Oleh Moh. Safrudin, S.Ag, M.PdI
(Ketua Presidium Wilayah Majelis Alumni IPNU Sultra)
Berawal dari Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) pasal 50 ayat 3 yang menyatakan bahwa pemerintah dan /atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional, sekolah-sekolah rintisan internasional di berbagai jenjang pendidikan menjamur di Tanah Air. Belakangan program tersebut tidak saja dikembangkan di lembaga pendidikan di bawah Kementerian Pendidikan Nasional (sekolah), tetapi juga lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama (madrasah). Jika tidak salah pada tahun 2010 ini saja Kementerian Agama mencanangkan dua belas Madrasah Aliyah sebagai Rintisan Madrasah Bertaraf Internasional. Dalihnya jelas, yakni untuk menjalankan amanah undang-undang tersebut. Tak ketinggalan, sekolah-sekolah pinggriran pun juga melabel diri mereka sebagai sekolah bertaraf, setidaknya rintisan, internasional. Dalam waktu singkat jumlah sekolah dan madrasah yang merintis program internasional sangat banyak.
Setelah tujuh tahun sejak peraturan yang memayungi pendirian sekolah bertaraf internasional itu diundangkan, kini sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh tentang kebijakan tersebut. Sebab, kenyataannya pemahaman tentang visi, tujuan, dan manajemen sekolah bertaraf internasional sebagaimana maksud semula undang-undang tidak sepenuhnya dipahami baik oleh pihak sekolah maupun pemerintah daerah. Akibatnya, pelaksanaannya telah melenceng agak jauh dari maksud semula. Ini bisa dilihat dari kesalahan dalam mengartikan ‘internasional’.
Konsep internasionalisasi pendidikan bukan sekadar menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan belajar mengajar, tetapi juga mulai sistem pendidikan, kurikulum, standar, dan kualitasnya yang internasional. Karena itu, jika berbahasa Inggris dijadikan satu-satunya tanda sudah berinternasional, maka sungguh konyol. Semua pihak hanya berkonsentrasi bagaimana meningkatkan kemampuan bahasa Inggris. Para guru sibuk belajar bahasa Inggris agar bisa mengajar di kelas internasional karena merasa lebih bergengsi dan tentu ada tambahan honorarium yang berbeda dengan yang tidak mengajar di kelas internasional. Sedangkan para siswa lebih berkonsentrasi belajar bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Karena itu, tak mengherankan jika matapelajaran bahasa Indonesia pada Ujian Nasional 2010 sangat jeblok. Nilai matapelajaran bahasa Inggris lebih baik daripada nilai bahasa Indonesia. Sebuah ironi terjadi di dunia pendidikan kita. Bahasa asing lebih dikuasai daripada bahasa nasional yang mestinya dijunjung tinggi.
Yang lebih parah lagi adalah terjadinya pungutan dana yang jauh dari ukuran kemampuan masyarakat pada umumnya. Sekadar ilustrasi di sebuah sekolah favorit di sebuah kota ukuran sedang ada orangtua siswa yang sanggup membayar uang masuk sebesar Rp. 25 juta rupiah jika anaknya diterima di kelas program internasional. Saya kira untuk ukuran masyarakat kita uang sebesar untuk beaya masuk SMA itu jauh di atas kemampuan rata-rata masyarakat kita. Padahal, untuk beaya masuk perguruan tinggi saja tidak sebesar itu.
Tak pelak lagi pungutan tersebut mengundang reaksi dari berbagai pihak akhir-akhir ini sehingga program internasionalisasi pendidikan tak ubahnya merupakan komersialisasi pendidikan. Padahal, dari pengamatan sekilas yang disebut kelas program internasional tersebut sama sekali tak ada bedanya dengan kelas-kelas lain, kecuali untuk mata pelajaran IPA disampaikan dalam bahasa Inggris oleh guru yang baru saja kursus bahasa Inggris dengan kemampuan pas-pasan. Akhirnya yang terjadi bukan mengajarkan matapelajaran IPA dalam bahasa Inggris, melainkan mengajar bahasa Inggris (not teaching physics in English, but teaching English). Jika terpaksa menyampaikan matapelajaran IPA tersebut dalam bahasa Inggris, siswa juga tidak paham sebab bahasa Inggris tidak komunikatif. Tentu semua paham bahwa mengajar bahasa Inggris tidak sama dengan mengajar dalam bahasa Inggris.
Latar belakang pendirian sekolah bertaraf internasional adalah semakin ketatnya kehidupan di era globalisasi saat ini. Sebagai bagian dari masyarakat global, Indonesia perlu segera mengambil langkah-langkah konkret menghadapi kompetisi global tersebut yakni membekali siswa dengan kemampuan kompetitif yang tinggi sehingga mampu bersaing di kancah global. Karena itu lahirlah undang-undang yang memberikan kesempatan kepada sekolah-sekolah yang sudah mapan untuk mengembangkan diri menuju sekolah internasional.
Ukuran mapan atau tidak ditakar dari pemenuhan delapan komponen standar nasional pendidikan, mulai dari isi, proses, lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, manajemen, keuangan, hingga evaluasi. Jika delapan komponen standar itu terpenuhi, maka sekolah bisa mengembangkannya menuju rintisan internasional dengan memfokuskan pada pendalaman, pengembangan, dan perluasan isi sehingga lulusanya memiliki daya saing tinggi. Singkatnya SBI adalah SNP + X. Kenyataannya yang terjadi adalah sekolah-sekolah yang masih jauh dari pemenuhan delapan standar nasional pendidikan itu dicanangkan atau mencanangkan diri sebagai sekolah internasional. Bisa dibayangkan hasilnya seperti apa.
Uniknya lagi jika ada pihak yang mengkritisi statusnya sebagai sekolah bertaraf internasional, pengelola umumnya menjawab ‘sebagai rintisan’, sehingga sekolah itu berlabel RSBI. Jadi belum bertaraf internasional. Kata ‘rintisan’ ternyata cukup ampuh untuk menarik minat masyarakat menyekolahkan putra-putrinya di sekolah tersebut. Dalam benak pengelola, karena masih berstatus ‘rintisan’, maka kalaupun kualitasnya belum sepadan yang diharapkan sebagai sekolah internasional, mohon semua pihak memakluminya. Tetapi pada saat yang sama, karena masih tahap merintis menuju yang sesungguhnya diperlukan dana cukup besar. Karena itu, orangtua yang menyekolahkan anaknya di program rintisan itu mesti rela mengeluarkan beaya jutaan rupiah yang hasil dan akuntabilitasnya tidak jelas.
Dari gambaran di atas, kini sudah saatnya kebijakan internasionalisasi pendidikan segera dievaluasi oleh pemerintah bersama wakil rakyat (DPR). Semua sekolah dan madrasah yang selama ini melabel diri mereka sebagai Sekokah/Madrasah Bertaraf Internasional atau Rintisan Sekolah/Madrasah Internasional diminta akuntabilitasnya baik dari sisi akademik maupun keuangannya. Dari sisi akademik, dicek apa saja produk akademik yang telah dihasilkan dari program tersebut, dan dari sisi keuangan dicek untuk apa saja dana yang diserap dari masyarakat dalam jumlah yang cukup besar itu.
Dari evaluasi menyeluruh itu akan bisa diketahui sekolah-sekolah yang memang layak dan berpotensi layak menuju internasional untuk diteruskan dengan pembinaan intensif dan dukungan dana dari pemerintah sehingga tidak menarik dana dari masyarakat secara berlebihan. Sesuai undang-undang pendidikan merupakan tanggung jawab penuh pemerintah dan masyarakat ikut serta dalam pengembangan pendidikan. Karena itu, menarik dana besar-besaran dari masyarakat untuk program internasionalisasi sekolah bertentangan dengan undang-undang.
Sementara itu, jika dalam evaluasi ditemukan sekolah yang belum layak mengembangkan program internasionalisasi pendidikan segera dikembalikan ke status semula sebagai Sekolah Nasional. Menjadi sekolah nasional dengan kualitas unggul tidak kalah gengsi dan akan jauh lebih bermartabat daripada melabel diri dengan kata ‘internasional’ tetapi tidak berkualitas dan hanya dipakai sebagai kedok untuk memungut dana masyarakat secara berlebihan. Muncul kekhawatiran jika tidak segera ada evaluasi dan program sejenis terus tumbuh, maka akan terjadi komersialisasi pendidikan yang luar biasa. Korbannya adalah masyarakat yang tidak berkantong tebal.
Perlu disadari oleh semua bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Pendidikan merupakan kebutuhan sangat mendasar setiap warga negara. Karena itu, adalah kewajiban pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada semua warga negara memperoleh pendidikan yang layak. Pendidikan bukan monopoli anggota masyarakat yang berduit. Ada gejala program internasionalisasi pendidikan di sekolah-sekolah kita berpotensi melahirkan ketidakadilan memperoleh pendidikan.
Selasa, 21 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar