Kamis, 05 Agustus 2010

FIDYAH DAN QADHA RAMADAN

OLEH mOH. SAFRUDIN
Tanya:
Saya ingin bertanya tentang rukunnya fidyah selengkapnya (bolehkah dibayarkan dengan uang dan sekaligus semuanya ke 1 orang ?). Sekarang isteri saya hamil (dari hasil USG mengandung 2 janin) masih punya utang puasa Ramadhan (tahun lalu) dan persalinannya insya Allah bulan Januari 2001. Selain fidyah sebenarnya saya ingin tahu juga tutunannya selama hamil hingga kelahirannya, apa yang perlu saya lakukan dan persiapkan (yang wajib maupun yang sunnah).
M. Yusuf Wibisono Jawab:
Pak Wibisono, mengenai cara pembayaran fidyah: fidyah boleh saja dibayar berupa uang (yang senilai dengan satu mud, atau sekitar 3/4 (tiga per empat) kg beras atau makanan pokok setempat). Dan boleh saja dibayarkan sekaligus kepada satu orang (miskin).

Adapun tuntunan yang perlu diikuti selama sang istri hamil, selain rajin-rajin mendoakan agar dikaruniai anak yang baik, saleh-salehah (sebagaimana doanya Nabi Zakaria [Ali Imran 38] "Tuhanku, karuniakanlah kepadaku keturunan yang baik. Sungguh Engkau Maha Mendengar permohonan."), ya tentu soal kesehatan si ibu, dengan mengikuti petunjuk-petunjuk dokter.

Dan saat jabang bayi lahir, disunatkan mengumandangkan azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri.

***
Selanjutnya, yang juga penting diketahui sekitar persoalan fidyah dan mengqadla' puasa adalah hal-hal berikut:

1. Dalam keadaan berpuasa seorang istri yang sedang hamil, apabila khawatir terhadap kesehatan diriya dan anak yang dikandungnya, maka diperbolehkan tidak berpuasa. Firman Allah : "Dan bagi orang yang mampu menjalankan puasa (tapi tidak menjalankannya karena merasa terlalu berat) maka wajib membayar fidyah yaitu memberi makan orang miskin." (Al-Baqarah: 184) Dan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda "Allah SWT melepaskan kewajiban shalat (pada waktunya) bagi musafir, dan melepaskan tanggungan puasa atas musafir, perempuan yang hamil, dan yang menyusui." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah, dan Baihaqi).
2. Para ulama berbeda pendapat dalam apakah perempuan yang hamil dan yang menyusui diwajibkan mengqadla' dan membayar fidyah, atau cukupkah dengan mengqadla' saja (tanpa membayar fidyah), atau sebaliknya hanya membayar fidyah saja? (Silahkan Anda memilih sendiri mana yang paling cocok dengan keadaan Anda). Pendapat pertama (Ibnu Abbas dan Ibnu 'Umar): Jika keduanya (perempuan yang hamil dan yang menyusui) mengkhawatirkan kesehatan janin dan anaknya, maka hanya diwajibkan membayar fidyah (tanpa mengqadla'). Kedua (Hanafi): Sebaliknya, keduanya hanya diwajibkan mengqadla' puasa yang diitinggalkan (tanpa membayar fidyah). Ketiga (Maliki): Orang yang hamil hanya wajib mengqadla' saja (tanpa membayar fidyah), namun orang yang menyusui diwajibkan membayar fidyah dan mengqadla. Keempat (Syafi'i dan Ahmad): keduanya hanya diwajibkan mengqadla' saja jika mengkhawatirkan kesehatan diri dan anaknya. Namun jika hanya mengkhawatirkan kesehatan anaknya saja, maka wajib mengqadla' dan membayar fidyah.
3. Mengenai mengakhirkan qadla' puasa Ramadlan hukumnya boleh-boleh saja selama tidak sampai menjelang Ramadlan berikutnya. Namun begitu, jika tidak ada halangan (seperti bepergian, bekerja keras, sakit, dan udzur-udzur lainnya), hendaknya secepatnya mengqadla'.

Adapun seperti yang dikisahkan Sayidah Aisyah bahwa kebiasaan istri-istri Rasulullah tidak segera mengqadla Ramadlan sampai datang bulan Sya'ban (HR. Muslim) itu tidak sepenuhnya bisa dijadikan landasan dalam persoalan penundaan qadla' puasa ini. Karena kebiasaan mereka (istri-istri Rasul) seperti itu hanya berdasar kekhawatiran jika sewaktu-waktu Rasulullah membutuhkan (hajat biologis) mereka. Karena mereka tidak tahu pasti kapan Rasul akan membutuhkan mereka. Mereka beri'tikad baik senantiasa menyiapkan diri kapan saja bila Rasul membutuhkan. Dan itu mesti tidak dengan melakukan puasa. Sehingga mereka baru melakukan qadla' puasa pada bulan Sya'ban, saat mana Rasul biasa berpuasa pada sebagian besar bulan Sya'ban tersebut.

Dengan demikian, seorang istri yang sudah ditinggal mati suaminya tidak perlu ikut-ikutan mengqadla' puasa sampai datangnya Sya'ban.
4. Jika belum mengqadla' sampai memasuki/menjelang Ramadlan berikutnya, hendaknya segera mengqadla' pada hari-hari yang tersisa (dari bulan Sya'ban) dan melanjutkan sisanya seusai Ramadlan. Apabila penundaan qadla' dikarenakan adanya halangan seperti sakit atau perjalanan yang berkepanjangan sampai datang bulan puasa berikutnya, para ulama sepakat bahwa qadla' bisa dilakukan seusai bulan puasa berikutnya dan tidak diwajibkan membayar fidyah. Namun bila penundaan itu dilakukannya secara sengaja (tanpa ada halangan) maka diwajibkan membayar fidyah dan mengqadla'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar