Selasa, 10 Agustus 2010

NIKMATNYA BERJUMPA BULAN RAMADHAN

oleh : Moh. safrudin, M.Pdi
Orang yang sedang menjalankan ibadah haji, disebutnya sebagai tamu Allah. Dia datang ke baitullah. Ka’bah disebut sebagai rumah Allah. Demikian pula tempat ibadah lainnya, seperti masjid. Orang menyebut masjid sebagai rumah Allah. Persoalannya, apakah sebutan rumah bisa dimaknai sebagaimana dalam pengertian sehari-hari. Tentu tidak demikian. Rumah Allah maksudnya adalah tempat di mana semua orang tatkala di tempat itu khusus hanya untuk beribadah kepada-Nya.



Demikian pula sebentar lagi, kaum muslimin juga bertamu, bukan ke Baitullah melainkan ke Bulan Ramadhan. Sebagai seorang tamu yang baik, akan menyesuaikan diri. Tamu dalam sebuah riwayat harus menyerupai mayyit. Dia diapakan saja harus mengikut. Para tamu tidak boleh mengatur pemilik rumah, tetapi sebaliknya, justru harus mengikut ketentuan apa saja yang diberlakukan oleh tuan rumahnya.



Di Bulan Ramadhan, orang-orang yang beriman diwajibkan untuk menjalankan puasa. Kewajiban itu ternyata tidak saja dibebankan kepada umat nabi Muhammad, melainkan juga kepada umat terdahulu sebelumnya. Bagi orang-orang yang beriman, tatkala memasuki Bulan ramadhan, agar disebut sebagai tamu yang baik -------tamu Bulan Ramadhan, melakukan apa saja yang diwajibkan dan juga disunnahkan. Hal itu dimaksudkan agar supaya menjadi orang yang bertaqwa.



Selain berpuasa di siang hari, di bulan Ramadhan pada malam hari dianjurkan untuk shalat malam, tadarrus al Qurán dan menjalankan jenis ibadah lainnya. Pada bulan puasa, orang dianjurkan untuk ibadah dan bernuat baik sebanyak-banyaknya. Sebaliknya, perbuatan yang merugikan orang lain, apapun bentuknya, supaya ditinggalkan.



Sebagai tamu yang baik, tentu seharusnya mengikuti apa saja yang dimaui oleh tuan rumahnya. Hal itu dilakukan agar nanti tatkala meninggalkannya, disebut sebagai tamu yang baik, ialah telah meraih derajad taqwa. Di hadapan Allah, derajat taqwa adalah paling tinggi dan mulia, jauh melebihi derajad lainnya.



Derajad taqwa terbuka luas, siapapun berpeluang mendapatkannya. Orang kaya, orang miskin, pejabat, tentara, ilmuwan, petani, pedagang, buruh, rakyat jelata dan bahkan orang yang tidak punya apa-apa pun, semuanya tanpa terkecuali bisa mendapatkannya. Derajad mulia itu, di antaranya bisa diperoleh melalui puasa di bulan Ramadhan.



Maka, menurut pandangan seperti ini, tidak selayaknya menganggap sekelompok tertentu lebih rendah dibanding kelompok lain, hanya didasarkan atas kelebihan harta, pangkat, gelar, kedudukan dan sejenisnya. Ukuran-ukuran seperti itu, memang perlu diraih, tetapi bukan yang terpenting. Apalagi yang gagal disebut sebagai berderajad rendah.



Jika ukuran keberhasilan hidup itu adalah ketaatannya dalam menjalankan ibadah puasa, dan juga amal saleh lainnya, maka bangsa Indonesia ini sesungguhnya adalah telah menjadi bangsa yang sangat beruntung. Negeri ini dihuni oleh orang yang kebanyakan beriman, menjalankan ibadah puasa, dan amal saleh lainnya. Mereka sanggup menjadi tamu terbaiknya Bulan Ramadhan, untuk meraih derajad mulia itu. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar