Minggu, 02 Mei 2010

HARDIKNAS DAN KEGAGALAN UNAS

OLEH : MOH. SAFRUDIN, S.Ag, M.PdI
(Ketua Presidium Wilayah Majelis Alumni IPNU Sultra)

Tanggal 2 Mei di peringati sebagai hari pendidikan Nasional,sepagai pendidik saya merasa, sangat kecewa, dengan hasil Ujian Nasional (UN) di Sultra 10 ribuan gagal dalam ujian nasional.
Dunia pendidikan Indonesia makin memprihatinkan. Pendapat ini tak terbantahkan. Lihat saja evaluasi atas hasil ujian nasional untuk tingkat SMA sederajat yang baru saja diumumkan. Hasil ujian nasional (UN) yang diumumkan beberapa hari menjelang Hari Pendidikan Nasional, yang jatuh pada tanggal 2 Mei, kemarin, tidak membuat kita makin bangga, tetapi terpaksa mengurut dada.
Coba lihat fakta yang ada, tahun ini persentase kelulusan peserta UN tingkat SMA/SMK/MA sederajat makin merosot. Tidak hanya jumlah 267 sekolah yang membuat kita miris, karena tak satu pun dari siswa mereka yang lulus, tetapi bagaimana dampak dari UN itu sendiri yang berakibat adanya siswa yang bunuh diri karena kecewa tak berhasil mencapai target.
Sperti yang dilakukan salah seorang siswa di MAN Unaha Kab. Konawe samapai meminum pembersih WC, karena tidak lulus ujian nasional, ada siswa yang merusak sekolah dengan melempari kaca-kaca tempat yang selama ini di tempati belajar, di kolaka Man Lasusua tak satupun siswanya yang lulus semua siswa menangis dengan tangisan nasional pada tanggal 26 April 2010 dan masih banyak kejadian yang menyimpang akibabat ketidak lulusannya.
Pertama, bias hasil unas sangat mungkin terkait variabel alat uji yang berupa soal-soal ujian. Dalam penilaian pendidikan, sebuah alat uji disyaratkan punya reliabilitas dan validitas. Dengan demikian, hasil ujian akan menggambarkan kompetensi belajar siswa secara akurat apabila soal-soal yang diujikan memang punya keterandalan dan kesahihan.

Nah, dalam konteks unas, ternyata ada siswa pintar tapi tidak lulus. Sebaliknya, siswa ndablek malah meraih sukses. Itu berarti reliabilitas dan validitas soal unas sangat layak dipertanyakan. Seharusnya, jika soal-soal ujian memang valid dan reliabel, kecil sekali kemungkinannya hasil unas memantulkan bias-bias mengagetkan semacam itu.

Kedua, belum sterilnya pelaksanaan unas dari aroma ketidakjujuran bukan mustahil ikut menjadi pemantik membiasnya hasil unas. Memang, ikhtiar Mendiknas M. Nuh dalam memproteksi menjalarnya virus kecurangan tahun ini pantas diapresiasi. Namun, faktanya, unas masih saja kebobolan. Berbagai modus kecurangan diwartakan media masih meledak di sejumlah satuan pendidikan penyelenggara unas.

Maraknya kecurangan itu jelas mengacak-acak kemurnian unas. Katakanlah, isu kebocoran soal maupun beredarnya kunci jawaban lewat short message service (SMS) benar adanya. Di sekolah-sekolah yang kecurangannya tidak terdeteksi, hal itu sangat menguntungkan siswa peserta unas yang sejak awal memang menunggu kehadiran ''dewa penyelamat''.

Karena itu, tidak usah kaget kalau kemudian unas menjadi bias. Jangan heran pula jika hasil unas akhirnya justru mencuatkan fenomena-fenomena mengejutkan. Itu semua merupakan konsekuensi logis dari sebuah perhelatan ujian yang ''menoleransi'' adanya kecurangan. Dengan kata lain, hasil unas bakal sulit menggambarkan kompetensi belajar siswa secara objektif apabila praktik-praktik ketidakjujuran masih terus dipelihara dalam pelaksanaan unas.

Ketiga, membiasnya hasil unas mungkin juga berkaitan dengan beban psikologis siswa saat menjalani ujian. Bayang-bayang ketidaklulusan, diakui atau tidak, menimbulkan beban mental tersendiri di kalangan siswa. Beban psikologis itu dipastikan bertambah berat karena sistem pengawasan unas dikemas begitu menyeramkan.

Bisa dibayangkan, bagaimana perasaan siswa ketika memasuki ruang ujian hanya dibolehkan membawa seperangkat alat tulis. Belum lagi kalau di pintu masuk ruang ujian harus digeledah untuk memastikan membawa alat komunikasi atau tidak. Itu belum cukup. Di dalam ruang siswa masih dipelototi dua orang pengawas dari sekolah lain.

Sulit untuk mengatakan pemerintah tidak gagal, terlebih Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas). Masalahnya mutu pendidikan kita bukannya makin membaik, tapi makin karut-marut. Bukti nyata adalah hasil UN itu. Belum lagi kalau kita menyoroti program pendidikan gratis yang digembar-gemborkan. Di saat sekolah-sekolah gratis berjalan terseok-seok karena minim fasilitas, tenaga pengajar, kurikulum, dan lainnya, pemerintah justru membiarkan sekolah-sekolah negeri menggalakkan sekolah rintisan bertaraf internasional (SRBI).

Sekolah bertaraf internasional, yang kini gencar digelar berbagai sekolah negeri untuk tingkat sekolah menengah pertama, tak lebih hanya sebagai ladang. Karena program ini (umumnya) menjadi incaran orang-orang berduit, maka jadilah sekolah jenis ini mendapat pelayanan serba wah, baik fasilitas, staf pengajar, maupun kurikulum, dan lainnya. Sementara sekolah biasa menjadi "anak tiri" meski berada di kompleks yang sama dengan sekolah bertaraf internasional.
Akibatnya, yang namanya sekolah gratis tetap saja makin memprihantikan, kehilangan gairah, dan prestasi jauh dari harapan. Belum lagi jika kita melihat sekolah-sekolah dasar. Tidak hanya di daerah terpencil sekolah yang jauh dari memadai, dinding bolong di sana-sini, atap bocor, plafon jebol, tetapi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) pun sekolah dengan kondisi fisik seperti itu dengan mudah dapat kita temukan apalagi untuk wilayah bagian timur, contohnya di konawe, konsel, Muna, Kolaka untuk daerah pedalaman di samping sarana dan prasarana yang kurang memadai, di tambah lagi guru-guru yang sangat kurang. Apa lagi guru jarang yang mau ditempatkan di daerah pedesaan atau wilayah terpencil, Tentunya amat sulit mengharapkan prestasi dari para muridnya.

Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional yang, antara lain, menyebutkan, setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu; warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus; dan seterusnya, sepertinya masih sebatas wacana. Faktanya, semua masih jauh dari harapan.
Mutu pendidikan di Indonesia makin jauh tertinggal. Bahwa Indonesia pernah mengirim para guru ke negara tetangga Malaysia, itu tinggal kenangan, sebagai hiburan. Sebab, Malaysia kini jauh melejit, mengalami kemajuan dalam dunia pendidikan. Sepertinya keseriusan pemerintah harus terus dituntut. Sebab, untuk memajukan pendidikan di suatu negara tidak hanya tergantung pada persentase anggaran belanja negara, tetapi keseriusan para elite bangsa, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan.
Tak sulit mencari apa penyebab pendidikan kita tertinggal. Sebab, melalui berbagai seminar, diskusi, dan pertemuan, baik para pendidik sendiri maupun para pakar, serta pengamat telah sering mengemukakan bahwa rendahnya mutu pendidikan di Nusantara ini akibat tak fokusnya pemerintah menangani persoalan yang ada, seperti terkait efektivitas, efisiensi, dan standardisasi pengajaran, disamping persoalan yang terus "dinyanyikan", antara lain, rendahnya sarana fisik, buruknya kualitas dan kesejahteraan guru, serta mahalnya biaya pendidikan. Yang dibutuhkan adalah kesungguhan, terutama kesungguhan dari pemerintah
Revolusi pendidikan perlu segera dijalankan dengan mengubah orientasi pendidikan dari watak elitis, yakni hanya mengejar-ngejar gelar, pangkat, kedudukan tanpa memperhatikan pembentukkan karakter manusianya. Dengan mengabaikan hal ini, pendidikan berarti sekadar transfer ilmu saja. Akibatnya lepas dari moralitas. Realitas proses pendidikan yang membebaskan hanya bisa terwujud bila birokrasi pendidikan mengubah paradigma pendidikan bukan semata-mata sebagai alat politik kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar