Rabu, 06 Januari 2010

ANDAIKAN TUHAN BISA DIBOHONGI

OLEH :MOH. SAFRUDIN
(KETUA PRESIDIUM WILAYAH MAJELIS ALUMNI IPNU SULTRA )

Manusia selalu memiliki sifat ingin disebut sebagai orang baik. Namun, keinginannya itu tidak selalu berhasil diraih. Mereka bisa saja sengaja melakukan kesalahan atau bahkan perbuatan tercela. Tetapi aneh, keburukannya tidak mau diketahui orang, sekalipun tatkala menjalankannya juga tahu bahwa apa yang dilakukan itu adalah jelek, tercela, merugikan dirinya dan juga orang lain. Orang yang suka berbuat jelek pun ingin disebut baik.

Agar supaya perbuatan buruk dan tercela itu tidak diketahui orang lain, maka mereka simpan atau rahasiakan rapat-rapat. Penampilannya saja baik, tetapi yang sebenarnya terjadi adalah justru di balik yang tampak itu. Banyak orang melakukan sesuatu hanya sebatas seolah-olah, seperti, atau seakan-akan. Yaitu seolah-olah berbuat baik agar disenangi oleh banyak orang. Padahal, yang terjadi sesungguhnya adalah baru seolah-olah itu.

Manusia juga tahu, bahwa apa yang tampak, belum tentu menggambarkan apa yang sesungguhnya terjadi. Karena itulah maka muncul istilah orang jujur, lugu, dan apa adanya. Sebaliknya, ada istilah tidak jujur, penuh rekayasa, dan atau dibuat-buat. Banyak sekali penampilan manusia yang dibuat-buat, agar kelihatan bagus dan cantik. Para ibu-ibu dan juga tidak sedikit bapak-bapak datang ke salon, agar kelihatan cantik atau tampan. Lagi-lagi kemudian tampak, seolah-olah cantik atau seolah-olah tampan.

Namun, memang ada saja orang yang lebih suka menampakkan keasliannya. Mereka menampakkan diri apa adanya, tidak dilebih-lebihkan dan juga tidak dikurangi. Tampil asli, apa adanya merasa lebih enak, dan hatinya menjadi tentram. Orang seperti itu, jumlahnya tidak banyak, apalagi di perkotaan. Mereka yang berpenampilan seperti itu, umumnya ada di pedesaan. Karena itulah, orang desa seringkali disebut lugu, polos, atau utun, karena menampakkan diri serba apa adanya.

Semakin maju budaya seseorang, tampaknya semakin pintar menyembunyikan wajah yang sebenarnya. Kehidupan seseorang akhirnya menjadi semacam sandiwara. Apa yang tampak sesungguhnya bukan senyatanya. Justru yang nyata adalah yang tersembunyi itu. Semua serba berpura-pura. Akibatnya dalam berinteraksi antar sesama, masing-masing orang tidak merasa melakukan sesuatu hal yang sebenarnya, melainkan selalu dalam kepura-puraan itu. Akhirnya, hidup ini hanya dijalani dengan kepura-puraan.

Berbagai macam korupsi, kolusi, dan nepotisme yang akhir-akhir ini dijadikan musuh bersama di negeri ini, sesungguhnya tidak lain adalah diawali oleh kehidupan kepura-puraan itu. Orang melakukan sesuatu, bukan didasari oleh niat atau rumusan-rumusan yang sebenarnya, melainkan dimaksudkan untuk memenuhi agenda tersembunyi. Agenda sesungguhnya, tentu tidak diungkap, melainkan dibungkus, karena belum tentu dipandang baik dan menguntungkan semua orang.

Sedemikian pintarnya orang menyemunyikan maksud-maksud yang sebenarnya, sehingga kadang orang lain tidak memahaminya. Orang melakukan sesuatu secara mendua, yaitu antara apa yang ditampakkan dengan apa yang sesungguhnya diagendakan sedemikian jauh jaraknya. Maka, seringkali apa yang kita temukan serba palsu. Padahal kepalsuan selalu menjadi sebab utama runtuhnya kehidupan dan bahkan peradaban umat manusia, di mana dan kapan pun saja.

Kasus yang menimpa Bank Century, yang pada saat ini ramai diperbincangkan orang, kiranya berawal dari logika tersebut. Orang memprotes, kecewa, mengadukan ke pengadilan, termasuk menyusun Pansus Hak Angket DPR, semua itu adalah sebagai buah dari sikap-sikap mendua tersebut. Umpama birokrasi selalu menampakkan apa adanya, yaitu selalu merancang, menjalankan, mencatat, melaporkan, dan atau mendokumentasikan secara benar, maka tidak akan terjadi geger, mempersoalkan uang rakyat yang sedemikian besar itu. Umpama birokrasi dijalankan apa yang seharusnya, maka konflik-konflik beresiko tinggi tidak akan terjadi.

Manusia menyukai kepura-puraan, atau berbuat bohong, dan palsu. Padahal sesungguhnya semua orang tahu, bahwa siapapun benci diperlakukan tidak pada tempatnya itu. Kebohongan tidak bisa dilakukan sepanjang waktu, suatu saat akan terbongkar. Rupanya, sifat manusia pada umumnya, merasa nikmat atau puas apabila bisa berbuat bohong. Dengan berbohong, berpura-pura, seolah-olah, seakan-akan, maka menganggap tujuan yang diinginkan cepat tercapai.

Namun sebenarnya, hal yang harus disadari, bahwa siapapun hanya bisa membohongi sesama manusia dan itupun dalam waktu yang terbatas. Bagaimanapun pintarnya, hebatnya, lihainya, manusia tidak akan bisa berbohong secara terus menerus, apalagi membohongi Dzat Yang Pencipta. Karena, Allah adalah Dzat Yang Maha Tahu, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak akan ada rahasia sekecil apapun yang luput dari pengetahuan Tuhan. Karena itu, apapun yang kita rahasiakan, pada suatu saat akan terbongkar.

Kebohongan akan merugikan diri sendiri dan masyarakat. Berbohong tidak akan bisa dilakukan terus menerus. Orang mengira, bahwa kebohongannya tidak akan diketahui oleh siapapun. Tetapi ternyata, serapat-rapat orang menyimpan kejahatan, cepat atau lambat akan terbongkar. Berbagai kasus yang menimpa para oknum pejabat akhir-akhir ini, mereka melakukan kebohongan, ternyata sebagian sudah mulai dibuka oleh Allah melalui berbagai pintu. Akhirnya, mereka diadili, dan akibatnya harkat dan martabatnya jatuh serendah-rendahnya. Orang menyukai berbuat bohong, berpura-pura dan palsu. Andaikan bisa, rupanya Tuhan pun akan dibohongi pula. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar