Jumat, 08 Januari 2010

TUMPULNYA PARA PENEGGAK HUKUM

Pisau biasanya digunakan untuk memotong sesuatu. Alat pemotong ini dianggap baik manakala keadaannya tajam. Jika sebaliknya, pisau itu tumpul, akan sulit digunakan untuk memotong. Pisau tumpul jika akan digunakan, maka harus dipertajam dulu. Pisau tumpul jika dipaksa digunakan, hasilnya juga tidak baik.

Pisau tumpul, apa lagi sudah berkarat, biasanya tidak digunakan. Memotong dengan pisau tumpul akan mendatangkan rasa sakit bagi yang memotong. Demikian pula benda yang dipotong, mungkin tidak akan putus, tetapi justru menjadi rusak. Jika demikian, pisau tumpul tidak perlu dipakai. Jika harus memotong sesuatu, maka dicari saja pisau baru yang tajam, atau pisau yang tumpul tersebut dipertajam terlebih dahulu sebelum dipakai.

Sejalan dengan hal tersebut, maka dalam ajaran Islam, tatkala memotong hewan pun dianjurkan untuk memilih pisau yang tajam. Dengan menggunakan pisau yang tajam, orang yang bertugas memotong hewan itu akan mudah melakukannya. Demikian pula hewan yang dipotong pun, tidak akan merasa lebih tersiksa. Bayangkan, apa yang akan terjadi, jika seseorang memotong hewan dengan menggunakan pisau tumpul.

Pisau selain digunakan sebagai alat potong memotong, rasanya menarik jika digunakan sebagai metafora dalam gerakan memberantas korupsi di negeri ini. Sekalipun pada akhir-akhir ini, pemberantasan korupsi sudah sedemikian gigih dilakukan, tetapi anehnya fenomena itu tidak semakin berkurang. Sebaliknya, justru semakin meluas. Akibatnya, sehari-hari orang terbawa-bawa pada perbincangan tentang jenis penyimpangan itu, hingga jengkel dan kesal.

Berita tentang korupsi ada di mana-mana. Seolah-olah tidak ada sejengkal wilayah pun di negeri ini yang telah bebas dari kasus-kasus korupsi. Berita tentang pemeriksaan, tindak korupsi, penangkapan, penyidikan, pengadilan, dan akhirnya memenjarakan seolah-olah tidak ada henti-hentinya. Apalagi pada saat-saat sekarang ini, tidak saja polisi, jaksa, KPK, dan hakim, parlemen pun harus menyita waktu mengurus soal penyimpangan itu.

Pemberantasan korupsi telah dilakukan sedemikian rupa, dengan melibatkan berbagai lembaga, termasuk pengawasan dari LSM dan juga masyarakat. Namun seolah-olah koruptor tidak memiliki rasa takut sama sekali. Setiap pejabat, sebelum menunaikan tugasnya disumpah dan bahkan akhir-akhir ini harus menanda-tangani Pakta Integritas terlebih dahulu. Tetapi rupanya, pendekatan moral itu juga tidak mempan menghilangkan mental buruk, yakni korup yang dibenci oleh semua pihak itu.

Memperhatikan sulitnya memberantas korupsi itu, saya teringat alat pemotong yang bernama pisau sebagaimana digambarkan di muka. Terlintas dalam pikiran saya, jangan-jangan pisau yang digunakan untuk memotong tidak korupsi selama ini adalah pisau yang tumpul. Yaitu, pisau yang belum jadi, atau pisau model lama, dan bahkan sudah karatan, sehingga tidak mungkin bisa digunakan untuk memotong secara baik. Pisau yang selama ini digunakan untuk memotong korupsi itu, jangan-jangan memang perlu dilihat keadaannya, apakah masih tumpul, tua, dan karatan.

Untuk mengetahui keadaan pisau itu yang sebenarnya, tidak sulit. Kita lihat saja, apa yang terjadi di institusi yang terkait dengan tindak korupsi dan pemberantasannya itu. Melihatnya juga harus adil, dilakukan secara menyeluruh. Mulai dari lingkungan penguasa, kepolisian, kejaksaan, kehakiman, KPK, dan bahkan juga intitusi pendidikan yang melahirkan orang-orang yang bertugas di lembaga-lembaga tersebut harus dilihat semua. Alat pemotong itu harus dilihat tingkat ketajamannya. Jangan sampai alat itu ternyata tumpul. Bahkan selain itu, benda yang dipotong pun juga harus dilihat. Tidak boleh misalnya, benda yang ada di dalam air, disalahkan kenapa basah. Sebab, semua benda yang berada di dalam air, apapun bentuknya, selalu basah. Karena itu, menyalahkannya justru salah.

Terkait dengan gambaran sederhana terakhir, yaitu tidak boleh menyalahkan keadaan basah benda dalam air, maka dalam kontek itu, hal yang perlu dilihat adalah menyangkut manajemen birokrasi pemerintahan selama ini. Selain itu juga yang perlu dilihat kembali adalah undang-undang, peraturan, pengawasan dan lain-lain. Sebatas menyalahkan, kenapa benda yang diambil dari dalam air itu basah, tidak relevan. Sama dengan hal itu adalah menganggap salah dan menghukumnya terhadap orang-orang yang berada pada system yang salah.

Tulisan sederhana ini sesungguhnya hanya ingin mengajak merenung secara mendalam, agar dalam setiap mengambil keputusan yang mengakibatkan penderitaan seseorang, apalagi banyak orang harus dilakukan secara hati-hati. Manusia harus selalu dijaga harkat dan martabatnya. Di mana dan kapan pun, manusia tidak boleh dinistakan. Sebab, pada hakekatnya manusia adalah makhluk yang harus dimuliakan. Jika menggunakan metafora pisau, maka alat potong dimaksud, harus benar-benar tajam, agar tatkala digunakan memotong benar-benar bisa putus, dan tidak mengakibatkan rasa sakit yang mendalam bagi semua. Pisau tumpul dan apalagi berkarat sebelum digunakan, seharusnya dipertajam dulu. Wallahu a’lam.

1 komentar: