Tulisan ini merupakan tanggapan atas buletin Media Dakwah Muhammadiyah Cab. Langsa – Aceh; Edisi Khusus/I, Jum’at V, 9 Sya’ban 1430H
Tidak dipungkiri memang, bahwa termasuk salah satu bid’ah yang gencar dilakukan pada bulan Sya’ban ini adalah pelaksanaan Shalat Tasbih secara berjamaah pada malam Nisfu, sebagaimana telah dijelaskan hukum perayaan malam tersebut dalam Buletin At-Taqwa Edisi Khusus/I, Jum’at V, 9 Sya’ban 1430H yang lalu.
Akan tetapi, ada beberapa hal yang kami anggap sebagai suatu kekeliruan dalam buletin tersebut, dimana akibat kebencian yang begitu besarnya terhadap ritual bid’ah nisfu Sya’ban telah merambat kepada anggapan bahwa shalat tasbih juga merupakan satu ibadah yang dibuat-buat hanya karena hadits tersebut “katanya” dhaif (lemah).
Sebuah syair mengatakan:
وعين الرضا عن كل عيب كليلة * كما أن عين السخط تبدى المساويا
Pandangan simpati menutup segala cela
Sebagaimana pandangan benci menampakkan segala cacat
Dan yang mendorong tulisan ini penulis turunkan adalah kalimat (pada paragraph ketiga dari akhir) dalam buletin tersebut:
“(setelah menyebutkan hadits Abdullah bin Mubarak), Dalam matan hadits ini, yang menentukan hukum cara shalat tasbih bukan Rasulullah saw., tetapi Abdullah bin Mubarak menurut hawa nafsunya sendiri.”
Sampai pada kalimat ini, penulis terhenyuk sehingga memotivasi untuk meneliti dan mentakhrij hadits-hadits tersebut. Benarkah Abdullah bin Mubarak seorang pembuat bid’ah dan pengikut hawa nafsu (ahli bid’ah wal hawa’) ? Dan benarkah hadits shalat tasbih itu dhaif (lemah) ?
Siapa Abdullah bin Mubarak
Beliau adalah tokoh besar dari kalangan Tabi’ut Tabi’in, nama beliau adalah ‘Abdullah Ibnul Mubarak Al-Hanzhali Al-Marwazi (w. 181 H). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Beliau seorang yang tsiqah (terpercaya), tsabt (kokoh), faqih, ‘alim, dermawan, dan seorang mujahid. Terkumpul padanya (berbagai) sifat-sifat kebaikan.” Keutamaan beliau sangat terkenal dan diakui oleh para imam besar ahlul hadits, antara lain oleh Al-Imam Syu’bah, Sufyan bin ‘Uyainah, Yahya bin Ma’in, dan masih banyak lagi. [Tahdzibul Kamal fi Asmair Rijal, Abu Hajaj Yusuf al-Mizzi, Juz I hal. 274; Siyar A’lamun Nubala’, Adz-Dzahabi, Juz 8 hal. 378]
Kecakapan Abdullah bin Mubarak dalam bidang hadits tidaklah diragukan, sehingga banyak para ulama pada zamannya memuji beliau, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya “Tahdzibut Tahdzib”. Bahkan Imam Muhaditsin Muslim bin Hajaj penyusun kitab Shahih Muslim juga mengambil hadits dari beliau.
Abdullah bin Mubarak juga merupakan ulama yang sangat teliti dalam bidang hadits. Hal ini tergambar dalam ungkapannya sebagai berikut:
الإسناد عندي من الدين، لولا الإسناد لقال من شاء ما شاء، فإذا قيل له: من حدثك؟ بقي
“Sanad itu merupakan bagian dari agama. Seandainya tidak ada sanad, niscaya siapa saja akan berkata menurut apa yang dikehendakinya.” [Lihat Muqaddimah Shahih Muslim]
Nah, dari biografi beliau yang disebutkan di banyak kitab dalam bidang Rijalul Hadits, tentunya sangatlah gegabah (tasahul) dan terburu-buru (isti’jal) jika kita menuduh beliau membuat suatu bid’ah karena menuruti hawa nafsunya, terlebih lagi hanya karena perkataan beliau “Fa’ahabbu ilayya” dalam hadits yang telah disebutkan dalam buletin tersebut.
Bukankah cukup kita katakan “beliau telah keliru” dalam masalah ini (jika memang benar beliau keliru).
Benarkah Hadits Shalat Tasbih itu Dhaif ?
Dalam masalah penilaian derajat hadits Shalat Tasbih ini sebenarnya terjadi perbedaan di kalangan ulama hadits dalam menilai keshahihan hadits seputar Shalat Tasbih tersebut. Penulis menganggap hal ini penting untuk kita ketahui bersama bahwa penilaian hadits-hadits shalat tasbih tidak muthlak dhaif (lemah), akan tetapi banyak juga para muhaditsin (ulama hadits) yang menghasankan bahkan menshahihkan hadits ini.
Karena inilah, diperlukan kecermatan kita dalam memilih mana yang lebih rajih (kuat) dari salah satu pihak yang berselisihpaham itu. Atau paling tidak kita bisa lebih bijak menyikapi permasalahan seputar shalat tasbih ini.
Dalam buletin yang lalu disebutkan, bahwa ada dua hadits yang menjadi dasar pelaksanaan Shalat Tasbih, Pertama, hadits dari Abi Rafi’ yang bersumber dari Ibnu Abbas ra., dan Kedua, hadits Abdullah bin Mubarak. [Sunan at-Tirmidzi Jilid 1 hal. 300]
Nah, sebenarnya hadits dalam masalah ini sangat banyak, sebagaimana disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani mengomentari hadits dari Ibnu Abbas ra. dari jalur Ikrimah, tentang tatacara shalat tasbih ini. Dengan katanya:
وقد روى من طرق كثيرة وعن جماعة من الصحابة
“Dan sungguh (hadits tersebut) telah diriwayatkan dari banyak jalur, dari para sahabat.” [Shahih Targhib wa Tarhib, Muhammad Nasiruddin al-Albani, 1/277, Cet. Al-Ma’arif, Riyadh]
Sehingga pernyataan redaktur dalam buletin tersebut bahwa hadits tentang Shalat Tasbih itu hanya ada pada 2 kitab kutubussittah yakni sunan at-Tirmidzi dan sunan Ibnu Majah, ini adalah keliru –jika tidak ingin dikatakan salah-.
Hadits dalam masalah ini disebutkan dalam banyak tempat; Sunan Abu Daud 2/29 no.1297, Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya 2/223-224 no.1216, Ibnu Majah 2/158-159 no.1387, dan Al-Hakim 1/627-628 no.1233-1234, al-Baihaqy 3/51-52, Ath-Thobrany 11/194-195 no.11622, dan Ad-Daruquthny 1/325 no.58.
Dalam Sunan Abu Daud saja disebutkan ada 3 (tiga) jalur periwayatan; dari jalur Ibnu Abbas ra., Abdullah bin ‘Umar dan dari jalur al-Anshari.
Imam Muslim berkomentar terhadap salah satu hadits Shalat Tasbih, yakni hadits yang berasal dari jalur Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas ra. tersebut, dengan mengatakan:
لا يروى في هذا الحديث إسناد أحسن من هذا
“Saya tidak melihat sanad hadits yang lebih baik dari hadits ini” [Lihat at-Tarjih li Hadits Shalatit Tasbih, Muhammad Nasiruddin ad-Dimsyaqi, hal 41; al-Irsyad, al-Khalily, 1/327]
Imam Bukhari walaupun tidak menyebutkan hadits Shalat Tasbih ini dalam shahihnya, namun menyebutkannya dalam kitabnya “Qira’atul Makmum Khalfal Imam” dan mengisyaratkan keshahihannya.
Ulama hadits abad ini, Syeikh Muhammad Nasiruddin al-Albani dalam kitabnya “Shahih at-Targhib wat Tarhib” Juz I hal 425 telah menjelaskan keshahihan hadits Ibnu Abbas ra., tentang shalat tasbih ini dan menyebutkan hadits-hadits yang menjadi syawahid (pendukung) hadits tersebut. [Karena khawatir panjangnya pembahasan ini, maka tidak kami turunkan dalam tulisan ini. Lihat juga “al-Atsarul Marfu’ah fi Akhbaril Maudhu’ah, Abdul Hayyi al-Laknawi, hal 96]
Adapun klaim bahwa hadits-hadits shalat tasbih itu mudhtharib fil matan, ini patut dikaji-ulang, dan dipertanyakan dimana pertentangannya?
Kalau kita ingin mencermati sebenarnya hadits yang disebutkan dalam buletin tersebut (hadits pertama dan kedua) adalah saling menguatkan. Dan jika dua hadits atau lebih saling menguatkan, sudah barang tentu derajatnya akan naik, dari Dhaif menjadi Hasan li ghairi hingga Shahih li ghairi.
Ok lah, jika kita masih berkeras menganggap hadits-hadits yang ada itu bertolak belakang, sehingga timbul pertanyaan ‘Mungkinkah Rasulullah saw., itu melahirkan shalat dengan dua model yang saling bertolak belakang?’
Penulis menjawab, “Mungkin saja, tidak hanya dua model bahkan bisa lebih”. Contohnya, terkadang Rasulullah saw., bertakbir dengan mengangkat tangan sejajar bahu, dan terkadang sejajar telinga. [Lihat Shohih Bukhari dan Muslim]. Dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Inilah yang sering kita sebut dengan “Tanawu’ fi sunnah” (keragaman dalam sunnah).
Kemudian, redaktur buletin mengklaim bahwa perkataan Ibnul Mubarak “Fa’ahabbu ilayya” sebagai suatu bentuk pengadaan terhadap sesuatu yang baru, tentunya ini juga patut dipertanyakan. Bukankah dalam kitab al-Umm Imam Asy-Syafi’i juga sering bahkan seluruh kitabnya tersebar kalimat seperti itu?
Abdullah bin Mubarak ra., menganggap disukainya jika shalat tasbih pada malam hari dengan 2 (dua) kali salam adalah berdasarkan kepada hadits;
أن رجلا سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صلاة الليل، فقال رسول الله عليه السلام: صلاة الليل مثنى مثنى
Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw. tentang shalat malam, Rasulullah saw. menjawab, “Shalat malam itu dua-dua”. [HR. Bukhari dalam Shahihnya kitab Shalat Witir no. 946]. Jadi bukanlah perkataan Ibnul Mubarak itu karena menuruti hawa nafsunya tetapi karena mengikuti hadits Nabi saw. tersebut.
Terakhir yang menjadi alasan redaktur mendhaifkan hadits shalat tasbih adalah pahala yang begitu besarnya bagi orang yang melakukan shalat ini. Maka penulis menjawab bahwa jika hadits itu shahih atau hasan, kenapa tidak mungkin? Contohnya hadits;
كلمتان خفيفتان على اللسان ، ثقيلتان في الميزان ، حبيبتان إلى الرحمن : سبحان الله وبحمده سبحان الله العظيم
“Dua kalimat yang ringan di lidah, tapi berat di mizan (timbangan) dan dicintai oleh ar-rahman (Allah), yakni Subhanallahi wabihamdihi; subhanallahil’adzim.” [Lihat Shahih Bukhari dan Shahih Muslim]
Siapa dari kita yang berani mengatakan bahwa hadits ini dhaif (lemah), karena pahalanya begitu besar hanya dengan mengucapkan dua kalimat tersebut ? dan masih banyak lagi contoh yang tidak mungkin penulis suguhkan dalam tulisan singkat ini.
Kesimpulan
Sebagai akhir dari pembahasan yang sangat singkat ini, kita dapat menyimpulkan bahwa tidak hanya dalam bidang fiqh terjadi ikhtilaf (perbedaan) akan tetapi para ulama hadits juga tidak lepas dari perbedaan penilaian terhadap satu hadits. Karenanya hal yang paling pokok harus dilakukan oleh seorang muslim adalah memilih mana dari pendapat tersebut yang paling kuat (rajih) untuk kemudian diikuti dan diamalkan sehingga kita memiliki landasan berpijak yang kokoh.
Kita menyadari bahwa perayaan nisfu sya’ban dan mengkhususkannya dengan melakukan shalat tasbih adalah bid’ah mungkarah, namun janganlah serta merta kita menganggap shalat tasbih sebagai suatu bid’ah pula. Seperti kita sadari bahwa Qunut pada shalat Subuh itu bid’ah, sehingga kita menganggap Qunut pada shalat Tarawih malam pertengahan akhir ramadhan-pun kita anggap bid’ah pula.
Mudah-mudahan tulisan ini menjadi pencerahan bagi kita, dan tulisan ini bukanlah sebuah legitimasi atas perayaan Nisfu Sya’ban dengan shalat Tasbih berjamaah, karena hal itu telah jelas kebid’ahannya. Wallahu a’lam.
Abu Aqil al-Atsyari (Langsa-Aceh)
Senin, 23 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar