Selasa, 28 September 2010

SUKA MEMBERI ADALAH SALAH SATU CARA MENCEGAH KORUPSI

OLEH : MOH. SAFRUDIN, M.PdI
Ternyata ada saja orang-orang yang sukanya memberi. Mereka itu lebih suka memberi daripada menerima. Dengan telah berhasil memberi maka hati mereka gembira dan puas. Tugas dan kewajibannya telah merasa ditunaikan. Itulah orang yang bermental pemberi.



Hanya mungkin saja jumlah mereka itu tidak bayak. Yang selalu kita temukan adalah orang-orang yang gembira tatkala menerima. Orang-orang seperti itu, setiap hari yang dipikir adalah mencari sumbangan. Tatkala mendapatkannya, mereka merasa beruntung dan hatinya gembira. Mereka berprestasi dan bangga, karena telah mendapatkan sumbangan itu.



Islam mengajak umatnya menjadi pemberi dan bukan sebaliknya, menjadi penerima. Dikatakan dalam sebuah hadits nabi, bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Artinya pemberi lebih baik dari mereka yang menerimanya. Orang Islam dianjurkan selalu memberi sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Hingga juga ada hadits nabi yang mengatakan bahwa, sebaik-baik orang adalah mereka yang banyak memberi manfaat bagi orang lain.



Tatkala memberi sudah menjadi kesenangan, atau seseorang telah bermental pemberi, maka mereka merasa sukses dan berhasil hidupnya tatkala keinginan atau jiwanya itu telah terpenuhi. Mereka bekerja dan hasilnya agar bisa diberikan kepada orang lain. Orang seperti ini, biasanya tidak suka menumpuk-numpuk hartanya. Keberhasilan menumpuk harta bukan menjadi kebanggaan, bahkan sebaliknya, risih dan atau malu.



Orang yang bermental seperti itu, tidak suka korupsi. Mengambil harta bukan haknya dirasakan olehnya sebagai kenistaan, hina, dan rendah. Seseorang jangankan mengambil sesuatu yang bukan haknya, haram hukumnya, barang yang tidak semestinya, sedangkan yang merupakan milik dan halal saja, segera barang itu diberikan kepada orang lain. Orang yang bermental seperti ini, ternyata di mana-mana ada, sekalipun tidak banyak jumlahnya.



Orang bermental pemberi tidak selalu kaya. Apa yang diberikan, sebatas yang mereka miliki. Apa yang dimiliki dan tidak sedang diperlukan, -----jika mungkin, diberikan pada orang lain. Mereka itulah pemilik sifat atau berjiwa pemberi. Tatkala mereka berhasil memberikan sesuatu kepada orang lain, maka mereka hatinya puas, gembira, dan bahagia. Kebanggaan atau kesenangan yang didapat oleh mereka tatkala berhasil memberi, melebihi kebanggaan atau kesenangan yang dirasakan oleh orang lain yang menerimanya.



Para koruptor sebenarnya adalah orang-orang yang berjiwa atau hatinya lebih menyukai ketika mendapatkan, ------darimana pun datangnya, dan bukan sebaliknya, memberi atau melepas sesuatu. Para koruptor itu, sebenarnya adalah orang-orang yang lebih menyukai harta atau uang. Mereka lebih menyukai dirinya menjadi penerima.



Mental pemberi bisa dimiliki oleh siapapun, baik orang kaya maupun orang yang tidak tergolong kaya. Tidak selalu orang kaya bermental murah hati atau suka member. Tidak sulit kita temukan dalam kehidupan sehatri-hari, orang kaya justru pelit, dan sebaliknya orang yang miskin tetapi bermental pemberi. Mental pemberi bisa dilatih, hingga seseorang yang semula pelit, ------karena latihan itu, maka lama kelamaan berubah menjadi suka memberi.



Pertanyaannya kemudian adalah, apakah birokrasi pemerintah selama ini lebih menumbuh-suburkan mental pemberi dan atau sebaliknya, bermental penerima. Sebagai abdi negara, masyarakat, dan rakyat, semestinya lingkungan birokrasi ditumbuh-kembangkan mental atau jiwa pemberi, pejuang dan berkorban. Mental pemberi, pejuang, dan berkorban sebenarnya bisa ditumbuh-kembangkan, tidak terkecuali di lingkungan birokrasi.



Jika di birokrasi ------birokrasi apa saja, yang ditumbuh-kembangkan adalah jiwa atau mental penerima, maka akan tumbuh mental korup. Orang yang gemarnya menerima, akan puas kalau kegemarannya terpenuhi. Para pimpinan birokrasi yang selalu berpikir tunjangan, fasilitas, hak-hak, kenaikan honor, dan seterusnya maka pada jiwanya akan lahir mental korup itu. Mental korup akhirnya menjadi tumbuh dan berkembang. Bahkan juga bisa menular ke orang lain. Sehingga, seseorang yang semula baik, bermental dan berjiwa pemberi, suatu saaat berubah menjadi koruptor.



Ada kesan umum bahwa birokrasi selalu diwarnai oleh mental korup. Jika kesan itu benar, maka bagi orang-orang yang masuk birokrasi atau menjadi birokrat perlu dikasihani. Mereka berada di lingkungan, iklim atau suasana yang sedemikian mudah berkorupsi. Oleh karena itu, dari memahami bahwa birokrasi selalu melahirkan mental korup, maka menghindarinya perlu dikembangkan mental atau jiwa pemberi itu.



Mengembangkan mental pemberi bisa ditempuh dengan cara selalu membiasakan untuk mengapresiasi, menghormati, memuliakan, dan menghargai terhadap orang-orang yang terbiasa memberi sesuatu kepada orang lain. Sebaliknya, mental suka menerima dan mendapatkan perlu dihindari. Sebab, orang yang hanya merasa nikmat tatkala menerima, maka sehari-hari akan berusaha menerima sebanyak-banyaknya, sekalipun berasal dari jalan korupsi. Di lingkungan para birokrat pada tingkatan atau level apapun, perlu ditumbuh-kembangkan mental dan jiwa pemberi, pejuang, sekaligus berkorban.





Konsep jihad dalam Islam, sebenarnya adalah terkait dengan upaya menumbuh-kembangkan mental pemberi, pejuang dan sekaligus berkorban. Maka, jihad yang benar selalu berhubungan dengan kebaikan, kemuliaan, kebenaran, dan keagungan. Para mujahid selalu berjiwa atau bermental pemberi. Mereka tidak pernah akan korupsi. Sebaliknya, para koruptor adalah orang yang suka menerima, memperoleh, atau mendapatkan.



Oleh karena itu, sebenarnya cara efektif mengurangi fenomena korupsi, bisa dilakukan dengan jalan menghindari kebiasaan menerima, mendapatkan fasilitas, atau honor-honor tambahan lainnya. Jika itu dilakukan, maka sama halnya sehari-hari membenci korupsi, tetapi secara nyata sehari-hari pula, ------disadari atau tidak, telah menumbuh-kembangkan mental korup. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar