Salah satu sifat yang berpengaruh besar pada tindakan seseorang adalah kejujuran. Pekerjaan yang dilakukan secara individual atau kelompok akan gagal manakala kebohongan terjadi. Krisis bangsa ini pun terjadi karena transparansi sangat mahal harganya. Istilah “kebohongan publik” makin populer dalam pemberitaan media cetak maupun elektronik. Masyarakat juga dibosankan dengan berbagai kilah dan dalih yang bermunculan.
Kejujuran masih sulit didapatkan ketika proses penataan kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap kita mendengar dugaan korupsi yang merugikan negara trilyunan rupiah, menguap begitu saja tanpa penyelesain hukum yang berarti. Bahkan, fungsi hukum yang telah melahirkan “kebohongan legitimate” tidaklah berlebihan. Pasal-pasal karet pun jadi primadona, untuk melindungi para tersangka. Persidangan dihadirkan lengkap dengan berbagai atraksi putar-balik ayat dan pasal.
Situasi ini nampaknya harus dicarikan obat agar tidak menjadi budaya masyarakat. Ada satu kisah menarik tentang sahabat Rasulullah yang mengaku punya kebiasaan mabuk, judi, zina dan sifat jelek lainnya. Ia meminta kepada Rasullah satu petuah agar bisa jadi muslim yang shalih. Nabi bersabda “Kamu jangan berbohong”. Lalu orang tersebut, berkata “cuman itu, ya Rasulullah”. “Iya, laksanakanlah nanti datang lagi ke saya” kata nabi.
Selanjutnya, ketika ingin melakukan judi, dia berguman dalam hatinya, “kalau aku melakukan kebiasaan itu, dan nabi bertanya kepadaku, bagaimana nanti aku menjawabnya, sementara tidak boleh berbohong” . Akhirnya perbuatan itu tidak terulang lagi, setiap dia mengingat pesan Nabi. Efeknya, bukan saja telah menghentikan kebiasaan judi, tapi semua perbuatan terjela yang biasa dia lakukan.
Lewat beberapa hari, nabi bertemu dengannya dan bertanya “Apakah kamu masih melakukan perbuatan tercela yang pernah kamu ceritakan?” . Orang itu menjawab “ Semuanya sudah saya tinggalkan ya Rasulullah”. “Kenapa ?” , lanjut Nabi. Dengan enteng orang itu menjawab “Setiap kali aku ingin melakukannya, dilanda kebingunan tentang jawabannya padahal paduka menyuruh untuk tidak bohong”.
Begitulah sekelumit efek domino dari kejujuran yang dapat dijadikan pelajaran. Kalau saja para pemimpin memahaminya, niscaya negeri ini tidak terperosok ke dalam krisis yang sekarang terjadi. Masih banyak perbuatan dan perkataan dari para pemimpin kita yang paralel dengan dugaan tindak pindana korupsi. Kecuali informasi tidak utuh, penyelesainnya pun tidak pernah tuntas.
Peristiwa sahabat nabi di atas, sebenarnya akan jadi penangkal kalaupun peraturan perundangan-undangan yang ada bisa melindungi dirinya. Tinggal bagaimana para pemimpin memberikan tauladan dengan melakukannya langsung (ibda bi nafsik). Tidak menjadi retorika manis ketika bicara di publik, akan tetapi bersemai dalam setiap tugas mengemban amanat kepemimpinannya.Wa Allah ‘alam bi shawab.
Senin, 25 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar