Jumat, 28 Mei 2010

BERPOLITIK TANPA DENDAM

BERPOLITIK TANPA DENDAM
Oleh : Moh. Safrudin
(Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIK) Avicenna)
Setelah pemilihan kepala daerah (Pemilukada)muncul berbagai macam persoalan baru khususnya bagi calon yang kalah atau gagal memperoleh suara mayoritas, dan kegembiraan bagi para pemenang atau peraih suara terbanyak.
Suatu saat, saya melihat pertandingan tinju di televisi. Olah raga keras ini, sekali-kali menarik minat saya untuk melihat. Sebenarnya melihat pertandingan tinju, bagi saya, belum sampai menjadi kesenangan. Saya melihatnya hanya sebatas iseng. Tanpa sengaja, kebetulan ada siaran pertandingan tinju memperebutkan kejuaraan dunia klas berat, lalu saya lihat.

Dulu, ketika Mohammad Ali masih menjadi juara dunia, sekalipun tidak terlalu menyukai olah raga keras, saya selalu lihat. Demikian pula, ketika Mike Tyson masih menjadi juara dunia klas berat. Setiap mereka main, saya menyempatkan untuk melihat. Tetapi, setelah keduanya tidak tampil lagi, saya tidak pernah lihat, kecuali sekali-sekali saja.

Bagi orang yang tidak menyukai kekerasan, pertandingan tinju memang tidak menarik. Dalam bertinju, hanya sebatas ingin menang, antar lawan saling memukul sekeras-kerasnya, agar jatuh, dan merasa bahagia kalau tidak bangkit lagi. Dalam bertinju tidak ada saling kasih mengasihi antar sesama. Pokoknya memukul, dan harapannya sampai roboh. Lawannya mati pun juga dianggap tidak mengapa, agar ia segera dinyatakan menang.

Pertandingan tinju mirip halnya dengan berebut hidup atau mati. Sopan santun dalam memukul juga tidak ada. Memukul bagian mana saja dibolehkan, asal masih dalam aturan permainan. Memang, di dalam permainan itu ada aturan yang harus ditaati. Di sana ada wasit, bagian pengawas, dan juga hakim yang bertugas menghitung skor yang didapat oleh masing-masing pemain. Semua itu bertugas agar permainan berjalan bersih dan fair.

Pertandingan tinju yang saya lihat ketika itu genap 12 ronde, dan tidak ada yang sampai jatuh. Tetapi masing-masing tampak sangat kelelahan. Di akhir pertandingan, wajah masing-masing petinju tampak lembab dan bahkan berdarah. Itu memang resiko bertinju. Dan siapapun tahu, bahwa bertinju memang seperti itu akibatnya. Tetapi apa boleh buat, pertandingan itu sudah menjadi kesenangannya.

Hal menarik, pertandingan sekeras itu pun ternyata, masih menyisakan suasana kasih sayang. Namun, apakah hal itu hanya sekedar basa basi, ataukah ekspresi sebenarnya, tidak ada yang tahu secara pasti. Sekalipun sebelumnya mereka saling pukul, dan sudah saling babak belur, maka tatkala wasit menyatakan bahwa pertandingan selesai, keduanya saling berpelukan. Pada saat itu, permusuhan seolah-olah selesai dan kemudian digantikan oleh suasana saling kasih sayang. Keduanya saling akrab kembali, seolah-olah tidak ada masalah.

Menyaksikan pertandingan tinju seperti itu, ingatan saya kemudian tertuju pada dunia politik. Saya seringkali melihat, para tokoh politik justru belum bisa melakukan seperti apa yang dilakukan oleh petinju. Persaingan dalam berpolitik memang hal biasa, tetapi tidak sebagaimana bertinju, permusuhan itu kadang berlangsung lama. Tidak sedikit tokoh politik, sekalipun pada tingkat nasional, permusuhan dan kebencian kepada lawannya, dibawa-bawa sampai waktu yang amat lama, bahkan hingga meninggal.

Berpolitik memang ada kesamaannya dengan bertinju. Sekalipun tidak secara terang-terangan, di antara mereka saling memukul, tetapi saling menjatuhkan juga hal biasa. Namun, selain ada kesamaan, antar keduanya ternyata juga ada perbedaannya. Bedanya, resiko bertinju hanya ditanggung oleh kedua pihak yang bermain, sedangkan lainnya yang terlibat, justru mendapatkan keuntungan dari permusuhan itu. Sedangkan dalam berpolitik, resikonya bisa jadi ditanggung oleh banyak orang, termasuk rakyat yang tidak mengerti apa-apa, bisa ikut sengsara akibat kesalahan elite politik yang bersaing itu.

Oleh karena itu mestinya, dalam berpolitik juga dilakukan seperti bertinju itu, tanpa dendam terus menerus. Selesai permainan tidak boleh masih saling membenci. Jika terjadi kesalahan, segera saling memaafkan. Toh berpolitik pada hakekatnya, sebagaimana selalu dinyatakan, adalah berjuang membela dan mensejahterakan rakyat. Oleh karena itu, sekalipun usahanya belum berhasil, rakyat perlu digembirakan, dengan cara para tokohnya selalu tampil rukun dan damai. Suasana seperti itu, sekalipun secara ekonomi rakyat masih serba berkekurangan, mereka akan merasa tenang dan bahagia ketika melihat para pemimpinnya tidak terus menerus saling menjatuhkan. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar