Senin, 19 April 2010

ANTARA ARTIS DAN ULAMA JADI KEPALA DAERAH

ANTARA ARTIS DAN ULAMA JADI KEPALA DAERAH
Oleh : Moh. Safrudin, S.Ag, M.PdI
(Ketua Presidium Wilayah Majelis Alumni IPNU Sultra)
Artis dan ulama’ di mata masyarakat sangat berbeda. Artis bergerak di bidang seni. Apa yang dilakukan oleh artis dirasa sebagai suatu yang indah. Nyanian seorang artis membuat telinga, dan bahkan juga mata merasa nikmat. Itulah sebabnya banyak orang menyukai artis. Tidak banyak orang bisa melakukan peran sebagai artis, apalagi artis klas tinggi. Oleh karena itu, tarif artis berkualitas umumnya mahal. Itulah sebabnya, banyak artis yang hidupnya kaya-raya, hidupnya bergelimang dengan harta.

Peran artis sebagai penghibur itu, maka kemudian aktivitasnya disebut sebagai pertunjukkan, hiburan, atau tontonan. Artinya, permainan artis memang nikmat jika ditonton. Peran artis selalu untuk hiburan dan bukan untuk yang lain. Para artis datang untuk menghibur para penonton. Maka, artis yang menarik, terkenal, pandai menghibur orang, maka mengundang banyak penonton.

Peran para artis sangat berbeda dengan peran para ulama’. Kehadiran ulama’ pada setiap waktu diperlukan, walaupun kadang mirip dengan artis. Mendengar seorang ulama kondang ke suatu acara, maka banyak orang datang. Kalau artis hadir untuk menyanyi, maka ulama datang memberikan ceramah atau pengajian. Ulama memberikan ceramah, sesekali melucu, sekedar untuk menghibur audiennya. Ada sementara ulama, dalam berceramah sangat menyejukkan, memberikan siraman rohani, sehingga disenangi banyak orang.

Ulama dan artis kadang juga didatangkan bersamaan. Biasanya artis didatangkan bersama ulama’agar pengajian yang disampaikan oleh ulama menjadi semakin ramai didatangi orang. Sebab ada juga masyarakat yang lebih menyukai artis daripada ulama’. Karena itu, agar pengajian lebih semarak, maka sekaligus didatangkan artis. Cara itu ditempuh agar orang yang menyukai artis dan sebaliknya tidak begitu menyukai ceramah ulama, sekaligus mendengarkan pengajian.

Berbeda dengan artis, yang biasa disebut sebagai tontonan, maka peran ulama adalah sebagai tuntunan masyarakat. Dua kata, yakni tontonan dan tuntunan, terbaca agak mirip, tetapi sesungguhnya keduanya sangat berbeda. Tontonan hanya akan membuat para pemirsanya senang dan terhibur. Tetapi tuntunan adalah peran sebagai pemandu arah, penunjuk jalan, penasehat ke arah kehidupan yang lebih baik, yang menyelamatkan, dan sekaligus membahagiakan. Peran ulama’ adalah sebagai tuntunan bagi masyarakat agar mereka hidup kearah kebaikan itu.

Akhir-akhir ini, terjadi hal yang aneh. Para ulama meninggalkan politik, sementara para artis justru mendekatinya. Sesuai dengan jargonnya, NU misalnya, sejak muktamar tahun 1984 di Asem Bagus, Situbondo, menyatakan kembali ke khittah 1926. NU tidak lagi ikut campur ke kancah politik. Bahkan dipertegas melalui Muktamar ke 32 di Makassar tanggal 23-28 maret 2010. Bahwa NU tidk boleh dibawa kepolitik praktis, Jika ada kyai NU ikut ambil bagian dalam gerakan politik adalah merupakan inisiatif pribadi dan tidak boleh membawa-bawa nama organisasi. Jika ada kyai yang nekat, masih aktif di politik maka harus keluar dari kepengurusan NU.

Agaknya Muhammadiyah, sebagai organisasi Islam besar di negeri ini juga mirip dengan NU. Sekalipun salah satu tokohnya diketahui oleh semua orang, sebagai pencetus atau deklarator PAN, tetapi dinyatakan bahwa secara formal tidak ada hubungan antara Muhammadiyah dan PAN. Hubungan semacam itu sama antara NU dan PKB. Gus Dur (alm) sebagai pencetus dan sekaligus ketua dewan syura PKB juga pernah menjadi ketua umum NU. Akan tetapi lagi-lagi, dikatakan bahwa antara PKB dan NU, sekalipun kebanyakan anggota NU juga anggota PKB, antara keduanya disebut tidak ada hubungan organisatoris. Jelasnya secara formal, ulama diharapkan tidak berpolitik.

Anehnya pada akhir-akhir ini, tatkala para ulama meninggalkan gelanggang politik, agar mereka lebih tekun mengurusi pendidikan, social, dan ekonomi umat, ternyata hadir pendatang baru di kancah politik, yaitu para artis. Dulu banyak orang bersorban, atau sebagai ulama, masuk menjadi anggota parlemen atau anggota DPR/DPRD. Maka, setelah ulama tidak banyak lagi yang di sana, tempat itu akhir-akhir ini digantikan oleh para artis. Akibatnya, gedung parlemen ‘banyak diisi oleh orang-orang yang semula perannya sebagai tontonan atau penghibur. Sementara ulama, yang perannya sebagai tuntunan masyarakat, tidak lagi ada lagi di sana, dengan alasan kembali ke peran aslinya.

Bahkan akhir-akhir ini, para artis di berbagai tempat, melalui pilkada ramai-ramai mengajukan diri sebagai kepala daerah. Ada di antara para artis itu bahkan diusung oleh partai politik yang berbasis agama. Fenomena seperti ini, mungkin oleh sementara orang dirasa sangat aneh. Mereka lebih menyukai dipimpin oleh para artis daripada para ulama’. Para artis itu ada yang dicalonkan sebagai gubernur, bupati, walikota atau menjadi wakilnya.

Fenomena seperti itu, memang baru-baru ini saja terjadi. Dulu pemimpin bangsa ini, kalau bukan berasal dari kalangan cendekiawan, tentara, juga dari ulama. Akhir-akhir ini saja peran kepemimpinan itu mulai bergeser pada kalangan artis. Semoga saja hal itu tidak dimaknai, bahwa tontonan akan menjadi tuntunan. Dalam alam demokrasi, memang siapapun boleh tampil menjadi pemimpin. Namun demikian pemimpin itu harusnya lebih banyak melakukan peran-peran menuntun dan bukan tontonan. Karena itu, yang lebih tepat jika para ulama atau cendekiawan mau tampil sebagai pemimpin. Sedangkan para artis kembali saja sebagai penghibur. Kedua peran itu sama-sama dibutuhkan. Sehingga dengan begitu, lebih tepat dan proporsional. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar