Manusia memiliki dua tanggung jawab yang harus ditunaikan dengan baik, yaitu: Pertama, manusia sebagai hamba (‘abid), di mana manusia dituntut untuk sukses menjalin hubungan secara vertikal dengan Tuhan; Kedua, manusia sebagai khalifah, di mana manusia dituntut untuk sukses menjalin hubungan secara horizontal dengan sesama mahluk. Tidak akan sukses sebagai hamba, jika seseorang gagal dalam menjalani tugasnya sebagai khalifah. Begitu juga sebaliknya, tidak akan sukses sebagai khalifah, jika seseorang gagal menjalin hubungan sebagai hamba dengan Tuhan. Manusia yang paripurna atau manusia seutuhnya (insan kamil) adalah orang yang sukses sebagai hamba juga sebagai khalifah.
Tidak dibenarkan orang yang taat kepada Allah, sementara dia mengabaikan problematika sosial kemasyarakatan. Demikian juga, tidak dibenarkan orang yang selalu memperhatikan urusan sosial kemasyarakatan, sementara dia tidak pernah menjalin hubungan personal dengan Tuhannya. Islam menghendaki umatnya agar memiliki hubungan kepada Allah yang baik, juga memiliki perhatian terhadap berbagai persoalan kemasyarakatan.
Kekhawatiran Malaikat
Malaikat memberikan peringatan kepada kita bahwa sekufur apapun seorang manusia itu tidak akan pernah menjadi kafir mutlak. Sekufur apapun seorang atheis, pasti dalam jiwanya ada sisi-sisi ketuhanan. Oleh karena itu, malaikat tidak meragukan apakah manusia itu bisa berhubungan langsung kepada Tuhan atau tidak, karena itu sebuah kemutlakan. Akan tetapi, malaikat menyangsikan kemampuan manusia akan bisa sukses menjadi khalifah di muka bumi ini.
Allah Swt. menyatakan: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di dalamnya, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah [2]: 30).
Ayat di atas menjelaskan bahwa ketika Tuhan menyampaikan maksudnya akan menciptakan mahluk pendatang baru (manusia), maka Malaikat langsung merasa keberatan terhadap dua hal, yaitu: Pertama, bukankah manusia itu bisa menyebabkan perusakan lingkungan di muka bumi; Kedua, bukankah manusia itu bisa melahirkan pertumpahan darah antar sesamanya.
Ayat ini agaknya cukup relevan dengan kondisi saat ini. Bencana alam dan problematika sosial kemasyarakatam yang terjadi agaknya membenarkan kekhawatiran Malaikat itu. Kita baru saja menyaksikan peristiwa longsor dan banjir di sebagian wilayah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, gempa bumi di sebagian pulau Bali dan Nusa Tenggara baru-baru ini, konflik yang tiada henti di propinsi Aceh, dan berbagai konflik etnis di sebagian daerah Indonesia lainnya beberapa tahun yang lalu. Semua itu sedikit banyak membenarkan apa yang disampaikan Malaikat di atas.
Kata Kunci Sukses
Bagaimana menciptakan manusia yang sukses, baik dalam menjalankan tugasnya sebagai hamba maupun sebagai khalifah. Ada sebuah statement yang seringkali dihafal dan dibaca oleh kita sebagai kata kunci untuk sukses, yakni lafadz bismillahirrahmanirrahim (basmalah).
Rasulullah bersabda, apapun yang akan kita lakukan hendaknya membaca basmalah. Bahkan, tidak hanya Rasulullah, para Nabi sebelumnya pun sangat akrab dengan basmalah. Ketika membuat perahu di atas bukit, di mana saat itu belum ada mesin, Nabi Nuh As. membaca basmalah, yakni bismillahi majraha wa mursaha, dan langsung perahu itu meluncur. Dalam riwayat lain disebutkan, pegangan tongkat Nabi Musa As. terdapat ukiran yang bertuliskan bismillahirrahmanirrahim. Ketika menghidupkan orang mati, Nabi Isa As. membaca basmalah. Begitu juga, yang digunakan oleh Nabi Sulaiman As. untuk menundukkan jiwa Ratu Balqis adalah basmalah, dan Ratu Balqis pun langsung takluk.
Intisari Basmalah
Jika kita melakukan sesuatu dengan menyebut nama Allah, berarti kita mengatasnamakan perbuatan kita kepada-Nya, jadi seakan-akan kita mewakili Allah. Ini sesuai dengan arti khalifah sendiri, yaitu representasi Tuhan di muka bumi. Satu-satunya mahluk yang diciptakan khusus untuk menjadi wakil (representasi) Tuhan di alam raya ini adalah manusia, bukan malaikat, jin, dan bukan pula mahluk lainnya. Itulah rahasia manusia sebagai ahsan at-taqwim, mahluk yang termulia.
Oleh karena itu, kita harus hati-hati setiap melakukan sesuatu. Sebab, apapun yang kita lakukan itu mengatasnamakan Allah Swt. Apapun yang kita lakukan hendaknya mengimplementasikan lafadz basmalah, misalnya dalam menentukan sebuah keputusan yang diambil. Jadi, bismillahirrahmanirrahim adalah satu kunci sukses yang diajarkan oleh agama kita, baik sebagai hamba (‘abid) maupun sebagai khalifah.
Dalam buku-buku tasawuf dijelaskan bahwa kandungan pokok al-Quran terdapat pada surat al-Fatihah. Pada surat itu, kalimat yang paling penting adalah bismillahirrahmanirrahim. Dalam kalimat itu, kata yang paling inti adalah ar-rahman dan ar-rahim. Dua kata tersebut berakar dari kata yang sama, yaitu rahima yang berarti “cinta kasih”. Dengan demikian, makna dibalik lafadz basmalah adalah “kerjakanlah semua perbuatan itu dengan penuh cinta kasih”. Sebab, di dalam “cinta kasih” pasti terkandung unsur keikhlasan, niat yang baik, ketenangan, tidak ada dendam, tidak ada pamrih yang berlebihan, dan tidak atas dasar motivasi yang berjangka pendek, tetapi mengupayakan yang abadi dan universal.
Allah ternyata menggunakan lafadz basmalah, tidak dengan sebutan lafadz-lafadz lain, seperti al-‘aziz, al-ghafar, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa dalam mengelola alam raya, sebagai konsekuensi sebagai khalifah, kita harus menyandarkan pada lafadz basmalah, yakni dengan penuh kasih sayang.
Kita seringkali tidak melandaskan pada kasih sayang dalam menentukan keputusan. Begitu melihat pohon raksasa di tengah-tengah hutan, yang terbayang dalam benak kita berapa meter kubik kayu yang bisa diambil dan berapa dollar yang bisa diraup jika diekspor, dengan tanpa pernah mempertimbangkan berapa banyak habitat hewan dan tumbuhan yang hidupnya tergantung pada pohon tersebut. Begitu pula ketika kita melihat hamparan tanah kosong daerah resapan air, yang terlintas di pikiran kita berapa kavling rumah yang bisa dibangun dan berapa juta yang didapat bila dijual atau disewakan, dengan tanpa pernah sedikitpun mempertimbangkan efeknya terhadap keseimbangan ekosistem di lingkungan tersebut, sehingga terjadi banjir suatu waktu karena tanah tidak lagi bisa meresapkan air hujan yang turun.
Inti bismillahirrahmanirrahim adalah bagaimana kita bisa menginternalisasikan sifat kasih sayang Tuhan dalam setiap perbuatan. Kenapa Tuhan tidak begitu saja menyiksa orang-orang yang kafir terhadap-Nya? Tiada lain, karena Tuhan lebih dominan menunjukkan diri-Nya sebagai Maha Penyayang daripada Maha Pembalas Dendam. Nilai inilah yang patut ditiru.
Akhirnya, posisi kita sebagai khalifah di muka bumi hendaknya berpegang teguh pada konsep basmalah. Sebuah konsep yang tidak saja meniscayakan sekedar ucapan biasa, tetapi implementasi dalam setiap perbuatan kita. Bârakallâhu lî wa lakum, wallâhu a’lam bishshawwâb.
Senin, 11 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar