malam qadar, tidak ditegaskan malamnya, ialah supaya kita berusaha mencarinya, meningkatkan ibadah di setiap malam, membanyakkan doa semoga memperolehnya, sebagaimana yang dilakukan ulam salaf.
Saudaraku yang baik, Rasulullah SAW sengaja memperlihatkan keistimewaan yang ada pada malam kemuliaan (lailatul qadr) yang penuh berkah itu. Karena beliau tahu bahwa dahulu pernah ada seorang lelaki bani Israil yang selama 1000 bulan selalu memakai pedang berjuang dijalan Allah. Karena umur ummatnya tidak ada yang sepanjang itu, maka Allah menurunkan surat Al-Quran yang menerangkan mengenai malam kemuliaan itu: “Sesungguhnya kami menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemulian itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh dengan kesejahteraan sampai terbit fajr” (Al Qadr 1-5).
Al Qadr berarti kemuliaan atau tempat kedudukan yang tinggi, atau dikatakan juga takdir (ketentuan) dan keduanya dianggap benar. Ia merupakan tempat menentukan segala urusan dalam setiap tahun, seperti firman Allah: “Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Quran pada suatu malam yang diberkati, dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah” (Ad Dukhan 3-4).
Seribu bulan lebih lamanya daripada 83 tahun (sepanjang umur manusia). Dan melakukan ibadah pada malam itu pahalanya setara dengan melakukan ibadah sepanjang masa. Tentu saja itu merupakan kemurahan. Oleh karena itulah Rasulullah menjadi orang yang paling antusias untuk melakukannya. Demi hal itu beliau melakukan i’tikaf di masjid, seraya melepaskan diri dari segala kesibukan dunia. Beliau bersabda: “Barang siapa melakukan ibadah pada malam kemuliaan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni”.
Suatu hal yang perlu diperhatikan mengenai keistimewaan malam kemuliaan ini ialah, bahwa Allah memuliakan segenap manusia dengan cara menurunkan cahaya petunjuk pada malam itu. Karenanya, gelap kesesatan hilang sirna. Pada malam itu Allah menghidupkan hati manusia kalau mereka mau melakukan amal-amal yang saleh. Pada malam itu turun para malaikat dan termasuk juga Jibril.
Satu lagi keistimewaan malam kemuliaan tersebut ialah, kalau peristiwa turunnya malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW membawa wahyu sudah berlalu, maka pada malam kemuliaan itu seakan-akan merupakan rekonstruksinya ataupun demi pembaharuan kesejahteraan bagi manusia. Apabila Jibril waktu itu turun dengan membawa wahyu dan syariat Islam, maka pada malam kemuliaan itu beliau turun lagi setelah mendapat izin dari Rabbnya untuk mengatur segala urusan yang berlaku setahun bagi penghuni bumi. Para malaikat pun ikut turun dengan membawa segenap kesejahteraan. Pada malam itu seolah-olah seluruh dunia tengah terjaga menyambut tanda-tanda kesejahteraan, kedamaian, kebajikan dan keselamatan.
Ini mendorong kita untuk menyuarakan kepada segenap dunia bahwa sesungguhnya agama kita dan misi atau risalah nabi kita, adalah agama dan misi kesejahteraan yang selalu diperbaharui setiap tahunnya.
Malam kemuliaan merupakan karunia yang tiada duanya. Siapapun yang sampai terlambat memanfaatkannya, maka sama halnya ia telah berlaku aniaya terhadap dirinya sendiri. Karena istrinya Aisyah ra, Rasulullah SAW pernah memberikan wasiat:
“Apabila kamu mendapati malam itu (lailatul qadr), maka bacalah do’a ini: Allahumma innaka ‘afqun tuhibbul ‘afwa fa’annii. (Ya Allah, sesungguhnya Engkau maha pengampun, Engkau suka mengampuni, maka ampunilah aku)” (HR Tarmidzi).
Do’a tersebut mencakup segala kebajikan. Masalahnya kalau orang sudah diberikan ampunan, maka jiwa dan raganya akan terpelihara. Ia pun akan dipelihara dari hisab (perhitungan amal) dan siksa, sehingga ia akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Rasulullah SAW sudah menjelaskan kepada para sahabatnya mengenai tanggal dari pada malam lailatul qadr tersebut, yakni disekitar bilangan sepuluh hari yang terakhir pada bulan Ramadhan. Agaknya masalah tersebut tidak perlu diperdebatkan, karena seluruh malam yang ganjil dari sepuluh malam terakhir, terdapat hadist yang memaparkan bahwa malam itu adalah lailatul qadr. Menurut pandangan kami (Athiyah Muhammad Salim), yang tepat ialah bahwa lailatul qadr itu tidak menentu dan berpindah-pindah.
“Ya Allah, tolonglah kami untuk bisa melakukan ibadah pada malam kemuliaan. Berikan kepada kami berkat kebajikannya. Ampunilah kami. Terimalah permohonan kami agar Engkau berkenan membebaskan kami semua dari siksa neraka. Sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang maha mendengar dan yang maha mengabulkan do’a. Semoga shalawat dan salam sejahtera Allah senantiasa terlimpah bagi hamba dan Rasul-Nya yang mulia Muhammad SAW”.
Rasulullah SAW bersabda: “Perangilah nafsu kamu dengan menahan lapar dan dahaga, karena pahalanya seperti pahala orang yang berjihad di jalan Allah dan tidak ada amalan yang disukai di sisi Allah daripada menahan lapar dan dahaga”. Wallahu a’lam.(*)
“Sesunguhnya Kami telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS al-Qadr [97]: 1-5).
Saudaraku, begitu besar kasih sayang yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Lihattlah kita, manusia, sebagai hamba-Nya dengan tabiat yang sering jatuh bangun dalam lumpur dosa. Namun Allah senantiasa mengasihi dengan memberi kita kemudahan-kemudahan untuk mensucikan diri dari karat-karat dosa dan kemaksiatan. Tak bisa dibayangkan, sebesar apa noda hitam kemaksiatan itu tergores dalam hati, apabila Allah tidak melimpahkan ampunan-Nya yang Maha Luas.
Ramadhan, merupakan salah satu sarana yang Allah berikan kepada kita memperoleh ampunan-Nya. Banyak sekali kelebihan-kelebihan yang Allah berikan kepada hamba-Nya melalui Ramadhan ini, sehingga wajar kalau Rasulullah mengekspresikan keutamaannya dengan perkataan “Apabila umat ini tahu apa yang ada dalam Ramadhan, niscaya mereka akan mengharapkan hal itu selam satu tahun penuh.” (HR Tabrani).
Bahkan salah satu malam yang diselimuti keberkahan hanya terdapat pada salah satu malam di bulan Ramadhan. Betapa agungnya Ramadhan sehingga tak ada selainnya yang mendapatkan malam mulia yang lebih baik dari seribu bulan. Rasulullah saw, bersabda, “Barangsiapa yang beribadah pada malam Lailatul Qadr, niscaya diampuni dosa-dosanya yang sudah lewat. (HR Bukhari dan Muslim)
Banyak penjelasan Rasulullah saw yang sampai pada kita tentang keutamaan-keutamaan malam yang penuh berkah ini. Sebagai malam yang terbaik dan paling barakah diantara malam yang ada, didalamnya Allah telah menjanjikan pada hambanya yang ikhlas dan berharap untuk mendapatkan perlindungan-Nya di hari akhir, akan melipatgandakan sampai 1000 bulan untuk amal-amalan kebaikan yang dilakukan pada malam ini.
Banyak sekali hadist yang menerangkan bahwa kaum muslim hendaklah mencari lailatul qadar diantara tanggal ganjil pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan (HR Bukhari) atau tujuh malam terakhir bulan itu (HR Bukhari). Tampaknya bagi kita tidak menjadi persoalan kapan lailatul qadar itu didatangkan, tetapi yang penting adalah menjemput kedatangannya pada setiap waktu dan mempersiapkan diri untuk itu. Mungkin lebih baik jika kita pusatkan perhatian pada kesiapan mental, kejernihan hati, ketulusan jiwa, keadilan pikiran, kepenuhan iman kita, serta totalitas iman dan kepasrahan jiwa kita kepada Allah Azza Wa Jalla.
Karena itulah, Ramadhan dengan lailatul Qadar-Nya sebagai media yang bisa mengantarkan kita pada kesucian. Adalah sangat disunahkan bagi kita untuk berusaha memperolehnya dengan memperbanyak ibadah dan amalan-amalan yang baik. Rasulullah, suatu ketika mengatakan “Barang siapa beramal pada malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka terampunilah dosa-dosanya yang telah lalu”. Tidak berlebihan memang, kalau Allah menamainya yang kebaikannya melebihi seribu bulan.
Tentu alangkah sombongnya manusia yang sangat membutuhkan pengampunan dari Allah atas perbuatan-perbuatan mereka yang banyak menyimpang, apabila mereka menyia-nyiakan kesempatan emas yang bersifat tak tentu akan mereka dapatkan di masa-masa yang akan datang. Siapa yang bisa menjamin bahwa usia kita akan sampai Ramadhan tahun-tahun yang akan datang. Oleh karena itu merupakan keharusan yang tidak bisa tidak bagi kita, untuk mengejarnya, sehingga janji-janji Allah yang telah ditaburkan itu benar-benar bisa kita dapatkan.
Berangkat dari sini, kita bisa menyikapinya dengan senatiasa mengoptimalkan ibadah kita di 10 malam terakhir dalam bulan yang penuh rahmat ini. Dengan begitu kita tidak khawatir akan terlepas dari malam lailatul qadar. Karena kita mencarinya hanya pada malam-malam tertentu.
Kemudian setelah paparan diatas, kita sebagai hamba Allah yang benar-benar memahami kebenaran kekuasaannya sadar bahwa usaha kita dalam mencari lailatul qadar ini adalah untuk membuktikan dan merealisasikan penghambaan kita kepada Allah Swt, sehingga hal itu mengingatkan kita, seharusnya kita bersama-sama mendekatkan diri kapanpun dan dimanapun, tanpa dibatasi ruang dan waktu. Semoga Allah Yang Maha Agung, memberi kesempatan kepada kita untuk mengecap, menikmati, dan melampaui malam lailatul qadar pada bulan Ramadhan ini dengan kesungguhan beribadah dan keikhlasan hati.
Saudaraku yang budiman, para ulama menerangkan bahwa hikmah disembunyikannya malam qadar, tidak ditegaskan malamnya, ialah supaya kita berusaha mencarinya, meningkatkan ibadah di setiap malam, membanyakkan doa semoga memperolehnya, sebagaimana yang dilakukan ulam salaf.
Saudaraku yang baik, Rasulullah SAW sengaja memperlihatkan keistimewaan yang ada pada malam kemuliaan (lailatul qadr) yang penuh berkah itu. Karena beliau tahu bahwa dahulu pernah ada seorang lelaki bani Israil yang selama 1000 bulan selalu memakai pedang berjuang dijalan Allah. Karena umur ummatnya tidak ada yang sepanjang itu, maka Allah menurunkan surat Al-Quran yang menerangkan mengenai malam kemuliaan itu: “Sesungguhnya kami menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemulian itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh dengan kesejahteraan sampai terbit fajr” (Al Qadr 1-5).
Al Qadr berarti kemuliaan atau tempat kedudukan yang tinggi, atau dikatakan juga takdir (ketentuan) dan keduanya dianggap benar. Ia merupakan tempat menentukan segala urusan dalam setiap tahun, seperti firman Allah: “Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Quran pada suatu malam yang diberkati, dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah” (Ad Dukhan 3-4).
Seribu bulan lebih lamanya daripada 83 tahun (sepanjang umur manusia). Dan melakukan ibadah pada malam itu pahalanya setara dengan melakukan ibadah sepanjang masa. Tentu saja itu merupakan kemurahan. Oleh karena itulah Rasulullah menjadi orang yang paling antusias untuk melakukannya. Demi hal itu beliau melakukan i’tikaf di masjid, seraya melepaskan diri dari segala kesibukan dunia. Beliau bersabda: “Barang siapa melakukan ibadah pada malam kemuliaan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni”.
Suatu hal yang perlu diperhatikan mengenai keistimewaan malam kemuliaan ini ialah, bahwa Allah memuliakan segenap manusia dengan cara menurunkan cahaya petunjuk pada malam itu. Karenanya, gelap kesesatan hilang sirna. Pada malam itu Allah menghidupkan hati manusia kalau mereka mau melakukan amal-amal yang saleh. Pada malam itu turun para malaikat dan termasuk juga Jibril.
Satu lagi keistimewaan malam kemuliaan tersebut ialah, kalau peristiwa turunnya malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW membawa wahyu sudah berlalu, maka pada malam kemuliaan itu seakan-akan merupakan rekonstruksinya ataupun demi pembaharuan kesejahteraan bagi manusia. Apabila Jibril waktu itu turun dengan membawa wahyu dan syariat Islam, maka pada malam kemuliaan itu beliau turun lagi setelah mendapat izin dari Rabbnya untuk mengatur segala urusan yang berlaku setahun bagi penghuni bumi. Para malaikat pun ikut turun dengan membawa segenap kesejahteraan. Pada malam itu seolah-olah seluruh dunia tengah terjaga menyambut tanda-tanda kesejahteraan, kedamaian, kebajikan dan keselamatan.
Ini mendorong kita untuk menyuarakan kepada segenap dunia bahwa sesungguhnya agama kita dan misi atau risalah nabi kita, adalah agama dan misi kesejahteraan yang selalu diperbaharui setiap tahunnya.
Malam kemuliaan merupakan karunia yang tiada duanya. Siapapun yang sampai terlambat memanfaatkannya, maka sama halnya ia telah berlaku aniaya terhadap dirinya sendiri. Karena istrinya Aisyah ra, Rasulullah SAW pernah memberikan wasiat:
“Apabila kamu mendapati malam itu (lailatul qadr), maka bacalah do’a ini: Allahumma innaka ‘afqun tuhibbul ‘afwa fa’annii. (Ya Allah, sesungguhnya Engkau maha pengampun, Engkau suka mengampuni, maka ampunilah aku)” (HR Tarmidzi).
Do’a tersebut mencakup segala kebajikan. Masalahnya kalau orang sudah diberikan ampunan, maka jiwa dan raganya akan terpelihara. Ia pun akan dipelihara dari hisab (perhitungan amal) dan siksa, sehingga ia akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Rasulullah SAW sudah menjelaskan kepada para sahabatnya mengenai tanggal dari pada malam lailatul qadr tersebut, yakni disekitar bilangan sepuluh hari yang terakhir pada bulan Ramadhan. Agaknya masalah tersebut tidak perlu diperdebatkan, karena seluruh malam yang ganjil dari sepuluh malam terakhir, terdapat hadist yang memaparkan bahwa malam itu adalah lailatul qadr. Menurut pandangan kami (Athiyah Muhammad Salim), yang tepat ialah bahwa lailatul qadr itu tidak menentu dan berpindah-pindah.
“Ya Allah, tolonglah kami untuk bisa melakukan ibadah pada malam kemuliaan. Berikan kepada kami berkat kebajikannya. Ampunilah kami. Terimalah permohonan kami agar Engkau berkenan membebaskan kami semua dari siksa neraka. Sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang maha mendengar dan yang maha mengabulkan do’a. Semoga shalawat dan salam sejahtera Allah senantiasa terlimpah bagi hamba dan Rasul-Nya yang mulia Muhammad SAW”.
Rasulullah SAW bersabda: “Perangilah nafsu kamu dengan menahan lapar dan dahaga, karena pahalanya seperti pahala orang yang berjihad di jalan Allah dan tidak ada amalan yang disukai di sisi Allah daripada menahan lapar dan dahaga”. Wallahu a’lam.(*)
Langganan:
Postingan (Atom)