Oleh : Moh. Safrudin, S.Ag, M.PdI
(Dosen Agama Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Avicenna Kendari)
Tulisan ini saya buat untuk memberikan gambaran tentang korupsi bukan berarti Islam mengajarkan orang untuk melakukan korupsi.akan tetapi memberi penjelasan bahwa ajaran islam tentang sikap korupsi.
Sendi agama (Islam) yang selalu menjadi bahan dakwah diantaranya adalah Tauhid, fiqih, dan tasawwuf. Idealnya, ketiga macam ilmu itu ada dan menyatu dalam tubuh dan jiwa setiap orang (Islam). Tauhid, meliputi masalah keimanan, akidah-akidah. Fiqih menyangkut soal ibadat, rukun Islam dll.
Sedang tasawwuf memperbincangkan perihal kesucian hati, kebersihan jiwa, mana yang terpuji dan wajib dilaksanakan, serta mana yang tercela dan wajib dijahui dll. Ketiga macam ilmu itu, hukumnya fardhu\'ain untuk dipelajari. Pertanyaannya, adakah yang berkaitan dengan apa yang saat ini sedang ramai diperbincangkan orang yaitu suap dan korupsi?
Belakangan ini, memang tiada hari tanpa berita tentang suap dan korupsi. Bahkan tiap orang punya interpretasi sendiri-sendiri tentang korupsi. Dalam salah satu harian di Ibukota, perna ada ungkapan bahwa tiap orang Indonesia itu pernah berkorupsi, besar atau kecil.
Contohnya, menggunakan fasilitas kantor (telpon) untuk kepentingan pribadi, itu juga termasuk tindak korupsi. Bagi pegawai dinas, pulang kantor sebelum waktunya, itu juga korupsi (waktu). Meskipun pemerintah telah melakukan segala macam upaya, tetap saja korupsi itu terus mendera bangsa ini.
Begitu dahsyatnya korupsi, seolah-olah perkembangnya berbanding lurus dengan laju percepatan reformasi. Al Qur\'an telah memperingatkan masalah-masalah korupsi itu, antara lain dalam QS 2:188; 3:161; 5:42, 62, 63. Penjelasan detailnya bisa disimak melalui ilmu tasawwuf.
Dijelaskan bahwa Dalam ilmu tasawwuf, ada sejumlah maksiat yang dhahir, dan ada maksiat yang batin. Salah satu maksiat yang dhahir adalah maksiat-maksiat kedua tangan (maksiat-maksiat yang lain adalah maksiat-maksiat: lisan/lidah, telinga, mata, perut, kedua kaki, kemaluan/farji, tubuh, dll). Khususnya maksiat kedua tangan, adalah termasuk yang cukup banyak kemaksiatannya dan bahaya (afat) nya dalam kehidupan.
Tidak ada sesuatu apapun yang dapat menyelamatkan bahaya tangan, kecuali hanya dengan jalan mengfungsikan anugerah dan rahmat Allah itu untuk dipergunakan kepada hal-hal yang bermanfaat.
Yang termasuk dalam kemaksiatan kedua tangan itu, misalnya adalah: mengurangi timbangan, takaran, ukuran (meteran) dan mencuri. Hal tersebut Allah Swt telah memperingatkan begitu jelasnya dalam QS Al Madiah; 38.
Sementara itu, Abda Rathomy dalam Sendi Islam mengungkapkan, bahwa jika mencurinya sampai senilai dengan harga seperempat dinar emas murni (satu dinar kira-kira 22 gram, jadi seperempat dinar itu kira-kira lima setengah gram), maka pencurinya itu wajib dikenakan hukuman potong tangan kanannya (sampai batas ruas pergelangan tangan).
Termasuk kemaksiatan tangan yang lain adalah merampok, ghashab (mengambil tanpa izin), merampas, menggelapkan uang, harta benda, pembelian fiktif, korupsi, mengambil dengan paksa atau dengan jalan berkhianat dan juga membunuh.
Pembaca bisa membandingkan jika mencuri lima setengah gram saja dipotong tangannya, lalu kalau menggelapkan 28 milyar, bahkan ratusan triliun, atau menyelewengkan 6,7 triliun, hukumannya apa ?
Masih banyak lagi maksiat-maksiat tangan, seperti memukul tanpa dasar kebenaran. Disamping korupsi, juga perjudian, menerima aatau memberikan sogokan (menyuap), permainan yang melalaikan ibadat, persentuhan dengan tangan yang dapat menggerakan syahwat, lalai berzakat, enggan memberikan pertolongan kepada yang memerlukan dalam keadaan terpaksa dll, itu semua termasuk kemaksiatan kedua tangan.
Belajar dari Sayidina Umar ra beliau berpesan, Perhitungkan dirimu sendiri sebelum engkau semua diperhitungkan amalanmu (oleh Allah) dan timbanglah dirimu (berapa yang baik dan berapa yang buruk dari amalan yang dilakukan itu) sebelum engkau semua diperhitungkan.
Peringatan Sayidina Umar ra ini penting agar setiap orang, siapapun mereka, selalu membuat perhitungan dan keyakinan, bahwasanya Allah SWT itu senantiasa meneliti segala amalan manusia.
Menurut penulis, korupsi adalah kejahatan sistemik yang lebih dari sekedar menyuap atau mencuri. Jika terorisme itu dipandang sebagai kejahatan dengan kekerasan, maka korupsi adalah penghancur bangsa secara pelan-pelan dankorban, bukan puluhan orang tetapi bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Oleh karena itu, perbuatan korupsi, bukan saja maksiat yang diharamkan, tetapi bertentangan dengan visi dan misi Allah SWT. Para pelakunya adalah orang-orang yang munafik (QS 2:17). Sementara petunjuk Nabi Muhammad Saw sebagaimana disampaikan oleh Abu Hurairah dalam HR Bukhari dan Muslim, bahwa tanda orang munafik itu ada tiga yaitu: (1) jika berbicara ia berbohong, (2) jika memberi janji, ia langgar dan (3) jika diberi amanah ia mengkhianatinya. (Para penyelenggara negara, umumnya adalah mereka-mereka yang menerima amanah dari negara dan bangsa).
Jika anda termasuk yang menginginkan Indonesia ini semakin layak huni bagi generasi kini dan mendatang, hindari korupsi, sebab korupsi itu maksiat dan dilarang oleh agama apapun. Back to charakter and nation building. Wallahu\'alam bisawab.
Senin, 31 Mei 2010
Minggu, 30 Mei 2010
MEMBUDAYAKAN BELAJAR DALAM KEHIDUPAN
OLEH: MOH. SAFRUDIN
Sesuatu telah dianggap membudaya, manakala di antaranya, para pelakunya merasakan senang menjalankannya. Bahkan ada sesuatu yang kurang, jika tidak dijalankan. Suatu misal, jika membaca sudah menjadi budaya bagi sebuah masyarakat, maka mereka merasa kecewa ketika sehari saja koran tidak terbit atau bahkan hanya datang terlambat.
Melalui contoh tersebut menunjukkan bahwa masyarakat dimaksud sudah memiliki budaya membaca. Lain halnya jika membaca masih dalam taraf pengenalan, maka orang masih belum bisa menikmati kegiatan itu. Bahkan, jika belum terbiasa, membaca menjadi sebuah beban, dan kalau perlu dihindari. Mereka lebih enak tidak membaca. Kalaupun sehari-hari tidak ada bahan bacaan, maka dianggap tidak ada masalah.
Jika pengertian budaya seperti contoh itu, pertanyaannya adalah, apakah kegiatan belajar di kalangan anak-anak kita sudah menjadi budaya. Apakah sudah bisa dikatakan bahwa budaya belajar sudah berhasil merasuk di tengah-tengah kehidupan kita.
Memang benar, setiap hari anak-anak pergi ke sekolah. Mereka merasa sangat kecewa jika misalnya, mendaftar ke sekolah tertentu tetapi tidak diterima. Apalagi, jika mereka tidak sebagaimana teman-temannya, yang bersekolah. Artinya sekolah sudah menjadi budaya, yakni diperlukan, dibutuhkan atau bahkan dijadikan kesenangannya.
Akan tetapi apakah budaya sekolah telah diikuti oleh budaya belajar atau apalagi budaya ilmu. Pertanyaan itu bisa berlanjut, apakah dengan sekolah itu mereka juga sekaligus menyenangi belajar. Jika belajar sudah menjadi budaya, maka mestinya mereka lebih senang belajar daripada menganggur atau melakukan kegiatan yang tidak jelas tujuannya.
Jika mereka menyenangi belajar dan apalagi sekolahnya, maka tatkala diumumkan hasil ujian dan lulus, mereka senang, tetapi hatinya juga gundah karena harus meninggalkan sekolahnya. Namun yang umumnya terjadi, kesenangan itu diekspresikan secara berlebihan seperti orang yang telah bebas dari penjara. Sekolah bagaikan pembelenggu, atau menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, sehingga mereka ingin, harus pindah dari tempat itu.
Keadaan seperti itu menggambarkan bahwa sekolah belum menjadi sesuatu yang benar-benar disenangi. Mereka masuk sekolah itu dan melakukan aktivitas hanya dianggap sebagai beban yang harus ditunaikan. Jika beban itu sudah ditunaikan dan dinyatakan cukup, maka dirasakan bagaikan keluar dari penjara, mereka senangnya bukan main.
Lagi-lagi tatkala mengingat tentang budaya belajar, saya justru melihat bahwa pesantren zaman dahulu, disebut sebagai pesantren salaf, ternyata lebih berhasil. Para santri masuk di pesantren bukan karena paksaan, melainkan karena kebutuhan. Demikian pula belajar atau mengaji sudah menjadi kesenangan. Tatkala santri dimaksud dianggap belum alim, artinya belum waktunya selesai, mereka tidak merasa kecewa, dan akan menambah waktunya untuk belajar lagi.
Santri di pesantren merasa senang jika telah dianggap menguasai ilmunya. Dari waktu ke waktu, tatkala mempelajari ilmu tertentu, mereka konsentrasi pada ilmu yang didalaminya itu. Mereka sangat senang jika setiap saat berhasil menyelesaikan masalah dan atau bisa menjawab berbagai pertanyaan yang dihadapi, terkait dengan ilmunya itu.
Santri pesantren salaf biasanya mendalami ilmu alat, yaitu bahasa Arab. Oleh karena itu, anak pesantren biasanya mampu membaca dan mengerti kitab kuning. Istilah kitab kuning sedemikian populer di kalangan pesantren. Salah satu indikator kealiman seorang santri, ialah tatkala ia telah dianggap mampu membaca kitab kuning. Kemampuan itu berani menunjukkannya secara terbuka, kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa saja.
Selanjutnya, bandingkan hal itu dengan kealiman hasil pendidikan modern. Sebelum ujian, mereka masih harus mengikuti kursus, pendidikan tambahan, bimbingan belajar, dan bahkan kalau perlu tatkala menghadapi ujian, membawa alat bantu untuk menjawab pertanyaan berupa kertas catatan atau alat elektronik yang mungkin digunakan tanpa sepengetahuan pengawas. Maka terjadilah apa yang disebut kecurangan, sontek menyontek, dan seterusnya. Hal itu tidak akan terjadi di pesantren salaf.
Bahkan seorang santri, bisa jadi merasa sedih tatkala dinyatakan lulus dan harus pindah kelas, padahal ia sendiri merasa belum bisa atau matang atas ilmu yang dipelajarinya itu. Hal itu sangat berbeda dengan anak-anak sekolah formal, merasa sedih jika harus mengulang kelas, atau apalagi dinyatakan tidak lulus ujian nasional.
Perasaan kecewa itu bukan saja dirasakan oleh yang bersangkutan, tetapi juga oleh orang tuanya. Tidak lulus dianggap aib, sekalipun memang benar-benar, bahwa yang bersangkutan belum cukup berilmu. Lulus lebih penting daripada sebatas menguasai ilmu. Sekolah formal menjadi sebatas formalitas. Akibatnya, terjadilah kebohongan-kebohongan, bahkan berbohong terhadap dirinya sendiri. Akibat lainnya, kita lihat banyak orang bergelar panjang-panjang, padahal sebatas membuat makalah saja harus melakukan flagiat segala.
Membandingkan sekolah modern dengan pesantren salaf, bukanlah bermaksud ingin merendahkan satu dan mengunggulkan lainnya. Membandingkan itu, kiranya pada saat sekarang ini perlu dilakukan dalam kaitannya mencari jalan keluar dari kebuntuhan upaya meningkatkan kualitas hasil pendidikan. Akhir-akhir ini mulai disadari dan dirasakan, bahwa lulusan sekolah, bahkan hingga perguruan tinggi, ternyata masih banyak yang belum mendapatkan pengetahuan yang memadai, hingga berhasil siap hidup mandiri.
Hal itu disebabkan, karena belajar belum menjadi budaya. Terkait dengan sekolah, yang terjadi baru sebatas menyenangi untuk memiliki ijazah, dan belum pada tingkat menyenangi ilmunya. Pesantren salaf, yang oleh sementara orang disebut tradisional, ternyata justru berhasil membangun budaya ilmu itu. Oleh karena itu, dari pesantren tertentu, ternyata telah lahir para tokoh atau ulama yang diakui keilmuannya secara luas.
Mungkin tidak banyak orang tahu dan membayangkan, bahwa ternyata dari pesantren Termas Pacitan misalnya, dulu terdapat seorang ulama, yang tulisan-tulisannya hingga kini dijadikan rujukan oleh berbagai lembaga pendidikan di negara-negara timur tengah. Rasanya cukup membanggakan, ulama tersebut menulis, dengan niat benar-benar ingin membagi ilmunya, dan bukan sebatas untuk mendapatkan kum persyaratan naik pangkat. Artinya, budaya ilmu telah muncul di pesantren, dan sebaliknya, justru di sementara kampus-kampus modern, masih terdengar ada flagiat yang dilakukan oleh orang bergelar doctor dan bahkan profesor.
Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap berbagai prestasi yang diraih oleh lembaga pendidikan dan juga perguruan tinggi modern sekarang ini, kiranya dalam upaya membangun budaya ilmu, maka melihat dan mengkaji apa yang telah diraih oleh lembaga pendidikan tradisional pun perlu dilakukan. Dari lembaga pendidikan tradisional pun, ternyata bisa didapatkan cara-cara yang lebih tepat dalam menjalankan pendidikan. Salah satu kelebihan pesantren salaf ialah, pendidikan dijalankan secara utuh, baik pemberian pengetahuan, pelatihan, pembiasaan, dan bahkan juga pembersihan jiwa ----tazkiyah, sehingga dengan pendekatan itu, budaya ilmu di sana benar-benar berhasil dibangun. Wallahu a’lam.
Sesuatu telah dianggap membudaya, manakala di antaranya, para pelakunya merasakan senang menjalankannya. Bahkan ada sesuatu yang kurang, jika tidak dijalankan. Suatu misal, jika membaca sudah menjadi budaya bagi sebuah masyarakat, maka mereka merasa kecewa ketika sehari saja koran tidak terbit atau bahkan hanya datang terlambat.
Melalui contoh tersebut menunjukkan bahwa masyarakat dimaksud sudah memiliki budaya membaca. Lain halnya jika membaca masih dalam taraf pengenalan, maka orang masih belum bisa menikmati kegiatan itu. Bahkan, jika belum terbiasa, membaca menjadi sebuah beban, dan kalau perlu dihindari. Mereka lebih enak tidak membaca. Kalaupun sehari-hari tidak ada bahan bacaan, maka dianggap tidak ada masalah.
Jika pengertian budaya seperti contoh itu, pertanyaannya adalah, apakah kegiatan belajar di kalangan anak-anak kita sudah menjadi budaya. Apakah sudah bisa dikatakan bahwa budaya belajar sudah berhasil merasuk di tengah-tengah kehidupan kita.
Memang benar, setiap hari anak-anak pergi ke sekolah. Mereka merasa sangat kecewa jika misalnya, mendaftar ke sekolah tertentu tetapi tidak diterima. Apalagi, jika mereka tidak sebagaimana teman-temannya, yang bersekolah. Artinya sekolah sudah menjadi budaya, yakni diperlukan, dibutuhkan atau bahkan dijadikan kesenangannya.
Akan tetapi apakah budaya sekolah telah diikuti oleh budaya belajar atau apalagi budaya ilmu. Pertanyaan itu bisa berlanjut, apakah dengan sekolah itu mereka juga sekaligus menyenangi belajar. Jika belajar sudah menjadi budaya, maka mestinya mereka lebih senang belajar daripada menganggur atau melakukan kegiatan yang tidak jelas tujuannya.
Jika mereka menyenangi belajar dan apalagi sekolahnya, maka tatkala diumumkan hasil ujian dan lulus, mereka senang, tetapi hatinya juga gundah karena harus meninggalkan sekolahnya. Namun yang umumnya terjadi, kesenangan itu diekspresikan secara berlebihan seperti orang yang telah bebas dari penjara. Sekolah bagaikan pembelenggu, atau menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, sehingga mereka ingin, harus pindah dari tempat itu.
Keadaan seperti itu menggambarkan bahwa sekolah belum menjadi sesuatu yang benar-benar disenangi. Mereka masuk sekolah itu dan melakukan aktivitas hanya dianggap sebagai beban yang harus ditunaikan. Jika beban itu sudah ditunaikan dan dinyatakan cukup, maka dirasakan bagaikan keluar dari penjara, mereka senangnya bukan main.
Lagi-lagi tatkala mengingat tentang budaya belajar, saya justru melihat bahwa pesantren zaman dahulu, disebut sebagai pesantren salaf, ternyata lebih berhasil. Para santri masuk di pesantren bukan karena paksaan, melainkan karena kebutuhan. Demikian pula belajar atau mengaji sudah menjadi kesenangan. Tatkala santri dimaksud dianggap belum alim, artinya belum waktunya selesai, mereka tidak merasa kecewa, dan akan menambah waktunya untuk belajar lagi.
Santri di pesantren merasa senang jika telah dianggap menguasai ilmunya. Dari waktu ke waktu, tatkala mempelajari ilmu tertentu, mereka konsentrasi pada ilmu yang didalaminya itu. Mereka sangat senang jika setiap saat berhasil menyelesaikan masalah dan atau bisa menjawab berbagai pertanyaan yang dihadapi, terkait dengan ilmunya itu.
Santri pesantren salaf biasanya mendalami ilmu alat, yaitu bahasa Arab. Oleh karena itu, anak pesantren biasanya mampu membaca dan mengerti kitab kuning. Istilah kitab kuning sedemikian populer di kalangan pesantren. Salah satu indikator kealiman seorang santri, ialah tatkala ia telah dianggap mampu membaca kitab kuning. Kemampuan itu berani menunjukkannya secara terbuka, kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa saja.
Selanjutnya, bandingkan hal itu dengan kealiman hasil pendidikan modern. Sebelum ujian, mereka masih harus mengikuti kursus, pendidikan tambahan, bimbingan belajar, dan bahkan kalau perlu tatkala menghadapi ujian, membawa alat bantu untuk menjawab pertanyaan berupa kertas catatan atau alat elektronik yang mungkin digunakan tanpa sepengetahuan pengawas. Maka terjadilah apa yang disebut kecurangan, sontek menyontek, dan seterusnya. Hal itu tidak akan terjadi di pesantren salaf.
Bahkan seorang santri, bisa jadi merasa sedih tatkala dinyatakan lulus dan harus pindah kelas, padahal ia sendiri merasa belum bisa atau matang atas ilmu yang dipelajarinya itu. Hal itu sangat berbeda dengan anak-anak sekolah formal, merasa sedih jika harus mengulang kelas, atau apalagi dinyatakan tidak lulus ujian nasional.
Perasaan kecewa itu bukan saja dirasakan oleh yang bersangkutan, tetapi juga oleh orang tuanya. Tidak lulus dianggap aib, sekalipun memang benar-benar, bahwa yang bersangkutan belum cukup berilmu. Lulus lebih penting daripada sebatas menguasai ilmu. Sekolah formal menjadi sebatas formalitas. Akibatnya, terjadilah kebohongan-kebohongan, bahkan berbohong terhadap dirinya sendiri. Akibat lainnya, kita lihat banyak orang bergelar panjang-panjang, padahal sebatas membuat makalah saja harus melakukan flagiat segala.
Membandingkan sekolah modern dengan pesantren salaf, bukanlah bermaksud ingin merendahkan satu dan mengunggulkan lainnya. Membandingkan itu, kiranya pada saat sekarang ini perlu dilakukan dalam kaitannya mencari jalan keluar dari kebuntuhan upaya meningkatkan kualitas hasil pendidikan. Akhir-akhir ini mulai disadari dan dirasakan, bahwa lulusan sekolah, bahkan hingga perguruan tinggi, ternyata masih banyak yang belum mendapatkan pengetahuan yang memadai, hingga berhasil siap hidup mandiri.
Hal itu disebabkan, karena belajar belum menjadi budaya. Terkait dengan sekolah, yang terjadi baru sebatas menyenangi untuk memiliki ijazah, dan belum pada tingkat menyenangi ilmunya. Pesantren salaf, yang oleh sementara orang disebut tradisional, ternyata justru berhasil membangun budaya ilmu itu. Oleh karena itu, dari pesantren tertentu, ternyata telah lahir para tokoh atau ulama yang diakui keilmuannya secara luas.
Mungkin tidak banyak orang tahu dan membayangkan, bahwa ternyata dari pesantren Termas Pacitan misalnya, dulu terdapat seorang ulama, yang tulisan-tulisannya hingga kini dijadikan rujukan oleh berbagai lembaga pendidikan di negara-negara timur tengah. Rasanya cukup membanggakan, ulama tersebut menulis, dengan niat benar-benar ingin membagi ilmunya, dan bukan sebatas untuk mendapatkan kum persyaratan naik pangkat. Artinya, budaya ilmu telah muncul di pesantren, dan sebaliknya, justru di sementara kampus-kampus modern, masih terdengar ada flagiat yang dilakukan oleh orang bergelar doctor dan bahkan profesor.
Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap berbagai prestasi yang diraih oleh lembaga pendidikan dan juga perguruan tinggi modern sekarang ini, kiranya dalam upaya membangun budaya ilmu, maka melihat dan mengkaji apa yang telah diraih oleh lembaga pendidikan tradisional pun perlu dilakukan. Dari lembaga pendidikan tradisional pun, ternyata bisa didapatkan cara-cara yang lebih tepat dalam menjalankan pendidikan. Salah satu kelebihan pesantren salaf ialah, pendidikan dijalankan secara utuh, baik pemberian pengetahuan, pelatihan, pembiasaan, dan bahkan juga pembersihan jiwa ----tazkiyah, sehingga dengan pendekatan itu, budaya ilmu di sana benar-benar berhasil dibangun. Wallahu a’lam.
Jumat, 28 Mei 2010
DOA MINTA JODOH
Jodoh ditangan Tuhan, tapi bagaimana Allah mau ngasih kalau kita tidak berusaha. Nah selain usaha yang bertubi-tubi ( baca : tukul trademark ) ada baiknya kita mengusahakannya lewat doa. Semoga dengan doa yang kita panjatkan Allah memberi kita jodoh yang terbaik bagi kita fiddini ‘indal akhirot. Amien
Nb: Mama Nita jgn kasih komen, japri aja
Part 1:
Usia sudah melewati tiga puluh, tetapi belum juga ada tempat untuk menambatkan rindu. Seorang pria usia
sekitar 40 tahun, memiliki karier yang cukup sukses, merasakan betapa sepinya hidup tanpa istri. Ingin menikah, tapi takut ! tak bisa mempergauli istrinya dengan baik. Sementara terus melajang merupakan siksaan yang nyaris tak dapat ditahan. Dulu ia ingin menikah, ketika keriernya belum seberapa. Tetapi niatitu dipendam dalam-dalam karena merasa belum mapan. Ia harus mengumpulkan dulu uang yang cukup banyak agar bisa menyenangkan istri. Ia lupa bahwa kebahagiaan itu letaknya pada jiwa yang lapang, hati yang tulus, niat yang bersih dan penerimaan yang hangat. Ia juga lupa bahwa jika ingin mendapatkan istri yang bersahaja dan menerima apa adanya, jalannya adalah dengan menata hati, memantapkan tujuan dan meluruskan niat. Bila engkau ingin mendapatkan suami yang bisa menjaga pandangan, tak bisa engkau meraihnya dengan, ‘Hai, cowok… Godain kita, dong.’Saya teringat dengan sabda Nabi Saw. (tapi ini bukan tentang nikah). Beliau berkata, ‘Ruh itu seperti pasukan tentara yang berbaris.’ Bila bertemu dengan yang serupa dengannya, ia akan mudah mengenali, mudah juga bergabung dan bersatu. Ia tak bisa mendapatkan pendamping yang mencintaimu dengan sederhana, sementara engkau jadikan gemerlap kemapananmu sebagai pemikatnya? Bagaimana mungkin engkau jadikan gemerlap kemapananmu sebagai pemikatnya? Bagaimana mungkin engkau mendapatkan suami yang menerimamu sepenuh hati dan tidak ada cinta di hatinya kecuali kepadamu; sementara engkau berusaha meraihnya dengan menawarkan kencan sebelum terikat oleh pernikahan? Bagaimana mungkin engkau mendapatkan lelaki yang terjaga bila engkau mendekatinya dengan menggoda?
Di luar soal cara, kesulitan yang kita hadapi saat ingin meraih pernikahan yang diridhai tak jarang kerana kita sendiri mempersulitnya. Suatu saat seorang perempuan memerlukan perhatian dan kasih-sayang seorang suami, ia tidak mendapatkannya. Di saat ia merindukan hadirnya seorang anak yang ia kandung sendiri dengan rahimnya, tak ada suami yang menghampirinya. Padahal kecantikan telah ia miliki. Apalagi dengan penampilannya yang enak dipandang. Begitupun uang, tak ada lagi kekhawatiran pada
dirinya. Jabatannya yang cukup mapan di perusahaan memungkinkan ia untuk membeli apa saja, kecuali kasih-sayang suami.
Kesempatan bukan tak pernah datang. Dulu, sudah beberapa kali ada yang mau serius dengannya, tetapi demi karir yang diimpikan, ia menolak semua ajakan serius. Kalau kemudian ada hubungan perasaan dengan seseorang, itu sebatas pacaran. Tak lebih. Sampai karier yang diimpikan tercapai; sampai ia tiba-tiba tersadar bahwa usianya sudah tidak terlalu muda lagi; sampai ia merasakan sepinya hidup tanpa suami,
sementara orang-orang yang dulu bermaksud serius dengannya, sudah sibuk mengurusi anak-anak mereka. Sekarang, ketika kesadaran itu ada, mencari orang yang mau serius dengannya sangat sulit. Sama sulitnya menaklukkan hatinya ketika ia muda dulu.
Masih banyak cerita-cerita sedih semacam itu. Mereka menunda pernikahan di saat Allah memberi kemudahan. Mereka enggan melaksanakannya ketika Allah masih memberinya kesempatan karena alasan belum bisa menyelenggarakan walimah yang ‘wah’. Mereka tetap mengelak, meski terus ada yang mendesak; baik lewat sindiran maupun dorongan yang terang-terangan. Meski ada kerinduan yang tak dapat diingkari, tetapi mereka
menundanya karena masih ingin mengumpulkan biaya atau mengejar karier. Ada yang menampik ‘alasan karier’ walau sebenarnya tak jauh berbeda. Seorang akhwat menunda nikah mesti ada yang mengkhitbah karena ingin meraih kesempatan kuliah S-2 (’Tahun depan kan belum tentu ada beasiswa’). Ia mendahulukan pra-sangka bahwa kesempatan kuliah S-2 tak akan datang dua kali, lalu mengorbankan pernikahan yang Rasullah Saw. Telah memperingatkan:
“Apabila datang kepadamu seorang laki-laki (untuk meminang) yang engkau ridha terhadap agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Bila tidak engkau lakukan, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan akan timbul kerusakan yang merata di muka bumi.”
(HR. At-Tirmidzi dan Ahmad).
Saya tidak tahu apakah ini merupakan hukum sejarah yang digariskan oleh Allah. Ketika orang mempersulit apa yang dimudahkan oleh Allah, mereka akhirnya benar-benar mendapati keadaan yang sulit dan nyaris tak menemukan jalan keluarnya. Mereka menunda-nunda pernikahan tanpa ada alasan syar’i, dan akhirnya mereka benar-benar takut melangkah di saat hati sudah sangat menginginkannya. Atau ada yang sudah
benar-benar gelisah, tetapi tak kunjung ada yang mau serius dengannya.
Kadangkala, lingkaran ketakutan itu terus belanjut. Bila di usia-usia dua puluh tahunan mereka menunda nikah karena takut dengan ekonominya yang belum mapan,
di usia menjelang tiga puluh hingga sekitar tiga puluh lima berubah lagi masalahnya. Laki-laki sering mengalami sindrom kemapanan (meski wanita juga banyak yang demikian, terutama mendekati usia 30 tahun). Mereka menginginkan pendamping dengan kriteria yang sulit dipenuhi. Seperti hukum kategori, semakin banyak kriteria semakin sedikit yang masuk kategori. Begitu pula dengan kriteria tentang jodoh, ketika kita menetapkan kriteria yang terlalu banyak, akhirnya bahkan tidak ada yang sesuai dengan keinginan kita. Sementara wanita yang sudah berusia sekitar 35 tahun, masalah mereka bukan soal kriteria, tetapi soal apakah ada orang yang mau menikah dengannya. Ketika usia 40-an, ketakutan yang dialami oleh laki-laki sudah berbeda lagi, kecuali bagi mereka yang tetap terjaga hatinya. Jika sebelumnya, banyak kriteria yang dipasang, pada usia 40-an muncul ketakutan apakah dapat mendampingi istri dengan baik. Lebih lebih ketika usia sudah beranjak mendekati 50 tahun, ada ketakutan lain yang mencekam. Ada kekhawatiran jangan-jangan di saat anak masih kecil, ia sudah tak
sanggup lagi mencari nafkah. Atau ketika masalah nafkah tak merisaukan (karena tabungan yang melimpah), jangan-jangan ia sudah mati ketika anak-anak masih perlu banyak dinasehati. Bila tak ada iman di hati, ketakutan ini akhirnya melahirkan keputus-asaan. Wallahu A’lam bishawab.
Ya… ya… ya…, kadang kita sendirilah penyebabnya, kita mempersulit apa yang telah Allah mudahkan, sehingga kita menghadapi kesulitan yang tak terbayangkan. Kita memperumit yang Ia sederhanakan, sehingga kita terbelit oleh kerumitan yang tak
berujung. Kita menyombongkan atas apa yang tidak ada dalam kekuasaan kita, sehingga kita terpuruk dalam keluh-kesah yang berkepanjangan.
Maka, kalau kesulitan itu kita sendiri penyebabnya, beristighfarlah. Semoga Allah berkenan melapangkan jalan kita dan memudahkan urusan kita.
Laa ilaaha illa Anta, subhanaka inni kuntu
minazh-zhalimin.
Berkenaan dengan sikap mempersulit, ada tingkat-tingkatannya. Seorang menolak untuk menikah boleh jadi karena matanya disilaukan oleh dunia, sementara agama ia tak mengerti. Belum sampai kepadanya pemahaman agama. Boleh jadi seorang menunda-nunda nikah karena yang datang kepadanya beda harakah, meskipun tak ada yang patut dicela dari agama dan akhlaknya. Boleh jadi ada di antara kita yang belum bisa meresapi keutamaan menyegerakan nikah, sehingga ia tak kunjung melakukannya. Boleh jadi pula
ia sangat memahami benar pentingnya bersegera menikah, sudah ada kesiapan psikis maupun ilmu, telah datang kesempatan dari Allah, tetapi… sukunya berbeda, atau
sebab-sebab lain yang sama sepelenya.
Ada Yang Tak Bisa Kita Ingkari
Kadang ada perasaan kepada seseorang. Seperti Mughits –seorang sahabat Nabi Saw– kita selalu menguntit kemana pun Barirah melangkah. Mata kita mengawasi,hati kita mencari-cari dan telinga kita merasa indah setiap kali mendengar namanya. Perasaan itu begitu kuat bersemayan di dada. Bukan karena kita menenggelamkan diri dalam lautan perasaan, tetapi seperti kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengutip dari Al-Madaa’iny, “Andaikan orang yang jatuh cinta boleh memilih, tentu aku tidak akan memilih jatuh cinta.”
Perasaan ini kadang mengganggu kita, sehingga tak sanggup berpikir jernih lagi. Kadang membuat kita banyak berharap, sehingga mengabaikan setiap kali ada yang mau serius. Kita sibuk menanti –kadang sampai membuat badan kita kurus kering– sampai batas waktu yang kita sendiri tak berani menentukan. Kita merasa yakin bahwa dia jodoh kita, atau merasa bahwa jodoh kita harus dia, tetapi tak ada langkah-langkah pasti yang kita lakukan. Akibatnya, diri kita tersiksa oleh angan-angan.
Persoalannya, apakah yang mesti kita perbuat ketika rasa sayang itu ada? Inilah yang insya-Allah kita perbincangkan lebih mendalam pada makalah Masih Ada Tempat untuk Cinta. Selebihnya, kita cukupkan dulu pembicaraan itu sampai di sini.
Tuhan, Jangan Biarkan Aku Sendiri
Di atas semua itu, Allah bukakan pintu-pintu-Nya untuk kita. Ketuklah pertolongan-Nya dengan do’a. Di saat engkau merasa tak sanggup menanggung kesendirian, serulah Tuhanmu dengan penuh kesungguhan, ‘Tuhanku, jangan biarkan aku sendirian. Dan Engkau adalah sebaik-baik Warits.’ (QS. Al-Abiya’: 89).
Rabbi, laa tadzarni fardan wa Anta khairul waritsin.
Ini sesungguhnya adalah do’a yang dipanjatkan oleh Nabi Zakariya untuk memohon keturunan kepada Allah Ta’ala. Ia memohon kepada Allah untuk menghapus kesendiriannya karena tak ada putra yang bisa menyejukkan mata.
Sebagaimana Nabi Zakariya, rasa sepi itu kita adukkan kepada Allah ‘Azza wa Jalla semoga Ia hadirkan bagi kita seorang pendamping yang menenteramkan jiwa dan membahagiakan hati. Kita memohon kepada-Nya pendamping yang baik dari sisi-Nya. Kita memasrahkan kepada-Nya apa yang terbaik untuk kita.
Kapan do’a itu kita panjatkan? Kapan saja kita merasa gelisah oleh rasa sepi yang mencekam. Panjatkan do’a itu di saat kita merasa amat membutuhkan hadirnya seorang pendamping; saat hati kita dicekam oleh kesedihan karena tidak adanya teman sejati atau ketika jiwa dipenuhi kerinduan untuk menimang buah hati yang lucu. Panjatkan pula do’a saat hati merasa dekat dengan-Nya; saat dalam perjalan ketika Allah jadikan
do’a mustajabah; dan saat-saat mustajabah lainnya.
Nb: Mama Nita jgn kasih komen, japri aja
Part 1:
Usia sudah melewati tiga puluh, tetapi belum juga ada tempat untuk menambatkan rindu. Seorang pria usia
sekitar 40 tahun, memiliki karier yang cukup sukses, merasakan betapa sepinya hidup tanpa istri. Ingin menikah, tapi takut ! tak bisa mempergauli istrinya dengan baik. Sementara terus melajang merupakan siksaan yang nyaris tak dapat ditahan. Dulu ia ingin menikah, ketika keriernya belum seberapa. Tetapi niatitu dipendam dalam-dalam karena merasa belum mapan. Ia harus mengumpulkan dulu uang yang cukup banyak agar bisa menyenangkan istri. Ia lupa bahwa kebahagiaan itu letaknya pada jiwa yang lapang, hati yang tulus, niat yang bersih dan penerimaan yang hangat. Ia juga lupa bahwa jika ingin mendapatkan istri yang bersahaja dan menerima apa adanya, jalannya adalah dengan menata hati, memantapkan tujuan dan meluruskan niat. Bila engkau ingin mendapatkan suami yang bisa menjaga pandangan, tak bisa engkau meraihnya dengan, ‘Hai, cowok… Godain kita, dong.’Saya teringat dengan sabda Nabi Saw. (tapi ini bukan tentang nikah). Beliau berkata, ‘Ruh itu seperti pasukan tentara yang berbaris.’ Bila bertemu dengan yang serupa dengannya, ia akan mudah mengenali, mudah juga bergabung dan bersatu. Ia tak bisa mendapatkan pendamping yang mencintaimu dengan sederhana, sementara engkau jadikan gemerlap kemapananmu sebagai pemikatnya? Bagaimana mungkin engkau jadikan gemerlap kemapananmu sebagai pemikatnya? Bagaimana mungkin engkau mendapatkan suami yang menerimamu sepenuh hati dan tidak ada cinta di hatinya kecuali kepadamu; sementara engkau berusaha meraihnya dengan menawarkan kencan sebelum terikat oleh pernikahan? Bagaimana mungkin engkau mendapatkan lelaki yang terjaga bila engkau mendekatinya dengan menggoda?
Di luar soal cara, kesulitan yang kita hadapi saat ingin meraih pernikahan yang diridhai tak jarang kerana kita sendiri mempersulitnya. Suatu saat seorang perempuan memerlukan perhatian dan kasih-sayang seorang suami, ia tidak mendapatkannya. Di saat ia merindukan hadirnya seorang anak yang ia kandung sendiri dengan rahimnya, tak ada suami yang menghampirinya. Padahal kecantikan telah ia miliki. Apalagi dengan penampilannya yang enak dipandang. Begitupun uang, tak ada lagi kekhawatiran pada
dirinya. Jabatannya yang cukup mapan di perusahaan memungkinkan ia untuk membeli apa saja, kecuali kasih-sayang suami.
Kesempatan bukan tak pernah datang. Dulu, sudah beberapa kali ada yang mau serius dengannya, tetapi demi karir yang diimpikan, ia menolak semua ajakan serius. Kalau kemudian ada hubungan perasaan dengan seseorang, itu sebatas pacaran. Tak lebih. Sampai karier yang diimpikan tercapai; sampai ia tiba-tiba tersadar bahwa usianya sudah tidak terlalu muda lagi; sampai ia merasakan sepinya hidup tanpa suami,
sementara orang-orang yang dulu bermaksud serius dengannya, sudah sibuk mengurusi anak-anak mereka. Sekarang, ketika kesadaran itu ada, mencari orang yang mau serius dengannya sangat sulit. Sama sulitnya menaklukkan hatinya ketika ia muda dulu.
Masih banyak cerita-cerita sedih semacam itu. Mereka menunda pernikahan di saat Allah memberi kemudahan. Mereka enggan melaksanakannya ketika Allah masih memberinya kesempatan karena alasan belum bisa menyelenggarakan walimah yang ‘wah’. Mereka tetap mengelak, meski terus ada yang mendesak; baik lewat sindiran maupun dorongan yang terang-terangan. Meski ada kerinduan yang tak dapat diingkari, tetapi mereka
menundanya karena masih ingin mengumpulkan biaya atau mengejar karier. Ada yang menampik ‘alasan karier’ walau sebenarnya tak jauh berbeda. Seorang akhwat menunda nikah mesti ada yang mengkhitbah karena ingin meraih kesempatan kuliah S-2 (’Tahun depan kan belum tentu ada beasiswa’). Ia mendahulukan pra-sangka bahwa kesempatan kuliah S-2 tak akan datang dua kali, lalu mengorbankan pernikahan yang Rasullah Saw. Telah memperingatkan:
“Apabila datang kepadamu seorang laki-laki (untuk meminang) yang engkau ridha terhadap agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Bila tidak engkau lakukan, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan akan timbul kerusakan yang merata di muka bumi.”
(HR. At-Tirmidzi dan Ahmad).
Saya tidak tahu apakah ini merupakan hukum sejarah yang digariskan oleh Allah. Ketika orang mempersulit apa yang dimudahkan oleh Allah, mereka akhirnya benar-benar mendapati keadaan yang sulit dan nyaris tak menemukan jalan keluarnya. Mereka menunda-nunda pernikahan tanpa ada alasan syar’i, dan akhirnya mereka benar-benar takut melangkah di saat hati sudah sangat menginginkannya. Atau ada yang sudah
benar-benar gelisah, tetapi tak kunjung ada yang mau serius dengannya.
Kadangkala, lingkaran ketakutan itu terus belanjut. Bila di usia-usia dua puluh tahunan mereka menunda nikah karena takut dengan ekonominya yang belum mapan,
di usia menjelang tiga puluh hingga sekitar tiga puluh lima berubah lagi masalahnya. Laki-laki sering mengalami sindrom kemapanan (meski wanita juga banyak yang demikian, terutama mendekati usia 30 tahun). Mereka menginginkan pendamping dengan kriteria yang sulit dipenuhi. Seperti hukum kategori, semakin banyak kriteria semakin sedikit yang masuk kategori. Begitu pula dengan kriteria tentang jodoh, ketika kita menetapkan kriteria yang terlalu banyak, akhirnya bahkan tidak ada yang sesuai dengan keinginan kita. Sementara wanita yang sudah berusia sekitar 35 tahun, masalah mereka bukan soal kriteria, tetapi soal apakah ada orang yang mau menikah dengannya. Ketika usia 40-an, ketakutan yang dialami oleh laki-laki sudah berbeda lagi, kecuali bagi mereka yang tetap terjaga hatinya. Jika sebelumnya, banyak kriteria yang dipasang, pada usia 40-an muncul ketakutan apakah dapat mendampingi istri dengan baik. Lebih lebih ketika usia sudah beranjak mendekati 50 tahun, ada ketakutan lain yang mencekam. Ada kekhawatiran jangan-jangan di saat anak masih kecil, ia sudah tak
sanggup lagi mencari nafkah. Atau ketika masalah nafkah tak merisaukan (karena tabungan yang melimpah), jangan-jangan ia sudah mati ketika anak-anak masih perlu banyak dinasehati. Bila tak ada iman di hati, ketakutan ini akhirnya melahirkan keputus-asaan. Wallahu A’lam bishawab.
Ya… ya… ya…, kadang kita sendirilah penyebabnya, kita mempersulit apa yang telah Allah mudahkan, sehingga kita menghadapi kesulitan yang tak terbayangkan. Kita memperumit yang Ia sederhanakan, sehingga kita terbelit oleh kerumitan yang tak
berujung. Kita menyombongkan atas apa yang tidak ada dalam kekuasaan kita, sehingga kita terpuruk dalam keluh-kesah yang berkepanjangan.
Maka, kalau kesulitan itu kita sendiri penyebabnya, beristighfarlah. Semoga Allah berkenan melapangkan jalan kita dan memudahkan urusan kita.
Laa ilaaha illa Anta, subhanaka inni kuntu
minazh-zhalimin.
Berkenaan dengan sikap mempersulit, ada tingkat-tingkatannya. Seorang menolak untuk menikah boleh jadi karena matanya disilaukan oleh dunia, sementara agama ia tak mengerti. Belum sampai kepadanya pemahaman agama. Boleh jadi seorang menunda-nunda nikah karena yang datang kepadanya beda harakah, meskipun tak ada yang patut dicela dari agama dan akhlaknya. Boleh jadi ada di antara kita yang belum bisa meresapi keutamaan menyegerakan nikah, sehingga ia tak kunjung melakukannya. Boleh jadi pula
ia sangat memahami benar pentingnya bersegera menikah, sudah ada kesiapan psikis maupun ilmu, telah datang kesempatan dari Allah, tetapi… sukunya berbeda, atau
sebab-sebab lain yang sama sepelenya.
Ada Yang Tak Bisa Kita Ingkari
Kadang ada perasaan kepada seseorang. Seperti Mughits –seorang sahabat Nabi Saw– kita selalu menguntit kemana pun Barirah melangkah. Mata kita mengawasi,hati kita mencari-cari dan telinga kita merasa indah setiap kali mendengar namanya. Perasaan itu begitu kuat bersemayan di dada. Bukan karena kita menenggelamkan diri dalam lautan perasaan, tetapi seperti kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengutip dari Al-Madaa’iny, “Andaikan orang yang jatuh cinta boleh memilih, tentu aku tidak akan memilih jatuh cinta.”
Perasaan ini kadang mengganggu kita, sehingga tak sanggup berpikir jernih lagi. Kadang membuat kita banyak berharap, sehingga mengabaikan setiap kali ada yang mau serius. Kita sibuk menanti –kadang sampai membuat badan kita kurus kering– sampai batas waktu yang kita sendiri tak berani menentukan. Kita merasa yakin bahwa dia jodoh kita, atau merasa bahwa jodoh kita harus dia, tetapi tak ada langkah-langkah pasti yang kita lakukan. Akibatnya, diri kita tersiksa oleh angan-angan.
Persoalannya, apakah yang mesti kita perbuat ketika rasa sayang itu ada? Inilah yang insya-Allah kita perbincangkan lebih mendalam pada makalah Masih Ada Tempat untuk Cinta. Selebihnya, kita cukupkan dulu pembicaraan itu sampai di sini.
Tuhan, Jangan Biarkan Aku Sendiri
Di atas semua itu, Allah bukakan pintu-pintu-Nya untuk kita. Ketuklah pertolongan-Nya dengan do’a. Di saat engkau merasa tak sanggup menanggung kesendirian, serulah Tuhanmu dengan penuh kesungguhan, ‘Tuhanku, jangan biarkan aku sendirian. Dan Engkau adalah sebaik-baik Warits.’ (QS. Al-Abiya’: 89).
Rabbi, laa tadzarni fardan wa Anta khairul waritsin.
Ini sesungguhnya adalah do’a yang dipanjatkan oleh Nabi Zakariya untuk memohon keturunan kepada Allah Ta’ala. Ia memohon kepada Allah untuk menghapus kesendiriannya karena tak ada putra yang bisa menyejukkan mata.
Sebagaimana Nabi Zakariya, rasa sepi itu kita adukkan kepada Allah ‘Azza wa Jalla semoga Ia hadirkan bagi kita seorang pendamping yang menenteramkan jiwa dan membahagiakan hati. Kita memohon kepada-Nya pendamping yang baik dari sisi-Nya. Kita memasrahkan kepada-Nya apa yang terbaik untuk kita.
Kapan do’a itu kita panjatkan? Kapan saja kita merasa gelisah oleh rasa sepi yang mencekam. Panjatkan do’a itu di saat kita merasa amat membutuhkan hadirnya seorang pendamping; saat hati kita dicekam oleh kesedihan karena tidak adanya teman sejati atau ketika jiwa dipenuhi kerinduan untuk menimang buah hati yang lucu. Panjatkan pula do’a saat hati merasa dekat dengan-Nya; saat dalam perjalan ketika Allah jadikan
do’a mustajabah; dan saat-saat mustajabah lainnya.
BERPOLITIK TANPA DENDAM
BERPOLITIK TANPA DENDAM
Oleh : Moh. Safrudin
(Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIK) Avicenna)
Setelah pemilihan kepala daerah (Pemilukada)muncul berbagai macam persoalan baru khususnya bagi calon yang kalah atau gagal memperoleh suara mayoritas, dan kegembiraan bagi para pemenang atau peraih suara terbanyak.
Suatu saat, saya melihat pertandingan tinju di televisi. Olah raga keras ini, sekali-kali menarik minat saya untuk melihat. Sebenarnya melihat pertandingan tinju, bagi saya, belum sampai menjadi kesenangan. Saya melihatnya hanya sebatas iseng. Tanpa sengaja, kebetulan ada siaran pertandingan tinju memperebutkan kejuaraan dunia klas berat, lalu saya lihat.
Dulu, ketika Mohammad Ali masih menjadi juara dunia, sekalipun tidak terlalu menyukai olah raga keras, saya selalu lihat. Demikian pula, ketika Mike Tyson masih menjadi juara dunia klas berat. Setiap mereka main, saya menyempatkan untuk melihat. Tetapi, setelah keduanya tidak tampil lagi, saya tidak pernah lihat, kecuali sekali-sekali saja.
Bagi orang yang tidak menyukai kekerasan, pertandingan tinju memang tidak menarik. Dalam bertinju, hanya sebatas ingin menang, antar lawan saling memukul sekeras-kerasnya, agar jatuh, dan merasa bahagia kalau tidak bangkit lagi. Dalam bertinju tidak ada saling kasih mengasihi antar sesama. Pokoknya memukul, dan harapannya sampai roboh. Lawannya mati pun juga dianggap tidak mengapa, agar ia segera dinyatakan menang.
Pertandingan tinju mirip halnya dengan berebut hidup atau mati. Sopan santun dalam memukul juga tidak ada. Memukul bagian mana saja dibolehkan, asal masih dalam aturan permainan. Memang, di dalam permainan itu ada aturan yang harus ditaati. Di sana ada wasit, bagian pengawas, dan juga hakim yang bertugas menghitung skor yang didapat oleh masing-masing pemain. Semua itu bertugas agar permainan berjalan bersih dan fair.
Pertandingan tinju yang saya lihat ketika itu genap 12 ronde, dan tidak ada yang sampai jatuh. Tetapi masing-masing tampak sangat kelelahan. Di akhir pertandingan, wajah masing-masing petinju tampak lembab dan bahkan berdarah. Itu memang resiko bertinju. Dan siapapun tahu, bahwa bertinju memang seperti itu akibatnya. Tetapi apa boleh buat, pertandingan itu sudah menjadi kesenangannya.
Hal menarik, pertandingan sekeras itu pun ternyata, masih menyisakan suasana kasih sayang. Namun, apakah hal itu hanya sekedar basa basi, ataukah ekspresi sebenarnya, tidak ada yang tahu secara pasti. Sekalipun sebelumnya mereka saling pukul, dan sudah saling babak belur, maka tatkala wasit menyatakan bahwa pertandingan selesai, keduanya saling berpelukan. Pada saat itu, permusuhan seolah-olah selesai dan kemudian digantikan oleh suasana saling kasih sayang. Keduanya saling akrab kembali, seolah-olah tidak ada masalah.
Menyaksikan pertandingan tinju seperti itu, ingatan saya kemudian tertuju pada dunia politik. Saya seringkali melihat, para tokoh politik justru belum bisa melakukan seperti apa yang dilakukan oleh petinju. Persaingan dalam berpolitik memang hal biasa, tetapi tidak sebagaimana bertinju, permusuhan itu kadang berlangsung lama. Tidak sedikit tokoh politik, sekalipun pada tingkat nasional, permusuhan dan kebencian kepada lawannya, dibawa-bawa sampai waktu yang amat lama, bahkan hingga meninggal.
Berpolitik memang ada kesamaannya dengan bertinju. Sekalipun tidak secara terang-terangan, di antara mereka saling memukul, tetapi saling menjatuhkan juga hal biasa. Namun, selain ada kesamaan, antar keduanya ternyata juga ada perbedaannya. Bedanya, resiko bertinju hanya ditanggung oleh kedua pihak yang bermain, sedangkan lainnya yang terlibat, justru mendapatkan keuntungan dari permusuhan itu. Sedangkan dalam berpolitik, resikonya bisa jadi ditanggung oleh banyak orang, termasuk rakyat yang tidak mengerti apa-apa, bisa ikut sengsara akibat kesalahan elite politik yang bersaing itu.
Oleh karena itu mestinya, dalam berpolitik juga dilakukan seperti bertinju itu, tanpa dendam terus menerus. Selesai permainan tidak boleh masih saling membenci. Jika terjadi kesalahan, segera saling memaafkan. Toh berpolitik pada hakekatnya, sebagaimana selalu dinyatakan, adalah berjuang membela dan mensejahterakan rakyat. Oleh karena itu, sekalipun usahanya belum berhasil, rakyat perlu digembirakan, dengan cara para tokohnya selalu tampil rukun dan damai. Suasana seperti itu, sekalipun secara ekonomi rakyat masih serba berkekurangan, mereka akan merasa tenang dan bahagia ketika melihat para pemimpinnya tidak terus menerus saling menjatuhkan. Wallahu a’lam
Oleh : Moh. Safrudin
(Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIK) Avicenna)
Setelah pemilihan kepala daerah (Pemilukada)muncul berbagai macam persoalan baru khususnya bagi calon yang kalah atau gagal memperoleh suara mayoritas, dan kegembiraan bagi para pemenang atau peraih suara terbanyak.
Suatu saat, saya melihat pertandingan tinju di televisi. Olah raga keras ini, sekali-kali menarik minat saya untuk melihat. Sebenarnya melihat pertandingan tinju, bagi saya, belum sampai menjadi kesenangan. Saya melihatnya hanya sebatas iseng. Tanpa sengaja, kebetulan ada siaran pertandingan tinju memperebutkan kejuaraan dunia klas berat, lalu saya lihat.
Dulu, ketika Mohammad Ali masih menjadi juara dunia, sekalipun tidak terlalu menyukai olah raga keras, saya selalu lihat. Demikian pula, ketika Mike Tyson masih menjadi juara dunia klas berat. Setiap mereka main, saya menyempatkan untuk melihat. Tetapi, setelah keduanya tidak tampil lagi, saya tidak pernah lihat, kecuali sekali-sekali saja.
Bagi orang yang tidak menyukai kekerasan, pertandingan tinju memang tidak menarik. Dalam bertinju, hanya sebatas ingin menang, antar lawan saling memukul sekeras-kerasnya, agar jatuh, dan merasa bahagia kalau tidak bangkit lagi. Dalam bertinju tidak ada saling kasih mengasihi antar sesama. Pokoknya memukul, dan harapannya sampai roboh. Lawannya mati pun juga dianggap tidak mengapa, agar ia segera dinyatakan menang.
Pertandingan tinju mirip halnya dengan berebut hidup atau mati. Sopan santun dalam memukul juga tidak ada. Memukul bagian mana saja dibolehkan, asal masih dalam aturan permainan. Memang, di dalam permainan itu ada aturan yang harus ditaati. Di sana ada wasit, bagian pengawas, dan juga hakim yang bertugas menghitung skor yang didapat oleh masing-masing pemain. Semua itu bertugas agar permainan berjalan bersih dan fair.
Pertandingan tinju yang saya lihat ketika itu genap 12 ronde, dan tidak ada yang sampai jatuh. Tetapi masing-masing tampak sangat kelelahan. Di akhir pertandingan, wajah masing-masing petinju tampak lembab dan bahkan berdarah. Itu memang resiko bertinju. Dan siapapun tahu, bahwa bertinju memang seperti itu akibatnya. Tetapi apa boleh buat, pertandingan itu sudah menjadi kesenangannya.
Hal menarik, pertandingan sekeras itu pun ternyata, masih menyisakan suasana kasih sayang. Namun, apakah hal itu hanya sekedar basa basi, ataukah ekspresi sebenarnya, tidak ada yang tahu secara pasti. Sekalipun sebelumnya mereka saling pukul, dan sudah saling babak belur, maka tatkala wasit menyatakan bahwa pertandingan selesai, keduanya saling berpelukan. Pada saat itu, permusuhan seolah-olah selesai dan kemudian digantikan oleh suasana saling kasih sayang. Keduanya saling akrab kembali, seolah-olah tidak ada masalah.
Menyaksikan pertandingan tinju seperti itu, ingatan saya kemudian tertuju pada dunia politik. Saya seringkali melihat, para tokoh politik justru belum bisa melakukan seperti apa yang dilakukan oleh petinju. Persaingan dalam berpolitik memang hal biasa, tetapi tidak sebagaimana bertinju, permusuhan itu kadang berlangsung lama. Tidak sedikit tokoh politik, sekalipun pada tingkat nasional, permusuhan dan kebencian kepada lawannya, dibawa-bawa sampai waktu yang amat lama, bahkan hingga meninggal.
Berpolitik memang ada kesamaannya dengan bertinju. Sekalipun tidak secara terang-terangan, di antara mereka saling memukul, tetapi saling menjatuhkan juga hal biasa. Namun, selain ada kesamaan, antar keduanya ternyata juga ada perbedaannya. Bedanya, resiko bertinju hanya ditanggung oleh kedua pihak yang bermain, sedangkan lainnya yang terlibat, justru mendapatkan keuntungan dari permusuhan itu. Sedangkan dalam berpolitik, resikonya bisa jadi ditanggung oleh banyak orang, termasuk rakyat yang tidak mengerti apa-apa, bisa ikut sengsara akibat kesalahan elite politik yang bersaing itu.
Oleh karena itu mestinya, dalam berpolitik juga dilakukan seperti bertinju itu, tanpa dendam terus menerus. Selesai permainan tidak boleh masih saling membenci. Jika terjadi kesalahan, segera saling memaafkan. Toh berpolitik pada hakekatnya, sebagaimana selalu dinyatakan, adalah berjuang membela dan mensejahterakan rakyat. Oleh karena itu, sekalipun usahanya belum berhasil, rakyat perlu digembirakan, dengan cara para tokohnya selalu tampil rukun dan damai. Suasana seperti itu, sekalipun secara ekonomi rakyat masih serba berkekurangan, mereka akan merasa tenang dan bahagia ketika melihat para pemimpinnya tidak terus menerus saling menjatuhkan. Wallahu a’lam
Kamis, 20 Mei 2010
MENCARI RIDHA ALLAH
OLEH: MOH.SAFRUDIN
tujuan hidup manusia adalah untuk menggapai ridla Alloh,
ibtigha’a mardlatillah. Jadi apapun boleh yang penting diridlai Alloh. Apalah
artinya pangkat tinggi dan gaji besar jika tidak diridlai oleh Nya. Ridla
artinya senang. Jadi segala pertimbangan tentang tujuan, terpulan g kepada
apakah yang kita lakukan dan apa yang kita gapai itu sesuatu yang disukai atau
diridlai Alloh atau tidak. Jika kita berusaha memperoleh ridla Nya, maka apapun
yang diberikan Alloh kepada kita, kita akan menerimanya dengan ridla (senang)
pula, ridla dan dirdlai, radliyatan mardliyyah.
Pertanyaannya, bagaimana kita bisa mengetahui sesuatu itu
diridlai atau tidak oleh Alloh. Tolok ukur pertama adalah syari’at atau aturan
agama. Sesuatu yang diharamkan Alloh pasti tidak diridlai, dan sesuatu yang
dihalalkan pasti diridlai, sekurang-kurangnya tidak dilarang. Selanjutnya
nilai-nilai akhlak akan menjadi tolok ukur tentang kesempurnaan, misalnya,
memberi kepada orang yang meminta karena kebuAlloh adalah sesuatu yang
diridlai, tidak memberi tidaklah berdosa tetapi kurang disukai. Nah memberi
sebelum orang yang memiliki kebuAlloh itu meminta bantuan adalah perbuatan yang
sangat diridlai Alloh. Timbulnya perasaan ridla didasari oleh tingkat
pengenalan kepada orang. Memperoleh pemberian adalah sesuatu yang menyenangkan,
tetapi memperoleh pemberian dari orang yang kita sayangi dan kita tahu diapun
menyayangi kita pastilah lebih menyenangkan. Orang yang mengenal (ma`rifat)
kepada Alloh akan merasa ridla atas apapun yang dianugerahkan Alloh kepadanya,
selanjutnya iapun faham apa yang disukai dan yang tidak disukai oleh Nya. Jika
orang merasa hidupnya diridlai Alloh maka iapun merasa dirinya bermakna, dan
dengan merasa bermakna itu ia merasa sangat berbahagia. Sebaliknya jika
seseorang merasa hidupnya tak diridlai Alloh, maka ia merasa semua yang
dikerjakanya tidak berguna, dan bahkan iapun merasa dirinya tak berguna. Orang
yang merasa kehadirannya berguna
bagi orang lain maka ia akan memiliki semangat hidup, semangat bekerja,
semangat berjuang, yang berat terasa ringan, pengorbanannya terasa indah.
Sedangkan
orang yang merasa dirinya tak berguna maka ia tidak memiliki semangat hidup,
tidak memiliki semangat bekerja, merasa sepi di tengah keramaian dan lebih sepi
lagi dalam kesendirian.
Indikator ridla Alloh
juga dapat dilihat dari dimensi horizontal. Nabi bersabda bahwa ridla Alloh ada
bersama ridla kedua orang tua, dan murka Alloh ada bersama murka kedua orang
tua. Jika ayah ibu ridla, maka Allohpun
meridlainya, jika ayah ibu murka, Allohpun murka pula
Semangat mencari
ridla Alloh sudah barang tentu hanya dimiliki oleh orang yang beriman,
sedangkan bagi orang yang tidak mengenal Alloh, tidak mengenal agama, maka
boleh jadi pandangan hidupnya sesat dan
perilakunya juga sesat, tetapi mungkin juga pandangan hidupnya mendekati
pandangan hidup orang beragama minus Alloh, karena toh setiap manusia memiliki
akal yang besa berfikir logis dan hati yang di dalamnya ada nilai kebaikan.
Metode mengetahui
ridla Alloh juga diajarkan oleh Nabi dengan cara bertanya kepada hati sendiri,
istafti qalbaka. Mengapa dengan hati ?, orang bisa berdusta kepada orang lain,
tetapi tidak kepada hati sendiri . Hanya saja kualitas hati orang berbeda-beda.
Hati yang sedang gelap, hati yang kosong, hati yang mati tidak bisa ditanya.
Hati
juga sering tidak konsisten, oleh karena itu pertanyaan yang pali ng tepat
adalah kepada hati nurani, atau ke lubuk hati yang terdalam. Nurani berasal
dari kata nur, nuraniyyun yang artinya cahaya, yakni cahaya keAllohan yang
ditempatkan Alloh di dalam hati manusia, nurun yaqdzifuyhulloh fi al qalb. Jika
hati sering tidak konsisten, maka hati nurani selalu konsisten terhadap
kejujuran dan kebenaran. Orang yang nuraninya hidup maka ia selalu menyambung
dengan ridla Alloh. Problem hati nurani adalah cahaya nurani sering tertutup
oleh keserakahan, egoisme dan kemaksiatan.
tujuan hidup manusia adalah untuk menggapai ridla Alloh,
ibtigha’a mardlatillah. Jadi apapun boleh yang penting diridlai Alloh. Apalah
artinya pangkat tinggi dan gaji besar jika tidak diridlai oleh Nya. Ridla
artinya senang. Jadi segala pertimbangan tentang tujuan, terpulan g kepada
apakah yang kita lakukan dan apa yang kita gapai itu sesuatu yang disukai atau
diridlai Alloh atau tidak. Jika kita berusaha memperoleh ridla Nya, maka apapun
yang diberikan Alloh kepada kita, kita akan menerimanya dengan ridla (senang)
pula, ridla dan dirdlai, radliyatan mardliyyah.
Pertanyaannya, bagaimana kita bisa mengetahui sesuatu itu
diridlai atau tidak oleh Alloh. Tolok ukur pertama adalah syari’at atau aturan
agama. Sesuatu yang diharamkan Alloh pasti tidak diridlai, dan sesuatu yang
dihalalkan pasti diridlai, sekurang-kurangnya tidak dilarang. Selanjutnya
nilai-nilai akhlak akan menjadi tolok ukur tentang kesempurnaan, misalnya,
memberi kepada orang yang meminta karena kebuAlloh adalah sesuatu yang
diridlai, tidak memberi tidaklah berdosa tetapi kurang disukai. Nah memberi
sebelum orang yang memiliki kebuAlloh itu meminta bantuan adalah perbuatan yang
sangat diridlai Alloh. Timbulnya perasaan ridla didasari oleh tingkat
pengenalan kepada orang. Memperoleh pemberian adalah sesuatu yang menyenangkan,
tetapi memperoleh pemberian dari orang yang kita sayangi dan kita tahu diapun
menyayangi kita pastilah lebih menyenangkan. Orang yang mengenal (ma`rifat)
kepada Alloh akan merasa ridla atas apapun yang dianugerahkan Alloh kepadanya,
selanjutnya iapun faham apa yang disukai dan yang tidak disukai oleh Nya. Jika
orang merasa hidupnya diridlai Alloh maka iapun merasa dirinya bermakna, dan
dengan merasa bermakna itu ia merasa sangat berbahagia. Sebaliknya jika
seseorang merasa hidupnya tak diridlai Alloh, maka ia merasa semua yang
dikerjakanya tidak berguna, dan bahkan iapun merasa dirinya tak berguna. Orang
yang merasa kehadirannya berguna
bagi orang lain maka ia akan memiliki semangat hidup, semangat bekerja,
semangat berjuang, yang berat terasa ringan, pengorbanannya terasa indah.
Sedangkan
orang yang merasa dirinya tak berguna maka ia tidak memiliki semangat hidup,
tidak memiliki semangat bekerja, merasa sepi di tengah keramaian dan lebih sepi
lagi dalam kesendirian.
Indikator ridla Alloh
juga dapat dilihat dari dimensi horizontal. Nabi bersabda bahwa ridla Alloh ada
bersama ridla kedua orang tua, dan murka Alloh ada bersama murka kedua orang
tua. Jika ayah ibu ridla, maka Allohpun
meridlainya, jika ayah ibu murka, Allohpun murka pula
Semangat mencari
ridla Alloh sudah barang tentu hanya dimiliki oleh orang yang beriman,
sedangkan bagi orang yang tidak mengenal Alloh, tidak mengenal agama, maka
boleh jadi pandangan hidupnya sesat dan
perilakunya juga sesat, tetapi mungkin juga pandangan hidupnya mendekati
pandangan hidup orang beragama minus Alloh, karena toh setiap manusia memiliki
akal yang besa berfikir logis dan hati yang di dalamnya ada nilai kebaikan.
Metode mengetahui
ridla Alloh juga diajarkan oleh Nabi dengan cara bertanya kepada hati sendiri,
istafti qalbaka. Mengapa dengan hati ?, orang bisa berdusta kepada orang lain,
tetapi tidak kepada hati sendiri . Hanya saja kualitas hati orang berbeda-beda.
Hati yang sedang gelap, hati yang kosong, hati yang mati tidak bisa ditanya.
Hati
juga sering tidak konsisten, oleh karena itu pertanyaan yang pali ng tepat
adalah kepada hati nurani, atau ke lubuk hati yang terdalam. Nurani berasal
dari kata nur, nuraniyyun yang artinya cahaya, yakni cahaya keAllohan yang
ditempatkan Alloh di dalam hati manusia, nurun yaqdzifuyhulloh fi al qalb. Jika
hati sering tidak konsisten, maka hati nurani selalu konsisten terhadap
kejujuran dan kebenaran. Orang yang nuraninya hidup maka ia selalu menyambung
dengan ridla Alloh. Problem hati nurani adalah cahaya nurani sering tertutup
oleh keserakahan, egoisme dan kemaksiatan.
Kamis, 13 Mei 2010
tanda-tanda penyakit hati dan cara mendeteksi
Dalam kitabnya Ihyâ `Ulûmuddîn, Al-Ghazali berbicara tentang tanda- tanda penyakit hati dan kiat-kiat untuk mengetahui penyakit hati tersebut.
Ia menyebutkan sebuah doa yang isinya meminta agar kita diselamatkan dari berbagai jenis penyakit hati: “Ya Allah aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, nafsu yang tidak kenyang, mata yang tidak menangis, dan doa yang tidak diangkat.” Doa yang berasal dari hadis Nabi saw ini, menunjukkan tanda-tanda orang yang mempunyai penyakit hati.
Merujuk pada doa di atas, kita bisa menyimpulkan ciri-ciri orang yang berpenyakit hati sebagai berikut:
Pertama, memiliki ilmu yang tidak bermanfaat. Ilmunya tidak berguna baginya dan tidak menjadikannya lebih dekat kepada Allah swt. Al-Quran menyebutkan orang yang betul- betul takut kepada Allah itu sebagai orang-orang memiliki ilmu: Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba- Nya ialah orang yang berilmu. Jika ada orang yang berilmu tapi tidak takut kepada Allah, berarti dia memiliki ilmu yang tidak bermanfaat.
Kedua, mempunyai hati yang tidak bisa khusyuk. Dalam menjalankan ibadah, ia tidak bisa mengkhusyukkan hatinya sehingga tidak bisa menikmati ibadahnya. Ibadah menjadi sebuah kegiatan rutin yang tidak mempengaruhi perilakunya sama sekali. Tanda lahiriah dari orang yang hatinya tidak khusyuk adalah matanya sulit menangis.
Nabi SAWmenyebutnya sebagai jumûd al-`ain (mata yang beku dan tidak bisa mencair). Di dalam Al-Quran, Allah menyebut manusia-manusia yang salih sebagai mereka yang …seringkali terhempas dalam sujud dan menangis terisak-isak. Di antara sahabat-sahabat Nabi, terdapat sekelompok orang yang disebut al-bakâun (orang-orang yang selalu menangis) karena setiap kali Nabi berkhutbah, mereka tidak bisa menahan tangisannya.
Dalam sebuah riwayat, para sahabat bercerita: Suatu hari, Nabi Saw menyampaikan nasihat kepada kami. Berguncanglah hati kami dan berlinanglah air mata kami. Kami lalu meminta, “Ya Rasulallah, seakan- akan ini khutbahmu yang terakhir, berilah kami tambahan wasiat.” Kemudian Nabi saw bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku, kalian akan menyaksikan pertengkaran diantara kaum muslimin yang banyak …” Dalam riwayat lain, Nabi saw bersabda: “Hal pertama yang akan dicabut dari umat ini adalah tangisan karena kekhusyukan.”
Ketiga, memiliki nafsu yang tidak pernah kenyang. Ia memendam ambisi yang tak pernah habis, keinginan yang terus menerus, serta keserakahan yang takkan terpuaskan.
Adapun ciri keempat dari orang yang berpenyakit hati adalah doanya tidak diangkat dan didengar Tuhan.
Kiat Mengobati Penyakit Hati
Cara pertama untuk mengobati penyakit hati, menurut Al-Ghazali, adalah dengan mencari guru yang mengetahui penyakit hati kita. Ketika kita datang kepada guru tersebut, kita harus datang dengan segala kepasrahan. Kita tidak boleh tersinggung jika guru itu memberitahukan penyakit hati kita.
Amirul Mummineen Umar Ibn Al-Khattab berkata, (RA) “Aku menghargai sahabat-sahabatku yang menunjukkan aib-aibku sebagai hadiah untukku.” Seorang guru harus mencintai kita dengan tulus dan begitu pula sebaliknya, kita harus mencintai guru kita dengan tulus. Apa pun yang dikatakan guru, kita tidak menjadi marah. Kita juga harus mencari guru yang lebih sedikit penyakit hatinya daripada diri kita sendiri.
Kedua, mendapatkan sahabat yang jujur.
Sahabat adalah orang yang membenarkan bukan yang `membenar-benarkan’ kita. Sahabat yang baik adalah yang membetulkan kita, bukan yang menganggap apapun yang kita lakukan itu betul.
Ketiga, jika sulit mendapatkan sahabat yang jujur, kita bisa mencari musuh dan mempertimbangkan ucapan-ucapan musuh tentang diri kita. Musuh dapat menunjukkan aib kita dengan lebih jujur ketimbang sahabat kita sendiri.
Keempat, memperhatikan perilaku orang lain yang buruk dan kita rasakan akibat perilaku buruk tersebut pada diri kita. Dengan cara itu, kita tidak akan melakukan hal yang sama. Hal ini sangat mudah karena kita lebih sering memperhatikan perilaku orang lain yang buruk daripada perilaku buruk kita sendiri.
Sebuah kisah dari Jalaluddin Rumi akan menutup tulisan ini; Alkisah, di sebuah kota ada seorang pria yang menanam pohon berduri di tengah jalan. Walikota sudah memperingatkannya agar memotong pohon berduri itu. Setiap kali diingatkan, orang itu selalu mengatakan bahwa ia akan memotongnya besok. Namun sampai orang itu tua, pohon itu belum dipotong juga. Seiring dengan waktu, pohon berduri itu bertambah besar. Ia menutupi semua bagian jalan. Duri itu tidak saja melukai orang yang melalui jalan,tapi juga melukai pemiliknya. Orang tersebut sudah sangat tua. Ia menjadi amat lemah sehingga tidak mampu lagi untuk menebas pohon yang ia tanam sendiri.
Di akhir kisah itu Rumi memberikan nasihatnya, “Dalam hidup ini, kalian sudah banyak sekali menanam pohon berduri dalam hati kalian. Duri-duri itu bukan saja menusuk orang lain tapi juga dirimu sendiri. Ambillah kapak Haidar (Haidar adalah nama kecil Imam Ali), potonglah seluruh duri itu sekarang sebelum kalian kehilangan tenaga sama sekali.”
Yang dimaksud Rumi dengan pohon berduri dalam hati adalah penyakit- penyakit hati dalam ruh kita. Bersamaan dengan tambahnya umur, bertambah pula kekuatannya. Tak ada lagi waktu yang lebih tepat untuk menebang pohon berduri di hati kita itu selain saat ini. Esok hari, penyakit itu akan semakin kuat sementara tenaga kita bertambah lemah. Tak ada daya kita untuk menghancurkannya
Ia menyebutkan sebuah doa yang isinya meminta agar kita diselamatkan dari berbagai jenis penyakit hati: “Ya Allah aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, nafsu yang tidak kenyang, mata yang tidak menangis, dan doa yang tidak diangkat.” Doa yang berasal dari hadis Nabi saw ini, menunjukkan tanda-tanda orang yang mempunyai penyakit hati.
Merujuk pada doa di atas, kita bisa menyimpulkan ciri-ciri orang yang berpenyakit hati sebagai berikut:
Pertama, memiliki ilmu yang tidak bermanfaat. Ilmunya tidak berguna baginya dan tidak menjadikannya lebih dekat kepada Allah swt. Al-Quran menyebutkan orang yang betul- betul takut kepada Allah itu sebagai orang-orang memiliki ilmu: Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba- Nya ialah orang yang berilmu. Jika ada orang yang berilmu tapi tidak takut kepada Allah, berarti dia memiliki ilmu yang tidak bermanfaat.
Kedua, mempunyai hati yang tidak bisa khusyuk. Dalam menjalankan ibadah, ia tidak bisa mengkhusyukkan hatinya sehingga tidak bisa menikmati ibadahnya. Ibadah menjadi sebuah kegiatan rutin yang tidak mempengaruhi perilakunya sama sekali. Tanda lahiriah dari orang yang hatinya tidak khusyuk adalah matanya sulit menangis.
Nabi SAWmenyebutnya sebagai jumûd al-`ain (mata yang beku dan tidak bisa mencair). Di dalam Al-Quran, Allah menyebut manusia-manusia yang salih sebagai mereka yang …seringkali terhempas dalam sujud dan menangis terisak-isak. Di antara sahabat-sahabat Nabi, terdapat sekelompok orang yang disebut al-bakâun (orang-orang yang selalu menangis) karena setiap kali Nabi berkhutbah, mereka tidak bisa menahan tangisannya.
Dalam sebuah riwayat, para sahabat bercerita: Suatu hari, Nabi Saw menyampaikan nasihat kepada kami. Berguncanglah hati kami dan berlinanglah air mata kami. Kami lalu meminta, “Ya Rasulallah, seakan- akan ini khutbahmu yang terakhir, berilah kami tambahan wasiat.” Kemudian Nabi saw bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku, kalian akan menyaksikan pertengkaran diantara kaum muslimin yang banyak …” Dalam riwayat lain, Nabi saw bersabda: “Hal pertama yang akan dicabut dari umat ini adalah tangisan karena kekhusyukan.”
Ketiga, memiliki nafsu yang tidak pernah kenyang. Ia memendam ambisi yang tak pernah habis, keinginan yang terus menerus, serta keserakahan yang takkan terpuaskan.
Adapun ciri keempat dari orang yang berpenyakit hati adalah doanya tidak diangkat dan didengar Tuhan.
Kiat Mengobati Penyakit Hati
Cara pertama untuk mengobati penyakit hati, menurut Al-Ghazali, adalah dengan mencari guru yang mengetahui penyakit hati kita. Ketika kita datang kepada guru tersebut, kita harus datang dengan segala kepasrahan. Kita tidak boleh tersinggung jika guru itu memberitahukan penyakit hati kita.
Amirul Mummineen Umar Ibn Al-Khattab berkata, (RA) “Aku menghargai sahabat-sahabatku yang menunjukkan aib-aibku sebagai hadiah untukku.” Seorang guru harus mencintai kita dengan tulus dan begitu pula sebaliknya, kita harus mencintai guru kita dengan tulus. Apa pun yang dikatakan guru, kita tidak menjadi marah. Kita juga harus mencari guru yang lebih sedikit penyakit hatinya daripada diri kita sendiri.
Kedua, mendapatkan sahabat yang jujur.
Sahabat adalah orang yang membenarkan bukan yang `membenar-benarkan’ kita. Sahabat yang baik adalah yang membetulkan kita, bukan yang menganggap apapun yang kita lakukan itu betul.
Ketiga, jika sulit mendapatkan sahabat yang jujur, kita bisa mencari musuh dan mempertimbangkan ucapan-ucapan musuh tentang diri kita. Musuh dapat menunjukkan aib kita dengan lebih jujur ketimbang sahabat kita sendiri.
Keempat, memperhatikan perilaku orang lain yang buruk dan kita rasakan akibat perilaku buruk tersebut pada diri kita. Dengan cara itu, kita tidak akan melakukan hal yang sama. Hal ini sangat mudah karena kita lebih sering memperhatikan perilaku orang lain yang buruk daripada perilaku buruk kita sendiri.
Sebuah kisah dari Jalaluddin Rumi akan menutup tulisan ini; Alkisah, di sebuah kota ada seorang pria yang menanam pohon berduri di tengah jalan. Walikota sudah memperingatkannya agar memotong pohon berduri itu. Setiap kali diingatkan, orang itu selalu mengatakan bahwa ia akan memotongnya besok. Namun sampai orang itu tua, pohon itu belum dipotong juga. Seiring dengan waktu, pohon berduri itu bertambah besar. Ia menutupi semua bagian jalan. Duri itu tidak saja melukai orang yang melalui jalan,tapi juga melukai pemiliknya. Orang tersebut sudah sangat tua. Ia menjadi amat lemah sehingga tidak mampu lagi untuk menebas pohon yang ia tanam sendiri.
Di akhir kisah itu Rumi memberikan nasihatnya, “Dalam hidup ini, kalian sudah banyak sekali menanam pohon berduri dalam hati kalian. Duri-duri itu bukan saja menusuk orang lain tapi juga dirimu sendiri. Ambillah kapak Haidar (Haidar adalah nama kecil Imam Ali), potonglah seluruh duri itu sekarang sebelum kalian kehilangan tenaga sama sekali.”
Yang dimaksud Rumi dengan pohon berduri dalam hati adalah penyakit- penyakit hati dalam ruh kita. Bersamaan dengan tambahnya umur, bertambah pula kekuatannya. Tak ada lagi waktu yang lebih tepat untuk menebang pohon berduri di hati kita itu selain saat ini. Esok hari, penyakit itu akan semakin kuat sementara tenaga kita bertambah lemah. Tak ada daya kita untuk menghancurkannya
Kamis, 06 Mei 2010
PENYAKIT HATI
Kita mengenal tiga macam penyakit; penyakit hati, penyakit jiwa, dan penyakit fisik. Membedakan penyakit fisik dengan penyakit jiwa lebih mudah ketimbang membedakan penyakit jiwa dengan penyakit hati. Walaupun demikian, ketiganya memiliki persamaan. Apa pun yang dikenai oleh ketiga penyakit itu, ia tidak akan mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Tubuh kita disebut berpenyakit apabila ada bagian tubuh kita yang tidak menjalankan fungsinya dengan benar. Telinga Anda disebut sakit apabila ia tidak dapat mendengar lagi.
Di antara fungsi hati, menurut Al-Ghazali, adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Allah telah menciptakan hati sebagai tempat Dia bersemayam. Tuhan berkata dalam sebuah hadis Qudsi: Langit dan bumi tidak dapat meliputi-Ku. Hanya hati manusia yang dapat meliputi - Ku. Dalam hadis Qudsi lain, Tuhan berkata: "Hai anak Adam, Aku telah menciptakan taman bagimu, dan sebelum kamu bisa masuk ke taman ciptaan-Ku, Aku usir setan dari dalamnya. Dan dalam dirimu ada hati, yang seharusnya menjadi taman yang engkau sediakan bagi-Ku."
Hadis ini menunjukkan bahwa fungsi hati adalah untuk mengenal Tuhan, mencintai Tuhan, menemui Tuhan, dan pada tingkat tertentu, melihat Tuhan atau berjumpa dengan-Nya. Hati yang berpenyakit ditandai dengan tertutupnya mata batin kita dari penglihatan-penglihatan ruhaniah. Ada hubungan antara penyakit jiwa dengan penyakit fisik. Sebagai contoh, penyakit jiwa yang paling populer pada masyarakat modern adalah stres. Stres pada penyakit jiwa adalah seperti sakit flu pada penyakit fisik.
Dari beberapa penelitian ilmiah, diketahui bahwa orang-orang yang stres mengalami gangguan pada sistem immune atau sistem kekebalan dalam tubuhnya. Orang yang banyak mengalami stres cenderung gampang sekali terkena penyakit. Ini menunjukkan bahwa penyakit jiwa amat berpengaruh dalam menimbulkan gangguan fisik. Demikian pula sebaliknya, penyakit fisik dapat menimbulkan gangguan jiwa. Orang yang sakit terus menerus, sudah berobat ke mana-mana, tetapi belum sembuh, juga bisa mengalami penyakit jiwa. Orang tersebut boleh jadi cepat tersinggung, mudah marah, dan sebagainya.
Salah satu di antara penyakit jiwa adalah perasaan cemas; takut akan sesuatu yang tidak jelas. Ada dua macam ketakutan; Pertama, takut kepada sesuatu yang terlihat, misalnya ketakutan pada harimau. Kedua, takut kepada sesuatu yang abstrak, umpamanya seorang istri yang takut suaminya akan berbuat macam-macam. Sang istri membayangkan sesuatu yang bersumber dari imajinasinya sendiri. Ini berarti istri tersebut mengalami gangguan psikologis. Ada juga orang yang merasa bahwa semua orang di sekitarnya tidak suka kepada dia dan mereka semua bermaksud mencelakakannya. Dia selalu dibayangi ketakutan seperti itu. Para psikolog menyebut ketakutan seperti ini sebagai anxiety.
Penyakit hati menimbukan gangguan psikologis dan gangguan psikologis berpengaruh pada kesehatan fisik. Contoh penyakit hati adalah dengki, iri hati, dan dendam kepada orang lain. Dendam adalah rasa marah yang kita simpan jauh di dalam hati kita sehingga menggerogoti hati kita. Akibat dari menyimpan dendam, kita menjadi stres berkepanjangan. Adapun akibat dari iri hati ialah kehilangan perasaan tentram. Orang yang iri hati tidak bisa menikmati kehidupan yang normal karena hatinya tidak pernah bisa tenang sebelum melihat orang lain mengalami kesulitan. Dia melakukan berbagai hal untuk memuaskan rasa iri hatinya. Bila ia gagal, ia akan jatuh kepada frustrasi.
Imam Ali berkata, "Tidak ada orang zalim yang menzalimi orang lain sambil sekaligus menzalimi dirinya sendiri, selain orang yang dengki."
Selain menyakiti orang lain, orang yang dengki juga akan menyakiti dirinya sendiri. Ada penyakit hati yang langsung berpengaruh kepada gangguan fisik. Bakhil, misalnya. Bakhil adalah penyakit hati yang bersumber dari keinginan yang egois. Keinginan untuk menyenangkan diri secara berlebihan akan melahirkan kebakhilan. Penyakit bakhil berpengaruh langsung pada gangguan fisik.
Pernah ada orang datang kepada Imam Ja'far as. Dia mengadukan sakit yang diderita seluruh anggota keluarganya, yang berjumlah sepuluh orang. Imam Ja'far berkata dengan menyebutkan sabda Nabi saw, "Sembuhkanlah orang-orang yang sakit di antara kamu dengan banyak bersedekah." Dalam hadis lain disebutkan, "Di antara ciri-ciri orang bakhil adalah banyaknya penyakit".
Tanda-Tanda Penyakit Hati
Pertama, kehilangan cinta yang tulus. Orang yang mengidap penyakit hati tidak akan bisa mencintai orang lain dengan benar. Dia tidak mampu mencintai keluarganya dengan ikhlas. Orang seperti itu agak sulit untuk mencintai Nabi, apalagi mencintai Tuhan yang lebih abstrak. Karena ia tidak bisa mencintai dengan tulus, dia juga tidak akan mendapat kecintaan yang tulus dari orang lain. Sekiranya ada yang mencintainya dengan tulus, ia akan curiga akan kecintaan itu.
Dalam kitab Matsnawi, Rumi mengisahkan suatu negeri yang mengalami kekeringan yang panjang. Orang-orang salih dan para ulama berkumpul untuk melakukan salat istisqa namun hujan tidak turun juga. Karena hujan tidak turun, akhirnya para pendosa pun turut berkumpul di tanah lapang. Sebagai ahli maksiat, mereka tidak tahu bagaimana cara salat istisqa. Mereka hanya memukul genderang sambil mengucapkan puji- pujian dalam bahasa Persia yang terjemahannya berbunyi: Titik-titik hujan sangat indah untuk para pendosa. Begitu juga kasih sayang Tuhan sangat indah untuk orang-orang durhaka. Mereka hanya mengulang-ulang kata-kata itu.
Tiba-tiba, tanpa diduga, hujan turun dengan lebat. Hal ini terjadi karena orang-orang salih berdoa dengan seluruh zikir dan tasbihnya, sementara para pendosa berdoa dengan seluruh penyesalannya, dengan segala perasaan rendah diri di hadapan keagungan Tuhan. Para pentasbih menyentuh kemahabesaran Tuhan sementara para pendosa menyentuh kasih sayang Tuhan.
Kedua, kehilangan ketentraman dan ketenangan batin. Ketiga, memiliki hati dan mata yang keras. Pengidap penyakit hati mempunyai mata yang sukar terharu dan hati yang sulit tersentuh. Keempat, kehilangan kekhusyukan dalam ibadat. Kelima, malas beribadat atau beramal. Keenam, senang melakukan dosa. Orang yang berpenyakit hati merasakan kebahagiaan dalam melakukan dosa. Tidak ada perasaan bersalah yang mengganggu dirinya sama sekali. Sebuah doa dari Nabi saw berbunyi: "Ya Allah, jadikanlah aku orang yang apabila berbuat baik aku berbahagia dan apabila aku berbuat dosa, aku cepat-cepat beristighfar."
Di antara taubat yang tidak diterima Allah ialah taubat orang yang tidak pernah merasa perlu untuk bertaubat karena tak merasa berbuat dosa. Kali pertama seseorang melakukan dosa, ia akan merasa bersalah. Tetapi saat ia mengulanginya untuk kedua kali, rasa bersalah itu akan berkurang. Setelah ia berulang kali melakukan maksiat, ia akan mulai menyenangi kemaksiatan itu. Bahkan ia menjadi ketagihan untuk berbuat maksiat terus menerus. Ini menandakan orang tersebut sudah berada dalam kategori firman Allah: "Dalam hatinya ada penyakit lalu Allah tambahkan penyakitnya." (QS. Al-Baqarah: 10)
Dalam kitabnya Ihyâ `Ulûmuddîn, Al-Ghazali berbicara tentang tanda- tanda penyakit hati dan kiat-kiat untuk mengetahui penyakit hati tersebut. Ia menyebutkan sebuah doa yang isinya meminta agar kita diselamatkan dari berbagai jenis penyakit hati: "Ya Allah aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, nafsu yang tidak kenyang, mata yang tidak menangis, dan doa yang tidak diangkat."
Doa yang berasal dari hadis Nabi saw ini, menunjukkan tanda-tanda orang yang mempunyai penyakit hati. Merujuk pada doa di atas, kita bisa menyimpulkan ciri-ciri orang yang berpenyakit hati sebagai berikut:
Pertama, memiliki ilmu yang tidak bermanfaat. Ilmunya tidak berguna baginya dan tidak menjadikannya lebih dekat kepada Allah swt. Al-Quran menyebutkan orang yang betul- betul takut kepada Allah itu sebagai orang-orang memiliki ilmu: Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya ialah orang yang berilmu. Jika ada orang yang berilmu tapi tidak takut kepada Allah, berarti dia memiliki ilmu yang tidak bermanfaat.
Kedua, mempunyai hati yang tidak bisa khusyuk. Dalam menjalankan ibadah, ia tidak bisa mengkhusyukkan hatinya sehingga tidak bisa menikmati ibadahnya. Ibadah menjadi sebuah kegiatan rutin yang tidak mempengaruhi perilakunya sama sekali. Tanda lahiriah dari orang yang hatinya tidak khusyuk adalah matanya sulit menangis. Nabi saw menyebutnya sebagai jumûd al-`ain (mata yang beku dan tidak bisa mencair). Di dalam Al-Quran, Allah menyebut manusia-manusia yang salih sebagai mereka yang ...seringkali terhempas dalam sujud dan menangis terisak-isak.
Di antara sahabat-sahabat Nabi, terdapat sekelompok orang yang disebut al-bakâun (orang-orang yang selalu menangis) karena setiap kali Nabi berkhutbah, mereka tidak bisa menahan tangisannya. Dalam sebuah riwayat, para sahabat bercerita: Suatu hari, Nabi Saw menyampaikan nasihat kepada kami. Berguncanglah hati kami dan berlinanglah air mata kami. Kami lalu meminta, "Ya Rasulallah, seakan- akan ini khutbahmu yang terakhir, berilah kami tambahan wasiat." Kemudian Nabi saw bersabda, "Barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku, kalian akan menyaksikan pertengkaran di antara kaum muslimin yang banyak ..." Dalam riwayat lain, Nabi saw bersabda: "Hal pertama yang akan dicabut dari umat ini adalah tangisan karena kekhusyukan."
Ketiga, memiliki nafsu yang tidak pernah kenyang. Ia memendam ambisi yang tak pernah habis, keinginan yang terus menerus, serta keserakahan yang takkan terpuaskan.
Adapun ciri keempat dari orang yang berpenyakit hati adalah doanya tidak diangkat dan didengar Tuhan.
Kiat Mengobati Penyakit Hati
Cara pertama untuk mengobati penyakit hati, menurut Al-Ghazali, adalah dengan mencari guru yang mengetahui penyakit hati kita. Ketika kita datang kepada guru tersebut, kita harus datang dengan segala kepasrahan. Kita tidak boleh tersinggung jika guru itu memberitahukan penyakit hati kita.
Umar Ibn Al-Khattab berkata, "Aku menghargai sahabat-sahabatku yang menunjukkan aib-aibku sebagai hadiah untukku."
Seorang guru harus mencintai kita dengan tulus dan begitu pula sebaliknya, kita harus mencintai guru kita dengan tulus. Apa pun yang dikatakan guru, kita tidak menjadi marah. Kita juga harus mencari guru yang lebih sedikit penyakit hatinya daripada diri kita sendiri.
Kedua, mendapatkan sahabat yang jujur. Sahabat adalah orang yang membenarkan bukan yang `membenar-benarkan' kita. Sahabat yang baik adalah yang membetulkan kita, bukan yang menganggap apapun yang kita lakukan itu betul.
Ketiga, jika sulit mendapatkan sahabat yang jujur, kita bisa mencari musuh dan mempertimbangkan ucapan-ucapan musuh tentang diri kita. Musuh dapat menunjukkan aib kita dengan lebih jujur ketimbang sahabat kita sendiri. Keempat, memperhatikan perilaku orang lain yang buruk dan kita rasakan akibat perilaku buruk tersebut pada diri kita. Dengan cara itu, kita tidak akan melakukan hal yang sama. Hal ini sangat mudah karena kita lebih sering memperhatikan perilaku orang lain yang buruk daripada perilaku buruk kita sendiri.
Sebuah kisah dari Jalaluddin Rumi akan menutup tulisan ini; Alkisah, di sebuah kota ada seorang pria yang menanam pohon berduri di tengah jalan. Walikota sudah memperingatkannya agar memotong pohon berduri itu. Setiap kali diingatkan, orang itu selalu mengatakan bahwa ia akan memotongnya besok. Namun sampai orang itu tua, pohon itu belum dipotong juga. Seiring dengan waktu, pohon berduri itu bertambah besar. Ia menutupi semua bagian jalan. Duri itu tidak saja melukai orang yang melalui jalan, tapi juga melukai pemiliknya. Orang tersebut sudah sangat tua. Ia menjadi amat lemah sehingga tidak mampu lagi untuk menebas pohon yang ia tanam sendiri.
Di akhir kisah itu Rumi memberikan nasihatnya, "Dalam hidup ini, kalian sudah banyak sekali menanam pohon berduri dalam hati kalian. Duri-duri itu bukan saja menusuk orang lain tapi juga dirimu sendiri. Ambillah kapak Haidar, potonglah seluruh duri itu sekarang sebelum kalian kehilangan tenaga sama sekali."
Yang dimaksud Rumi dengan pohon berduri dalam hati adalah penyakit- penyakit hati dalam ruh kita. Bersamaan dengan tambahnya umur, bertambah pula kekuatannya. Tak ada lagi waktu yang lebih tepat untuk menebang pohon berduri di hati kita itu selain saat ini. Esok hari, penyakit itu akan semakin kuat sementara tenaga kita bertambah lemah. Tak ada daya kita untuk menghancurkannya.
Di antara fungsi hati, menurut Al-Ghazali, adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Allah telah menciptakan hati sebagai tempat Dia bersemayam. Tuhan berkata dalam sebuah hadis Qudsi: Langit dan bumi tidak dapat meliputi-Ku. Hanya hati manusia yang dapat meliputi - Ku. Dalam hadis Qudsi lain, Tuhan berkata: "Hai anak Adam, Aku telah menciptakan taman bagimu, dan sebelum kamu bisa masuk ke taman ciptaan-Ku, Aku usir setan dari dalamnya. Dan dalam dirimu ada hati, yang seharusnya menjadi taman yang engkau sediakan bagi-Ku."
Hadis ini menunjukkan bahwa fungsi hati adalah untuk mengenal Tuhan, mencintai Tuhan, menemui Tuhan, dan pada tingkat tertentu, melihat Tuhan atau berjumpa dengan-Nya. Hati yang berpenyakit ditandai dengan tertutupnya mata batin kita dari penglihatan-penglihatan ruhaniah. Ada hubungan antara penyakit jiwa dengan penyakit fisik. Sebagai contoh, penyakit jiwa yang paling populer pada masyarakat modern adalah stres. Stres pada penyakit jiwa adalah seperti sakit flu pada penyakit fisik.
Dari beberapa penelitian ilmiah, diketahui bahwa orang-orang yang stres mengalami gangguan pada sistem immune atau sistem kekebalan dalam tubuhnya. Orang yang banyak mengalami stres cenderung gampang sekali terkena penyakit. Ini menunjukkan bahwa penyakit jiwa amat berpengaruh dalam menimbulkan gangguan fisik. Demikian pula sebaliknya, penyakit fisik dapat menimbulkan gangguan jiwa. Orang yang sakit terus menerus, sudah berobat ke mana-mana, tetapi belum sembuh, juga bisa mengalami penyakit jiwa. Orang tersebut boleh jadi cepat tersinggung, mudah marah, dan sebagainya.
Salah satu di antara penyakit jiwa adalah perasaan cemas; takut akan sesuatu yang tidak jelas. Ada dua macam ketakutan; Pertama, takut kepada sesuatu yang terlihat, misalnya ketakutan pada harimau. Kedua, takut kepada sesuatu yang abstrak, umpamanya seorang istri yang takut suaminya akan berbuat macam-macam. Sang istri membayangkan sesuatu yang bersumber dari imajinasinya sendiri. Ini berarti istri tersebut mengalami gangguan psikologis. Ada juga orang yang merasa bahwa semua orang di sekitarnya tidak suka kepada dia dan mereka semua bermaksud mencelakakannya. Dia selalu dibayangi ketakutan seperti itu. Para psikolog menyebut ketakutan seperti ini sebagai anxiety.
Penyakit hati menimbukan gangguan psikologis dan gangguan psikologis berpengaruh pada kesehatan fisik. Contoh penyakit hati adalah dengki, iri hati, dan dendam kepada orang lain. Dendam adalah rasa marah yang kita simpan jauh di dalam hati kita sehingga menggerogoti hati kita. Akibat dari menyimpan dendam, kita menjadi stres berkepanjangan. Adapun akibat dari iri hati ialah kehilangan perasaan tentram. Orang yang iri hati tidak bisa menikmati kehidupan yang normal karena hatinya tidak pernah bisa tenang sebelum melihat orang lain mengalami kesulitan. Dia melakukan berbagai hal untuk memuaskan rasa iri hatinya. Bila ia gagal, ia akan jatuh kepada frustrasi.
Imam Ali berkata, "Tidak ada orang zalim yang menzalimi orang lain sambil sekaligus menzalimi dirinya sendiri, selain orang yang dengki."
Selain menyakiti orang lain, orang yang dengki juga akan menyakiti dirinya sendiri. Ada penyakit hati yang langsung berpengaruh kepada gangguan fisik. Bakhil, misalnya. Bakhil adalah penyakit hati yang bersumber dari keinginan yang egois. Keinginan untuk menyenangkan diri secara berlebihan akan melahirkan kebakhilan. Penyakit bakhil berpengaruh langsung pada gangguan fisik.
Pernah ada orang datang kepada Imam Ja'far as. Dia mengadukan sakit yang diderita seluruh anggota keluarganya, yang berjumlah sepuluh orang. Imam Ja'far berkata dengan menyebutkan sabda Nabi saw, "Sembuhkanlah orang-orang yang sakit di antara kamu dengan banyak bersedekah." Dalam hadis lain disebutkan, "Di antara ciri-ciri orang bakhil adalah banyaknya penyakit".
Tanda-Tanda Penyakit Hati
Pertama, kehilangan cinta yang tulus. Orang yang mengidap penyakit hati tidak akan bisa mencintai orang lain dengan benar. Dia tidak mampu mencintai keluarganya dengan ikhlas. Orang seperti itu agak sulit untuk mencintai Nabi, apalagi mencintai Tuhan yang lebih abstrak. Karena ia tidak bisa mencintai dengan tulus, dia juga tidak akan mendapat kecintaan yang tulus dari orang lain. Sekiranya ada yang mencintainya dengan tulus, ia akan curiga akan kecintaan itu.
Dalam kitab Matsnawi, Rumi mengisahkan suatu negeri yang mengalami kekeringan yang panjang. Orang-orang salih dan para ulama berkumpul untuk melakukan salat istisqa namun hujan tidak turun juga. Karena hujan tidak turun, akhirnya para pendosa pun turut berkumpul di tanah lapang. Sebagai ahli maksiat, mereka tidak tahu bagaimana cara salat istisqa. Mereka hanya memukul genderang sambil mengucapkan puji- pujian dalam bahasa Persia yang terjemahannya berbunyi: Titik-titik hujan sangat indah untuk para pendosa. Begitu juga kasih sayang Tuhan sangat indah untuk orang-orang durhaka. Mereka hanya mengulang-ulang kata-kata itu.
Tiba-tiba, tanpa diduga, hujan turun dengan lebat. Hal ini terjadi karena orang-orang salih berdoa dengan seluruh zikir dan tasbihnya, sementara para pendosa berdoa dengan seluruh penyesalannya, dengan segala perasaan rendah diri di hadapan keagungan Tuhan. Para pentasbih menyentuh kemahabesaran Tuhan sementara para pendosa menyentuh kasih sayang Tuhan.
Kedua, kehilangan ketentraman dan ketenangan batin. Ketiga, memiliki hati dan mata yang keras. Pengidap penyakit hati mempunyai mata yang sukar terharu dan hati yang sulit tersentuh. Keempat, kehilangan kekhusyukan dalam ibadat. Kelima, malas beribadat atau beramal. Keenam, senang melakukan dosa. Orang yang berpenyakit hati merasakan kebahagiaan dalam melakukan dosa. Tidak ada perasaan bersalah yang mengganggu dirinya sama sekali. Sebuah doa dari Nabi saw berbunyi: "Ya Allah, jadikanlah aku orang yang apabila berbuat baik aku berbahagia dan apabila aku berbuat dosa, aku cepat-cepat beristighfar."
Di antara taubat yang tidak diterima Allah ialah taubat orang yang tidak pernah merasa perlu untuk bertaubat karena tak merasa berbuat dosa. Kali pertama seseorang melakukan dosa, ia akan merasa bersalah. Tetapi saat ia mengulanginya untuk kedua kali, rasa bersalah itu akan berkurang. Setelah ia berulang kali melakukan maksiat, ia akan mulai menyenangi kemaksiatan itu. Bahkan ia menjadi ketagihan untuk berbuat maksiat terus menerus. Ini menandakan orang tersebut sudah berada dalam kategori firman Allah: "Dalam hatinya ada penyakit lalu Allah tambahkan penyakitnya." (QS. Al-Baqarah: 10)
Dalam kitabnya Ihyâ `Ulûmuddîn, Al-Ghazali berbicara tentang tanda- tanda penyakit hati dan kiat-kiat untuk mengetahui penyakit hati tersebut. Ia menyebutkan sebuah doa yang isinya meminta agar kita diselamatkan dari berbagai jenis penyakit hati: "Ya Allah aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, nafsu yang tidak kenyang, mata yang tidak menangis, dan doa yang tidak diangkat."
Doa yang berasal dari hadis Nabi saw ini, menunjukkan tanda-tanda orang yang mempunyai penyakit hati. Merujuk pada doa di atas, kita bisa menyimpulkan ciri-ciri orang yang berpenyakit hati sebagai berikut:
Pertama, memiliki ilmu yang tidak bermanfaat. Ilmunya tidak berguna baginya dan tidak menjadikannya lebih dekat kepada Allah swt. Al-Quran menyebutkan orang yang betul- betul takut kepada Allah itu sebagai orang-orang memiliki ilmu: Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya ialah orang yang berilmu. Jika ada orang yang berilmu tapi tidak takut kepada Allah, berarti dia memiliki ilmu yang tidak bermanfaat.
Kedua, mempunyai hati yang tidak bisa khusyuk. Dalam menjalankan ibadah, ia tidak bisa mengkhusyukkan hatinya sehingga tidak bisa menikmati ibadahnya. Ibadah menjadi sebuah kegiatan rutin yang tidak mempengaruhi perilakunya sama sekali. Tanda lahiriah dari orang yang hatinya tidak khusyuk adalah matanya sulit menangis. Nabi saw menyebutnya sebagai jumûd al-`ain (mata yang beku dan tidak bisa mencair). Di dalam Al-Quran, Allah menyebut manusia-manusia yang salih sebagai mereka yang ...seringkali terhempas dalam sujud dan menangis terisak-isak.
Di antara sahabat-sahabat Nabi, terdapat sekelompok orang yang disebut al-bakâun (orang-orang yang selalu menangis) karena setiap kali Nabi berkhutbah, mereka tidak bisa menahan tangisannya. Dalam sebuah riwayat, para sahabat bercerita: Suatu hari, Nabi Saw menyampaikan nasihat kepada kami. Berguncanglah hati kami dan berlinanglah air mata kami. Kami lalu meminta, "Ya Rasulallah, seakan- akan ini khutbahmu yang terakhir, berilah kami tambahan wasiat." Kemudian Nabi saw bersabda, "Barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku, kalian akan menyaksikan pertengkaran di antara kaum muslimin yang banyak ..." Dalam riwayat lain, Nabi saw bersabda: "Hal pertama yang akan dicabut dari umat ini adalah tangisan karena kekhusyukan."
Ketiga, memiliki nafsu yang tidak pernah kenyang. Ia memendam ambisi yang tak pernah habis, keinginan yang terus menerus, serta keserakahan yang takkan terpuaskan.
Adapun ciri keempat dari orang yang berpenyakit hati adalah doanya tidak diangkat dan didengar Tuhan.
Kiat Mengobati Penyakit Hati
Cara pertama untuk mengobati penyakit hati, menurut Al-Ghazali, adalah dengan mencari guru yang mengetahui penyakit hati kita. Ketika kita datang kepada guru tersebut, kita harus datang dengan segala kepasrahan. Kita tidak boleh tersinggung jika guru itu memberitahukan penyakit hati kita.
Umar Ibn Al-Khattab berkata, "Aku menghargai sahabat-sahabatku yang menunjukkan aib-aibku sebagai hadiah untukku."
Seorang guru harus mencintai kita dengan tulus dan begitu pula sebaliknya, kita harus mencintai guru kita dengan tulus. Apa pun yang dikatakan guru, kita tidak menjadi marah. Kita juga harus mencari guru yang lebih sedikit penyakit hatinya daripada diri kita sendiri.
Kedua, mendapatkan sahabat yang jujur. Sahabat adalah orang yang membenarkan bukan yang `membenar-benarkan' kita. Sahabat yang baik adalah yang membetulkan kita, bukan yang menganggap apapun yang kita lakukan itu betul.
Ketiga, jika sulit mendapatkan sahabat yang jujur, kita bisa mencari musuh dan mempertimbangkan ucapan-ucapan musuh tentang diri kita. Musuh dapat menunjukkan aib kita dengan lebih jujur ketimbang sahabat kita sendiri. Keempat, memperhatikan perilaku orang lain yang buruk dan kita rasakan akibat perilaku buruk tersebut pada diri kita. Dengan cara itu, kita tidak akan melakukan hal yang sama. Hal ini sangat mudah karena kita lebih sering memperhatikan perilaku orang lain yang buruk daripada perilaku buruk kita sendiri.
Sebuah kisah dari Jalaluddin Rumi akan menutup tulisan ini; Alkisah, di sebuah kota ada seorang pria yang menanam pohon berduri di tengah jalan. Walikota sudah memperingatkannya agar memotong pohon berduri itu. Setiap kali diingatkan, orang itu selalu mengatakan bahwa ia akan memotongnya besok. Namun sampai orang itu tua, pohon itu belum dipotong juga. Seiring dengan waktu, pohon berduri itu bertambah besar. Ia menutupi semua bagian jalan. Duri itu tidak saja melukai orang yang melalui jalan, tapi juga melukai pemiliknya. Orang tersebut sudah sangat tua. Ia menjadi amat lemah sehingga tidak mampu lagi untuk menebas pohon yang ia tanam sendiri.
Di akhir kisah itu Rumi memberikan nasihatnya, "Dalam hidup ini, kalian sudah banyak sekali menanam pohon berduri dalam hati kalian. Duri-duri itu bukan saja menusuk orang lain tapi juga dirimu sendiri. Ambillah kapak Haidar, potonglah seluruh duri itu sekarang sebelum kalian kehilangan tenaga sama sekali."
Yang dimaksud Rumi dengan pohon berduri dalam hati adalah penyakit- penyakit hati dalam ruh kita. Bersamaan dengan tambahnya umur, bertambah pula kekuatannya. Tak ada lagi waktu yang lebih tepat untuk menebang pohon berduri di hati kita itu selain saat ini. Esok hari, penyakit itu akan semakin kuat sementara tenaga kita bertambah lemah. Tak ada daya kita untuk menghancurkannya.
Rabu, 05 Mei 2010
pendidikan antara mencari ilmu dan ijazah
Oleh : Moh. Safrudin, S.Ag, M.PdI
(Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Avicenna Kendari)
Jika tidak harus memilih, di antara ilmu dan ijazah dan gelar, maka keduanya sama-sama penting dan harus diambil. Ilmu penting, tetapi ijazah juga perlu. Namun kalau harus memilih, maka umumnya orang akan memilih ijazah. Makanya, sering kita dengar suara aneh, cari ijazah dulu, sedangkan ilmu bisa didapat kemudian. Padahal, kenyataannya hal itu sulit terjadi. Biasanya setelah mendapat ijazah, maka belajarnya berhenti, karena dirasa sudah mencukupi.
Orang lebih mengutamakan ijazah dari pada ilmu, karena tanpa ijazah, ilmunya tidak akan diakui. Bahkan pemerintah pun tidak akan mengakui ilmu seseorang jika tidak bisa membuktikan dengan selembar kertas yang bernama ijazah itu. Sebaliknya, pemegang ijazah, sekalipun tidak berilmu sebagaimana tergambar dalam ijazahnya itu, tetap akan diakui.
Padahal ilmu bisa didapat tanpa guru dan juga tanpa sekolah. Orang yang berilmu luas tanpa berguru dan bersekolah disebut aotodidak. Pada kenyataannya, memang banyak orang tanpa berguru dan tanpa sekolah bisa menunjukkan kepintarannya. Sebaliknya, juga tidak sulit kita temukan, pemegang ijazah dan juga pemakai beberapa gelar akademik, tetapi tidak menunjukkan adanya ilmu yang disandangnya.
Tatkala ijazah dipandang lebih penting dari pada ilmu, maka orang ramai-ramai mengejar ijazah. Lembaga pendidikan yang cepat meluluskan dan mengeluarkan ijazah dianggap lebih baik dan bermutu. Maka dalam memilih sekolah, tidak sedikit orang menjatuhkan pilihan pada lembaga pendidikan yang segera meluluskan. Lebih cepat ijazah diperoleh, dianggap lebih baik. Hal sama anehnya juga terkait dengan ujian. Siapapun melarang, jika seorang belajar hanya berniat untuk menghadapi ujian. Akan tetapi, justru yang terjadi adalah seperti itu. Siswa dan bahkan mahasiswa baru belajar kalau akan ujian. Oleh karena itu, sering kita dengar, orang tahan di ruang belajar berlama-lama, tidak mau diajak kemana-mana, dengan alasan akan mempersiapkan ujian. Menghadapi ujian sedemikian penting, dianggap menentukan nasibnya. Orientasi belajar seperti itu, maka menjadikan ilmu yang didapatkan oleh seseorang tidak bertahan lama. Segera setelah mendapatkan ijazah sekolah dasar misalnya, maka hilanglah ilmu yang diterima selama enam tahun, kecuali beberapa saja yang tersisa. Hal yang sama dialami ketika setelah mereka mendapatkan ijazah SMP, SMA, dan bahkan juga setelah diwisuda dan mendapatkan gelar sarjana. Apa saja yang telah dipelajari hilang, setelah ijazah itu didapat.
Pandangan seperti itu, menjadikan ujian dan ijazah sedemikian penting. Bahkan sekolah bukan untuk mendapatkan ilmu, tetapi ijazah. Oleh karena itu, setelah dinyatakan lulus, maka rasa kegembiranya berlebihan, diekpresikan dengan mencorat-coret baju di antara temannya. Bahkan juga kebut-kebutan bersama, hingga merepotkan polisi lalu lintas segala.
Kebiasaan seperti itu menjadikan upaya peningkatan mutu pendidikan sangat sulit diupayakan. Siswa tidak mau belajar jika tidak ada ujian. Selanjutnya, ujian diikuti, agar lulus dan mendapatkan ijazah. Seseorang yang tidak lulus ujian merasa sebagai penderitaan yang luar biasa. Siapa saja disalahkan, kecuali dirinya sendiri. Anehnya, sekolah pun juga berharap begitu, menginginkan agar siswanya lulus semua, termasuk yang tidak pintar.
Sebagai akibat dari tumbuhnya budaya yang menghargai ijazah sebagai segala-galanya itu, maka sekolah bukan tempat yang menyenangkan untuk mendapat dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Sekolah oleh sementara orang dirasa bagaikan penjara. Oleh sebab itu, tatkala dinyatakan lulus dan mendapatkan ijazah, mereka gembira luar biasa. Sebaliknya, bagi yang tidak lulus merasa seolah-olah masa tinggal di rumah penjara harus diperpanjang
Cara memandang ilmu dan ijazah seperti itu, menjadikan sementara orang mencari jalan pintas. Ada saja orang mendapatkan ijazah tanpa sekolah, yaitu dengan cara beli, hingga muncul istilah ijazah palsu. Kenyataan itu sangat memprihatinkan. Bukan saja menyesalkan terjadinya kecurangan pemalsuan ijazah, melainkan hal itu sebenarnya sebagai pertanda bahwa sementara lembaga pendidikan sudah tidak berhasil menjadi pembeda, antara orang yang sekolah dan yang tidak. Ijazah palsu pun baru diketahui setelah ada pihak yang mengadukan. Padahal semestinya, orang pintar dan tidak pintar bisa diketahui dari penampilannya dan bukan dari sebatas ijazah yang dimiliki.
Kalau orientasi pendidikan hanya soal ijazah dan digit nilai, ujian nasional kita telah berhasil menyelenggarakannya. Tetapi kalau orientasi pendidikan kita adalah tumbuh kembangnya anak didik yang cerdas dan bernalar, berempati dan bersimpati, beretika dan beretos kerja, ujian nasional seperti ini tidak pernah berhasil menjawabnya. Akhirnya, memang sistem pendidikan nasional kita belum secara sungguh-sungguh membawa anak didik menuju kemandirian berpikir. Sejak anak masuk sekolah, dunia mereka telah dirampas oleh mata pelajaran yang penuh dengan hapalan. Hal tersebut ditopang oleh kebijakan pendidikan penguasa yang penuh dengan ketidakjelasan. Kalau sudah tidak jelas manfaatnya, lalu mengapa pemerintah acuh seperti demikian? Akar persoalannya bisa kita lacak, setidak-tidaknya dari bagaimana karakter sistem pendidikan diselenggarakan. Kita melihat bahwa pendidikan dalam bangsa ini hanya menjadi instrumen kekuasaan politik. Pendidikan disubordinasikan dalam kekuasaan politik, dan menghasilkan manusia yang hanya pandai ikut-ikutan. Mereka bagaikan robot yang dikendalikan oleh remote control, yakni pemegang kekuasaan dan pemilik modal, melalui ideologi penyeragaman. Ini membuat mereka hanya mampu menunggu petunjuk serta pedoman dari atas. Kreativitasnya minim. Selama revolusi pendidikan tidak dijalankan, jangan berharap lahir manusia Indonesia yang bermutu. Revolusi pendidikan perlu segera dijalankan dengan mengubah orientasi pendidikan dari watak elitis, yakni hanya mengejar-ngejar gelar, pangkat, kedudukan tanpa memperhatikan pembentukkan karakter manusianya. Dengan mengabaikan hal ini, pendidikan berarti sekadar transfer ilmu saja. Akibatnya lepas dari moralitas. Realitas proses pendidikan yang membebaskan hanya bisa terwujud bila birokrasi pendidikan mengubah paradigma pendidikan bukan semata-mata sebagai alat politik kekuasaan.
Peringatan hari pendidikan seperti sekarang ini, perlu dijadikan momentum untuk menata atau meluruskan cara pandang terhadap lembaga pendidikan. Konsolidasi idiil seperti itu tidak kalah pentingnya, atau setidak-tidaknya sama urgennya dengan upaya mencari cara untuk peningkatan kualitas pendidikan, yang bersifat fisik. Kecukupan dana dan fasilitas pendidikan tidak akan banyak artinya, jika orientasi atau niat belajar para siswa atau mahasiswa tidak tepat, yaitu hanya ingin mendapatkan nilai, IP atau ijazah belaka. Wallahu a’lam.
(Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Avicenna Kendari)
Jika tidak harus memilih, di antara ilmu dan ijazah dan gelar, maka keduanya sama-sama penting dan harus diambil. Ilmu penting, tetapi ijazah juga perlu. Namun kalau harus memilih, maka umumnya orang akan memilih ijazah. Makanya, sering kita dengar suara aneh, cari ijazah dulu, sedangkan ilmu bisa didapat kemudian. Padahal, kenyataannya hal itu sulit terjadi. Biasanya setelah mendapat ijazah, maka belajarnya berhenti, karena dirasa sudah mencukupi.
Orang lebih mengutamakan ijazah dari pada ilmu, karena tanpa ijazah, ilmunya tidak akan diakui. Bahkan pemerintah pun tidak akan mengakui ilmu seseorang jika tidak bisa membuktikan dengan selembar kertas yang bernama ijazah itu. Sebaliknya, pemegang ijazah, sekalipun tidak berilmu sebagaimana tergambar dalam ijazahnya itu, tetap akan diakui.
Padahal ilmu bisa didapat tanpa guru dan juga tanpa sekolah. Orang yang berilmu luas tanpa berguru dan bersekolah disebut aotodidak. Pada kenyataannya, memang banyak orang tanpa berguru dan tanpa sekolah bisa menunjukkan kepintarannya. Sebaliknya, juga tidak sulit kita temukan, pemegang ijazah dan juga pemakai beberapa gelar akademik, tetapi tidak menunjukkan adanya ilmu yang disandangnya.
Tatkala ijazah dipandang lebih penting dari pada ilmu, maka orang ramai-ramai mengejar ijazah. Lembaga pendidikan yang cepat meluluskan dan mengeluarkan ijazah dianggap lebih baik dan bermutu. Maka dalam memilih sekolah, tidak sedikit orang menjatuhkan pilihan pada lembaga pendidikan yang segera meluluskan. Lebih cepat ijazah diperoleh, dianggap lebih baik. Hal sama anehnya juga terkait dengan ujian. Siapapun melarang, jika seorang belajar hanya berniat untuk menghadapi ujian. Akan tetapi, justru yang terjadi adalah seperti itu. Siswa dan bahkan mahasiswa baru belajar kalau akan ujian. Oleh karena itu, sering kita dengar, orang tahan di ruang belajar berlama-lama, tidak mau diajak kemana-mana, dengan alasan akan mempersiapkan ujian. Menghadapi ujian sedemikian penting, dianggap menentukan nasibnya. Orientasi belajar seperti itu, maka menjadikan ilmu yang didapatkan oleh seseorang tidak bertahan lama. Segera setelah mendapatkan ijazah sekolah dasar misalnya, maka hilanglah ilmu yang diterima selama enam tahun, kecuali beberapa saja yang tersisa. Hal yang sama dialami ketika setelah mereka mendapatkan ijazah SMP, SMA, dan bahkan juga setelah diwisuda dan mendapatkan gelar sarjana. Apa saja yang telah dipelajari hilang, setelah ijazah itu didapat.
Pandangan seperti itu, menjadikan ujian dan ijazah sedemikian penting. Bahkan sekolah bukan untuk mendapatkan ilmu, tetapi ijazah. Oleh karena itu, setelah dinyatakan lulus, maka rasa kegembiranya berlebihan, diekpresikan dengan mencorat-coret baju di antara temannya. Bahkan juga kebut-kebutan bersama, hingga merepotkan polisi lalu lintas segala.
Kebiasaan seperti itu menjadikan upaya peningkatan mutu pendidikan sangat sulit diupayakan. Siswa tidak mau belajar jika tidak ada ujian. Selanjutnya, ujian diikuti, agar lulus dan mendapatkan ijazah. Seseorang yang tidak lulus ujian merasa sebagai penderitaan yang luar biasa. Siapa saja disalahkan, kecuali dirinya sendiri. Anehnya, sekolah pun juga berharap begitu, menginginkan agar siswanya lulus semua, termasuk yang tidak pintar.
Sebagai akibat dari tumbuhnya budaya yang menghargai ijazah sebagai segala-galanya itu, maka sekolah bukan tempat yang menyenangkan untuk mendapat dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Sekolah oleh sementara orang dirasa bagaikan penjara. Oleh sebab itu, tatkala dinyatakan lulus dan mendapatkan ijazah, mereka gembira luar biasa. Sebaliknya, bagi yang tidak lulus merasa seolah-olah masa tinggal di rumah penjara harus diperpanjang
Cara memandang ilmu dan ijazah seperti itu, menjadikan sementara orang mencari jalan pintas. Ada saja orang mendapatkan ijazah tanpa sekolah, yaitu dengan cara beli, hingga muncul istilah ijazah palsu. Kenyataan itu sangat memprihatinkan. Bukan saja menyesalkan terjadinya kecurangan pemalsuan ijazah, melainkan hal itu sebenarnya sebagai pertanda bahwa sementara lembaga pendidikan sudah tidak berhasil menjadi pembeda, antara orang yang sekolah dan yang tidak. Ijazah palsu pun baru diketahui setelah ada pihak yang mengadukan. Padahal semestinya, orang pintar dan tidak pintar bisa diketahui dari penampilannya dan bukan dari sebatas ijazah yang dimiliki.
Kalau orientasi pendidikan hanya soal ijazah dan digit nilai, ujian nasional kita telah berhasil menyelenggarakannya. Tetapi kalau orientasi pendidikan kita adalah tumbuh kembangnya anak didik yang cerdas dan bernalar, berempati dan bersimpati, beretika dan beretos kerja, ujian nasional seperti ini tidak pernah berhasil menjawabnya. Akhirnya, memang sistem pendidikan nasional kita belum secara sungguh-sungguh membawa anak didik menuju kemandirian berpikir. Sejak anak masuk sekolah, dunia mereka telah dirampas oleh mata pelajaran yang penuh dengan hapalan. Hal tersebut ditopang oleh kebijakan pendidikan penguasa yang penuh dengan ketidakjelasan. Kalau sudah tidak jelas manfaatnya, lalu mengapa pemerintah acuh seperti demikian? Akar persoalannya bisa kita lacak, setidak-tidaknya dari bagaimana karakter sistem pendidikan diselenggarakan. Kita melihat bahwa pendidikan dalam bangsa ini hanya menjadi instrumen kekuasaan politik. Pendidikan disubordinasikan dalam kekuasaan politik, dan menghasilkan manusia yang hanya pandai ikut-ikutan. Mereka bagaikan robot yang dikendalikan oleh remote control, yakni pemegang kekuasaan dan pemilik modal, melalui ideologi penyeragaman. Ini membuat mereka hanya mampu menunggu petunjuk serta pedoman dari atas. Kreativitasnya minim. Selama revolusi pendidikan tidak dijalankan, jangan berharap lahir manusia Indonesia yang bermutu. Revolusi pendidikan perlu segera dijalankan dengan mengubah orientasi pendidikan dari watak elitis, yakni hanya mengejar-ngejar gelar, pangkat, kedudukan tanpa memperhatikan pembentukkan karakter manusianya. Dengan mengabaikan hal ini, pendidikan berarti sekadar transfer ilmu saja. Akibatnya lepas dari moralitas. Realitas proses pendidikan yang membebaskan hanya bisa terwujud bila birokrasi pendidikan mengubah paradigma pendidikan bukan semata-mata sebagai alat politik kekuasaan.
Peringatan hari pendidikan seperti sekarang ini, perlu dijadikan momentum untuk menata atau meluruskan cara pandang terhadap lembaga pendidikan. Konsolidasi idiil seperti itu tidak kalah pentingnya, atau setidak-tidaknya sama urgennya dengan upaya mencari cara untuk peningkatan kualitas pendidikan, yang bersifat fisik. Kecukupan dana dan fasilitas pendidikan tidak akan banyak artinya, jika orientasi atau niat belajar para siswa atau mahasiswa tidak tepat, yaitu hanya ingin mendapatkan nilai, IP atau ijazah belaka. Wallahu a’lam.
Minggu, 02 Mei 2010
HARDIKNAS DAN KEGAGALAN UNAS
OLEH : MOH. SAFRUDIN, S.Ag, M.PdI
(Ketua Presidium Wilayah Majelis Alumni IPNU Sultra)
Tanggal 2 Mei di peringati sebagai hari pendidikan Nasional,sepagai pendidik saya merasa, sangat kecewa, dengan hasil Ujian Nasional (UN) di Sultra 10 ribuan gagal dalam ujian nasional.
Dunia pendidikan Indonesia makin memprihatinkan. Pendapat ini tak terbantahkan. Lihat saja evaluasi atas hasil ujian nasional untuk tingkat SMA sederajat yang baru saja diumumkan. Hasil ujian nasional (UN) yang diumumkan beberapa hari menjelang Hari Pendidikan Nasional, yang jatuh pada tanggal 2 Mei, kemarin, tidak membuat kita makin bangga, tetapi terpaksa mengurut dada.
Coba lihat fakta yang ada, tahun ini persentase kelulusan peserta UN tingkat SMA/SMK/MA sederajat makin merosot. Tidak hanya jumlah 267 sekolah yang membuat kita miris, karena tak satu pun dari siswa mereka yang lulus, tetapi bagaimana dampak dari UN itu sendiri yang berakibat adanya siswa yang bunuh diri karena kecewa tak berhasil mencapai target.
Sperti yang dilakukan salah seorang siswa di MAN Unaha Kab. Konawe samapai meminum pembersih WC, karena tidak lulus ujian nasional, ada siswa yang merusak sekolah dengan melempari kaca-kaca tempat yang selama ini di tempati belajar, di kolaka Man Lasusua tak satupun siswanya yang lulus semua siswa menangis dengan tangisan nasional pada tanggal 26 April 2010 dan masih banyak kejadian yang menyimpang akibabat ketidak lulusannya.
Pertama, bias hasil unas sangat mungkin terkait variabel alat uji yang berupa soal-soal ujian. Dalam penilaian pendidikan, sebuah alat uji disyaratkan punya reliabilitas dan validitas. Dengan demikian, hasil ujian akan menggambarkan kompetensi belajar siswa secara akurat apabila soal-soal yang diujikan memang punya keterandalan dan kesahihan.
Nah, dalam konteks unas, ternyata ada siswa pintar tapi tidak lulus. Sebaliknya, siswa ndablek malah meraih sukses. Itu berarti reliabilitas dan validitas soal unas sangat layak dipertanyakan. Seharusnya, jika soal-soal ujian memang valid dan reliabel, kecil sekali kemungkinannya hasil unas memantulkan bias-bias mengagetkan semacam itu.
Kedua, belum sterilnya pelaksanaan unas dari aroma ketidakjujuran bukan mustahil ikut menjadi pemantik membiasnya hasil unas. Memang, ikhtiar Mendiknas M. Nuh dalam memproteksi menjalarnya virus kecurangan tahun ini pantas diapresiasi. Namun, faktanya, unas masih saja kebobolan. Berbagai modus kecurangan diwartakan media masih meledak di sejumlah satuan pendidikan penyelenggara unas.
Maraknya kecurangan itu jelas mengacak-acak kemurnian unas. Katakanlah, isu kebocoran soal maupun beredarnya kunci jawaban lewat short message service (SMS) benar adanya. Di sekolah-sekolah yang kecurangannya tidak terdeteksi, hal itu sangat menguntungkan siswa peserta unas yang sejak awal memang menunggu kehadiran ''dewa penyelamat''.
Karena itu, tidak usah kaget kalau kemudian unas menjadi bias. Jangan heran pula jika hasil unas akhirnya justru mencuatkan fenomena-fenomena mengejutkan. Itu semua merupakan konsekuensi logis dari sebuah perhelatan ujian yang ''menoleransi'' adanya kecurangan. Dengan kata lain, hasil unas bakal sulit menggambarkan kompetensi belajar siswa secara objektif apabila praktik-praktik ketidakjujuran masih terus dipelihara dalam pelaksanaan unas.
Ketiga, membiasnya hasil unas mungkin juga berkaitan dengan beban psikologis siswa saat menjalani ujian. Bayang-bayang ketidaklulusan, diakui atau tidak, menimbulkan beban mental tersendiri di kalangan siswa. Beban psikologis itu dipastikan bertambah berat karena sistem pengawasan unas dikemas begitu menyeramkan.
Bisa dibayangkan, bagaimana perasaan siswa ketika memasuki ruang ujian hanya dibolehkan membawa seperangkat alat tulis. Belum lagi kalau di pintu masuk ruang ujian harus digeledah untuk memastikan membawa alat komunikasi atau tidak. Itu belum cukup. Di dalam ruang siswa masih dipelototi dua orang pengawas dari sekolah lain.
Sulit untuk mengatakan pemerintah tidak gagal, terlebih Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas). Masalahnya mutu pendidikan kita bukannya makin membaik, tapi makin karut-marut. Bukti nyata adalah hasil UN itu. Belum lagi kalau kita menyoroti program pendidikan gratis yang digembar-gemborkan. Di saat sekolah-sekolah gratis berjalan terseok-seok karena minim fasilitas, tenaga pengajar, kurikulum, dan lainnya, pemerintah justru membiarkan sekolah-sekolah negeri menggalakkan sekolah rintisan bertaraf internasional (SRBI).
Sekolah bertaraf internasional, yang kini gencar digelar berbagai sekolah negeri untuk tingkat sekolah menengah pertama, tak lebih hanya sebagai ladang. Karena program ini (umumnya) menjadi incaran orang-orang berduit, maka jadilah sekolah jenis ini mendapat pelayanan serba wah, baik fasilitas, staf pengajar, maupun kurikulum, dan lainnya. Sementara sekolah biasa menjadi "anak tiri" meski berada di kompleks yang sama dengan sekolah bertaraf internasional.
Akibatnya, yang namanya sekolah gratis tetap saja makin memprihantikan, kehilangan gairah, dan prestasi jauh dari harapan. Belum lagi jika kita melihat sekolah-sekolah dasar. Tidak hanya di daerah terpencil sekolah yang jauh dari memadai, dinding bolong di sana-sini, atap bocor, plafon jebol, tetapi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) pun sekolah dengan kondisi fisik seperti itu dengan mudah dapat kita temukan apalagi untuk wilayah bagian timur, contohnya di konawe, konsel, Muna, Kolaka untuk daerah pedalaman di samping sarana dan prasarana yang kurang memadai, di tambah lagi guru-guru yang sangat kurang. Apa lagi guru jarang yang mau ditempatkan di daerah pedesaan atau wilayah terpencil, Tentunya amat sulit mengharapkan prestasi dari para muridnya.
Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional yang, antara lain, menyebutkan, setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu; warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus; dan seterusnya, sepertinya masih sebatas wacana. Faktanya, semua masih jauh dari harapan.
Mutu pendidikan di Indonesia makin jauh tertinggal. Bahwa Indonesia pernah mengirim para guru ke negara tetangga Malaysia, itu tinggal kenangan, sebagai hiburan. Sebab, Malaysia kini jauh melejit, mengalami kemajuan dalam dunia pendidikan. Sepertinya keseriusan pemerintah harus terus dituntut. Sebab, untuk memajukan pendidikan di suatu negara tidak hanya tergantung pada persentase anggaran belanja negara, tetapi keseriusan para elite bangsa, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan.
Tak sulit mencari apa penyebab pendidikan kita tertinggal. Sebab, melalui berbagai seminar, diskusi, dan pertemuan, baik para pendidik sendiri maupun para pakar, serta pengamat telah sering mengemukakan bahwa rendahnya mutu pendidikan di Nusantara ini akibat tak fokusnya pemerintah menangani persoalan yang ada, seperti terkait efektivitas, efisiensi, dan standardisasi pengajaran, disamping persoalan yang terus "dinyanyikan", antara lain, rendahnya sarana fisik, buruknya kualitas dan kesejahteraan guru, serta mahalnya biaya pendidikan. Yang dibutuhkan adalah kesungguhan, terutama kesungguhan dari pemerintah
Revolusi pendidikan perlu segera dijalankan dengan mengubah orientasi pendidikan dari watak elitis, yakni hanya mengejar-ngejar gelar, pangkat, kedudukan tanpa memperhatikan pembentukkan karakter manusianya. Dengan mengabaikan hal ini, pendidikan berarti sekadar transfer ilmu saja. Akibatnya lepas dari moralitas. Realitas proses pendidikan yang membebaskan hanya bisa terwujud bila birokrasi pendidikan mengubah paradigma pendidikan bukan semata-mata sebagai alat politik kekuasaan.
(Ketua Presidium Wilayah Majelis Alumni IPNU Sultra)
Tanggal 2 Mei di peringati sebagai hari pendidikan Nasional,sepagai pendidik saya merasa, sangat kecewa, dengan hasil Ujian Nasional (UN) di Sultra 10 ribuan gagal dalam ujian nasional.
Dunia pendidikan Indonesia makin memprihatinkan. Pendapat ini tak terbantahkan. Lihat saja evaluasi atas hasil ujian nasional untuk tingkat SMA sederajat yang baru saja diumumkan. Hasil ujian nasional (UN) yang diumumkan beberapa hari menjelang Hari Pendidikan Nasional, yang jatuh pada tanggal 2 Mei, kemarin, tidak membuat kita makin bangga, tetapi terpaksa mengurut dada.
Coba lihat fakta yang ada, tahun ini persentase kelulusan peserta UN tingkat SMA/SMK/MA sederajat makin merosot. Tidak hanya jumlah 267 sekolah yang membuat kita miris, karena tak satu pun dari siswa mereka yang lulus, tetapi bagaimana dampak dari UN itu sendiri yang berakibat adanya siswa yang bunuh diri karena kecewa tak berhasil mencapai target.
Sperti yang dilakukan salah seorang siswa di MAN Unaha Kab. Konawe samapai meminum pembersih WC, karena tidak lulus ujian nasional, ada siswa yang merusak sekolah dengan melempari kaca-kaca tempat yang selama ini di tempati belajar, di kolaka Man Lasusua tak satupun siswanya yang lulus semua siswa menangis dengan tangisan nasional pada tanggal 26 April 2010 dan masih banyak kejadian yang menyimpang akibabat ketidak lulusannya.
Pertama, bias hasil unas sangat mungkin terkait variabel alat uji yang berupa soal-soal ujian. Dalam penilaian pendidikan, sebuah alat uji disyaratkan punya reliabilitas dan validitas. Dengan demikian, hasil ujian akan menggambarkan kompetensi belajar siswa secara akurat apabila soal-soal yang diujikan memang punya keterandalan dan kesahihan.
Nah, dalam konteks unas, ternyata ada siswa pintar tapi tidak lulus. Sebaliknya, siswa ndablek malah meraih sukses. Itu berarti reliabilitas dan validitas soal unas sangat layak dipertanyakan. Seharusnya, jika soal-soal ujian memang valid dan reliabel, kecil sekali kemungkinannya hasil unas memantulkan bias-bias mengagetkan semacam itu.
Kedua, belum sterilnya pelaksanaan unas dari aroma ketidakjujuran bukan mustahil ikut menjadi pemantik membiasnya hasil unas. Memang, ikhtiar Mendiknas M. Nuh dalam memproteksi menjalarnya virus kecurangan tahun ini pantas diapresiasi. Namun, faktanya, unas masih saja kebobolan. Berbagai modus kecurangan diwartakan media masih meledak di sejumlah satuan pendidikan penyelenggara unas.
Maraknya kecurangan itu jelas mengacak-acak kemurnian unas. Katakanlah, isu kebocoran soal maupun beredarnya kunci jawaban lewat short message service (SMS) benar adanya. Di sekolah-sekolah yang kecurangannya tidak terdeteksi, hal itu sangat menguntungkan siswa peserta unas yang sejak awal memang menunggu kehadiran ''dewa penyelamat''.
Karena itu, tidak usah kaget kalau kemudian unas menjadi bias. Jangan heran pula jika hasil unas akhirnya justru mencuatkan fenomena-fenomena mengejutkan. Itu semua merupakan konsekuensi logis dari sebuah perhelatan ujian yang ''menoleransi'' adanya kecurangan. Dengan kata lain, hasil unas bakal sulit menggambarkan kompetensi belajar siswa secara objektif apabila praktik-praktik ketidakjujuran masih terus dipelihara dalam pelaksanaan unas.
Ketiga, membiasnya hasil unas mungkin juga berkaitan dengan beban psikologis siswa saat menjalani ujian. Bayang-bayang ketidaklulusan, diakui atau tidak, menimbulkan beban mental tersendiri di kalangan siswa. Beban psikologis itu dipastikan bertambah berat karena sistem pengawasan unas dikemas begitu menyeramkan.
Bisa dibayangkan, bagaimana perasaan siswa ketika memasuki ruang ujian hanya dibolehkan membawa seperangkat alat tulis. Belum lagi kalau di pintu masuk ruang ujian harus digeledah untuk memastikan membawa alat komunikasi atau tidak. Itu belum cukup. Di dalam ruang siswa masih dipelototi dua orang pengawas dari sekolah lain.
Sulit untuk mengatakan pemerintah tidak gagal, terlebih Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas). Masalahnya mutu pendidikan kita bukannya makin membaik, tapi makin karut-marut. Bukti nyata adalah hasil UN itu. Belum lagi kalau kita menyoroti program pendidikan gratis yang digembar-gemborkan. Di saat sekolah-sekolah gratis berjalan terseok-seok karena minim fasilitas, tenaga pengajar, kurikulum, dan lainnya, pemerintah justru membiarkan sekolah-sekolah negeri menggalakkan sekolah rintisan bertaraf internasional (SRBI).
Sekolah bertaraf internasional, yang kini gencar digelar berbagai sekolah negeri untuk tingkat sekolah menengah pertama, tak lebih hanya sebagai ladang. Karena program ini (umumnya) menjadi incaran orang-orang berduit, maka jadilah sekolah jenis ini mendapat pelayanan serba wah, baik fasilitas, staf pengajar, maupun kurikulum, dan lainnya. Sementara sekolah biasa menjadi "anak tiri" meski berada di kompleks yang sama dengan sekolah bertaraf internasional.
Akibatnya, yang namanya sekolah gratis tetap saja makin memprihantikan, kehilangan gairah, dan prestasi jauh dari harapan. Belum lagi jika kita melihat sekolah-sekolah dasar. Tidak hanya di daerah terpencil sekolah yang jauh dari memadai, dinding bolong di sana-sini, atap bocor, plafon jebol, tetapi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) pun sekolah dengan kondisi fisik seperti itu dengan mudah dapat kita temukan apalagi untuk wilayah bagian timur, contohnya di konawe, konsel, Muna, Kolaka untuk daerah pedalaman di samping sarana dan prasarana yang kurang memadai, di tambah lagi guru-guru yang sangat kurang. Apa lagi guru jarang yang mau ditempatkan di daerah pedesaan atau wilayah terpencil, Tentunya amat sulit mengharapkan prestasi dari para muridnya.
Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional yang, antara lain, menyebutkan, setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu; warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus; dan seterusnya, sepertinya masih sebatas wacana. Faktanya, semua masih jauh dari harapan.
Mutu pendidikan di Indonesia makin jauh tertinggal. Bahwa Indonesia pernah mengirim para guru ke negara tetangga Malaysia, itu tinggal kenangan, sebagai hiburan. Sebab, Malaysia kini jauh melejit, mengalami kemajuan dalam dunia pendidikan. Sepertinya keseriusan pemerintah harus terus dituntut. Sebab, untuk memajukan pendidikan di suatu negara tidak hanya tergantung pada persentase anggaran belanja negara, tetapi keseriusan para elite bangsa, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan.
Tak sulit mencari apa penyebab pendidikan kita tertinggal. Sebab, melalui berbagai seminar, diskusi, dan pertemuan, baik para pendidik sendiri maupun para pakar, serta pengamat telah sering mengemukakan bahwa rendahnya mutu pendidikan di Nusantara ini akibat tak fokusnya pemerintah menangani persoalan yang ada, seperti terkait efektivitas, efisiensi, dan standardisasi pengajaran, disamping persoalan yang terus "dinyanyikan", antara lain, rendahnya sarana fisik, buruknya kualitas dan kesejahteraan guru, serta mahalnya biaya pendidikan. Yang dibutuhkan adalah kesungguhan, terutama kesungguhan dari pemerintah
Revolusi pendidikan perlu segera dijalankan dengan mengubah orientasi pendidikan dari watak elitis, yakni hanya mengejar-ngejar gelar, pangkat, kedudukan tanpa memperhatikan pembentukkan karakter manusianya. Dengan mengabaikan hal ini, pendidikan berarti sekadar transfer ilmu saja. Akibatnya lepas dari moralitas. Realitas proses pendidikan yang membebaskan hanya bisa terwujud bila birokrasi pendidikan mengubah paradigma pendidikan bukan semata-mata sebagai alat politik kekuasaan.
Langganan:
Postingan (Atom)