Kamis, 20 Mei 2010

MENCARI RIDHA ALLAH

OLEH: MOH.SAFRUDIN
tujuan hidup manusia adalah untuk menggapai ridla Alloh,
ibtigha’a mardlatillah. Jadi apapun boleh yang penting diridlai Alloh. Apalah
artinya pangkat tinggi dan gaji besar jika tidak diridlai oleh Nya. Ridla
artinya senang. Jadi segala pertimbangan tentang tujuan, terpulan g kepada
apakah yang kita lakukan dan apa yang kita gapai itu sesuatu yang disukai atau
diridlai Alloh atau tidak. Jika kita berusaha memperoleh ridla Nya, maka apapun
yang diberikan Alloh kepada kita, kita akan menerimanya dengan ridla (senang)
pula, ridla dan dirdlai, radliyatan mardliyyah.



Pertanyaannya, bagaimana kita bisa mengetahui sesuatu itu
diridlai atau tidak oleh Alloh. Tolok ukur pertama adalah syari’at atau aturan
agama. Sesuatu yang diharamkan Alloh pasti tidak diridlai, dan sesuatu yang
dihalalkan pasti diridlai, sekurang-kurangnya tidak dilarang. Selanjutnya
nilai-nilai akhlak akan menjadi tolok ukur tentang kesempurnaan, misalnya,
memberi kepada orang yang meminta karena kebuAlloh adalah sesuatu yang
diridlai, tidak memberi tidaklah berdosa tetapi kurang disukai. Nah memberi
sebelum orang yang memiliki kebuAlloh itu meminta bantuan adalah perbuatan yang
sangat diridlai Alloh. Timbulnya perasaan ridla didasari oleh tingkat
pengenalan kepada orang. Memperoleh pemberian adalah sesuatu yang menyenangkan,
tetapi memperoleh pemberian dari orang yang kita sayangi dan kita tahu diapun
menyayangi kita pastilah lebih menyenangkan. Orang yang mengenal (ma`rifat)
kepada Alloh akan merasa ridla atas apapun yang dianugerahkan Alloh kepadanya,
selanjutnya iapun faham apa yang disukai dan yang tidak disukai oleh Nya. Jika
orang merasa hidupnya diridlai Alloh maka iapun merasa dirinya bermakna, dan
dengan merasa bermakna itu ia merasa sangat berbahagia. Sebaliknya jika
seseorang merasa hidupnya tak diridlai Alloh, maka ia merasa semua yang
dikerjakanya tidak berguna, dan bahkan iapun merasa dirinya tak berguna. Orang
yang merasa kehadirannya berguna
bagi orang lain maka ia akan memiliki semangat hidup, semangat bekerja,
semangat berjuang, yang berat terasa ringan, pengorbanannya terasa indah.
Sedangkan
orang yang merasa dirinya tak berguna maka ia tidak memiliki semangat hidup,
tidak memiliki semangat bekerja, merasa sepi di tengah keramaian dan lebih sepi
lagi dalam kesendirian.



Indikator ridla Alloh
juga dapat dilihat dari dimensi horizontal. Nabi bersabda bahwa ridla Alloh ada
bersama ridla kedua orang tua, dan murka Alloh ada bersama murka kedua orang
tua. Jika ayah ibu ridla, maka Allohpun
meridlainya, jika ayah ibu murka, Allohpun murka pula



Semangat mencari
ridla Alloh sudah barang tentu hanya dimiliki oleh orang yang beriman,
sedangkan bagi orang yang tidak mengenal Alloh, tidak mengenal agama, maka
boleh jadi pandangan hidupnya sesat dan
perilakunya juga sesat, tetapi mungkin juga pandangan hidupnya mendekati
pandangan hidup orang beragama minus Alloh, karena toh setiap manusia memiliki
akal yang besa berfikir logis dan hati yang di dalamnya ada nilai kebaikan.



Metode mengetahui
ridla Alloh juga diajarkan oleh Nabi dengan cara bertanya kepada hati sendiri,
istafti qalbaka. Mengapa dengan hati ?, orang bisa berdusta kepada orang lain,
tetapi tidak kepada hati sendiri . Hanya saja kualitas hati orang berbeda-beda.
Hati yang sedang gelap, hati yang kosong, hati yang mati tidak bisa ditanya.
Hati
juga sering tidak konsisten, oleh karena itu pertanyaan yang pali ng tepat
adalah kepada hati nurani, atau ke lubuk hati yang terdalam. Nurani berasal
dari kata nur, nuraniyyun yang artinya cahaya, yakni cahaya keAllohan yang
ditempatkan Alloh di dalam hati manusia, nurun yaqdzifuyhulloh fi al qalb. Jika
hati sering tidak konsisten, maka hati nurani selalu konsisten terhadap
kejujuran dan kebenaran. Orang yang nuraninya hidup maka ia selalu menyambung
dengan ridla Alloh. Problem hati nurani adalah cahaya nurani sering tertutup
oleh keserakahan, egoisme dan kemaksiatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar