OLEH: MOH. SAFRUDIN
Sesuatu telah dianggap membudaya, manakala di antaranya, para pelakunya merasakan senang menjalankannya. Bahkan ada sesuatu yang kurang, jika tidak dijalankan. Suatu misal, jika membaca sudah menjadi budaya bagi sebuah masyarakat, maka mereka merasa kecewa ketika sehari saja koran tidak terbit atau bahkan hanya datang terlambat.
Melalui contoh tersebut menunjukkan bahwa masyarakat dimaksud sudah memiliki budaya membaca. Lain halnya jika membaca masih dalam taraf pengenalan, maka orang masih belum bisa menikmati kegiatan itu. Bahkan, jika belum terbiasa, membaca menjadi sebuah beban, dan kalau perlu dihindari. Mereka lebih enak tidak membaca. Kalaupun sehari-hari tidak ada bahan bacaan, maka dianggap tidak ada masalah.
Jika pengertian budaya seperti contoh itu, pertanyaannya adalah, apakah kegiatan belajar di kalangan anak-anak kita sudah menjadi budaya. Apakah sudah bisa dikatakan bahwa budaya belajar sudah berhasil merasuk di tengah-tengah kehidupan kita.
Memang benar, setiap hari anak-anak pergi ke sekolah. Mereka merasa sangat kecewa jika misalnya, mendaftar ke sekolah tertentu tetapi tidak diterima. Apalagi, jika mereka tidak sebagaimana teman-temannya, yang bersekolah. Artinya sekolah sudah menjadi budaya, yakni diperlukan, dibutuhkan atau bahkan dijadikan kesenangannya.
Akan tetapi apakah budaya sekolah telah diikuti oleh budaya belajar atau apalagi budaya ilmu. Pertanyaan itu bisa berlanjut, apakah dengan sekolah itu mereka juga sekaligus menyenangi belajar. Jika belajar sudah menjadi budaya, maka mestinya mereka lebih senang belajar daripada menganggur atau melakukan kegiatan yang tidak jelas tujuannya.
Jika mereka menyenangi belajar dan apalagi sekolahnya, maka tatkala diumumkan hasil ujian dan lulus, mereka senang, tetapi hatinya juga gundah karena harus meninggalkan sekolahnya. Namun yang umumnya terjadi, kesenangan itu diekspresikan secara berlebihan seperti orang yang telah bebas dari penjara. Sekolah bagaikan pembelenggu, atau menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, sehingga mereka ingin, harus pindah dari tempat itu.
Keadaan seperti itu menggambarkan bahwa sekolah belum menjadi sesuatu yang benar-benar disenangi. Mereka masuk sekolah itu dan melakukan aktivitas hanya dianggap sebagai beban yang harus ditunaikan. Jika beban itu sudah ditunaikan dan dinyatakan cukup, maka dirasakan bagaikan keluar dari penjara, mereka senangnya bukan main.
Lagi-lagi tatkala mengingat tentang budaya belajar, saya justru melihat bahwa pesantren zaman dahulu, disebut sebagai pesantren salaf, ternyata lebih berhasil. Para santri masuk di pesantren bukan karena paksaan, melainkan karena kebutuhan. Demikian pula belajar atau mengaji sudah menjadi kesenangan. Tatkala santri dimaksud dianggap belum alim, artinya belum waktunya selesai, mereka tidak merasa kecewa, dan akan menambah waktunya untuk belajar lagi.
Santri di pesantren merasa senang jika telah dianggap menguasai ilmunya. Dari waktu ke waktu, tatkala mempelajari ilmu tertentu, mereka konsentrasi pada ilmu yang didalaminya itu. Mereka sangat senang jika setiap saat berhasil menyelesaikan masalah dan atau bisa menjawab berbagai pertanyaan yang dihadapi, terkait dengan ilmunya itu.
Santri pesantren salaf biasanya mendalami ilmu alat, yaitu bahasa Arab. Oleh karena itu, anak pesantren biasanya mampu membaca dan mengerti kitab kuning. Istilah kitab kuning sedemikian populer di kalangan pesantren. Salah satu indikator kealiman seorang santri, ialah tatkala ia telah dianggap mampu membaca kitab kuning. Kemampuan itu berani menunjukkannya secara terbuka, kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa saja.
Selanjutnya, bandingkan hal itu dengan kealiman hasil pendidikan modern. Sebelum ujian, mereka masih harus mengikuti kursus, pendidikan tambahan, bimbingan belajar, dan bahkan kalau perlu tatkala menghadapi ujian, membawa alat bantu untuk menjawab pertanyaan berupa kertas catatan atau alat elektronik yang mungkin digunakan tanpa sepengetahuan pengawas. Maka terjadilah apa yang disebut kecurangan, sontek menyontek, dan seterusnya. Hal itu tidak akan terjadi di pesantren salaf.
Bahkan seorang santri, bisa jadi merasa sedih tatkala dinyatakan lulus dan harus pindah kelas, padahal ia sendiri merasa belum bisa atau matang atas ilmu yang dipelajarinya itu. Hal itu sangat berbeda dengan anak-anak sekolah formal, merasa sedih jika harus mengulang kelas, atau apalagi dinyatakan tidak lulus ujian nasional.
Perasaan kecewa itu bukan saja dirasakan oleh yang bersangkutan, tetapi juga oleh orang tuanya. Tidak lulus dianggap aib, sekalipun memang benar-benar, bahwa yang bersangkutan belum cukup berilmu. Lulus lebih penting daripada sebatas menguasai ilmu. Sekolah formal menjadi sebatas formalitas. Akibatnya, terjadilah kebohongan-kebohongan, bahkan berbohong terhadap dirinya sendiri. Akibat lainnya, kita lihat banyak orang bergelar panjang-panjang, padahal sebatas membuat makalah saja harus melakukan flagiat segala.
Membandingkan sekolah modern dengan pesantren salaf, bukanlah bermaksud ingin merendahkan satu dan mengunggulkan lainnya. Membandingkan itu, kiranya pada saat sekarang ini perlu dilakukan dalam kaitannya mencari jalan keluar dari kebuntuhan upaya meningkatkan kualitas hasil pendidikan. Akhir-akhir ini mulai disadari dan dirasakan, bahwa lulusan sekolah, bahkan hingga perguruan tinggi, ternyata masih banyak yang belum mendapatkan pengetahuan yang memadai, hingga berhasil siap hidup mandiri.
Hal itu disebabkan, karena belajar belum menjadi budaya. Terkait dengan sekolah, yang terjadi baru sebatas menyenangi untuk memiliki ijazah, dan belum pada tingkat menyenangi ilmunya. Pesantren salaf, yang oleh sementara orang disebut tradisional, ternyata justru berhasil membangun budaya ilmu itu. Oleh karena itu, dari pesantren tertentu, ternyata telah lahir para tokoh atau ulama yang diakui keilmuannya secara luas.
Mungkin tidak banyak orang tahu dan membayangkan, bahwa ternyata dari pesantren Termas Pacitan misalnya, dulu terdapat seorang ulama, yang tulisan-tulisannya hingga kini dijadikan rujukan oleh berbagai lembaga pendidikan di negara-negara timur tengah. Rasanya cukup membanggakan, ulama tersebut menulis, dengan niat benar-benar ingin membagi ilmunya, dan bukan sebatas untuk mendapatkan kum persyaratan naik pangkat. Artinya, budaya ilmu telah muncul di pesantren, dan sebaliknya, justru di sementara kampus-kampus modern, masih terdengar ada flagiat yang dilakukan oleh orang bergelar doctor dan bahkan profesor.
Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap berbagai prestasi yang diraih oleh lembaga pendidikan dan juga perguruan tinggi modern sekarang ini, kiranya dalam upaya membangun budaya ilmu, maka melihat dan mengkaji apa yang telah diraih oleh lembaga pendidikan tradisional pun perlu dilakukan. Dari lembaga pendidikan tradisional pun, ternyata bisa didapatkan cara-cara yang lebih tepat dalam menjalankan pendidikan. Salah satu kelebihan pesantren salaf ialah, pendidikan dijalankan secara utuh, baik pemberian pengetahuan, pelatihan, pembiasaan, dan bahkan juga pembersihan jiwa ----tazkiyah, sehingga dengan pendekatan itu, budaya ilmu di sana benar-benar berhasil dibangun. Wallahu a’lam.
Minggu, 30 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar