OLEH : MOH. SAFRUDIN, S.Ag, M.PdI
(Ketua Presidium Wilayah Majelis Alumni IPNU Sultra)
Salah satu fenomena sangat mencolok sejak era reformasi bergulir di negara kita adalah setiap warga negara merasa berhak terlibat dalam proses politik. Orang menyebutnya sebagai era demokrasi. Dampaknya luar biasa. Masyarakat merasa bebas berpolitik tanpa memperoleh tekanan sebagaimana era sebelumnya yang represif. Hak-hak individu dapat digunakan secara maksimal. Perbedaan pilihan politik menjadi hal yang biasa.
Sebagai bagian dari warga negara, para artis tak ketinggalan menggunakan hak-hak politik mereka. Hasilnya, tidak sedikit dari mereka yang berhasil menjadi kepala daerah dan anggota legislatif, baik di daerah, provinsi maupun pusat. Kendati jumlahnya tidak banyak, hal ini merupakan fenomena menarik. Sebab, para artis yang panggung kehidupanya di infotainment berganti ke panggung politik. Biasanya profesinya menghibur orang beralih ke perebutan kekuasaan. Kontras. Tapi itulah realitas saat ini.
Sebenarnya hal itu sah-sah saja. Yang jadi persoalan adalah kapasitas dan kompetensi seseorang ketika mencalonkan diri menjadi kepala daerah, bupati atau walikota. Seorang bupati atau walikota adalah pemimpin daerah yang bertanggung jawab penuh terhadap daerah yang dipimpinnya, mulai soal keamanan, pendidikan, ketersediaan lapangan kerja, ketersediaan sarana dan prasarana fisik sampai soal kesejahteraan masyarakat. Urusan demikian tidak cukup dengan modal pas-pasan, apalagi hanya karena popularitas.
Tahun 2010 ini di berbagai daerah akan dilaksanakan pemilihan kepala daerah, baik bupati maupun walikota. Tak sedikit artis yang sudah terang-terangan mencalonkan diri dan diusulkan untuk menjadi calon kepala daerah. Beberapa waktu lalu sebuah stasiun televisi swasta mengundang para artis calon kepala daerah tersebut untuk diajak berdialog tentang alasan pencalonan, visi, agenda dan peluangnya. Ada yang menjawab sama sekali tidak mengetahui mengapa dirinya dicalonkan oleh pimpinan partai politik, ada yang sangat percaya diri karena merasa memiliki kapasitas dan kompetensi untuk memimpin daerah asalnya, ada yang karena merasa terpanggil untuk memperbaiki nasib rakyat di daerah, ada yang menjawab karena dia populer.
Jika popularitas merupakan ukuran yang dipakai seseorang untuk mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi kepala daerah, maka betapa rendahnya makna seorang pemimpin. Menurut saya, pemimpin adalah seorang teladan bagi masyarakatnya dalam semua hal, seperti perilaku, ilmu, dan kehidupannya. Lebih dari itu, ia juga seorang visioner yang mampu membawa masyarakat yang dipimpinnya menjadi masyarakat yang diinginkan di masa depan. Ia mesti mempunyai prediksi dan strategi langkah yang akan dilakukan untuk menghadapi tuntutan dan tantangan zaman.
Seorang pemimpin daerah tentu dituntut menguasai kompleksitas persoalan daerah yang dipimpinnya. Tanpa itu, ia tidak akan mampu mengambil atau merumuskan strategi pemecahan masalah yang pasti tidak sedikit. Selain itu, seorang pemimpin harus mampu bertindak adil bagi masyarakatnya. Keadilan merupakan dambaan bagi setiap orang. Jika seorang pemimpin bisa bertindak adil, ia akan dikenang masyarakatnya.
Pemimpin adalah pelayan masyarakat. Karena itu, seorang pemimpin yang baik selalu berpikir bagaimana memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakatnya. bagaimana mungkin seseorang bisa menjadi pemimpin yang baik jika tidak memiliki jiwa sebagai “pelayan” atau malah selama ini dia dilayani oleh masyarakat. Dia dielu-elukan masyarakat karena popularitasnya, kepiawiannya menyanyi, kecantikan dan kemolekan tubuhnya dan sebagainya.
Yang tidak kalah pentingnya adalah pemimpin harus senantiasa berorientasi pada kebaikan rakyat yang dipimpinnya. Setiap langkahnya harus bermuara pada kebaikan tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi rakyatnya. Menurut al Qur’an, seorang pemimpin bukan hanya pintar secara akademik, tetapi juga memiliki ideologi agama yang kuat dan memberi contoh perilaku Islami kepada rakyatnya. Sebab, nilai-nilai agama yang dianut seorang pemimpin akan membentuk cara dan paradigma berpikirnya serta setiap keputusan yang akan diambil.
Jika karakteristik seorang pemimpin digambarkan seperti itu, bagaimana dengan kahadiran para artis yang mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin daerah?. Tanpa bermaksud mengurangi hak-hak politik para artis, saya sangat meragukan keberhasilan seorang pemimpin dari kalangan artis. Sebab, selama ini artis dikenal sebagai komunitas yang hidup secara ekslusif karena kemewahannya. Para artis tentu belum kenal dengan birokrasi pemerintahan yang harus dikelola sebagai seorang pemimpin. Pengalaman birokrasi pemerintahan tidak mungkin bisa diperoleh hanya dalam waktu 2 atau 3 bulan menjelang pemilihan, atau lewat membaca buku-buku pemerintahan ala kadarnya. Bayangkan apa yang akan terjadi pada masyarakat kita jika Julia Perez berhasil menjadi Bupati Pacitan, Emilia Contessa menjadi Bupati Banyuwangi, Inul menjadi Bupati Pasuruan, Ayu Azhari menjadi Bupati Tasikmalaya dan sebagainya? Bayangkan pula bagaimana mereka berdebat dengan anggota legislatif ketika membahas APBD. Kira-kira bobot sidang dengan wakil rakyat seperti apa?
Ramainya para artis mencalonkan diri menjadi kepala daerah ternyata mengusik pemerintah. Melalui Kementerian Dalam Negeri, pemerintah akan membuat peraturan menyangkut syarat-syarat seseorang mengajukan atau diajukan sebagai kepala daerah, di antaranya adalah pengalaman dan pengetahuan tentang birokrasi pemerintahan. Mudah-mudahan ketentuan itu segera keluar untuk dijadikan pedoman pencalonan menjadi kepala daerah.
Saya juga mempertanyakan tidak saja tentang kapasitas para artis, tetapi juga tentang orang atau pihak yang mencalonkannya. Dunia batin macam apa yang sesungguhnya terjadi pada pihak-pihak yang mengusung para artis tersebut. Jika pertimbangannya hanya karena para artis itu telah memiliki popularitas sehingga diharapkan mudah mendulang suara, maka betapa sederhananya kriteria atau syarat untuk menjadi pemimpin. Lebih parah lagi ketika seorang artis calon kepala daerah ditanya pengalamannya sebagai modal menjadi pemimpin, dengan polos dia menjawab “saya pernah memimpin teman-teman sekolah dengan menjadi Ketua Osis di sekolah saya”. Bayangkan seorang pemimpin daerah hanya bermodal Ketua Osis !
Jika calon pemimpin dan yang mengusungnya saja bermasalah, maka kesimpulannya kita memang sedang mengalami krisis kepemimpinan. Pertanyaan berikutnya adalah betapa mahalnya sebuah demokrasi sebagai pilihan sistem politik yang diperjuangkan. Sebab, untuk menuju ke sana tampaknya dilalui dengan pengorbanan, berupa krisis kepemimpinan. Wallahu a’lam bisshawab !
Jumat, 16 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar