Kamis, 23 September 2010

HALAL BI HALAL

OLEH : MOH.SAFRUDIN
Al-Quran adalah kitab rujukan untuk memperoleh petunjuk dan bimbingan agama. Ada tiga cara yang diperkenalkan ulama untuk memperoleh pesan-pesan kitab suci itu. Pertama, melalui penjelasan Nabi Saw., para sahabat beliau, dan murid-murid mereka. Hal ini dinamai tafsir bir-riwayah. Kedua, melalui analisis kebahasaan dengan menggunakan nalar yang didukung oleh kaidah-kaidah ilmu tafsir. Ini, dinamai tafsir bid-dinyah. Ketiga, melalui kesan yang diperoleh dari penggunaan kosa kata ayat atau bilangannya, yang dinamai tafsir bir-riwayah.
Kajian ini akan mencoba mencari substansi halal bihalal melalui Al-Quran dengan menitikberatkan pandangan pada cara yang ketiga.
Untuk maksud tersebut, tulisan ini akan berpangkal tolak pada beberapa istilah yang lumrah digunakan dalam konteks halal bihalal, yaitu Idul Fitri, halal bi halal, dan Minal 'Aidin wal-Faizin.



IDUL FITRI
Kata 'Id terambil dari akar kata yang berarti kembali, yakni kembali ke tempat atau ke keadaan semula. Ini berarti bahwa sesuatu yang "kembali" pada mulanya berada pada suatu keadaan atau tempat, kemudian meninggalkan tempat atau keadaan itu, lalu kembali dalam arti ke tempat dan keadaan semula.
Nah, apakah keadaan atau tempat semula itu?
Hal ini dijelaskan oleh kata fithr, yang antara lain berarti asal kejadian, agama yang benar, atau kesucian.
Dalam pandangan Al-Quran, asal kejadian manusia bebas dari dosa dan suci, sehingga 'idul fithr antara lain berarti kembalinya manusia kepada keadaan sucinya, atau keterbebasannya dari segala dosa dan noda, sehingga dengan demikian ia berada dalam kesucian.
Dosa memang mengakibatkan manusia menjauh dari posisinya semula. Baik kedekatan posisinya terhadap Allah maupun sesama manusia. Demikianlah salah satu kesan yang diperoleh dari sekian banyak ayat Al-Quran.
Ketika Adam dan Hawa berada di surga, Allah menyampaikan pesan yaitu, Janganlah mendekati pohon ini (QS Al-Baqarah [2]: 35). Namun, begitu keduanya melanggar perintah Allah (karena berdosa dengan memakan buah pohon itu), Al-Quran menyatakan, maka Tuhan mereka menyeru keduanya, "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua mendekati pohon itu?" (QS Al-A'raf [7] 22).
Kesan yang ditimbulkan oleh redaksi ayat-ayat di atas antara lain:
Pertama, bahwa sebelum terjadinya pelanggaran, Allah bersama Adam dan Hawa berada pada suatu posisi berdekatan, yakni masing-masing tidak jauh dari pohon terlarang. Karena itu, isyarat kata yang dipergunakan untuk menunjuk pohon adalah isyarat dekat, yakni "ini". Tetapi, ketika Adam dan Hawa melanggar, mereka berdua menjauh dari posisi semula, dan Allah pun demikian, sehingga Allah harus "menyeru mereka" (yakni berbicara dari tempat yang jauh), dan ini pula yang menyebabkan Tuhan menunjuk pohon terlarang itu dengan isyarat jauh, yakni "itu" (perhatikan kembali bunyi ayat-ayat di atas).
Di sini terlihat bahwa baik Adam maupun Allah masing-masing menjauh, tetapi jika mereka kembali, masing-masing akan mendekat sehingga pada akhirnya akan berada pada posisi semula. Memang, tegas Al-Quran,
Jika hamba-hamba-Ku (yang taat dan menyadari kesalahannya) bertanya kepadamu tentang Aku, sesunguhnya Aku dekat, dan memperkenankan permohonan jika mereka bermohon kepada-Ku (QS Al-Baqarah [2]: 186).
Kesadaran manusia terhadap kesalahannya mengantarkan Allah mendekat kepadanya. Pada gilirannya, hal itu akan menyebabkan manusia bertobat. Perlu diingat, bahwa tobat secara harfiah berarti kembali. Sehingga dengan demikian Allah pun akan kembali pada posisi semula. Al-Quran memperkenalkan dua pelaku tobat, yaitu manusia dan Allah Swt.
Adam menerima kalimat-kalimat dari Tuhannya, maka Dia (Allah) menerima tobatnya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima tobat lagi Maha Pengasih (QS Al-Baqarah [2]:37).
Walau bukan kembali dalam konteks memohon ampun, namun dapat diperoleh kesan dari firman-Nya yang menyatakan "Jikalau kamu kembali Kami pun akan kembali" (QS Al-Isra' [l7]: 8), bahwa Allah selalu rindu akan kembalinya manusia kepada-Nya.
Hadis Nabi Saw. pun menjelaskan bahwa Allah berfirman antara lain,
Apabila hamba-Ku mendekat kepada-Ku (Allah) sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Bila ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Bila ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang menemuinya dengan berlari (HR Bukhari dari Anas bin Malik).
Kegembiraan Allah itu tercermin dari hadis Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Saw. bersabda,
Allah lebih gembira karena tobatnya seseorang, pada saat ia bertobat dari salah seorang di antara kamu yang mengendarai binatang kendaraannya di padang pasir, kemudian binatang itu pergi menjauh padahal di pundak binatang itu terdapat makanan dan minumannya. Dia berputus asa untuk menemukannya kembali, hingga ia berbaring di bawah naungan pohon, dan tiba-tiba saja binatang tadi muncul di hadapannya. Lantas dia pun memegang tali kendalinya sambil berkata saking gembiranya, "Engkau adalah hambaku dan Aku Tuhanmu."
Dalam konteks hubungan manusia dengan sesamanya, dapat ditarik kesan dari penamaan manusia dengan kata al-Insan. Kata ini --menurut sebagian ulama-- terambil dari kata uns yang berarti senang atau harmonis. Sehingga dari sini dapat dipahami, bahwa pada dasarnya manusia selalu merasa senang dan memiliki potensi untuk menjalin hubungan harmonis antarsesamanya. Dengan melakukan dosa terhadap sesama manusia, hubungan tersebut menjadi terganggu dan tidak harmonis lagi. Namun manusia akan kembali ke posisi semula (harmonis) pada saat ia menyadari kesalahannya, dan berusaha mendekat kepada siapa yang pernah ia lukai hatinya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa idul fitri mengandung pesan agar yang merayakannya mewujudkan kedekatan kepada Allah dan sesama manusia. Kedekatan tersebut diperoleh antara lain dengan kesadaran terhadap kesalahan yang telah diperbuat.

HALAL BIHALAL
Kata halal dari segi hukum diartikan sebagai sesuatu yang bukan haram; sedangkan haram merupakan perbuatan yang mengakibatkan dosa dan ancaman siksa.
Hukum Islam memperkenalkan panca hukum yaitu: wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Empat yang pertama termasuk kelompok halal (termasuk yang makruh, dalam arti, yang dianjurkan untuk ditinggalkan). Nabi Saw. bersabda, "Abghadu al-halal ila Allah, ath-thalaq" (Halal yang paling dibenci Allah adalah pemutusan hubungan suami-istri).
Jikalau halal bi halal diartikan dalam konteks hukum, hal itu tidak akan menyebahkan lahirnya hubungan harmonis antarsesama, bahkan mungkin dalam beberapa hal dapat menimbulkan kebencian Allah kepada pelakunya. Karena itu, sebaiknya kata halal pada konteks halal bihalal tidak dipahami dalam bihalal pengertian hukum.
Dalam Al-Quran, kata halal terulang sebanyak enam kali. Dua di antaranya pada konteks kecaman, yaitu:
Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?" (QS Yunus [10]:59).
Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. (Itu adalah) kesenangan sementara yang sedikit, dan bagi mereka siksa yang pedih (QS Al-Nahl [16]: 116-117).
Kesan apakah yang dapat diperoleh dari ayat ini? Paling tidak, terdapat kecaman terhadap mereka yang mencampurbaurkan antara yang halal dan yang haram. Jika yang mencampurbaurkan saja telah dikecam dan diancam dengan siksa yang pedih, lebih-lebih lagi orang yang seluruh aktivitasnya adalah haram.
Empat halal lainnya yang tersebut dalam Al-Quran mempunyai dua ciri yang sama, yaitu:

a. Dikemukakan dalam konteks perintah makan (kulu),
b. Kata halal digandengkan dengan kata thayyibah (baik).

Perhatikan keempat ayat berikut:
Kulu mimma fil ardhi halalan thayyiban (Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi) (QS Al-Baqarah [2]: 168)
Wakulu mimma razaqakamullah halalan thayyiban... (Dan makanlah makanan yang halal lagi baik, dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu) (QS Al-Ma-idah [5]: 88)
Faku1u mimma ghanimtum halalan thayyiban (Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu) (QS Al-Anfal [8]: 69).
Fakulu mimma razaqakumullahu halalan thayyiban (Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu) (QS An-Nahl [16]: 114)
Kata makan dalam Al-Quran sering diartikan "melakukan aktivitas apa pun." Ini agaknya disebabkan karena makan merupakan sumber utama perolehan kalori yang dapat menghasilkan aktivitas. Dengan demikian, perintah makan dalam ayat-ayat di atas bermakna perintah melakukan aktivitas, sedangkan aktivitasnya tidak sekadar halal, tetapi juga harus thayyib (baik). Nah jika dikembalikan pada empat jenis halal yang diperkenalkan oleh hukum Islam, maka yang makruh tidak termasuk dalam kategori halalan thayyiban.
Al-Quran menyatakan secara tegas cinta Allah (Innallaha yuhib) sebanyak delapan belas kali, yang dapat dirinci sebagai berikut:
Masing-masing sekali untuk at-tawabin (orang yang bertobat), ash-shabirin (orang-orang sabar) dan shaffan wahida (orang yang berada dalam satu barisan/kesatuan).
Masing-masing dua kali terhadap al-mutawakkilin (orang yang berserah diri kepada Allah) dan al-mutathahirin (orang-orang yang menyucikan diri).
Masing-masing tiga kali terhadap al-muttaqin (orang yang bertakwa) dan al-muqsithin (orang yang berlaku adil), dan lima kali terhadap al-muhsinin.
Kesan yang ditimbulkan oleh angka-angka itu paling tidak mengisyaratkan bahwa sikap yang paling disenangi oleh Allah adalah al-muhsinin (orang-orang yang berbuat baik terhadap mereka yang pernah melakukan kesalahan). Hal ini sesuai sekali dengan perintah Al-Quran untuk melakukan perbuatan halal yang baik, tidak sekadar perbuatan halal (boleh), tetapi tidak menghasilkan kebaikan.
Dalam Al-Quran surat Ali-'Imran ayat 134 diisyaratkan tingkat-tingkat terjalinnya keserasian hubungan.
Mereka yang menafkahkan hartanya, baik pada saat keadaan mereka senang (lapang) maupun sulit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan orang-orang yang bersalah (bahkan berbuat baik terhadap mereka). Sesunguhnya Allah menyukai mereka yang berbuat baik (terhadap orang yang bersalah).
Di sini terbaca, bahwa tahap pertama adalah menahan amarah, tahap kedua memberi maaf, dan tahap berikutnya adalah berbuat baik terhadap orang yang bersalah.

MINAL 'AIDIN WAL FAIZIN
Salah satu ucapan populer dalam konteks Idul Fitri ada Minal 'Aidin wal Faizin.
Kata 'Aidin, adalah bentuk pelaku 'Id.
Kata al-faizin adalah bentuk jamak dari faiz, yang berarti orang yang beruntung. Kata ini terambil dari kata fauz yang berarti keberuntungan.
Dalam Al-Quran ditemukan sebanyak 29 kali kata tersebut dengan berbagai bentuknya. Masing-masing delapan belas kali pada bentuk kata jadian fauz/al-fauz (keberuntungan), tiga kali dalam bentuk mafaz (tempat keberuntungan), dua kali dalam bentuk kata kerja faza (beruntung), empat kali dengan bentuk al-faizin, dan hanya sekali dalam bentuk kata kerja tunggal yang menunjuk kepada orang pertama afuz (saya beruntung). Yang terakhir itu diucapkan oleh orang munafik yang menyesal karena tidak ikut berperang bersama-sama orang Islam, sehingga ia tidak memperoleh pembagian harta rampasan perang.
Sesungguhnya di antara kamu ada orang yang sangat berlambat-lambat ke medan perang. Maka jika kamu ditimpa musibah, mereka berkata, "Sesungguhnya Tuhan telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena tidak ikut menyaksikan (peperangan) bersama mereka." Sungguh, jika kamu memperoleh karunia (kemenangan dan harta rampasan perang) pasti dia berkata seolah-olah belum pernah ada hubungan kasih sayang di antara kamu dengan dia, "Aduhai" kiranya saya bersama mereka, tentu saya memperoleh keberuntungan yang besar (kemenangan dan harta rampasan perang)" (QS Al-Nisa' [4]: 72-73).
Kesan yang ditimbulkan ayat ini, antara lain adalah bahwa bagi orang munafik, keberuntungan adalah keuntungan material, dan popularitas, dan keberuntungan itu hanya ingin dinikmatinya sendiri. Keberuntungan orang lain bukan merupakan keberuntungan pula baginya. Itu antara lain yang menyebab dia dikecam oleh ayat di atas. Berbeda dengan petunjuk A1-Quran yang tidak mengaitkan keberuntungan dengan orang tertentu, dan kalaupun dikaitkan dengan orang-orang tertentu tidak ditujukan kepada individu perorangan, melainkan kepada bentuk kolektif (al-faizin atau al-faizun).
Yang tidak kurang pentingnya adalah makna keberuntungan. Dari ayat-ayat yang berbicara tentang al-fauz dalam berbagai bentuknya itu (kecuali surat Al-Nisa [73]), seluruhnya bermakna pengampunan Ilahi maupun kenikmatan surgawi, sebagai ganjaran ketaatan kepada Allah Swt. Perhatikan misalnya:
Penghuni surga adalah orang-orang yang beruntung Al-Hasyr [59]: 20).
Barangsiapa yang dijauhkan --walaupun sedikit-- dari neraka, dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dia telah beruntung (QS Ali 'Imran [3]: 185).

PENGAMPUNAN
Terdapat beberapa istilah yang digunakan Al-Quran untuk menyebutkan pengampunan (pembebasan dosa), dan upaya menjalin hubungan serasi antara manusia dengan Tuhannya, antara lain taba (tobat), 'afa (memaafkan), ghafara (mengampuni), kaffara (menutupi), dan shafah.
Masing-masing istilah digunakan untuk tujuan tertentu dan memberikan maksud yang berbeda.

a. Taubat (Tobat)
Terdahulu telah dikemukakan bahwa Al-Quran mengisyaratkan adanya dua pelaku tobat, yakni Allah dan manusia. Di sini dapat ditambahkan bahwa ada dua macam tobat (kembalinya) Allah. Pertama, lahir sebelum lahirnya tobat manusia secara aktual. Ketika itu ia baru dalam bentuk keinginan dan kesadaran tentang dosa-dosanya. Tobat pertama Tuhan ini antara lain tercermin dari firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 186,
Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat...
Kata 'ibadi (hamba-hamba-Ku) baik yang ditulis dengan memakai huruf Ya' (sebanyak 17 kali) maupun tidak (4 kali), semuanya digunakan untuk menunjukkan hamba Allah yang taat atau yang bergelimang di dalam dosa tetapi berkeinginan kembali kepada-Nya.
Perhatikan firman-Nya:
Masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku (QS Al-Fajr [89]: 29-30).
Dan firman-Nya:
Wahai hamba-hamba-Ku yang bergelimang dalam dosa (dan telah menyadari dosanya sehingga ingin kembali), janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah (QS Al-Zumar [39]: 53)
Surat Al-Baqarah ayat 186 di atas menjelaskan bahwa Allah dekat dengan hamba-hamba-Nya, walaupun mereka masih bergelimang dalam dosa dan maksiat tetapi telah memiliki kesadaran untuk bertobat.
Tobat Allah (kembalinya Allah) terhadap yang berkeinginan dekat kepada-Nya, lebih jelas terlihat pada ayat berikut:
Maka Adam menerima dan Tuhan-Nya (petunjuk) berupa kalimat-kalimat, dan Dia bertobat (mengampuninya) (QS Al-Baqarah [2]: 37).
Pemberian kalimat-kalimat itu memberi isyarat bahwa Allah membuka pintu tobat-Nya, dan memberi taufik kepada mereka yang berdosa, yang terketuk hatinya untuk kembali. "Penerimaan kalimat-kalimat dari Tuhan" itulah yang mengantarkan Adam mengajukan permohonan ampun kepada Allah.
Langkah pertama dari tobat Allah ini, antara lain dipahami pula dari redaksi-redaksi fashilat (penutup) ayat-ayat yang berbicara tentang tobat-Nya.
Perhatikanlah kedua ayat berikut ini:
Allah hendak menerangkan kepada kamu dan mengantarmu ke jalan orang-orang sebelum kamu (para Nabi dan orang-orang saleh) dan hendak menerima tobatmu. Allah Maha Mengetahui lagi Bijaksana (QS Al-Nisa' [4]: 261.
Maka barangsiapa bertobat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatannya, dan memperbaiki diri, sesungguhnya Allah bertobat kepadanya (menerima tobatnya). Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Al-Ma-idah [5]: 39).
Penutup surat An-Nisa ayat 26 mengisyaratkan langkah pertama tobat Allah, yang dilakukan-Nya kepada mereka yang diketahui terketuk hatinya atau memiliki kesadaran terhadap dosanya. Langkah tersebut dilakukan oleh Allah karena Dia Maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk bisikan-bisikan hati manusia, dan karena Dia Maha Bijaksana. Dalam posisi inilah Allah memberi petunjuk kepada Adam dengan kalimat-kalimat yang wajar diucapkan untuk memohon ampun, karena betapapun, manusia selalu membutuhkan petunjuk-Nya, lebih-lebih pada saat ia jauh dari Allah Swt.
Penutup surat Al-Ma-idah juga berbicara tentang tobat Allah, tetapi kali ini dia benar-benar telah "tobat" (kembali) ke posisi semula. Namun harus disadari bahwa hal ini baru terjadi jika sang hamba yang berdosa bertobat dan memperbaiki diri. Allah mendekatkan diri dan kembali ke posisi semula, disebabkan Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

b. Al-'Afw (Maaf)
Kata al-'afw terulang dalam Al-Quran sebanyak 34 kali. Kata ini pada mulanya berarti berlebihan, seperti firman-Nya:
Mereka bertanya kepadamu tentang hal yang mereka nafkahkan (kepada orang). Katakanlah, "al-'afw" (yang berlebih dari keperluan) (QS Al-Baqarah [2]: 219).
Yang berlebih seharusnya diberikan agar keluar. Keduanya menjadikan sesuatu yang tadinya berada di dalam (dimiliki) menjadi tidak di dalam dan tidak dimiliki lagi. Akhirnya kata al-'afw berkembang maknanya menjadi keterhapusan. Memaafkan, berarti menghapus luka atau bekas-bekas luka yang ada di dalam hati.
Membandingkan ayat-ayat yang berbicara tentang tobat dan maaf, ditemukan bahwa kebanyakan ayat tersebut didahului oleh usaha manusia untuk bertobat. Sebaliknya, tujuh ayat yang menggunakan kata 'afa, dan berbicara tentang pemaafan semuanya dikemukakan tanpa adanya usaha terlebih dahulu dari orang yang bersalah. Perhatikan ayat-ayat berikut:
Allah mengetahui bahwa kamu tadinya mengkhianati dirimu sendiri (tidak dapat menahan nafsumu sehingga bersetubuh di malam hari bulan Ramadhan dengan dugaan bahwa itu haram) maka Allah memaafkan kamu (QS Al-Baqarah [2]: 187).
Allah memaafkan kamu, mengapa engkau memberi izin kepada mereka, sebelum engkau mengetahui orang-orang yang benar (dalam alasannya) dan sebelum engkau mengetahui pula para pembohong? (QS Al-Tawbah [9]: 43).
Balasan terhadap kejahatan adalah pembalasan yang setimpal, tetapi barangsiapa yang memaafkan dan berbuat baik, ganjarannya ditanggung oleh Allah (QS Al-Syura [42]: 40).
Perhatikan juga firman-Nya dalam surat Ali-'Imran ayat 152 dan 155, juga Al-Maidah ayat 95 dan 101. Ternyata tidak ditemukan satu ayat pun yang menganjurkan agar meminta maaf, tetapi yang ada adalah perintah untuk memberi maaf.
Hendaklah mereka memberi maaf dan melapangkan dada. Tidakkah kamu ingin diampuni oleh Allah? (QS Al-Nur [24): 22).
Kesan yang disampaikan oleh ayat-ayat ini adalah anjuran untuk tidak menanti permohonan maaf dari orang yang bersalah, melainkan hendaknya memberi maaf sebelum diminta. Mereka yang enggan memberi maaf pada hakikatnya enggan memperoleh pengampunan dari Allah Swt. Tidak ada alasan untuk berkata, "Tiada maaf bagimu", karena segalanya telah dijamin dan ditanggung oleh Allah Swt.
Perlu dicatat pula, bahwa pemaafan yang dimaksud bukan hanya menyangkut dosa atau kesalahan kecil, tetapi juga untuk dosa dan kesalahan-kesalahan besar.
Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 51-52, berbicara tentang pemaafan Allah bagi umat Nabi Musa a.s. yang mempertuhankan lembu:
Dan (ingatlah) ketika Kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah empat puluh hari, lalu kamu menjadikan anak lembu (yang dibuat dari emas) untuk disembah sepeninggalnya, dan kamu adalah orang-orang yang zalim. Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu, agar kamu bersyukur (QS Al-Baqarah [2]:51-52).

c. Al-Shafh (Lapang Dada)
Kata al-shafh dalam berbagai bentuk terulang sebanyak delapan kali dalam Al-Quran. Kata ini pada mulanya berarti lapang. Halaman pada sebuah buku dinamai shafhat karena kelapangan dan keluasannya.
Dari sini, al-shafh dapat diartikan kelapangan dada. Berjabat tangan dinamai mushafahat karena melakukannya menjadi perlambang kelapangan dada.
Dari delapan kali bentuk al-shafh yang dikemukakan, empat di antaranya didahului oleh perintah memberi maaf.
Perhatikan ayat-ayat berikut:
Apabila kamu memaafkan, dan melapangkan dada serta melindungi, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang (QS Al-Thaghabun [64]: 14).
Hendaklah mereka memaafkan dan melapangkan dada! Apakah kamu tidak ingin diampuni oleh Allah? (QS Al-Nur [24]:22) .
Maafkanlah mereka dan lapangkan dada. Sesungguhnya Allah cinta kepada orang-orang yang berbuat kebajikan (terhadap yang melakukan kesalahan kepadanya) (QS Al-Ma-idah [5]: l3. Juga baca surat Al-Baqarah [2]:l09).
Ulama-ulama Al-Quran seperti Ar-Raghib Al-Isfahani menyatakan bahwa al-shafa lebih tinggi kedudukannya dari al-'afw (maaf). Pernyataan yang dikemukakan itu dapat dipahami melalui alasan kebahasaan sebagai berikut:
Seperti dikemukakan terdahulu dari kata al-shafh lahirlah shafhat yang berarti halaman. Jika Anda memiliki selembar kertas yang ditulisi suatu kesalahan, lantas kesalahan itu ditulis dengan pensil, Anda tentu dapat mengambil penghapus karet untuk menghapusnya. Seperti demikianlah ketika Anda melakukan 'afw (memberi maaf). Seandainya kesalahan pada kertas itu ditulis dengan tinta, tentu Anda akan menghapusnya dengan Tipp Ex agar tidak terlihat lagi, dan di sini Anda melakukan takfir seperti yang akan dijelaskan kemudian. Betapapun Anda menghapus bekas kesalahan, namun pasti sedikit banyak, lembaran tersebut tidak lagi sama sepenuhnya dengan lembaran baru. Malah barangkali kertas itu menjadi kusut. Nah, di sinilah letak perbedaan antara al-shafh yang mengandung arti lapang dan lembaran baru dengan takfir. Al-Shafh menuntut seseorang untuk membuka lembaran baru hingga sedikit pun hubungan tidak ternodai, tidak kusut, dan tidak seperti halaman yang telah dihapus kesalahannya.
Mushafahat (jabat tangan) adalah lambang kesediaan seseorang untuk membuka lembaran baru, dan tidak mengingat atau menggunakan lagi lembaran lama. Sebab, walaupun kesalahan telah dihapus, kadang-kadang masih saja ada kekusutan masalah.
Tadi telah dikemukakan bahwa memberi maaf dilanjutkan dengan perintah al-shafh. Perintah memaafkan tetap diperlukan, karena tidak mungkin membuka lembaran baru dengan membiarkan lembar yang telah ada kesalahannya tanpa terhapus. Itu sebabnya ayat-ayat yang memerintahkan al-shafh tetapi tidak didahului oleh perintah memberi maaf, dirangkaikan dengan jamil yang berarti indah. Selain itu, al-shafh juga dirangkaikan dengan perintah menyatakan kedamaian dan keselamatan bagi semua pihak (perhatikan firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-Hijr [15]: 85, serta Al-Zukhruf [43]: 89):
Berlapang dadalah terhadap mereka dengan cara yang baik (Al-Hijri [5]: 85).
Berlapang dadalah terhadap mereka dengan mengatakan salam/kedamaian (QS Al-Zukhruf [43]: 84).

d. Al-Ghufran
Al-ghufran terambil dari kata kerja ghafara yang pada mulanya berarti menutup. Rambut putih yang disemir hingga tertutup putihnya disebutkan dengan ghafara asy-sya'ra. Dari akar kata yang sama, lahir kata ghifarah, yang berarti sepotong kain yang menghalangi kerudung sehingga tidak ternodai oleh minyak rambut. Maghfirah Ilahi adalah "perlindungan-Nya dari siksa neraka."
Dalam Al-Quran surat Ali Imran (3): 31 dinyatakannya bahwa,
Katakanlah, "Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan menutupi dosa-dosamu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Kemudian dalam Al-Quran surat Al-Anfal (8): 29, dinyatakan,
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan (petunjuk membedakan yang hak dan yang batil), dan menghapuskan kesalahan-kesalahan kamu, serta yaghfir lakum (melindungi kamu dari siksa). Dan Allah mempunyai karunia yang besar.
Dari kedua ayat di atas terlihat, bahwa kata yaghfir bila dirangkaikan dengan menyebutkan dosa, berarti menutup dosa dengan sesuatu. Sedangkan bila tidak dirangkaikan dengan menyebutkan dosa --sebagaimana ditunjukkan dalam surat Al-Anfal ayat 29-- berarti melindungi manusia dari siksa atau bencana. Baik dalam konteks pertama maupun konteks kedua, ayat-ayat tersebut memperlihatkan bahwa ghufran (pengampunan atau perlindungan) tidak dapat diperoleh kecuali setelah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Dari kedua ayat tersebut juga terbaca bahwa syarat penutupan dosa dan perlindungan dari siksa adalah berbuat kebajikan. Di sini terlihat salah satu perbedaan antara al-'afw (maaf) dengan ghufran. Karena itu, ditemukan ayat yang menggabungkan keduanya, yakni:
Hapuskanlah dosa kami, lindungilah kami, dan rahmatilah kami (QS Al-Baqarah [2]: 286).

TAKFIR
Untuk menutup dosa dengan pekerjaan tertentu, Al-Quran juga menggunakan istilah takfir. Kata ini, terambil dari kata kaffara yang berarti menutup.
Al-Quran mempergunakan kata kaffara dengan berbagai bentuknya sebanyak 14 kali (kecuali kaffarat), pelakunya adalah Allah Swt.
Yang empat kali itu selalu digandengkan dengan syarat melakukan amal-amal saleh, atau upaya meninggalkan dosa-dosa besar.
Perhatikan misalnya firman Allah:
Apabila kamu menghindari dosa-dosa besar yang dilarang untuk melakukannya, akan Kami tutupi kesalahan-kesalahanmu (QS Al-Nisa' [4]: 3l).
Orang-orang yang beriman dengan beramal saleh pasti Kami tutupi kesalahan-kesalahan mereka ... (QS Al-'Ankabut [29]: 7)
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan beramal saleh, ditutupi kesalahan-kesalahannya (QS Al-Taghabun [64]: 9).
Dari keempat belas kali yang disebut itu, teramati pula tiga belas di antaranya dirangkaikan dengan kata as-sayyiat yang diterjemahkan sebagai kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa kecil. Hanya satu ayat yang tidak menyebutkan kata as-sayyiat, melainkan menggunakan istilah aswa' alladzi 'amilu (perbuatan terjelek yang mereka lakukan), yang pada hakikatnya dapat juga diartikan sebagai dosa-dosa kecil.
Nah, dari sini dapat dipahami bahwa dosa-dosa kecil seseorang dapat ditoleransi oleh Allah Swt. akibat adanya amal-amal saleh yang menutupinya .
Dalam konteks ini Nabi Saw. berpesan,
Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada, dan susulkanlah kesalahan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu menghapusnya dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik. (HR At-Tirmidzi melalui sahabat Nabi Abu Dzar).
Demikian sedikit dan banyak kesan yang dapat diperoleh dari ayat-ayat Al-Quran berkaitan dengan halal-bihalal/maaf-memaafkan. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar