Oleh : Moh. Safrudin, S.Ag, M.PdI
(Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Avicenna Kendari)
Jika tidak harus memilih, di antara ilmu dan ijazah dan gelar, maka keduanya sama-sama penting dan harus diambil. Ilmu penting, tetapi ijazah juga perlu. Namun kalau harus memilih, maka umumnya orang akan memilih ijazah. Makanya, sering kita dengar suara aneh, cari ijazah dulu, sedangkan ilmu bisa didapat kemudian. Padahal, kenyataannya hal itu sulit terjadi. Biasanya setelah mendapat ijazah, maka belajarnya berhenti, karena dirasa sudah mencukupi.
Orang lebih mengutamakan ijazah dari pada ilmu, karena tanpa ijazah, ilmunya tidak akan diakui. Bahkan pemerintah pun tidak akan mengakui ilmu seseorang jika tidak bisa membuktikan dengan selembar kertas yang bernama ijazah itu. Sebaliknya, pemegang ijazah, sekalipun tidak berilmu sebagaimana tergambar dalam ijazahnya itu, tetap akan diakui.
Padahal ilmu bisa didapat tanpa guru dan juga tanpa sekolah. Orang yang berilmu luas tanpa berguru dan bersekolah disebut aotodidak. Pada kenyataannya, memang banyak orang tanpa berguru dan tanpa sekolah bisa menunjukkan kepintarannya. Sebaliknya, juga tidak sulit kita temukan, pemegang ijazah dan juga pemakai beberapa gelar akademik, tetapi tidak menunjukkan adanya ilmu yang disandangnya.
Tatkala ijazah dipandang lebih penting dari pada ilmu, maka orang ramai-ramai mengejar ijazah. Lembaga pendidikan yang cepat meluluskan dan mengeluarkan ijazah dianggap lebih baik dan bermutu. Maka dalam memilih sekolah, tidak sedikit orang menjatuhkan pilihan pada lembaga pendidikan yang segera meluluskan. Lebih cepat ijazah diperoleh, dianggap lebih baik. Hal sama anehnya juga terkait dengan ujian. Siapapun melarang, jika seorang belajar hanya berniat untuk menghadapi ujian. Akan tetapi, justru yang terjadi adalah seperti itu. Siswa dan bahkan mahasiswa baru belajar kalau akan ujian. Oleh karena itu, sering kita dengar, orang tahan di ruang belajar berlama-lama, tidak mau diajak kemana-mana, dengan alasan akan mempersiapkan ujian. Menghadapi ujian sedemikian penting, dianggap menentukan nasibnya. Orientasi belajar seperti itu, maka menjadikan ilmu yang didapatkan oleh seseorang tidak bertahan lama. Segera setelah mendapatkan ijazah sekolah dasar misalnya, maka hilanglah ilmu yang diterima selama enam tahun, kecuali beberapa saja yang tersisa. Hal yang sama dialami ketika setelah mereka mendapatkan ijazah SMP, SMA, dan bahkan juga setelah diwisuda dan mendapatkan gelar sarjana. Apa saja yang telah dipelajari hilang, setelah ijazah itu didapat.
Pandangan seperti itu, menjadikan ujian dan ijazah sedemikian penting. Bahkan sekolah bukan untuk mendapatkan ilmu, tetapi ijazah. Oleh karena itu, setelah dinyatakan lulus, maka rasa kegembiranya berlebihan, diekpresikan dengan mencorat-coret baju di antara temannya. Bahkan juga kebut-kebutan bersama, hingga merepotkan polisi lalu lintas segala.
Kebiasaan seperti itu menjadikan upaya peningkatan mutu pendidikan sangat sulit diupayakan. Siswa tidak mau belajar jika tidak ada ujian. Selanjutnya, ujian diikuti, agar lulus dan mendapatkan ijazah. Seseorang yang tidak lulus ujian merasa sebagai penderitaan yang luar biasa. Siapa saja disalahkan, kecuali dirinya sendiri. Anehnya, sekolah pun juga berharap begitu, menginginkan agar siswanya lulus semua, termasuk yang tidak pintar.
Sebagai akibat dari tumbuhnya budaya yang menghargai ijazah sebagai segala-galanya itu, maka sekolah bukan tempat yang menyenangkan untuk mendapat dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Sekolah oleh sementara orang dirasa bagaikan penjara. Oleh sebab itu, tatkala dinyatakan lulus dan mendapatkan ijazah, mereka gembira luar biasa. Sebaliknya, bagi yang tidak lulus merasa seolah-olah masa tinggal di rumah penjara harus diperpanjang
Cara memandang ilmu dan ijazah seperti itu, menjadikan sementara orang mencari jalan pintas. Ada saja orang mendapatkan ijazah tanpa sekolah, yaitu dengan cara beli, hingga muncul istilah ijazah palsu. Kenyataan itu sangat memprihatinkan. Bukan saja menyesalkan terjadinya kecurangan pemalsuan ijazah, melainkan hal itu sebenarnya sebagai pertanda bahwa sementara lembaga pendidikan sudah tidak berhasil menjadi pembeda, antara orang yang sekolah dan yang tidak. Ijazah palsu pun baru diketahui setelah ada pihak yang mengadukan. Padahal semestinya, orang pintar dan tidak pintar bisa diketahui dari penampilannya dan bukan dari sebatas ijazah yang dimiliki.
Kalau orientasi pendidikan hanya soal ijazah dan digit nilai, ujian nasional kita telah berhasil menyelenggarakannya. Tetapi kalau orientasi pendidikan kita adalah tumbuh kembangnya anak didik yang cerdas dan bernalar, berempati dan bersimpati, beretika dan beretos kerja, ujian nasional seperti ini tidak pernah berhasil menjawabnya. Akhirnya, memang sistem pendidikan nasional kita belum secara sungguh-sungguh membawa anak didik menuju kemandirian berpikir. Sejak anak masuk sekolah, dunia mereka telah dirampas oleh mata pelajaran yang penuh dengan hapalan. Hal tersebut ditopang oleh kebijakan pendidikan penguasa yang penuh dengan ketidakjelasan. Kalau sudah tidak jelas manfaatnya, lalu mengapa pemerintah acuh seperti demikian? Akar persoalannya bisa kita lacak, setidak-tidaknya dari bagaimana karakter sistem pendidikan diselenggarakan. Kita melihat bahwa pendidikan dalam bangsa ini hanya menjadi instrumen kekuasaan politik. Pendidikan disubordinasikan dalam kekuasaan politik, dan menghasilkan manusia yang hanya pandai ikut-ikutan. Mereka bagaikan robot yang dikendalikan oleh remote control, yakni pemegang kekuasaan dan pemilik modal, melalui ideologi penyeragaman. Ini membuat mereka hanya mampu menunggu petunjuk serta pedoman dari atas. Kreativitasnya minim. Selama revolusi pendidikan tidak dijalankan, jangan berharap lahir manusia Indonesia yang bermutu. Revolusi pendidikan perlu segera dijalankan dengan mengubah orientasi pendidikan dari watak elitis, yakni hanya mengejar-ngejar gelar, pangkat, kedudukan tanpa memperhatikan pembentukkan karakter manusianya. Dengan mengabaikan hal ini, pendidikan berarti sekadar transfer ilmu saja. Akibatnya lepas dari moralitas. Realitas proses pendidikan yang membebaskan hanya bisa terwujud bila birokrasi pendidikan mengubah paradigma pendidikan bukan semata-mata sebagai alat politik kekuasaan.
Peringatan hari pendidikan seperti sekarang ini, perlu dijadikan momentum untuk menata atau meluruskan cara pandang terhadap lembaga pendidikan. Konsolidasi idiil seperti itu tidak kalah pentingnya, atau setidak-tidaknya sama urgennya dengan upaya mencari cara untuk peningkatan kualitas pendidikan, yang bersifat fisik. Kecukupan dana dan fasilitas pendidikan tidak akan banyak artinya, jika orientasi atau niat belajar para siswa atau mahasiswa tidak tepat, yaitu hanya ingin mendapatkan nilai, IP atau ijazah belaka. Wallahu a’lam.
Rabu, 05 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar