Minggu, 29 November 2009

BERJUANG DAN BERKURBAN ADALAH JALAN DRAJAT YANG MULIA

http://www.uin-malang.ac.id/templates/rt_terrantribune_j15/images/blank.gif


PDF

Cetak

E-mail


Dalam Islam kita mengenal dua hari raya, yaitu Idul fitri dan Idul-Qurban. Dua bulan yang lalu kita bersama-sama di masjid ini menunaikan sholat Idul Fitri, setelah sebulan penuh berpuasa. Idul Fitri, kita pahami sebagai hari, di mana kita berharap kembali kepada kesucian, menjadi suci, suci dari dosa, memperoleh ampunan dari Allah swt, setelah dengan ikhlas menyelesaikan puasa dan sholat malam (qiyamullail) di bulan ramadhan.

Pagi ini kita berada di tempat yang mulia ini pula, bersama-sama melaksanakan sholat Idul Adha, yang juga disebut sebagai Idul Qurban, atau orang juga meyebutnya hari raya haji. Jika Idul fitri, kita berharap menjadi suci, yaitu suci dari dosa dan memperoleh ampunan, maka pada hari raya qurban, kita sebagai orang muslim, mukmin dan muttaqin berharap kepada Allah swt. agar menjadi orang yang siap melakukan pengorbanan agar memperoleh kebesaran dan kemuliaan. Kebesaran maupun kemuliaan seseorang, menurut ajaran Islam, selalu ditempuh lewat berjuang dan berqurban.

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu Akbar, walillahilhamd.
Kaum muslimin yang berbahagia.

Sejarah mencatat bahwa dalam perjalanan hidup manusia terdapat banyak orang yang menyandang nama besar. Namanya diingat oleh sebagian besar manusia, riwayatnya dipelajari, tingkah lakunya dijadikan pedoman, semangatnya dijadikan sebagai bahan untuk menggerakkan masyarakat, dan namanya dikenang sampai berlama-lama.

Dalam sejarah bangsa kita misalnya, kita kenal nama-nama Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Hasanuddin, Sultan Agung, Ir. Sukarno, Moh. Hatta, KiHadjar Dewantoro, K.H. Hasyim Asy’ari, dan masih banyak lagi. Nama-nama tersebut, saya yakin, tidak akan segera hilang dalam ingatan bangsa Indonesia.

Nama-nama para pejuang tersebut diingat oleh begitu banyak orang dan dalam waktu yang sedemikian lama. Sebaliknya, nama sejumlah besar orang lainnya begitu cepat terlupakan dan bahkan tidak dikenal, kecuali oleh keluarga dan teman-temannya secara terbatas. Salah satu sebabnya, karena para pahlawan itu berbeda dari banyak orang pada umumnya. Para pejuang itu di masa hidupnya pernah meninggalkan sesuatu yang amat berharga bagi kehidupan.

Para pejuang hingga memiliki nama besar itu tidak hanya berpikir dan berbuat untuk dirinya sendiri, melainkan berpikir dan berbuat untuk masyarakatnya, untuk bangsanya dan bahkan tidak saja terhadap yang hidup ketika itu, melainkan juga kepada mereka yang hidup pada masa-masa kemudian. Kata kuncinya ialah, bahwa kebesaran nama yang disandang itu diperoleh dari perjuangan dan pengorbanan yang telah mereka berikan semasa hidupnya.

Dua kata kunci, yakni berjuang dan berkorban, tampaknya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Berjuang pasti memerlukan pengorbanan. Sebaliknya, berkorban pasti untuk sebuah perjuangan. Gabungan dua kata yang selalu disebut bersama-sama ini menjadi terlalu indah didengar dan dirasakan. Apalagi, kalau sudah menjadi bentuk perbuatan nyata, pasti membuahkan nama besar bagi pelakunya.

Namun sayangnya, banyak orang yang berkeingian berjuang, tetapi tidak bersedia untuk berkorban. Orang mau berjuang, tanpa berkorban tidak akan berhasil, bahkan tak akan terjadi perjuangan. Karena beratnya menjadi pejuang itu, lalu betapa sedikitnya jumlah nama-nama pejuang kita. Islam mengajarkan, agar kita menjadi pejuang yang sesungguhnya, dan bukan menjadi orang yang hanya mendambakan keuntungan untuk dirinya sendiri.


Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, walillahilhamd
Kaum muslimin yang berbahagia.

Dalam suasana hari raya kurban seperti sekarang ini, lewat kisah yang bisa dibaca dalam kitab suci Al Qur‘an, sebagai seorang mukmin kita diingatkan oleh Allah tentang kehidupan seorang yang menyandang nama besar, ialah Nabi Ibrahim as. Di antara para Rasul, Ibrahim memperoleh sebutan khusus yaitu khalilullah (kekasih Allah) (Q.S. Al-Nisa': 125). Sebutan itu diterima olehnya, karena Ibrahim telah berhasil menapaki puncak kemusliman dan ketaqwaannya, satu di antaranya lewat beberapa pengorbanan besar yang pernah ia lakukan.

Kebesaran nama Ibrahim yang diperoleh lewat pengorbanan itu, lalu diabadikan dalam syari’at Muhammad saw, melalui haji dan berkorban seperti yang kita laksanakan dan saksikan sekarang ini. Secara lebih jelas dan rinci, Nabi Ibrahim yang menyandang nama besar hingga menjadi khalilullah, dalam sejarah hidupnya telah menunjukkan perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa, antara lain:

Pertama, ialah kesungguh-sungguhannya dalam berjuang mencari Islam. Keislaman Ibrahim, diperoleh melalui proses pencaharian yang berat, sehingga keislaman Ibrahim didasarkan atas pengertian, pemahaman, dan kesadaran yang mendalam. Kebenaran Islam diimani dan diamalkan bukan hanya karena ikut-ikutan, dan bukan pula tanpa pengertian dan pemahaman. Hal ini dapat dilihat dari perjuangan Ibrahim, dalam proses pencaharian TuhanNya.

Ibrahim, ketika ia melihat bintang, ia simpulkan bahwa bintang adalah tuhan; begitu dilihat bulan yang lebih besar bentuknya dari bintang, ia berubah menuhankan bulan. Selanjutnya, ketika ia melihat matahari, yang lebih terang, keyakinannya berubah pula, ia segera sujud bersimpuh menghadap matahari, tuhan baru yang ia temukan. Tetapi hebatnya, tatkala dalam kebingungan lantaran matahari yang dianggap tuhannya itu terbenam, begitu Allah berfirman "aslim", Islamlah engkau wahai Ibrahim, dengan penuh kesungguhan Ibrahim menyatakan saya Islam (Q.S. Al-Baqarah: 131), Ia pasrah kepada Allah seru sekalian alam. Keimanan yang diperoleh lewat pergumulan perjuangan, melahirkan sikap penyerahan diri secara total, tidak ragu-ragu, menerima sepenuh hati kebenaran dari Yang Maha Benar.

Kedua, perjuangan Ibrahim dalam upaya membuktikan iman dalam sikap dan tindakannya, seperti ketika menghadapi ujian yang diberikan Allah (Q.Al-baqarah 124). Ibrahim hidup pada saat penguasa dan masyarakat terlena dalam penyembahan berhala. Tidak seorang pun pada waktu itu berani menyatakan salah terhadap yang dilakukan oleh umat manusia di sekelilingnya, apalagi hal itu didukung oleh penguasa. Tapi ... Ibrahim dengan kekokohan tauhidnya, berani menyatakan salah terhadap sesuatu yang ia yakini salah. Ia hancurkan berhala-berhala sesembahan masyarakat saat itu. Kisah Ibrahim tentang hal itu, dapat kita simak dalam Al Qur’an surat Ash-shoffat ayat 85-99. Ibrahim untuk mempertahankan keyakinannya ia harus berkorban, dihukum dengan cara dibakar hidup-hidup. Tetapi, atas pertolongan Allah, lewat mu’jizat-Nya ia selamat.

Ketiga, pengorbanan Ibrahim juga dapat dilihat ketika ia melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih satu-satunya putra yang amat dicintainya, Ismail. Peristiwa ini adalah sebagai puncak keimanan Ibrahim. Pengorbanan Ibrahim yang dahsyat. Sungguh patut kita renungkan, siapakah dalam kehidupan ini yang siap dan ikhlas mengorbankan sesuatu yang ia miliki dan bahkan yang paling ia cintai, untuk Allah.

Keempat, perjuangan dan pengorbanan Ibrahim lainnya ialah dalam upaya mendidik generasi berikutnya. Ibrahim berhasil membentuk keimanan generasi sesudahnya. Hal itu bisa kita lihat dengan jelas, betapa dengan tegas Ismail meminta ayahandanya untuk tidak ragu-ragu menyembelihnya (Q.Ashaffat 102), ingatlah cucu Ibrahim, anak Ya’kub, dengan tegas menyatakan kesetiaannya untuk selalu menyembah Allah (Q.Al-Baqarah 133).

Memperhatikan kisah singkat Nabi Ibrahim itu, kita dapat mengambil ibrah bahwa untuk menjadi manusia yang menyandang nama besar harus dengan perjuangan sejati dan pengorbanan besar. Paling tidak, lewat kisah Ibrahim itu, ada tiga hal mendasar yang perlu kita tangkap, yaitu: pertama, ketauhidan yang kokoh, yang diperoleh lewat perjuangan. Kedua, contoh kesediaan berkorban yang berat---- melepaskan sesuatu yang paling dicintai untuk orang lain, dan ketiga, kesediaan membangun manusia mendatang lewat pendidikan generasi berikutnya.

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu Akbar, walillahilhamd.
Kaum muslimin yang berbahagia.

Lebih jauh, peringatan tentang betapa pentingnya perjuangan dan pengorbanan ini, juga ditunjukkan lewat kisah Habil dan Qobil putra Adam as. Lewat kisah itu kita ditunjukkan bahwa pengorbanan tidak cukup dengan benda murahan, apalagi tidak diikuti oleh sikap tulus dan penuh keikhlasan. Apa yang harus kita korbankan ternyata seharusnya adalah hal yang justru kita pandang baik, yang berharga dan yang berkualitas tinggi, sebagaimana qurbannya Habill. Dan sebaliknya, apa yang kita korbankan tidak selayaknyahanya hal yang sederhana kualitasnya, yang sedikit jumlahnya, apalagi sekedar barang sisa; sebagaimana kisah Qobil sehingga ditolak oleh Alllah.


Selain lewat berbagai kisah tersebut perintah berkorban secara tegas juga dapat kita baca dalam Al Qur’an surat Al Kautsar , artinya :



"Sungguh Aku telah memberi engkau nikmat yang banyak, maka sholat dan berkorbanlah untuk Allah. Dan barangsiapa yang membenci engkau Muhammad, ia akan putus atau punah".


Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, walillahilhamd
Kaum muslimin dan muslimat yang berbahagia.

Saat ini, kita belum sepenuhnya dapat menyelesaikan persoalan yang menimpa bangsa ini. Bangsa kita pada saat ini masih kaya akan masalah. Kemiskinan, kebodohan, terbatasnya lapangan kerja, pendidikan yang belum merata, konflik antar elite yang berkepanjangan. Semua itu ternyata menjadi sumber persoalan kehidupan bangsa ini. Setiap hari kita masih disuguhi oleh berita yang menyusahkan. Di antaranya, berita tentang betapa banyaknya para buruh harus ke luar negeri hanya mencari sesuap nasi, berebut lapangan kerja. Selain itu setiap hari kita jumpai di mana-mana orang miskin dan anak-anaknya meminta-minta di pinggir jalan. Selain it, masih ada saja bangunan sekolah tidak layak dan bahan ambruk. Guru yang tidak mendapatkan gaji semsstinya dan lain-lain.

Selain itu tidak sedikit warga masyarakat yang selalu mendapatkan beban psikologis. Beban hidup itu, akhir-akhir ini menjadi terasa amat berat dan serba tidak menentu. Pekerjaan semakin sulit dicari, sementara yang masih untung memiliki pekerjaan, gaji yang diterima tidak seimbang dengan kebutuhan sehari-hari yang selalu meningkat yang diakibatkan oleh kenaikan harga. Suasana yang tidak menggembirakan itu masih ditambah lagi, persoalan yang tidak kurang rumitnya seperti dekadensi moral, penyalahgunaan obat terlarang, kenakalan remaja, dan berbagai macam persoalan lagi, baik yang berskala besar maupun kecil mewarnai kehidupan kita saat ini.

Menghadapi persoalan-persoalan tersebut maka di sinilah sesungguhnya lagi-lagi diperlukan perjuangan dan pengorbanan kita secara kongkrit. Merasa acuh, tak peduli terhadap penderitaan orang lain adalah bukan watak seorang muslim. Islam memberikan tuntunan hidup agar supaya kita sesama muslim saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan. Rosulullah Muhammad saw., memerintahkan agar kita saling mencintai dan berbuat baik. Bahkan dalam suatu riwayat beliau bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang jika ia tidak mencintai orang lain sebagaimana mencintai dirinya sendiri".

Secara lebih jelas lagi, bagaimana sikap yang harus dibangun oleh seorang muslim tatkala mendapatkan orang lain yang sedang mengalami kesulitan tergambar dalam surat Al Maun. Dalam surat itu, Allah dengan tegas menegur hamba-Nya yang tidak mempedulikan orang-orang yang lagi kesulitan, yaitu :


"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama; Itulah orang yang menghardik anak yatim; Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin; Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat; (Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya; Orang-orang yang berbuat riya; Dan enggan menolong dengan barang berguna".

Lewat ayat ini, ternyata Islam memang ajaran agung, mengajak umatnya agar tidak bersifat individualis, mementingkan diri sendiri. Bernikmat-nikmat di tengah orang susah adalah dianggap cela dan mendustakan agama. Sikap seperti itu dianggap, tidak manusiawi, bukan sikap terpuji bagi seorang muslim. Bahkan, jika kita tidak memperhatikan yang yatim, yang miskin, yang kekurangan, yang dhuafa^, maka sesungguhnya kemusliman dan keimanan kita dipandang oleh Alllah, sebagai masih berkadar lemah dan bahkan masih bohong belaka. Tentu, kita semua tidak akan mau disebut menjadi pembohong-pembohon agama.


Selain itu, dalam menghadapi suasana yang tidak terlalu menggembirakan seperti sekarang ini, Al Qur’an memberikan petunjuk apa yang harus kita jaga dan lakukan, yaitu: (1) kita harus selalu memperkokoh keimanan, keyakinan, dan ketaqwaan; (2) selalu membangun dan menyambung sillaturrahmi seluas-luasnya dan (3) selalu menghindar dari melakukan kerusakan dalam berbagai bentuk dan skalanya. Hal itu dapat kita baca dalam surat al Baqoroh ayat 27 yang berbunyi :

"(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang merugi."


Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu Akbar, walillahilhamd.
Kaum muslimin yang berbahagia.

Akhirnya, marilah bersama-sama kita tingkatkan keimanan, keislaman dan ketaqwaan kita. Marilah kita hilangkan sikap yang hanya mementingkan diri sendiri, sikap yang sangat merugikan bagi kita semua, sikap yang tidak peduli kepada orang lain, yang lemah yang sedang tertimpa kesusahan. Sesungguhnya, menjadi kewajiban kita semualah mewujudkan satu kehidupan damai, penuh kasih sayang, tolong menolong di antara kita kaum muslimin dan umat manusia pada umumnya. Pada pertemuan yang suci ini, marilah kita memanjatkan doa kepada Allah swt, dengan harapan perjumpaan ini membawa hikmah yang besar bagi bangkitnya semangat perjuangan dan pengorbanan kita, dengan tetap ikhlas karena Allah.


*) Khutbah Idul Adha, 10 Dhul Hijjah 1430 Hijriyah, 27 Nopember 2009

© UIN Maliki Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar