TUTUP TAHUN DENGAN SEGUDANG MASALAH
OLEH : MOH.SAFRUDIN
Umpama bangsa ini hanya menghadapi persoalan nyata, seperti peningkatan taraf hidup ekonomi rakyat, peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan, meningkatkan layanan kesehatan, penyediaan fasilitas perumahan, memperluas lapangan pekerjaan, pengentasan kemiskinan dan seterusnya, kiranya tidak terlalu berat. Seberat apapun, hitung-hitung persoalan tersebut masih bisa diatasi.
Gambaran optimis seperti itu cukup beralasan. Bangsa ini sesungguhnya kaya sumber daya alam sekaligus juga sumber daya manusia. Bangsa ini memiliki kekayaan alam yang luar biasa banyaknya. Kekayaan itu bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan rakyatnya. Apalagi, -----tidak sebagaimana dahulu, sekarang bangsa ini sudah memiliki SDM yang cukup banyak jumlahnya dan kualitasnya lumayan baik.
Akan tetapi sayangnya, bangsa ini tidak saja harus menghadapi persoalan sebagaimana dikemukakan di muka, melainkan juga harus menyelesaikan persoalan-persoalan berat yang datangnya mendadak dan tidak terduga sebelumnya. Penyelesaiannya pun juga tidak mudah dan ringan. Bahkan beban itu terlalu berat untuk diselesaikan secara cepat dan hingga tuntas. Persoalan itu datang silih berganti, seolah-olah tidak mau berhenti.
Dimulai sejak sekitar lima tahun lahu, bangsa ini mendapatkan berbagai musibah, yang datang silih berganti. Diawali dari terjadinya gempa bumi dan tsunami di Aceh, kemudian disusul oleh gempa bumi di Pulau Nias dan sekitarnya, lalu disambung oleh gempa bumi lagi yang cukup dahsyat di Yogyakarta. Tiga kali gempa bumi di tiga wilayah yang berbeda itu menelan korban manusia ratusan ribu orang jumlahnya, dan memporak-porandakan fasilitas kehidupan yang luar biasa banyaknya. Perkantoran, rumah penduduk, sarana dan prasarana kehidupan penduduk hancur dan bahkan musnah. Untuk memperbaiki kembali semua itu memerlukan dana, tenaga, dan waktu yang tidak sedikit.
Belum selesai sepenuhnya menanggulangi korban itu, datang lagi musibah berikutnya. Di beberapa tempat terjadi gunung meletus, banjir, t ingkatnya, bangsa ini sejak beberapa tahun terakhir seperti tidak pernah sepi dari musibah.
Bagi orang yang percaya terhadap kekuatan di atas sana, berusaha melakukan perenungan mendalam, untuk mencari tahu apa sesungguhnya yang sedang terjadi pada bangsa ini. Apakah musibah demi musibah yang datang silih berganti itu merupakan ujian atau bala’ karena kesalahan kolektif selama ini. Jika kesalahan itu karena kurang bersyukur, siapa yang sesungguhnya masih kufur nikmat selama ini. Jika hal itu disebabkan karena kurang adil dan jujur, siapa sesungguhnya yang teraniaya selama ini. Perenungan seperti itu, tentu tidak salah. Sebagai makhluk yang selalu ingin mendapatkan penjelasan tentang apa yang sesungguhnya sedang terjadi, maka wajar melakukan hal seperti itu. Persoalan yang tidak berhasil dijawab secara rasional, akhirnya akan dicari jawabannya dari sudut yang lain.
Musibah-musibah itu sampai hari ini ternyata masih belum mau berhenti. Banyak orang merasa optimis, tatkala presiden dipilih secara demokratis dan kemudian dilantik, akan segera bisa menunaikan tugas, menyelesaikan persoalan yang ditunggu-tunggu oleh rakyat. Optimisme muncul di mana-mana, bahwa bangsa ini akan segera memulai babak baru, menatap masa depan yang lebih mantap. Ternyata, secara mendadak masih dikejutkan oleh musibah serupa, yaitu gempa bumi di Padang dan sekitarnya. Lagi-lagi ratusan orang meninggal, dan berbagai jenis bangunan dan sarana prasarana kehidupan hancur.
Akhir-akhir ini musibah dalam bentuknya yang baru datang, yaitu berupa konflik antar elite. Diawali dengan konflik antara KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian. Konflik itu oleh sementara masyarakat digambarkan dalam bentuk metafora perseteruan antara cicak dan buaya. Metafora seperti itu justru menambah gizi kekuatan perlawanan dari masing-masing pihak. Masyarakat luas pun ikut memihak dan ambil bagian. Akhirnya, sampai-sampai presiden pun dituntut untuk ikut menyelesaikannya. Energi Para pemimpin bangsa terserap pada persoalan itu. Padahal, persoalan bangsa yang lebih besar, yakni terkait kehidupan 230 juta penduduk memerlukan perhatian yang lebih serius.
Aneh tetapi memang nyata, masalah baru lainnya muncul, tidak saja menimpa kaum elite, tetapi juga terjadi pada orang biasa, ------kalau tidak saya sebut orang kecil. Namun demikian, masalah itu memiliki resonansi yang luas. Masalah itu di antaranya terkait kasus Prita yang diajukan ke pengadilan dan akhirnya harus membayar denda hingga 204 juta. Sebuah keputusan pengadilan yang dipandang tidak masuk akal, sehingga mendatangkan simpatik yang luar biasa dari masyarakat luas.
Kasus serupa, telah terjadi peristiwa pengadilan aneh dan terdengar lucu. Seorang yang hanya mengambil tiga biji kakau, diadili dan dihukum. Ada pula orang yang mengambil sisa-sisa kapuk yang tidak seberapa jumlahnya, kemudian diajukan ke sidang pengadilan. Bahkan, di Kediri Jawa Timur, ada dua orang mengambil sebutir semangka, seharga 20 ribu rupiah, ditangkap dan diadili sebagaimana mengadili koruptor kelas kakap. Semua itu mengundang reaksi keras masyarakat luas sebagai tanda bahwa kebutuhan rasa keadilannya tidak terpenuhi.
Masalah lainnya lagi adalah penyelesaian Bank Century. Persoalan ini lebih ramai lagi. Banyak pihak ikut ambil bagian menyelesaikannya, mulai dari DPR yang telah mengajukan hak angket, BPK yang lebih dahulu mengambil inisiatif melakukan pemeriksaan. Selanjutnya, KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan, semuanya berusaha mencari keterangan dan format penyelesaian. Bahkan, akhirnya Presiden sekalipun, terbawa ikut ambil bagian menyelesaikannya. Dengan demikian, semua pihak, seolah-olah perhatiannya pada persoalan Bank Century. Berbagai persoalan besar -------sekali lagi, menyangkut 230 juta penduduk seolah-olah terkesampingkan oleh berita tentang Prita, pencuri kakau, kapuk, semangka, dan perseteruan KPK, Kepolisian, dan kejaksaan serta Bank Century.
Bahkan, persoalan Bank Century ini, rupanya belum ada gambaran segera berakhir. Bahkan semakin ramai dengan berbagai polemik, misalnya antara Menteri Keuangan dengan Pansus Hak Angket DPR dan bahkan juga antara Menteri Keuangan dengan Ketua Golkar. Perdebatan, perselisihan, dan bahkan juga perseteruan mungkin akan terus terjadi. Semua pihak ingin mendapatkan penyelesaian, dan sudah barang tentu, tidak akan ada pihak manapun yang mau disalahkan dari terjadinya kasus tersebut.
Rakyat yang berjumlah tidak kurang dari 230 juta jiwa tatkala menyaksikan para elite terbelenggu oleh berbagai masalah tersebut tidak akan tenang. Pasca Pemilu, baik pemilu legislative maupun pemilu presiden, rakyat berharap agar janji-janji mereka di masa kampanye segera dapat direalisasikan, dan bukannya ingin melihat berbagai masalah yang tidak kunjung selesai. Bangsa ini tidak menghendaki selalu saja kaya masalah, melainkan segera berhasil menyelesaikannya dan meraih apa yang dicita-citakan, yaitu masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Cita-cita masyarakat yang mulia itu, hanya akan dapat diraih manakala para elitenya bersatu. Sebab hanya dengan modal itulah, maka amanah yang diemban bersama dapat ditunaikan secara maksimal. Maka, semogalah semua pihak segera sadar, bahwa yang diperlukan oleh bangsa ini adalah kebersamaan, saling mempercayai, bahu membahu, dan bukan sekedar berhasil menemukan kesalahan pihak-pihak lain. Dengan pandangan itu ke depan, bangsa ini diharapkan tidak lagi kaya masalah, melainkan kaya yang sebenarnya, yaitu kaya pikiran, hati, dan amal shaleh. Wallahu a’lam.
Di tulis Oleh Moh. Safrudin, S.Ag,M.PdI adalah, Staf pengajar MAN 1 Kendari Dosen STIK Avicenna Kendari, Ketua Presidum Wilyah Majelis Alumni IPNU sultra, peneliti sangia institute Sulawesi Tenggara. Moh.safrudin@yahoo.com
Minggu, 27 Desember 2009
Rabu, 23 Desember 2009
TAWASUL BUKANKAH TERMASUK SYIRIK
Seorang pembaca NU Online menanyakan fasal tentang tawassul atau mendoakan melalui perantara orang yang sudah meninggal. "Apakah bertawasul/berdo'a dengan perantaraan orang yang sudah mati hukumnya haram atau termasuk syirik karena sudah meminta kepada sang mati (lewat perantaraan)? Saya gelisah, karena amalan ini banyak dilakukan oleh masyarakat di Indonesia. Apalagi dilakukan sebelum bulan Ramadhan dengan mengunjungi makam-makam wali dan lain-lain sehingga untuk mendo'akan orang tua kita yang sudah meninggal pun seakan terlupakan," katanya.
Perlu kami jelaskan kembali bahwa tawassul secara bahasa artinya perantara dan mendekatkan diri. Disebutkan dalam firman Allah SWT:
يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, " (Al-Maidah:35).
Pengertian tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat muslim selama ini bahwa tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah SWT. Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa.
Banyak sekali cara untuk berdoa agar dikabulkan oleh Allah SWT, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan didahului bacaan alhamdulillah dan shalawat dan meminta doa kepada orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar doa yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah SWT . Dengan demikian, tawasul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan
Para ulama sepakat memperbolehkan tawassul kepada Allah SWT dengan perantaraan amal sholeh, sebagaimana orang melaksanakan sholat, puasa dan membaca Al-Qur’an. Seperti hadis yang sangat populer diriwayatkan dalam hadits sahih yang menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua, yang pertama bertawassul kepada Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang tuanya; yang kedua bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu menjahui perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya; dan yang ketiga bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang mampu menjaga amanat terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.
Adapun yang menjadi perbedaan di kalangan ulama adalah bagaimana hukumnya bertawassul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai martabat dan derajat tinggi di mata Allah SWT. Sebagaimana ketika seseorang mengatakan: “Ya Allah SWT aku bertawassul kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammmad SAW atau Abu Bakar atau Umar dll”. Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini.
Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi kalau dikaji secara lebih detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan lahiriyah bukan perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawassul kepada dzat (entitas seseorang), adalah tawassul pada amal perbuatannya, sehingga masuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh ulama’. Pendapat ini berargumen dengan prilaku (atsar) sahabat Nabi SAW:
عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ إِنَّ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ كَانَ إِذَا قَحَطُوْا اسْتَسْقَى بِالعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَلِّبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إَلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتُسْقِيْنَا وَإِنَّا نَنَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَافَيَسْقُوْنَ. أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1 ص:137
“Dari Anas bin malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Umar berkata: "Ya Allah, kami telah bertawassul dengan Nabi kami SAW dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawassul dengan Paman Nabi kita SAW, maka turunkanlah hujan..”. maka hujanpun turun.” (HR. Bukhori)
Imam Syaukani mengatakan bahwa tawassul kepada Nabi Muhammad SAW ataupun kepada yang lain (orang shaleh), baik pada masa hidupnya maupun setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para sahabat. "Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah SWT yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi hamba yang shalih, hidup atau mati tak membedakan atau membatasi kekuasaan Allah SWT, karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat."
Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah SWT menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang dicintai-Nya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut. Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah SWT bisa memberi manfaat dan madlarat kepadanya. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlarat, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlarat sesungguhnya hanyalah Allah SWT semata.
Jadi kami tegaskan kembali bahwa sejatinya tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Tawassul hanyalah merupakan pintu dan perantara dalam berdoa untuk menuju Allah SWT. Maka tawassul bukanlah termasuk syirik karena orang yang bertawasul meyakini bahwa hanya Allah-lah yang akan mengabulkan semua doa. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Perlu kami jelaskan kembali bahwa tawassul secara bahasa artinya perantara dan mendekatkan diri. Disebutkan dalam firman Allah SWT:
يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, " (Al-Maidah:35).
Pengertian tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat muslim selama ini bahwa tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah SWT. Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa.
Banyak sekali cara untuk berdoa agar dikabulkan oleh Allah SWT, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan didahului bacaan alhamdulillah dan shalawat dan meminta doa kepada orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar doa yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah SWT . Dengan demikian, tawasul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan
Para ulama sepakat memperbolehkan tawassul kepada Allah SWT dengan perantaraan amal sholeh, sebagaimana orang melaksanakan sholat, puasa dan membaca Al-Qur’an. Seperti hadis yang sangat populer diriwayatkan dalam hadits sahih yang menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua, yang pertama bertawassul kepada Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang tuanya; yang kedua bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu menjahui perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya; dan yang ketiga bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang mampu menjaga amanat terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.
Adapun yang menjadi perbedaan di kalangan ulama adalah bagaimana hukumnya bertawassul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai martabat dan derajat tinggi di mata Allah SWT. Sebagaimana ketika seseorang mengatakan: “Ya Allah SWT aku bertawassul kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammmad SAW atau Abu Bakar atau Umar dll”. Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini.
Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi kalau dikaji secara lebih detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan lahiriyah bukan perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawassul kepada dzat (entitas seseorang), adalah tawassul pada amal perbuatannya, sehingga masuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh ulama’. Pendapat ini berargumen dengan prilaku (atsar) sahabat Nabi SAW:
عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ إِنَّ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ كَانَ إِذَا قَحَطُوْا اسْتَسْقَى بِالعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَلِّبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إَلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتُسْقِيْنَا وَإِنَّا نَنَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَافَيَسْقُوْنَ. أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1 ص:137
“Dari Anas bin malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Umar berkata: "Ya Allah, kami telah bertawassul dengan Nabi kami SAW dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawassul dengan Paman Nabi kita SAW, maka turunkanlah hujan..”. maka hujanpun turun.” (HR. Bukhori)
Imam Syaukani mengatakan bahwa tawassul kepada Nabi Muhammad SAW ataupun kepada yang lain (orang shaleh), baik pada masa hidupnya maupun setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para sahabat. "Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah SWT yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi hamba yang shalih, hidup atau mati tak membedakan atau membatasi kekuasaan Allah SWT, karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat."
Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah SWT menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang dicintai-Nya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut. Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah SWT bisa memberi manfaat dan madlarat kepadanya. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlarat, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlarat sesungguhnya hanyalah Allah SWT semata.
Jadi kami tegaskan kembali bahwa sejatinya tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Tawassul hanyalah merupakan pintu dan perantara dalam berdoa untuk menuju Allah SWT. Maka tawassul bukanlah termasuk syirik karena orang yang bertawasul meyakini bahwa hanya Allah-lah yang akan mengabulkan semua doa. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Senin, 21 Desember 2009
MULIAKAN KAUM IBU
OLEH: MOH. SAFRUDIN
Hari ini, tanggal 22 Desember, dikenal sebagai hari ibu. Rasanya memang tepat, kaum ibu mendapatkan perhatian secara khusus oleh semuanya saja. Ibu harus dihormati dan diposisikan pada tempat yang mulia. Agama juga mengajarkan hal yang demikian itu. Sampai ada hadits nabi, yang mengatakan bahwa sorga berada di bawah telapak kaki ibu.
Sedemikian penting posisi ibu atau kaum wanita, sampai al Qurán menggunakan kata an-Nisa’ sebagai nama salah satu surat dalam al Qurán. Surat dalam al Qurán yang cukup panjang itu diletakkan setelah surat Ali Imran. Keluarga Imran di dalam kisahnya digambarkan sebagai keluarga yang ideal.
Posisi surat an-nisa’, yang diletakkan setelah surat Ali Imran, membawa pikiran saya pada sebuah pemahaman bahwa kunci daripada kehidupan ideal, adalah justru tergantung dari para kaum ibu. Jika suatu keluarga terdapat ibu yang sholekhah, maka keluarga itu akan menjadi ideal. Demikian pula, bangsa atau Negara, akan menjadi ideal manakala kaum ibu, perempuan, dan atau wanitanya terdiri atas wanita-wanita yang sholekhah. Dan begitu juga, tentu sebaliknya.
Saya lebih mantap lagi dengan pikiran tersebut, tatkala mengingat hadits nabi yang mengatakan bahwa wanita itu bagaikan madrasah, atau sekolah. Jika sekolahnya baik, maka murid-muridnya akan baik. Dan jika murid-muridnya baik, maka lulusannya pun juga akan menjadi baik. Demikian strategis posisi wanita, sehingga diumpamakan sebagai sebuah sekolah. Artinya, posisi wanita di tengah-tengah keluarga, masyarakat, dan bahkan bangsa dan negara selalu menjadi penentu bagi semuanya.
Posisi mulia dari kaum ibu juga digambarkan dalam hadits yang lain. Tatkala seseorang datang kepada nabi, dan menanyakan tentang siapa yang seharusnya lebih utama dihormati atau dimuliakan, maka secara spontan dijawab oleh nabi, ialah ibumu. Pertanyaan itu diulang hingga tiga kali, tetapi dijawab oleh nabi dengan jawaban yang sama. Baru setelah diulang yang ke empat kalinya, maka jawaban itu berubah, yaitu ayahmu. Posisi ayah, berdasarkan hadits ini ternyata jauh di belakang dari posisi ibu tentang kemuliaannya.
Posisi strategis ibu atau kaum wanita juga bisa dilihat dari dua kisah yang berbeda sebagai berikut. Firáun dikenal sebagai orang yang paling sombong dan bahkan, kisah tentang kekejamannya itu diabadikan dalam al Qurán. Apa saja dilakukan olehnya, sekalipun mencelakakan orang lain. Akan tetapi, karena Firáun memiliki isteri yang baik akhlaknya, maka sejahat Firáun pun, Nabi Musa masih selamat dari keganasannya itu.
Sebaliknya, adalah Nabi Luth. Dalam sejarahnya, seorang rasul yang sholeh ini, karena memiliki isteri yang buruk akhlaknya, maka maka tidak saja keluarganya yang jatuh rusak, dan bahkan ummatnya sekalipun menjadi durhaka. Sampai-sampai Tuhan pun memberikan hukuman yang amat berat terhadap kaum nabi Luth.
Ajaran Rasulullah, Muhammad saw., dan juga dua kisah tersebut di muka menggambarkan betapa sesungguhnya peran strategis kaum ibu. Mereka ternyata menjadi kunci atau penentu baik dan atau buruknya sebuah keluarga, masyarakat, dan bahkan suatu bangsa. Semoga pada hari ibu ini, kita bisa memuliakannya. Hadits nabi yang sangat popular juga mengatakan bahwa, sebaik-baik suami adalah suami yang bisa menghormati dan memuliakan isterinya. Selamat hari ibu, dan semoga para ibu selalu memahami bahwa posisinya sedemikian strategis itu. Wallahu a’lam.
Di tulis Oleh Moh. Safrudin, S.Ag,M.PdI adalah, Staf pengajar MAN 1 Kendari Dosen STIK Avicenna Kendari, Ketua Presidum Wilyah Majelis Alumni IPNU sultra, peneliti sangia institute Sulawesi Tenggara. Moh.safrudin@yahoo.com
Hari ini, tanggal 22 Desember, dikenal sebagai hari ibu. Rasanya memang tepat, kaum ibu mendapatkan perhatian secara khusus oleh semuanya saja. Ibu harus dihormati dan diposisikan pada tempat yang mulia. Agama juga mengajarkan hal yang demikian itu. Sampai ada hadits nabi, yang mengatakan bahwa sorga berada di bawah telapak kaki ibu.
Sedemikian penting posisi ibu atau kaum wanita, sampai al Qurán menggunakan kata an-Nisa’ sebagai nama salah satu surat dalam al Qurán. Surat dalam al Qurán yang cukup panjang itu diletakkan setelah surat Ali Imran. Keluarga Imran di dalam kisahnya digambarkan sebagai keluarga yang ideal.
Posisi surat an-nisa’, yang diletakkan setelah surat Ali Imran, membawa pikiran saya pada sebuah pemahaman bahwa kunci daripada kehidupan ideal, adalah justru tergantung dari para kaum ibu. Jika suatu keluarga terdapat ibu yang sholekhah, maka keluarga itu akan menjadi ideal. Demikian pula, bangsa atau Negara, akan menjadi ideal manakala kaum ibu, perempuan, dan atau wanitanya terdiri atas wanita-wanita yang sholekhah. Dan begitu juga, tentu sebaliknya.
Saya lebih mantap lagi dengan pikiran tersebut, tatkala mengingat hadits nabi yang mengatakan bahwa wanita itu bagaikan madrasah, atau sekolah. Jika sekolahnya baik, maka murid-muridnya akan baik. Dan jika murid-muridnya baik, maka lulusannya pun juga akan menjadi baik. Demikian strategis posisi wanita, sehingga diumpamakan sebagai sebuah sekolah. Artinya, posisi wanita di tengah-tengah keluarga, masyarakat, dan bahkan bangsa dan negara selalu menjadi penentu bagi semuanya.
Posisi mulia dari kaum ibu juga digambarkan dalam hadits yang lain. Tatkala seseorang datang kepada nabi, dan menanyakan tentang siapa yang seharusnya lebih utama dihormati atau dimuliakan, maka secara spontan dijawab oleh nabi, ialah ibumu. Pertanyaan itu diulang hingga tiga kali, tetapi dijawab oleh nabi dengan jawaban yang sama. Baru setelah diulang yang ke empat kalinya, maka jawaban itu berubah, yaitu ayahmu. Posisi ayah, berdasarkan hadits ini ternyata jauh di belakang dari posisi ibu tentang kemuliaannya.
Posisi strategis ibu atau kaum wanita juga bisa dilihat dari dua kisah yang berbeda sebagai berikut. Firáun dikenal sebagai orang yang paling sombong dan bahkan, kisah tentang kekejamannya itu diabadikan dalam al Qurán. Apa saja dilakukan olehnya, sekalipun mencelakakan orang lain. Akan tetapi, karena Firáun memiliki isteri yang baik akhlaknya, maka sejahat Firáun pun, Nabi Musa masih selamat dari keganasannya itu.
Sebaliknya, adalah Nabi Luth. Dalam sejarahnya, seorang rasul yang sholeh ini, karena memiliki isteri yang buruk akhlaknya, maka maka tidak saja keluarganya yang jatuh rusak, dan bahkan ummatnya sekalipun menjadi durhaka. Sampai-sampai Tuhan pun memberikan hukuman yang amat berat terhadap kaum nabi Luth.
Ajaran Rasulullah, Muhammad saw., dan juga dua kisah tersebut di muka menggambarkan betapa sesungguhnya peran strategis kaum ibu. Mereka ternyata menjadi kunci atau penentu baik dan atau buruknya sebuah keluarga, masyarakat, dan bahkan suatu bangsa. Semoga pada hari ibu ini, kita bisa memuliakannya. Hadits nabi yang sangat popular juga mengatakan bahwa, sebaik-baik suami adalah suami yang bisa menghormati dan memuliakan isterinya. Selamat hari ibu, dan semoga para ibu selalu memahami bahwa posisinya sedemikian strategis itu. Wallahu a’lam.
Di tulis Oleh Moh. Safrudin, S.Ag,M.PdI adalah, Staf pengajar MAN 1 Kendari Dosen STIK Avicenna Kendari, Ketua Presidum Wilyah Majelis Alumni IPNU sultra, peneliti sangia institute Sulawesi Tenggara. Moh.safrudin@yahoo.com
Jumat, 18 Desember 2009
POLITISI KETOK MEJIC
DI Jakarta dan sekitarnya pernah bermunculan bengkel mobil dengan papan nama: ketok magic.Biasanya ruang praktiknya tertutup, tidak menunjukkan bengkel yang bekerja secara transparan dan profesional.
Katanya, bengkel ketok magic ini bisa memperbaiki mobil yang penyok sehabis tertabrak atau menabrak, diselesaikan dalam waktu cepat,dengan menggunakan tenaga dalam yang pemilik mobil tidak boleh melihat prosesnya. Bengkel ini pernah menjamur, tetapi lama-lama berguguran karena tidak mampu menunjukkan bukti hasil sebagaimana yang diiklankan. Anehnya banyak pemilik mobil tertarik mencobanya karena tak ada salahnya mencoba. Lebih dari itu masyarakat kita memang senang terhadap hal-hal magicyang sulit dicerna nalar sehat.
Negara Ibarat Mobil
Sekali-sekali mari menganalogikan negara dengan mobil.Fungsi utamanya mengangkut penumpang dan barang dengan nyaman dan aman sampai ke tujuan. Kemudian, bagaimana kalau negara atau pemerintahan ini ibarat mobil yang penyok-penyok dan berbagai ragam onderdilnya rusak, aus, dan kendur sehingga jalannya sempoyongan dan membahayakan penumpang?
Tidak usah khawatir, di negeri ini banyak politisi ketok magic. Banyak politisi yang murah janji bisa membereskan berbagai problem bangsa. Bahkan sekarang ini ditambahi lagi dengan sumpah kalau ada masyarakat yang tidak percaya akan kompetensi dan akuntabilitas kerjanya. Lihat dan perhatikan saja setiap menjelang pilkada dan pemilu, semua calon menawarkan janji untuk mengubah bangsa ini menjadi maju, ekonomi membaik, keamanan stabil, pendidikan gratis, korupsi hilang, dan sekian janjijanji lain kalau saja nantinya terpilih. Namun kultur budaya kita ini memang unik.
Meski papan namanya Indonesia adalah negara modern yang menjunjung tinggi asas demokrasi dan keterbukaan,mental tradisional yang bersifat feodalistis dan senang pada wangsit masih berkembang subur dalam masyarakat. Seperti bengkel ketok magic, ketika dihadapkan pada sekian banyak problem dan skandal kasus dalam kehidupan bernegara, penyelesaiannya sering tertutup, diselesaikan di belakang tembok. Rakyat tidak perlu tahu prosesnya. Cukup disuguhi laporan akhir yang menyatakan beres, tak ada masalah. Ibarat mobil, dari wajah luar sudah mulus dan pelanggan menganggapnya sudah selesai semua, mobil tinggal jalan kembali.
Namun,menurut beberapa cerita, yang namanya bengkel ketok magicitu pada kenyataannya tidak sehebat iklannya. Keberhasilannya hanya bersifat sesaat. Mereka menggunakan peralatan dan pendekatan tertentu dalam memperbaiki mobil, tetapi tetap tidak secanggih bengkel-bengkel yang profesional dan prosesnya transparan di mana pemilik mobil bebas untuk melihat prosesnya. Karena hasilnya tidak bagus dan kalah dari bengkel profesional,sekarang bengkel ketok magic semakin tidak populer.Kepercayaan masyarakat menurun. Maaf, rasanya memang keterlaluan kalau politisi kita diibaratkan bengkel ketok magic.
Namun ada juga benarnya karena beberapa alasan.Pertama,ibarat mobil, bentuk,sistem,dan mekanisme pemerintahan kita sudah masuk pada era modern,tetapi pendekatannya masih tradisional. Pendekatan perkoncoan, pertimbangan suku dan profesi keagamaan masih menjadi pertimbangan dalam proses politik untuk menduduki sebuah jabatan politik yang memerlukan kompetensi, bukan sekadar popularitas dan perkoncoan. Kedua, mekanisme penyelesaian masalah di berbagai tingkatan cenderung tertutup dan tidak rasional. Bahkan para makelar kasus (markus) dan makelar jabatan (marjab) tetap berkeliaran.
Yang namanya promosi jabatan dan penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) selalu terjadi penyimpangan. Adalah rahasia umum bahwa untuk bisa lulus CPNS seseorang mesti membayar jutaan rupiah. Ketiga, karena penyelesaiannya hanya di permukaan, suatu saat persoalan serupa atau lebih besar lagi akan muncul.Keempat, ibarat bengkel ketok magic,dalam rekrutmen jabatan publik yang strategis, tidak ada standardisasi dan proses seleksi yang transparan dan akuntabel, tetapi melalui mekanisme di belakang tembok.
Demikianlah, karena kurang menghargai profesionalisme, ongkos politik dan birokrasi di Indonesia amat mahal, tetapi hasilnya sangat tidak seimbang. Bayangkan saja, berapa triliun biaya pilkada dan pemilu yang mesti dikeluarkan baik oleh pemerintah, partai politik maupun warga masyarakat, tetapi proses dan hasil pembangunan untuk menyejahterakan rakyat masih jauh? Kadang muncul pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban, apa yang tidak dimiliki bangsa ini? Semuanya ada. Alamnya kaya raya. Perguruan tinggi berjumlah ribuan. Ilmuwan dan intelektual alumni dalam dan luar negeri selalu bertambah.
Dukungan anggaran pembangunan, meski sifatnya utang luar negeri, masih mengalir. Jumlah politisi bejibun dan kalau bicara para politisi itu hebathebat. Belum lagi para pengacara, mereka ahli debat semua. Demikianlah, masih banyak kekayaan bangsa ini.Namun, lagilagi, apanya yang salah sehingga bangsa ini masih saja terpuruk? Ibarat mobil,mengapa jalannya sangat lamban dan sering mogok, padahal harga dan ongkos perbaikannya sangat besar? Kita sangat berharap,siapa pun yang tampil sebagai politisi dan pemimpin bangsa ini, di level mana pun, mesti jujur, cakap, dan memiliki dedikasi tinggi untuk memajukan rakyat.
Kalau seorang pemimpin jiwanya jujur, ikhlas, cinta rakyat, dan mau belajar, rasanya tidak perlu khawatir akan jatuh atau dijatuhkan dari jabatannya.Dia tidak merasa di bawah sehingga takut terinjak, tidak juga merasa berada di ketinggian sehingga takut jatuh. Dia akan menyatu dengan hati dan desah rakyatnya.(*)
Katanya, bengkel ketok magic ini bisa memperbaiki mobil yang penyok sehabis tertabrak atau menabrak, diselesaikan dalam waktu cepat,dengan menggunakan tenaga dalam yang pemilik mobil tidak boleh melihat prosesnya. Bengkel ini pernah menjamur, tetapi lama-lama berguguran karena tidak mampu menunjukkan bukti hasil sebagaimana yang diiklankan. Anehnya banyak pemilik mobil tertarik mencobanya karena tak ada salahnya mencoba. Lebih dari itu masyarakat kita memang senang terhadap hal-hal magicyang sulit dicerna nalar sehat.
Negara Ibarat Mobil
Sekali-sekali mari menganalogikan negara dengan mobil.Fungsi utamanya mengangkut penumpang dan barang dengan nyaman dan aman sampai ke tujuan. Kemudian, bagaimana kalau negara atau pemerintahan ini ibarat mobil yang penyok-penyok dan berbagai ragam onderdilnya rusak, aus, dan kendur sehingga jalannya sempoyongan dan membahayakan penumpang?
Tidak usah khawatir, di negeri ini banyak politisi ketok magic. Banyak politisi yang murah janji bisa membereskan berbagai problem bangsa. Bahkan sekarang ini ditambahi lagi dengan sumpah kalau ada masyarakat yang tidak percaya akan kompetensi dan akuntabilitas kerjanya. Lihat dan perhatikan saja setiap menjelang pilkada dan pemilu, semua calon menawarkan janji untuk mengubah bangsa ini menjadi maju, ekonomi membaik, keamanan stabil, pendidikan gratis, korupsi hilang, dan sekian janjijanji lain kalau saja nantinya terpilih. Namun kultur budaya kita ini memang unik.
Meski papan namanya Indonesia adalah negara modern yang menjunjung tinggi asas demokrasi dan keterbukaan,mental tradisional yang bersifat feodalistis dan senang pada wangsit masih berkembang subur dalam masyarakat. Seperti bengkel ketok magic, ketika dihadapkan pada sekian banyak problem dan skandal kasus dalam kehidupan bernegara, penyelesaiannya sering tertutup, diselesaikan di belakang tembok. Rakyat tidak perlu tahu prosesnya. Cukup disuguhi laporan akhir yang menyatakan beres, tak ada masalah. Ibarat mobil, dari wajah luar sudah mulus dan pelanggan menganggapnya sudah selesai semua, mobil tinggal jalan kembali.
Namun,menurut beberapa cerita, yang namanya bengkel ketok magicitu pada kenyataannya tidak sehebat iklannya. Keberhasilannya hanya bersifat sesaat. Mereka menggunakan peralatan dan pendekatan tertentu dalam memperbaiki mobil, tetapi tetap tidak secanggih bengkel-bengkel yang profesional dan prosesnya transparan di mana pemilik mobil bebas untuk melihat prosesnya. Karena hasilnya tidak bagus dan kalah dari bengkel profesional,sekarang bengkel ketok magic semakin tidak populer.Kepercayaan masyarakat menurun. Maaf, rasanya memang keterlaluan kalau politisi kita diibaratkan bengkel ketok magic.
Namun ada juga benarnya karena beberapa alasan.Pertama,ibarat mobil, bentuk,sistem,dan mekanisme pemerintahan kita sudah masuk pada era modern,tetapi pendekatannya masih tradisional. Pendekatan perkoncoan, pertimbangan suku dan profesi keagamaan masih menjadi pertimbangan dalam proses politik untuk menduduki sebuah jabatan politik yang memerlukan kompetensi, bukan sekadar popularitas dan perkoncoan. Kedua, mekanisme penyelesaian masalah di berbagai tingkatan cenderung tertutup dan tidak rasional. Bahkan para makelar kasus (markus) dan makelar jabatan (marjab) tetap berkeliaran.
Yang namanya promosi jabatan dan penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) selalu terjadi penyimpangan. Adalah rahasia umum bahwa untuk bisa lulus CPNS seseorang mesti membayar jutaan rupiah. Ketiga, karena penyelesaiannya hanya di permukaan, suatu saat persoalan serupa atau lebih besar lagi akan muncul.Keempat, ibarat bengkel ketok magic,dalam rekrutmen jabatan publik yang strategis, tidak ada standardisasi dan proses seleksi yang transparan dan akuntabel, tetapi melalui mekanisme di belakang tembok.
Demikianlah, karena kurang menghargai profesionalisme, ongkos politik dan birokrasi di Indonesia amat mahal, tetapi hasilnya sangat tidak seimbang. Bayangkan saja, berapa triliun biaya pilkada dan pemilu yang mesti dikeluarkan baik oleh pemerintah, partai politik maupun warga masyarakat, tetapi proses dan hasil pembangunan untuk menyejahterakan rakyat masih jauh? Kadang muncul pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban, apa yang tidak dimiliki bangsa ini? Semuanya ada. Alamnya kaya raya. Perguruan tinggi berjumlah ribuan. Ilmuwan dan intelektual alumni dalam dan luar negeri selalu bertambah.
Dukungan anggaran pembangunan, meski sifatnya utang luar negeri, masih mengalir. Jumlah politisi bejibun dan kalau bicara para politisi itu hebathebat. Belum lagi para pengacara, mereka ahli debat semua. Demikianlah, masih banyak kekayaan bangsa ini.Namun, lagilagi, apanya yang salah sehingga bangsa ini masih saja terpuruk? Ibarat mobil,mengapa jalannya sangat lamban dan sering mogok, padahal harga dan ongkos perbaikannya sangat besar? Kita sangat berharap,siapa pun yang tampil sebagai politisi dan pemimpin bangsa ini, di level mana pun, mesti jujur, cakap, dan memiliki dedikasi tinggi untuk memajukan rakyat.
Kalau seorang pemimpin jiwanya jujur, ikhlas, cinta rakyat, dan mau belajar, rasanya tidak perlu khawatir akan jatuh atau dijatuhkan dari jabatannya.Dia tidak merasa di bawah sehingga takut terinjak, tidak juga merasa berada di ketinggian sehingga takut jatuh. Dia akan menyatu dengan hati dan desah rakyatnya.(*)
Rabu, 16 Desember 2009
TUTUP TAHUN DENGAN KAYA MASALAH
Umpama bangsa ini hanya menghadapi persoalan nyata, seperti peningkatan taraf hidup ekonomi rakyat, peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan, meningkatkan layanan kesehatan, penyediaan fasilitas perumahan, memperluas lapangan pekerjaan, pengentasan kemiskinan dan seterusnya, kiranya tidak terlalu berat. Seberat apapun, hitung-hitung persoalan tersebut masih bisa diatasi.
Gambaran optimis seperti itu cukup beralasan. Bangsa ini sesungguhnya kaya sumber daya alam sekaligus juga sumber daya manusia. Bangsa ini memiliki kekayaan alam yang luar biasa banyaknya. Kekayaan itu bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan rakyatnya. Apalagi, -----tidak sebagaimana dahulu, sekarang bangsa ini sudah memiliki SDM yang cukup banyak jumlahnya dan kualitasnya lumayan baik.
Akan tetapi sayangnya, bangsa ini tidak saja harus menghadapi persoalan sebagaimana dikemukakan di muka, melainkan juga harus menyelesaikan persoalan-persoalan berat yang datangnya mendadak dan tidak terduga sebelumnya. Penyelesaiannya pun juga tidak mudah dan ringan. Bahkan beban itu terlalu berat untuk diselesaikan secara cepat dan hingga tuntas. Persoalan itu datang silih berganti, seolah-olah tidak mau berhenti.
Dimulai sejak sekitar lima tahun lahu, bangsa ini mendapatkan berbagai musibah, yang datang silih berganti. Diawali dari terjadinya gempa bumi dan tsunami di Aceh, kemudian disusul oleh gempa bumi di Pulau Nias dan sekitarnya, lalu disambung oleh gempa bumi lagi yang cukup dahsyat di Yogyakarta. Tiga kali gempa bumi di tiga wilayah yang berbeda itu menelan korban manusia ratusan ribu orang jumlahnya, dan memporak-porandakan fasilitas kehidupan yang luar biasa banyaknya. Perkantoran, rumah penduduk, sarana dan prasarana kehidupan penduduk hancur dan bahkan musnah. Untuk memperbaiki kembali semua itu memerlukan dana, tenaga, dan waktu yang tidak sedikit.
Belum selesai sepenuhnya menanggulangi korban itu, datang lagi musibah berikutnya. Di beberapa tempat terjadi gunung meletus, banjir, t ingkatnya, bangsa ini sejak beberapa tahun terakhir seperti tidak pernah sepi dari musibah.
Bagi orang yang percaya terhadap kekuatan di atas sana, berusaha melakukan perenungan mendalam, untuk mencari tahu apa sesungguhnya yang sedang terjadi pada bangsa ini. Apakah musibah demi musibah yang datang silih berganti itu merupakan ujian atau bala’ karena kesalahan kolektif selama ini. Jika kesalahan itu karena kurang bersyukur, siapa yang sesungguhnya masih kufur nikmat selama ini. Jika hal itu disebabkan karena kurang adil dan jujur, siapa sesungguhnya yang teraniaya selama ini. Perenungan seperti itu, tentu tidak salah. Sebagai makhluk yang selalu ingin mendapatkan penjelasan tentang apa yang sesungguhnya sedang terjadi, maka wajar melakukan hal seperti itu. Persoalan yang tidak berhasil dijawab secara rasional, akhirnya akan dicari jawabannya dari sudut yang lain.
Musibah-musibah itu sampai hari ini ternyata masih belum mau berhenti. Banyak orang merasa optimis, tatkala presiden dipilih secara demokratis dan kemudian dilantik, akan segera bisa menunaikan tugas, menyelesaikan persoalan yang ditunggu-tunggu oleh rakyat. Optimisme muncul di mana-mana, bahwa bangsa ini akan segera memulai babak baru, menatap masa depan yang lebih mantap. Ternyata, secara mendadak masih dikejutkan oleh musibah serupa, yaitu gempa bumi di Padang dan sekitarnya. Lagi-lagi ratusan orang meninggal, dan berbagai jenis bangunan dan sarana prasarana kehidupan hancur.
Akhir-akhir ini musibah dalam bentuknya yang baru datang, yaitu berupa konflik antar elite. Diawali dengan konflik antara KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian. Konflik itu oleh sementara masyarakat digambarkan dalam bentuk metafora perseteruan antara cicak dan buaya. Metafora seperti itu justru menambah gizi kekuatan perlawanan dari masing-masing pihak. Masyarakat luas pun ikut memihak dan ambil bagian. Akhirnya, sampai-sampai presiden pun dituntut untuk ikut menyelesaikannya. Energi Para pemimpin bangsa terserap pada persoalan itu. Padahal, persoalan bangsa yang lebih besar, yakni terkait kehidupan 230 juta penduduk memerlukan perhatian yang lebih serius.
Aneh tetapi memang nyata, masalah baru lainnya muncul, tidak saja menimpa kaum elite, tetapi juga terjadi pada orang biasa, ------kalau tidak saya sebut orang kecil. Namun demikian, masalah itu memiliki resonansi yang luas. Masalah itu di antaranya terkait kasus Prita yang diajukan ke pengadilan dan akhirnya harus membayar denda hingga 204 juta. Sebuah keputusan pengadilan yang dipandang tidak masuk akal, sehingga mendatangkan simpatik yang luar biasa dari masyarakat luas.
Kasus serupa, telah terjadi peristiwa pengadilan aneh dan terdengar lucu. Seorang yang hanya mengambil tiga biji kakau, diadili dan dihukum. Ada pula orang yang mengambil sisa-sisa kapuk yang tidak seberapa jumlahnya, kemudian diajukan ke sidang pengadilan. Bahkan, di Kediri Jawa Timur, ada dua orang mengambil sebutir semangka, seharga 20 ribu rupiah, ditangkap dan diadili sebagaimana mengadili koruptor kelas kakap. Semua itu mengundang reaksi keras masyarakat luas sebagai tanda bahwa kebutuhan rasa keadilannya tidak terpenuhi.
Masalah lainnya lagi adalah penyelesaian Bank Century. Persoalan ini lebih ramai lagi. Banyak pihak ikut ambil bagian menyelesaikannya, mulai dari DPR yang telah mengajukan hak angket, BPK yang lebih dahulu mengambil inisiatif melakukan pemeriksaan. Selanjutnya, KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan, semuanya berusaha mencari keterangan dan format penyelesaian. Bahkan, akhirnya Presiden sekalipun, terbawa ikut ambil bagian menyelesaikannya. Dengan demikian, semua pihak, seolah-olah perhatiannya pada persoalan Bank Century. Berbagai persoalan besar -------sekali lagi, menyangkut 230 juta penduduk seolah-olah terkesampingkan oleh berita tentang Prita, pencuri kakau, kapuk, semangka, dan perseteruan KPK, Kepolisian, dan kejaksaan serta Bank Century.
Bahkan, persoalan Bank Century ini, rupanya belum ada gambaran segera berakhir. Bahkan semakin ramai dengan berbagai polemik, misalnya antara Menteri Keuangan dengan Pansus Hak Angket DPR dan bahkan juga antara Menteri Keuangan dengan Ketua Golkar. Perdebatan, perselisihan, dan bahkan juga perseteruan mungkin akan terus terjadi. Semua pihak ingin mendapatkan penyelesaian, dan sudah barang tentu, tidak akan ada pihak manapun yang mau disalahkan dari terjadinya kasus tersebut.
Rakyat yang berjumlah tidak kurang dari 230 juta jiwa tatkala menyaksikan para elite terbelenggu oleh berbagai masalah tersebut tidak akan tenang. Pasca Pemilu, baik pemilu legislative maupun pemilu presiden, rakyat berharap agar janji-janji mereka di masa kampanye segera dapat direalisasikan, dan bukannya ingin melihat berbagai masalah yang tidak kunjung selesai. Bangsa ini tidak menghendaki selalu saja kaya masalah, melainkan segera berhasil menyelesaikannya dan meraih apa yang dicita-citakan, yaitu masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Cita-cita masyarakat yang mulia itu, hanya akan dapat diraih manakala para elitenya bersatu. Sebab hanya dengan modal itulah, maka amanah yang diemban bersama dapat ditunaikan secara maksimal. Maka, semogalah semua pihak segera sadar, bahwa yang diperlukan oleh bangsa ini adalah kebersamaan, saling mempercayai, bahu membahu, dan bukan sekedar berhasil menemukan kesalahan pihak-pihak lain. Dengan pandangan itu ke depan, bangsa ini diharapkan tidak lagi kaya masalah, melainkan kaya yang sebenarnya, yaitu kaya pikiran, hati, dan amal shaleh. Wallahu a’lam.
Gambaran optimis seperti itu cukup beralasan. Bangsa ini sesungguhnya kaya sumber daya alam sekaligus juga sumber daya manusia. Bangsa ini memiliki kekayaan alam yang luar biasa banyaknya. Kekayaan itu bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan rakyatnya. Apalagi, -----tidak sebagaimana dahulu, sekarang bangsa ini sudah memiliki SDM yang cukup banyak jumlahnya dan kualitasnya lumayan baik.
Akan tetapi sayangnya, bangsa ini tidak saja harus menghadapi persoalan sebagaimana dikemukakan di muka, melainkan juga harus menyelesaikan persoalan-persoalan berat yang datangnya mendadak dan tidak terduga sebelumnya. Penyelesaiannya pun juga tidak mudah dan ringan. Bahkan beban itu terlalu berat untuk diselesaikan secara cepat dan hingga tuntas. Persoalan itu datang silih berganti, seolah-olah tidak mau berhenti.
Dimulai sejak sekitar lima tahun lahu, bangsa ini mendapatkan berbagai musibah, yang datang silih berganti. Diawali dari terjadinya gempa bumi dan tsunami di Aceh, kemudian disusul oleh gempa bumi di Pulau Nias dan sekitarnya, lalu disambung oleh gempa bumi lagi yang cukup dahsyat di Yogyakarta. Tiga kali gempa bumi di tiga wilayah yang berbeda itu menelan korban manusia ratusan ribu orang jumlahnya, dan memporak-porandakan fasilitas kehidupan yang luar biasa banyaknya. Perkantoran, rumah penduduk, sarana dan prasarana kehidupan penduduk hancur dan bahkan musnah. Untuk memperbaiki kembali semua itu memerlukan dana, tenaga, dan waktu yang tidak sedikit.
Belum selesai sepenuhnya menanggulangi korban itu, datang lagi musibah berikutnya. Di beberapa tempat terjadi gunung meletus, banjir, t ingkatnya, bangsa ini sejak beberapa tahun terakhir seperti tidak pernah sepi dari musibah.
Bagi orang yang percaya terhadap kekuatan di atas sana, berusaha melakukan perenungan mendalam, untuk mencari tahu apa sesungguhnya yang sedang terjadi pada bangsa ini. Apakah musibah demi musibah yang datang silih berganti itu merupakan ujian atau bala’ karena kesalahan kolektif selama ini. Jika kesalahan itu karena kurang bersyukur, siapa yang sesungguhnya masih kufur nikmat selama ini. Jika hal itu disebabkan karena kurang adil dan jujur, siapa sesungguhnya yang teraniaya selama ini. Perenungan seperti itu, tentu tidak salah. Sebagai makhluk yang selalu ingin mendapatkan penjelasan tentang apa yang sesungguhnya sedang terjadi, maka wajar melakukan hal seperti itu. Persoalan yang tidak berhasil dijawab secara rasional, akhirnya akan dicari jawabannya dari sudut yang lain.
Musibah-musibah itu sampai hari ini ternyata masih belum mau berhenti. Banyak orang merasa optimis, tatkala presiden dipilih secara demokratis dan kemudian dilantik, akan segera bisa menunaikan tugas, menyelesaikan persoalan yang ditunggu-tunggu oleh rakyat. Optimisme muncul di mana-mana, bahwa bangsa ini akan segera memulai babak baru, menatap masa depan yang lebih mantap. Ternyata, secara mendadak masih dikejutkan oleh musibah serupa, yaitu gempa bumi di Padang dan sekitarnya. Lagi-lagi ratusan orang meninggal, dan berbagai jenis bangunan dan sarana prasarana kehidupan hancur.
Akhir-akhir ini musibah dalam bentuknya yang baru datang, yaitu berupa konflik antar elite. Diawali dengan konflik antara KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian. Konflik itu oleh sementara masyarakat digambarkan dalam bentuk metafora perseteruan antara cicak dan buaya. Metafora seperti itu justru menambah gizi kekuatan perlawanan dari masing-masing pihak. Masyarakat luas pun ikut memihak dan ambil bagian. Akhirnya, sampai-sampai presiden pun dituntut untuk ikut menyelesaikannya. Energi Para pemimpin bangsa terserap pada persoalan itu. Padahal, persoalan bangsa yang lebih besar, yakni terkait kehidupan 230 juta penduduk memerlukan perhatian yang lebih serius.
Aneh tetapi memang nyata, masalah baru lainnya muncul, tidak saja menimpa kaum elite, tetapi juga terjadi pada orang biasa, ------kalau tidak saya sebut orang kecil. Namun demikian, masalah itu memiliki resonansi yang luas. Masalah itu di antaranya terkait kasus Prita yang diajukan ke pengadilan dan akhirnya harus membayar denda hingga 204 juta. Sebuah keputusan pengadilan yang dipandang tidak masuk akal, sehingga mendatangkan simpatik yang luar biasa dari masyarakat luas.
Kasus serupa, telah terjadi peristiwa pengadilan aneh dan terdengar lucu. Seorang yang hanya mengambil tiga biji kakau, diadili dan dihukum. Ada pula orang yang mengambil sisa-sisa kapuk yang tidak seberapa jumlahnya, kemudian diajukan ke sidang pengadilan. Bahkan, di Kediri Jawa Timur, ada dua orang mengambil sebutir semangka, seharga 20 ribu rupiah, ditangkap dan diadili sebagaimana mengadili koruptor kelas kakap. Semua itu mengundang reaksi keras masyarakat luas sebagai tanda bahwa kebutuhan rasa keadilannya tidak terpenuhi.
Masalah lainnya lagi adalah penyelesaian Bank Century. Persoalan ini lebih ramai lagi. Banyak pihak ikut ambil bagian menyelesaikannya, mulai dari DPR yang telah mengajukan hak angket, BPK yang lebih dahulu mengambil inisiatif melakukan pemeriksaan. Selanjutnya, KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan, semuanya berusaha mencari keterangan dan format penyelesaian. Bahkan, akhirnya Presiden sekalipun, terbawa ikut ambil bagian menyelesaikannya. Dengan demikian, semua pihak, seolah-olah perhatiannya pada persoalan Bank Century. Berbagai persoalan besar -------sekali lagi, menyangkut 230 juta penduduk seolah-olah terkesampingkan oleh berita tentang Prita, pencuri kakau, kapuk, semangka, dan perseteruan KPK, Kepolisian, dan kejaksaan serta Bank Century.
Bahkan, persoalan Bank Century ini, rupanya belum ada gambaran segera berakhir. Bahkan semakin ramai dengan berbagai polemik, misalnya antara Menteri Keuangan dengan Pansus Hak Angket DPR dan bahkan juga antara Menteri Keuangan dengan Ketua Golkar. Perdebatan, perselisihan, dan bahkan juga perseteruan mungkin akan terus terjadi. Semua pihak ingin mendapatkan penyelesaian, dan sudah barang tentu, tidak akan ada pihak manapun yang mau disalahkan dari terjadinya kasus tersebut.
Rakyat yang berjumlah tidak kurang dari 230 juta jiwa tatkala menyaksikan para elite terbelenggu oleh berbagai masalah tersebut tidak akan tenang. Pasca Pemilu, baik pemilu legislative maupun pemilu presiden, rakyat berharap agar janji-janji mereka di masa kampanye segera dapat direalisasikan, dan bukannya ingin melihat berbagai masalah yang tidak kunjung selesai. Bangsa ini tidak menghendaki selalu saja kaya masalah, melainkan segera berhasil menyelesaikannya dan meraih apa yang dicita-citakan, yaitu masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Cita-cita masyarakat yang mulia itu, hanya akan dapat diraih manakala para elitenya bersatu. Sebab hanya dengan modal itulah, maka amanah yang diemban bersama dapat ditunaikan secara maksimal. Maka, semogalah semua pihak segera sadar, bahwa yang diperlukan oleh bangsa ini adalah kebersamaan, saling mempercayai, bahu membahu, dan bukan sekedar berhasil menemukan kesalahan pihak-pihak lain. Dengan pandangan itu ke depan, bangsa ini diharapkan tidak lagi kaya masalah, melainkan kaya yang sebenarnya, yaitu kaya pikiran, hati, dan amal shaleh. Wallahu a’lam.
MENCEGAH KORUPSI DENGAN PENJARA
Mencegah Korupsi Dengan Penjara, Efektifkah ?
Akhir-akhir ini di hampir setiap hari kita disuguhi oleh berita tentang tertangkapnya korupsi di mana-mana. Pejabat yang ditengarahi melakukan tindak pidana korupsi ditangkap, diadili dan kemudian dipenjara. Mereka yang masuk penjara tidak pandang bulu. Siapa pun yang salah, diadili dan dihukum. Di antara mereka itu adalah pejabat eksekuti, legialatif dan juga yudikatif sendiri. Artinya merata dari berbagai kalangan. Begitu pula dilihat dari latar belakang pendidikan mereka. Ada lulusan S1, S2, S3 dan bahkan juga ada yang bergelar Guru Besar.
Kabarnya dengan banyaknya orang korupsi ditangkap, penjara menjadi penuh sesak. Mereka dimasukkan dalam lembaga pemasyarakatan. Jumlah yang masuk dengan pertambahan luasan tempat itu tidak sebanding. Penjara di mana-mana menjadi kelebihan penghuni. Akibatnya, gedung tempat membui orang semakin berjubel, dan sangat padat. Anggaran yang diperlukan tentu juga semakin membengkak.
Lalu, bagaimana dampak dari kebijakan menangkap dan memenjara pejabat ini. Apakah para koruptor semakin berkurang. Siapa yang diuntungkan dan siapa pula yang dirugikan dari kebijakan itu. Apakah seimbang antara biaya yang harus dibayar dengan hasil yang didapat dari gerakan memberantas korupsi ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut kiranya perlu diajukan, agar kita segera belajar dari keputusan yang telah diambil sedini mungkin.
Sampai hari ini, ----setidak-tidaknya saya sendiri, masih belum menemukan informasi sejauh mana hasil nyata dari pemberantasan korupsi itu. Saya seringkali mendengar bahwa, sejak digalakkan pemberantasan korupsi, orang tidak lagi berebut menjadi pemimpin proyek. Resikonya dianggap terlalu berat. Sebab sebutan korupsi tidak saja ketika seseorang mengambil uang negara, tetapi juga tatkala melakukan kesalahan procedure. Selanjutnya, akibat dari kesalahannya itu maka juga disebut sebagai korupsi.
Setidak-tidaknya dengan ancaman itu maka orang menjadi lebih hati-hati. Orang tidak sembarangan melakukan korupsi, sebagaimana hal itu dilakukan pada masa sebelumnya. Namun rupanya tidak semua orang, sama sekali takut dan menjauh dari tindak tercela itu. Buktinya, kasus-kasus penangkapan juga masih saja terdengar. Artinya, masih ada saja orang yang berani melakukan korupsi sekalipun resikonya sedemikian berat.
Pemberantasan korupsi memang terasa kurang bersifat komprehensif. Selama ini seolah-olah semangatnya hanya sebatas mau menghukum para koruptor, dan bukan mencegah terjadinya korupsi. Siapapun yang terbukti korupsi segera diadili dan dihukum. Bahkan, sekalipun penyimpangan itu sudah dilakukan jauh sebelumnya. Hingga banyak mantan pejabat, -----mungkin sudah lupa akan kebijakan dan tindakannya, diajukan ke pengadilan dan dihukum.
Sudah waktunya gejala korupsi dilihat dalam kontek luas, misalnya korupsi sebagai akibat. Orang terpaksa harus korupsi, karena secara situasional harus melakukannya. Bisa jadi seorang pejabat sesungguhnya jujur, tetapi demi memenuhi amanah jabatannya, terpaksa harus melepaskan sifatnya yang mulia itu. Kesalahan itu bisa berawal dari system yang berlaku ketika itu. Oleh karena kesalahan system, maka siapapun yang menjabat di tempat itu harus melakukan kesalahan itu. Selain itu, korupsi dianggap bagaikan bisnis, atau sebatas sebagai upaya mengembalikan harta yang telah dibayarkan sebelumnya. Sementara ini sebagaimana telah diketahui secara umum, bahwa untuk mendapatkan sebuah jabatan -----bupati, walikota, Gubernur, anggota DPR, harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Dengan korupsi dimaksudkan untuk mendapatkan kembali dana yang telah dikeluarkan itu.
Sebagai gambaran sederhana, menurut berbagai sumber informasi, sekedar untuk menjadi bupati, harus mengeluarkan dana tidak kuirang dari 10 milyard. Pejabat yang mengeluarkan dana sebesar itu, tentu suatu ketika berharap agar dana itu akan kembali. Padahal dana sebesar itu tidak akan mencukupi, hanya dengan gaji atau honorariumnya. Maka, melalui proyek-proyek yang ada, ia berusaha mendapatkan keuntungan lebih dari yang semestinya. Sedangkan jika proyek tersebut tidak dibelanjakan sebagaimana ketentuan yang ada , maka akan digolongkan sebagai telah melakukan korupsi.
Memperhatikan logika itu, maka sesungguhnya memberantas korupsi dengan cara segera memasukkan pelakunya ke penjara, adalah terasa ada sesuatu yang kurang sempurna. Berpikir dengan hanya mengikuti logika bahwa koruptor adalah salah dan seharusnya mereka diadili, dan kemudian dimasukkan ke penjara, maka logika itu terasa terlalu pendek dan tergesa-gesa. Mengambil kebijakan yang menyentuh nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam semestinya melalui kajian dan pertimbangan yang luas dan mendalam pula.
Sebuah tindakan salah semestinya dilihat dalam konteknya yang luas. Seorang pejabat dalam pengambil keputusan untuk kepentingan orang banyak, apalagi untuk mempertanggung-jawabkan amanah yang dibebankan kepadanya, kadang bersifat dilematis. Jika keputusan itu diambil, dia salah. Tetapi jika tidak diambil, maka negara justru akan merugi lebih banyak. Seorang pejabat sertingkali dihadapkan pada pilihan yang sama-sama berbahaya, baik terhadap dirinya maupun masyarakat. Seorang polisi, suatu ketika harus menembak. Akan tetapi jika keputusannya itu dilihat dari kacamata HAM, ia harus masuk penjara. Sedangkan jika tidak dilakukan penembakan itu, maka akan membahayakan banyak orang. Polisi dalam keadaan seperti ini, dihadapkan oleh pilihan yang sama sulitnya.
Kasus-kasuis sebagaimana dihadapi oleh polisi tersebut, dihadapi pula sehari-hari oleh pejabat lainnya. Oleh karena itulah pejabat harus dari orang yang terpilih. Selain cerdas, mereka harus arif. Kearifan hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu, yang keputusannya berbeda dari orang-orang pada umumnya. Oleh karena itu, semestinya pemimpin masyarakat atau pejabat tidak selayaknya diberlakukan sebagaimana orang awam pada umumnya.
Ada kisah menarik dalam al Qur’an, terkait dengan kesalahan, ialah yang dilakukan oleh Nabi Qidir. Jika Nabi Qidir ketika itu karena kesalahannya, kemudian ia ditangkap dan dihukum maka kejahatan atau kerusakan akan bertambah besar. Justru seseorang pemimpin yang berani berbuat salah, maka bisa jadi kehidupan yang lebih besar berhasil diselamatkan. Namun apakah para pejabat yang dimasukkan penjara karena korupsi juga sebagaimana dilakukan Nabi Qidir, maka perlu dipelajari lebih jauh. Tetapi fenomena berupa banyaknya jumlah bupati, wali kota, gubernur, anggota DPR, pejabat Bank dan lain-lain digelandang ke pengadilan, lalu dimasukkan ke penjara, perlu diteliti kembali, jangan-jangan selama ini telah terjadi logika yang salah yang perlu diluruskan.
Saya termasuk orang yang sangat menyetujui jika korupsi di negeri ini dihilangkan hingga akar-akarnya. Saya berkeinginan agar negeri ini bersih dari segala tindak kejahatan, termasuk penyimpangan penggunaan uang negara. Penyimpangan-penyimpangan itu hanya akan menambah panjang penderitaan rakyat. Hanya saja memberantas korupsi dengan pendekatan penjara, sesungguhnya memiliki resiko psikologis dan kemanusiaan yang amat tinggi. Di antaranya, pejabat menjadi tidak berwibawa, karena dituduh korupsi sekalipun mereka bersih dari itu. Dengan pendekatan penjara, bangsa ini akan kehilangan orang-orang yang sesungguhnya berharga mahal dan sulit dicari, apalagi yang bersangkutan memiliki keahlian yang tinggi.
Selain itu, hal yang tidak kalah pentingnya, adalah bahwa dengan pemberantasan korupsi seperti itu, maka bangsa ini akan menderita kerugian yang cukup besar. Dengan cara itu, bangsa ini telah kehilangan anutan, dan lebih dari itu, dampak negative kebijakan tersebut pada pendidikan generasi muda sangat terasakan. Generasi tidak punya kebanggaan sejarah, karena merasa telah lahir dari generasi pendahulu yang beridentitas sebagai koruptor. Oleh karenanya, kiranya perlu dicari alternative lain yang lebih manusiawi dari sebatas sebagaimana yang dilakukan selama ini. Saya percaya, bahwa agama -----agama apapun, sesungguhnya bisa digunakan untuk memperbaiki manusia. Pendekatan penjara seperti yang dilakukan pada saat ini, tokh terasa hasilnya juga tidak terlalu efektif. Wallahu a’lam
Akhir-akhir ini di hampir setiap hari kita disuguhi oleh berita tentang tertangkapnya korupsi di mana-mana. Pejabat yang ditengarahi melakukan tindak pidana korupsi ditangkap, diadili dan kemudian dipenjara. Mereka yang masuk penjara tidak pandang bulu. Siapa pun yang salah, diadili dan dihukum. Di antara mereka itu adalah pejabat eksekuti, legialatif dan juga yudikatif sendiri. Artinya merata dari berbagai kalangan. Begitu pula dilihat dari latar belakang pendidikan mereka. Ada lulusan S1, S2, S3 dan bahkan juga ada yang bergelar Guru Besar.
Kabarnya dengan banyaknya orang korupsi ditangkap, penjara menjadi penuh sesak. Mereka dimasukkan dalam lembaga pemasyarakatan. Jumlah yang masuk dengan pertambahan luasan tempat itu tidak sebanding. Penjara di mana-mana menjadi kelebihan penghuni. Akibatnya, gedung tempat membui orang semakin berjubel, dan sangat padat. Anggaran yang diperlukan tentu juga semakin membengkak.
Lalu, bagaimana dampak dari kebijakan menangkap dan memenjara pejabat ini. Apakah para koruptor semakin berkurang. Siapa yang diuntungkan dan siapa pula yang dirugikan dari kebijakan itu. Apakah seimbang antara biaya yang harus dibayar dengan hasil yang didapat dari gerakan memberantas korupsi ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut kiranya perlu diajukan, agar kita segera belajar dari keputusan yang telah diambil sedini mungkin.
Sampai hari ini, ----setidak-tidaknya saya sendiri, masih belum menemukan informasi sejauh mana hasil nyata dari pemberantasan korupsi itu. Saya seringkali mendengar bahwa, sejak digalakkan pemberantasan korupsi, orang tidak lagi berebut menjadi pemimpin proyek. Resikonya dianggap terlalu berat. Sebab sebutan korupsi tidak saja ketika seseorang mengambil uang negara, tetapi juga tatkala melakukan kesalahan procedure. Selanjutnya, akibat dari kesalahannya itu maka juga disebut sebagai korupsi.
Setidak-tidaknya dengan ancaman itu maka orang menjadi lebih hati-hati. Orang tidak sembarangan melakukan korupsi, sebagaimana hal itu dilakukan pada masa sebelumnya. Namun rupanya tidak semua orang, sama sekali takut dan menjauh dari tindak tercela itu. Buktinya, kasus-kasus penangkapan juga masih saja terdengar. Artinya, masih ada saja orang yang berani melakukan korupsi sekalipun resikonya sedemikian berat.
Pemberantasan korupsi memang terasa kurang bersifat komprehensif. Selama ini seolah-olah semangatnya hanya sebatas mau menghukum para koruptor, dan bukan mencegah terjadinya korupsi. Siapapun yang terbukti korupsi segera diadili dan dihukum. Bahkan, sekalipun penyimpangan itu sudah dilakukan jauh sebelumnya. Hingga banyak mantan pejabat, -----mungkin sudah lupa akan kebijakan dan tindakannya, diajukan ke pengadilan dan dihukum.
Sudah waktunya gejala korupsi dilihat dalam kontek luas, misalnya korupsi sebagai akibat. Orang terpaksa harus korupsi, karena secara situasional harus melakukannya. Bisa jadi seorang pejabat sesungguhnya jujur, tetapi demi memenuhi amanah jabatannya, terpaksa harus melepaskan sifatnya yang mulia itu. Kesalahan itu bisa berawal dari system yang berlaku ketika itu. Oleh karena kesalahan system, maka siapapun yang menjabat di tempat itu harus melakukan kesalahan itu. Selain itu, korupsi dianggap bagaikan bisnis, atau sebatas sebagai upaya mengembalikan harta yang telah dibayarkan sebelumnya. Sementara ini sebagaimana telah diketahui secara umum, bahwa untuk mendapatkan sebuah jabatan -----bupati, walikota, Gubernur, anggota DPR, harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Dengan korupsi dimaksudkan untuk mendapatkan kembali dana yang telah dikeluarkan itu.
Sebagai gambaran sederhana, menurut berbagai sumber informasi, sekedar untuk menjadi bupati, harus mengeluarkan dana tidak kuirang dari 10 milyard. Pejabat yang mengeluarkan dana sebesar itu, tentu suatu ketika berharap agar dana itu akan kembali. Padahal dana sebesar itu tidak akan mencukupi, hanya dengan gaji atau honorariumnya. Maka, melalui proyek-proyek yang ada, ia berusaha mendapatkan keuntungan lebih dari yang semestinya. Sedangkan jika proyek tersebut tidak dibelanjakan sebagaimana ketentuan yang ada , maka akan digolongkan sebagai telah melakukan korupsi.
Memperhatikan logika itu, maka sesungguhnya memberantas korupsi dengan cara segera memasukkan pelakunya ke penjara, adalah terasa ada sesuatu yang kurang sempurna. Berpikir dengan hanya mengikuti logika bahwa koruptor adalah salah dan seharusnya mereka diadili, dan kemudian dimasukkan ke penjara, maka logika itu terasa terlalu pendek dan tergesa-gesa. Mengambil kebijakan yang menyentuh nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam semestinya melalui kajian dan pertimbangan yang luas dan mendalam pula.
Sebuah tindakan salah semestinya dilihat dalam konteknya yang luas. Seorang pejabat dalam pengambil keputusan untuk kepentingan orang banyak, apalagi untuk mempertanggung-jawabkan amanah yang dibebankan kepadanya, kadang bersifat dilematis. Jika keputusan itu diambil, dia salah. Tetapi jika tidak diambil, maka negara justru akan merugi lebih banyak. Seorang pejabat sertingkali dihadapkan pada pilihan yang sama-sama berbahaya, baik terhadap dirinya maupun masyarakat. Seorang polisi, suatu ketika harus menembak. Akan tetapi jika keputusannya itu dilihat dari kacamata HAM, ia harus masuk penjara. Sedangkan jika tidak dilakukan penembakan itu, maka akan membahayakan banyak orang. Polisi dalam keadaan seperti ini, dihadapkan oleh pilihan yang sama sulitnya.
Kasus-kasuis sebagaimana dihadapi oleh polisi tersebut, dihadapi pula sehari-hari oleh pejabat lainnya. Oleh karena itulah pejabat harus dari orang yang terpilih. Selain cerdas, mereka harus arif. Kearifan hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu, yang keputusannya berbeda dari orang-orang pada umumnya. Oleh karena itu, semestinya pemimpin masyarakat atau pejabat tidak selayaknya diberlakukan sebagaimana orang awam pada umumnya.
Ada kisah menarik dalam al Qur’an, terkait dengan kesalahan, ialah yang dilakukan oleh Nabi Qidir. Jika Nabi Qidir ketika itu karena kesalahannya, kemudian ia ditangkap dan dihukum maka kejahatan atau kerusakan akan bertambah besar. Justru seseorang pemimpin yang berani berbuat salah, maka bisa jadi kehidupan yang lebih besar berhasil diselamatkan. Namun apakah para pejabat yang dimasukkan penjara karena korupsi juga sebagaimana dilakukan Nabi Qidir, maka perlu dipelajari lebih jauh. Tetapi fenomena berupa banyaknya jumlah bupati, wali kota, gubernur, anggota DPR, pejabat Bank dan lain-lain digelandang ke pengadilan, lalu dimasukkan ke penjara, perlu diteliti kembali, jangan-jangan selama ini telah terjadi logika yang salah yang perlu diluruskan.
Saya termasuk orang yang sangat menyetujui jika korupsi di negeri ini dihilangkan hingga akar-akarnya. Saya berkeinginan agar negeri ini bersih dari segala tindak kejahatan, termasuk penyimpangan penggunaan uang negara. Penyimpangan-penyimpangan itu hanya akan menambah panjang penderitaan rakyat. Hanya saja memberantas korupsi dengan pendekatan penjara, sesungguhnya memiliki resiko psikologis dan kemanusiaan yang amat tinggi. Di antaranya, pejabat menjadi tidak berwibawa, karena dituduh korupsi sekalipun mereka bersih dari itu. Dengan pendekatan penjara, bangsa ini akan kehilangan orang-orang yang sesungguhnya berharga mahal dan sulit dicari, apalagi yang bersangkutan memiliki keahlian yang tinggi.
Selain itu, hal yang tidak kalah pentingnya, adalah bahwa dengan pemberantasan korupsi seperti itu, maka bangsa ini akan menderita kerugian yang cukup besar. Dengan cara itu, bangsa ini telah kehilangan anutan, dan lebih dari itu, dampak negative kebijakan tersebut pada pendidikan generasi muda sangat terasakan. Generasi tidak punya kebanggaan sejarah, karena merasa telah lahir dari generasi pendahulu yang beridentitas sebagai koruptor. Oleh karenanya, kiranya perlu dicari alternative lain yang lebih manusiawi dari sebatas sebagaimana yang dilakukan selama ini. Saya percaya, bahwa agama -----agama apapun, sesungguhnya bisa digunakan untuk memperbaiki manusia. Pendekatan penjara seperti yang dilakukan pada saat ini, tokh terasa hasilnya juga tidak terlalu efektif. Wallahu a’lam
Jumat, 11 Desember 2009
IBADAH DAN KERJA
oLEH : MOH. SAFRUDIN
Ibadah dan Kerja atau sebaliknya mengesankan bahwa ibadah berbeda dengan kerja. Padahal, lebih baik secara konseptual juga secara praktis, bila keduanya disamakan, sehingga menjadikan aktivitas yang dilakukan menjadi ibadah dan pengabdian kepada Tuhan Yang Mahaesa.
Ibadah dan Kerja atau sebaliknya mengesankan bahwa ibadah berbeda dengan kerja. Ini karena dua hal itu diselingi oleh kata dan yang mengandung arti bahwa keduanya berbeda. Dengan demikian, Ibadah berbeda dengan kerja. Hal tersebut dapat dibenarkan, karena memang banyak orang yang membedakannya dalam praktik hidup mereka. Misalnya, seseorang beribadah di masjid atau gereja dalam arti menyadari kehadiran Tuhan dan melakukan apa yang diperintahkan-Nya. Namun, ketika di kantor atau pasar, ia bekerja tanpa mengingat kehadiran Tuhan, bahkan bisa jadi melanggar perintah-Nya. Padahal, lebih baik secara konseptual juga secara praktis, bila kita berkata bahwa “ibadah adalah kerja” atau “kerja adalah ibadah”, sehingga menjadikan aktivitas yang dilakukan menjadi ibadah dan pengabdian kepada Tuhan Yang Mahaesa.
Kerja didefinisikan sebagai penggunaan daya. Manusia secara garis besar dianugerahi Tuhan empat daya pokok, yaitu daya fisik, yang menghasilkan kegiatan fisik dan keterampilan; daya pikir yang mendorong pemiliknya berfikir dan menghasilkan ilmu pengetahuan; daya kalbu yang menjadikan manusia mampu berkhayal, mengekspresikan keindahan, serta beriman, merasakan, dan berhubungan dengan Allah Sang Maha Pencipta; dan daya hidup yang menghasilkan semangat juang, kemampuan menghadapi tantangan, serta menanggulangi kesulitan.
Penggunaan salah satu dari daya-daya tersebut -- betapapun sederhananya -- melahiran kerja, atau “amal” dalam istilah agama. Anda tidak dapat hidup tanpa menggunakan (paling sedikit) salah satu dari daya itu. Untuk melangkah, anda memerlukan daya fisik, paling tidak guna menghadapi daya tarik bumi. Karena itu, kerja adalah keniscayaan. Tetapi, perlu diingat bahwa kerja atau amal yang dituntut oleh-Nya bukan asal kerja, tetapi kerja yang baik (amal saleh). Saleh adalah yang sesuai, bermanfaat, lagi memenuhi syarat-syarat dan nilai-nilainya. Sebuah kursi yang tidak hanya memiliki tiga kaki, sehingga tidak dapat diduduki, maka ia bukan kursi yang saleh. Ia tidak bermanfaat karena tidak memenuhi nilai-nilai yang menjadikannya dapat dijadikan tempat duduk. Seseorang dituntut untuk melakukan yang saleh, karena itu bila ia bertemu dengan sesuatu yang tidak memenuhi nilai-nilainya, maka ia dituntut untuk melakukan perbaikan (ishlâh) dengan menambah yang kurang dari nilainya itu, yakni menambah satu kaki bagi kursi tadi. Bahkan, ishlâh yang lebih baik lagi adalah memberi nilai tambah bagi kursi yang saleh, sehingga ia bukan saja dapat diduduki, tetapi juga nyaman dan indah dipandang.
Ibadah terambil dari akar kata yang sama dengan ‘abid. Lalu, darinya dibentuk kata Abdullah yang arti harfiyahnya adalah ”hamba Allah”. Dalam kamus-kamus bahasa, ‘abid (atau abdi) mempunyai sekian banyak arti. "Hamba sahaya, anak panah yang pendek dan lebar, serta "tumbuhan yang memiliki aroma yang harum". Apabila seseorang menjadi 'abid/”abdi” sesuatu, anggaplah sebagai abdi negara, maka ketiga arti di atas merupakan sifat dan sikapnya yang menonjol.
Seorang hamba sahaya tidak memiliki sesuatu. Apa yang dimilikinya adalah milik tuannya. Dia adalah anak panah yang dapat digunakan tuannya untuk tujuan yang dikehendaki sang tuan, dan dalam saat yang sama dia juga harus mampu memberi aroma yang harum bagi lingkungannya. Pengabdian bukan hanya sekedar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia adalah satu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia mengabdi, serta sebagai dampak dari keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau arti hakikatnya.
Sementara pakar berkata bahwa ada tiga unsur pokok yang merupakan hakikat ibadah kepada Allah: Pertama, si pengabdi tidak menganggap apa yang berada dalam genggaman tangannya sebagai miliknya, karena yang dinamai hamba tidak memi liki sesuatu. Apa yang dimilikinya adalah milik tuannya. Kedua, segala usahanya hanya berkisar pada mengindahkan apa yang diperintahkan oleh siapa yang kepadanya ia mengabdi. Ketiga, tidak memastikan sesuatu untuk dilaksanakan, kecuali mengaitkannya dengan izin dan restu siapa yang kepadanya ia mengabdi.
Ada dua ragam ibadah, yaitu: Pertama, ibadah murni, yaitu kegiatan yang telah ditentukan Tuhan atau Nabi-Nya dalam hal cara, waktu, kadar, atau tempatnya. Bagi seorang muslim, shalat, zakat, puasa, dan haji adalah ibadah murni, karena cara, waktu, atau kadarnya telah ditentukan Tuhan. Kedua, ibadah umum, yaitu semua aktivitas yang dilakukan dengan motivasi memenuhi perintah Tuhan. Berdandan, misalnya, dapat bernilai ibadah jika motivasinya ingin tampil indah sebagaimana diperintahkan Tuhan, bukan untuk merayu dan menggoda. Bahkan, Nabi Muhammad Saw. pernah menyatakan bahwa hubungan seks dengan pasangan yang sah pun merupakan ibadah, selama motivasinya dibenarkan agama. Dengan demikian, motivasi-lah yang menjadikan satu aktivitas dinilai ibadah atau bukan. Dua orang yang menggunakan pisau yang sama dalam memotong kaki seseorang, dapat berbeda nilai kegiatannya tergantung dari motivasinya. Jika yang pertama seorang dokter yang mengamputasi pasiennya, maka aktivitasnya ini dapat menjadi ibadah, berbeda dengan seorang penjahat yang melakukan hal serupa. Jika demikian, semua aktivitas dapat menjadi ibadah, selama motivasinya sejalan dengan tuntunan Tuhan.
Dalam konteks beribadah, kita harus pandai-pandai memilih apa yang disenangi Tuhan bukan apa yang kita senangi. Dari sini ada prioritas-prioritas yang harus menjadi pilihan. Secara umum, membersihkan diri dari yang kotor lebih baik daripada menghiasi diri dengan yang indah. Mandi tanpa parfum lebih baik daripada memakai parfum tanpa mandi. Ironinya, sementara kita melakukan kegiatan ibadah yang bersifat menghiasi diri (tidak wajib), tetapi tidak meninggalkan larangan Tuhan yang bersifat wajib. Ini adalah kekeliruan umum dalam ibadah kita.
Sekian banyak hal yang berkaitan dengan aktivitas kerja dan ibadah yang harus mendapat perhatian, antara lain: Pertama, motivasi mesti menjadi landasan setiap aktivitas agar lebih terarah. Guna bernilai ibadah, maka aktivitas harus tertuju kepada Tuhan, yang dalam bahasa agama disebut ikhlash. Ikhlas menjadikan pelakunya tidak semata-mata menuntut atau mengandalkan imbalan di sini dan sekarang (duniawi), tetapi pandangan dan visinya harus melampaui batas-batas kekinian dan kedisinian, yaitu kekal di akhirat sana. Berangkat dari hal ini, setiap pekerjaan hendaknya dihiasi dengan niat yang tulus, serta hendaknya juga dimulai dengan membaca Basmalah untuk mengingatkan pelakunya tentang tujuan akhir yang diharapkan dari kerjanya, serta menyadarkan dirinya tentang anugerah Allah yang menjadikannya mampu melaksanakan pekerjaan itu.
Kedua, tiada waktu tanpa kerja (amal saleh) dalam hidup. Al-Quran tidak memberi peluang bagi seseorang untuk menganggur sepanjang saat yang dialami dalam kehidupan dunia ini. Faidzâ faraghta fanshab (QS. 94: 7). Kata faraghta terambil dari kata faragha, yang berarti “kosong setelah sebelumnya penuh”. Kata ini tidak digunakan kecuali untuk menggambarkan kekosongan yang didahului oleh kepenuhan, termasuk keluangan yang didahului oleh kesibukan. Seseorang yang telah memenuhi waktunya dengan pekerjaan, kemudian ia menyelesaikan pekerjaan tersebut, maka waktu antara selesainya pekerjaan pertama dan dimulainya pekerjaan selanjutnya dinamai faragha. Ayat di atas berpesan, “Kalau engkau dalam keluangan sedang sebelumnya engkau telah memenuhi waktumu dengan kerja, maka fanshab”. Kata fanshab antara lain berarti berat, letih. Pada mulanya ia berarti "menegakkan sesuatu sampai nyata dan mantap”. fanshab seakar dengn kata "nasib" yang biasa difahami sebagai ”bahagian tertentu yang diperoleh dalam kehidupan yang telah ditegakkan, sehingga menjadi nyata dan tidak dapat (sulit) dielakkan”. Atas dasar ini, ayat di atas dapat diterjemahkan, “Maka apabila engkau telah berada di dalam keluangan (setelah tadinya engkau sibuk), maka (bersungguh-sungguhlah bekerja) sampai engkau letih, atau tegakkanlah (persoalan baru ) sehingga menjadi nyata".
Ketiga, bertebaran ayat dan hadis Nabi yang menuntut umat Islam agar bekerja dengan penuh kesungguhan, apik, dan bukan asal jadi. "Sesungguhnya Allah senang apabila salah seorang di antara kamu mengerjakan satu pekerjaan, (bila) dikerjakannya dengan baik (jitu)”, demikian sabda Nabi Muhammad Saw. Di sisi lain perlu dicatat bahwa Nabi pernah menjelaskan kepada malaikat Jibril tentang makna Ihsân (kebajikan) dengan sabdanya: “Ihsân adalah beribadah kepada Allah sekan-akan engkau melihat-Nya. Bila tak mampu, maka yakinlah bahwa Allah melihatmu”. Ibadah ritual atau ibadah secara umum bila didasari oleh petunjuk ini pastilah akan lahir bentuk keindahan dan keapikan yang mengagumkan.
Ketiga, penghargaan kepada waktu. Al-Quran mengaitkan dengan sangat erat antara waktu dan kerja keras, antara lain melalui surah al-‘Ashr. ‘Ashr berarti memeras. Waktu dinamai ‘ashr karena seseorang dituntut untuk memeras tenaga dan fikirannya untuk mengisi waktunya. Mereka yang tidak memerasnya akan rugi dan kerugian itu akan dirasakannya pada ‘ashr umurnya, yakni pada saat tua atau menjelang kehadiran ajalnya. Dalam konteks menghargai waktu, apabila ada dua alternatif untuk melakukan satu pekerjaan yang sama dan nilainya sama, maka hendaknya dipilih yang menggunakan waktu lebih singkat.
Di sisi lain, apabila ada pekerjaan yang mengandung nilai tambah dan dapat diselesaikan dalam waktu yang sama tanpa nilai tambah, maka pilihlah yang memiliki nilai tambah. Itu sebabnya shalat jamaah jauh lebih dianjurkan daripada shalat sendirian, karena waktu yang digunakan untuk kedua shalat sama atau tidak jauh berbeda, tetapi nilai tambah berupa ganjarannya adalah 27:1.
Kelima, kerja sama dalam melakukan sesuatu (bekerja). Pernyataan seorang muslim dalam shalat, iyyâka na'budu (hanya kepada-Mu kami beribadah), yang dikemukakan dalam bentuk jamak itu -- walau yang bersangkutan shalat sendirian -- menunjukkan bahwa Islam sangat mendambakan kerjasama dalam melaksanakan ibadah, termasuk dalam bekerja. Dengan kerjasama akan lahir harmonisme, yang pada gilirannya akan mempercepat penyelesaian pekerjaan dan mempermudahnya. Kerjasama akan meningkatkan produktivitas.
Keenam, optimisme dalam bekerja. Kerja harus dibarengi dengan optimisme dan harapan akan bantuan Ilahi, sebagaimana ditegaskan dalam surah asy-Syarh: fa inna ma'al 'usri yusran, inna ma'al 'usri yusran. Ayat ini menegaskan bahwa satu kesulitan akan dibarengi dengan dua kemudahan. Karena itu, akhir surah tersebut menyatakan, wa ilâ Rabbika farghab (Hanya kepada Tuhanmulah, hendaknya engkau berharap).
Manusia dituntut untuk melakukan usaha, atau dalam bahasa al-Quran disebut sa'y. Usaha tersebut harus bertolak dari Shafâ yang arti harfiahnya adalah “kesucian” dan berakhir di Marwah. Bila terpenuhi usahanya akan berakhir dengan “kepuasaan” (Marwah). Insya Allah, ia akan memperoleh hasil dari sumber yang ia sendiri tidak pernah menduganya.
Ketujuh, rejeki yang diraih dari hasil kerja seseorang. Rejeki ada dua macam, yaitu “rejeki materil” dan “rejeki spirituil”. Jangan pernah menduga bahwa rejeki hanya sesuatu yang bersifat materil. Seorang yang berpenghasilan sepuluh juta belum tentu mendapat rejeki lebih banyak daripada yang berpenghasilan lima juta. Karena, yang berpenghasilan sepuluh juta itu boleh jadi tidak meraih ketenangan, sehingga – katakanlah – bila anaknya sakit, ia cepat-cepat membawanya ke dokter dan memberikannya obat. Sedangkan yang mendapat rejeki materil hanya lima juta, bila disertai dengan rejeki spirituil, boleh jadi dia membeli untuk anaknya salah satu obat di kedai obat dan sembuh. Jika kecemasan berlarut-larut, maka rejeki materil yang diperoleh pada akhirnya akan sangat berkurang, bahkan lebih kurang daripada yang tadinya hanya memperoleh setengah penghasilannya. Demikian, Wallahu a’lam.
Ibadah dan Kerja atau sebaliknya mengesankan bahwa ibadah berbeda dengan kerja. Padahal, lebih baik secara konseptual juga secara praktis, bila keduanya disamakan, sehingga menjadikan aktivitas yang dilakukan menjadi ibadah dan pengabdian kepada Tuhan Yang Mahaesa.
Ibadah dan Kerja atau sebaliknya mengesankan bahwa ibadah berbeda dengan kerja. Ini karena dua hal itu diselingi oleh kata dan yang mengandung arti bahwa keduanya berbeda. Dengan demikian, Ibadah berbeda dengan kerja. Hal tersebut dapat dibenarkan, karena memang banyak orang yang membedakannya dalam praktik hidup mereka. Misalnya, seseorang beribadah di masjid atau gereja dalam arti menyadari kehadiran Tuhan dan melakukan apa yang diperintahkan-Nya. Namun, ketika di kantor atau pasar, ia bekerja tanpa mengingat kehadiran Tuhan, bahkan bisa jadi melanggar perintah-Nya. Padahal, lebih baik secara konseptual juga secara praktis, bila kita berkata bahwa “ibadah adalah kerja” atau “kerja adalah ibadah”, sehingga menjadikan aktivitas yang dilakukan menjadi ibadah dan pengabdian kepada Tuhan Yang Mahaesa.
Kerja didefinisikan sebagai penggunaan daya. Manusia secara garis besar dianugerahi Tuhan empat daya pokok, yaitu daya fisik, yang menghasilkan kegiatan fisik dan keterampilan; daya pikir yang mendorong pemiliknya berfikir dan menghasilkan ilmu pengetahuan; daya kalbu yang menjadikan manusia mampu berkhayal, mengekspresikan keindahan, serta beriman, merasakan, dan berhubungan dengan Allah Sang Maha Pencipta; dan daya hidup yang menghasilkan semangat juang, kemampuan menghadapi tantangan, serta menanggulangi kesulitan.
Penggunaan salah satu dari daya-daya tersebut -- betapapun sederhananya -- melahiran kerja, atau “amal” dalam istilah agama. Anda tidak dapat hidup tanpa menggunakan (paling sedikit) salah satu dari daya itu. Untuk melangkah, anda memerlukan daya fisik, paling tidak guna menghadapi daya tarik bumi. Karena itu, kerja adalah keniscayaan. Tetapi, perlu diingat bahwa kerja atau amal yang dituntut oleh-Nya bukan asal kerja, tetapi kerja yang baik (amal saleh). Saleh adalah yang sesuai, bermanfaat, lagi memenuhi syarat-syarat dan nilai-nilainya. Sebuah kursi yang tidak hanya memiliki tiga kaki, sehingga tidak dapat diduduki, maka ia bukan kursi yang saleh. Ia tidak bermanfaat karena tidak memenuhi nilai-nilai yang menjadikannya dapat dijadikan tempat duduk. Seseorang dituntut untuk melakukan yang saleh, karena itu bila ia bertemu dengan sesuatu yang tidak memenuhi nilai-nilainya, maka ia dituntut untuk melakukan perbaikan (ishlâh) dengan menambah yang kurang dari nilainya itu, yakni menambah satu kaki bagi kursi tadi. Bahkan, ishlâh yang lebih baik lagi adalah memberi nilai tambah bagi kursi yang saleh, sehingga ia bukan saja dapat diduduki, tetapi juga nyaman dan indah dipandang.
Ibadah terambil dari akar kata yang sama dengan ‘abid. Lalu, darinya dibentuk kata Abdullah yang arti harfiyahnya adalah ”hamba Allah”. Dalam kamus-kamus bahasa, ‘abid (atau abdi) mempunyai sekian banyak arti. "Hamba sahaya, anak panah yang pendek dan lebar, serta "tumbuhan yang memiliki aroma yang harum". Apabila seseorang menjadi 'abid/”abdi” sesuatu, anggaplah sebagai abdi negara, maka ketiga arti di atas merupakan sifat dan sikapnya yang menonjol.
Seorang hamba sahaya tidak memiliki sesuatu. Apa yang dimilikinya adalah milik tuannya. Dia adalah anak panah yang dapat digunakan tuannya untuk tujuan yang dikehendaki sang tuan, dan dalam saat yang sama dia juga harus mampu memberi aroma yang harum bagi lingkungannya. Pengabdian bukan hanya sekedar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia adalah satu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia mengabdi, serta sebagai dampak dari keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau arti hakikatnya.
Sementara pakar berkata bahwa ada tiga unsur pokok yang merupakan hakikat ibadah kepada Allah: Pertama, si pengabdi tidak menganggap apa yang berada dalam genggaman tangannya sebagai miliknya, karena yang dinamai hamba tidak memi liki sesuatu. Apa yang dimilikinya adalah milik tuannya. Kedua, segala usahanya hanya berkisar pada mengindahkan apa yang diperintahkan oleh siapa yang kepadanya ia mengabdi. Ketiga, tidak memastikan sesuatu untuk dilaksanakan, kecuali mengaitkannya dengan izin dan restu siapa yang kepadanya ia mengabdi.
Ada dua ragam ibadah, yaitu: Pertama, ibadah murni, yaitu kegiatan yang telah ditentukan Tuhan atau Nabi-Nya dalam hal cara, waktu, kadar, atau tempatnya. Bagi seorang muslim, shalat, zakat, puasa, dan haji adalah ibadah murni, karena cara, waktu, atau kadarnya telah ditentukan Tuhan. Kedua, ibadah umum, yaitu semua aktivitas yang dilakukan dengan motivasi memenuhi perintah Tuhan. Berdandan, misalnya, dapat bernilai ibadah jika motivasinya ingin tampil indah sebagaimana diperintahkan Tuhan, bukan untuk merayu dan menggoda. Bahkan, Nabi Muhammad Saw. pernah menyatakan bahwa hubungan seks dengan pasangan yang sah pun merupakan ibadah, selama motivasinya dibenarkan agama. Dengan demikian, motivasi-lah yang menjadikan satu aktivitas dinilai ibadah atau bukan. Dua orang yang menggunakan pisau yang sama dalam memotong kaki seseorang, dapat berbeda nilai kegiatannya tergantung dari motivasinya. Jika yang pertama seorang dokter yang mengamputasi pasiennya, maka aktivitasnya ini dapat menjadi ibadah, berbeda dengan seorang penjahat yang melakukan hal serupa. Jika demikian, semua aktivitas dapat menjadi ibadah, selama motivasinya sejalan dengan tuntunan Tuhan.
Dalam konteks beribadah, kita harus pandai-pandai memilih apa yang disenangi Tuhan bukan apa yang kita senangi. Dari sini ada prioritas-prioritas yang harus menjadi pilihan. Secara umum, membersihkan diri dari yang kotor lebih baik daripada menghiasi diri dengan yang indah. Mandi tanpa parfum lebih baik daripada memakai parfum tanpa mandi. Ironinya, sementara kita melakukan kegiatan ibadah yang bersifat menghiasi diri (tidak wajib), tetapi tidak meninggalkan larangan Tuhan yang bersifat wajib. Ini adalah kekeliruan umum dalam ibadah kita.
Sekian banyak hal yang berkaitan dengan aktivitas kerja dan ibadah yang harus mendapat perhatian, antara lain: Pertama, motivasi mesti menjadi landasan setiap aktivitas agar lebih terarah. Guna bernilai ibadah, maka aktivitas harus tertuju kepada Tuhan, yang dalam bahasa agama disebut ikhlash. Ikhlas menjadikan pelakunya tidak semata-mata menuntut atau mengandalkan imbalan di sini dan sekarang (duniawi), tetapi pandangan dan visinya harus melampaui batas-batas kekinian dan kedisinian, yaitu kekal di akhirat sana. Berangkat dari hal ini, setiap pekerjaan hendaknya dihiasi dengan niat yang tulus, serta hendaknya juga dimulai dengan membaca Basmalah untuk mengingatkan pelakunya tentang tujuan akhir yang diharapkan dari kerjanya, serta menyadarkan dirinya tentang anugerah Allah yang menjadikannya mampu melaksanakan pekerjaan itu.
Kedua, tiada waktu tanpa kerja (amal saleh) dalam hidup. Al-Quran tidak memberi peluang bagi seseorang untuk menganggur sepanjang saat yang dialami dalam kehidupan dunia ini. Faidzâ faraghta fanshab (QS. 94: 7). Kata faraghta terambil dari kata faragha, yang berarti “kosong setelah sebelumnya penuh”. Kata ini tidak digunakan kecuali untuk menggambarkan kekosongan yang didahului oleh kepenuhan, termasuk keluangan yang didahului oleh kesibukan. Seseorang yang telah memenuhi waktunya dengan pekerjaan, kemudian ia menyelesaikan pekerjaan tersebut, maka waktu antara selesainya pekerjaan pertama dan dimulainya pekerjaan selanjutnya dinamai faragha. Ayat di atas berpesan, “Kalau engkau dalam keluangan sedang sebelumnya engkau telah memenuhi waktumu dengan kerja, maka fanshab”. Kata fanshab antara lain berarti berat, letih. Pada mulanya ia berarti "menegakkan sesuatu sampai nyata dan mantap”. fanshab seakar dengn kata "nasib" yang biasa difahami sebagai ”bahagian tertentu yang diperoleh dalam kehidupan yang telah ditegakkan, sehingga menjadi nyata dan tidak dapat (sulit) dielakkan”. Atas dasar ini, ayat di atas dapat diterjemahkan, “Maka apabila engkau telah berada di dalam keluangan (setelah tadinya engkau sibuk), maka (bersungguh-sungguhlah bekerja) sampai engkau letih, atau tegakkanlah (persoalan baru ) sehingga menjadi nyata".
Ketiga, bertebaran ayat dan hadis Nabi yang menuntut umat Islam agar bekerja dengan penuh kesungguhan, apik, dan bukan asal jadi. "Sesungguhnya Allah senang apabila salah seorang di antara kamu mengerjakan satu pekerjaan, (bila) dikerjakannya dengan baik (jitu)”, demikian sabda Nabi Muhammad Saw. Di sisi lain perlu dicatat bahwa Nabi pernah menjelaskan kepada malaikat Jibril tentang makna Ihsân (kebajikan) dengan sabdanya: “Ihsân adalah beribadah kepada Allah sekan-akan engkau melihat-Nya. Bila tak mampu, maka yakinlah bahwa Allah melihatmu”. Ibadah ritual atau ibadah secara umum bila didasari oleh petunjuk ini pastilah akan lahir bentuk keindahan dan keapikan yang mengagumkan.
Ketiga, penghargaan kepada waktu. Al-Quran mengaitkan dengan sangat erat antara waktu dan kerja keras, antara lain melalui surah al-‘Ashr. ‘Ashr berarti memeras. Waktu dinamai ‘ashr karena seseorang dituntut untuk memeras tenaga dan fikirannya untuk mengisi waktunya. Mereka yang tidak memerasnya akan rugi dan kerugian itu akan dirasakannya pada ‘ashr umurnya, yakni pada saat tua atau menjelang kehadiran ajalnya. Dalam konteks menghargai waktu, apabila ada dua alternatif untuk melakukan satu pekerjaan yang sama dan nilainya sama, maka hendaknya dipilih yang menggunakan waktu lebih singkat.
Di sisi lain, apabila ada pekerjaan yang mengandung nilai tambah dan dapat diselesaikan dalam waktu yang sama tanpa nilai tambah, maka pilihlah yang memiliki nilai tambah. Itu sebabnya shalat jamaah jauh lebih dianjurkan daripada shalat sendirian, karena waktu yang digunakan untuk kedua shalat sama atau tidak jauh berbeda, tetapi nilai tambah berupa ganjarannya adalah 27:1.
Kelima, kerja sama dalam melakukan sesuatu (bekerja). Pernyataan seorang muslim dalam shalat, iyyâka na'budu (hanya kepada-Mu kami beribadah), yang dikemukakan dalam bentuk jamak itu -- walau yang bersangkutan shalat sendirian -- menunjukkan bahwa Islam sangat mendambakan kerjasama dalam melaksanakan ibadah, termasuk dalam bekerja. Dengan kerjasama akan lahir harmonisme, yang pada gilirannya akan mempercepat penyelesaian pekerjaan dan mempermudahnya. Kerjasama akan meningkatkan produktivitas.
Keenam, optimisme dalam bekerja. Kerja harus dibarengi dengan optimisme dan harapan akan bantuan Ilahi, sebagaimana ditegaskan dalam surah asy-Syarh: fa inna ma'al 'usri yusran, inna ma'al 'usri yusran. Ayat ini menegaskan bahwa satu kesulitan akan dibarengi dengan dua kemudahan. Karena itu, akhir surah tersebut menyatakan, wa ilâ Rabbika farghab (Hanya kepada Tuhanmulah, hendaknya engkau berharap).
Manusia dituntut untuk melakukan usaha, atau dalam bahasa al-Quran disebut sa'y. Usaha tersebut harus bertolak dari Shafâ yang arti harfiahnya adalah “kesucian” dan berakhir di Marwah. Bila terpenuhi usahanya akan berakhir dengan “kepuasaan” (Marwah). Insya Allah, ia akan memperoleh hasil dari sumber yang ia sendiri tidak pernah menduganya.
Ketujuh, rejeki yang diraih dari hasil kerja seseorang. Rejeki ada dua macam, yaitu “rejeki materil” dan “rejeki spirituil”. Jangan pernah menduga bahwa rejeki hanya sesuatu yang bersifat materil. Seorang yang berpenghasilan sepuluh juta belum tentu mendapat rejeki lebih banyak daripada yang berpenghasilan lima juta. Karena, yang berpenghasilan sepuluh juta itu boleh jadi tidak meraih ketenangan, sehingga – katakanlah – bila anaknya sakit, ia cepat-cepat membawanya ke dokter dan memberikannya obat. Sedangkan yang mendapat rejeki materil hanya lima juta, bila disertai dengan rejeki spirituil, boleh jadi dia membeli untuk anaknya salah satu obat di kedai obat dan sembuh. Jika kecemasan berlarut-larut, maka rejeki materil yang diperoleh pada akhirnya akan sangat berkurang, bahkan lebih kurang daripada yang tadinya hanya memperoleh setengah penghasilannya. Demikian, Wallahu a’lam.
HIKMAH TAHUN ABRU HIJRIAH
OLEH: MOH. SAFRUDIN
Peristiwa Hijrah memiliki beberapa dimensi yang menarik untuk dikaji. Dimensi Pertama, secara fisik Rasulullah Saw. bersama dengan sahabat-sahabat setianya mengungsi dari puncak tekanan fisik kaum kafir Quraisy Mekah menuju ke kota Yatsrib, yang kemudian diganti dengan nama baru, Madinah. Nama Yatsrib diambil dari Asiris, nama salah satu suku yang berasal dari kawasan hulu sungai Nil, Mesir, yang merantau dan menduduki kawasan yang dipadati dengan banyak oase ini. Mereka memberi nama daerah hunian baru ini dengan Yatsrib untuk mengenang kota asal mereka. Rasulullah merubah nama Yatsrib menjadi Madinah, karena nama Yatsrib mengandung konotasi pendudukan dari negeri seberang.
Kata “madinah” yang biasa berarti “kota”, berasal dari kata yang sama dengan madaniyyah atau tamaddun berarti “peradaban” (civilization). Secara harfiah kata “madinah” adalah “tempat peradaban”, atau suatu lingkungan hidup yang beradab (kesopanan, civility), yakni tidak “liar”. Padanannya dalam bahasa Arab ialah al-hadhârah, seakar kata dengan hâdhir (Indonesia: “hadir”) yang menunjuk kepada pengertian “pola hidup menetap di suatu tempat”. Pengertian tersebut erat kaitannya dengan tsaqafah (budaya/culture). Lawan dari kata tersebut ialah badâwah, bâdiyah atau badw, yang mengandung makna pola kehidupan berpindah-pindah (nomad) dan terkesan primitif, seperti pola kehidupan pandang pasir. Kata badâwah seakar kata dengan ibtida, seperti kata madrasah ibtidaiyah (sekolah tingkat permulaan), artinya orang-orang yang berpola kehidupan berpindah-pindah.
Obsesi hijrah dalam hal ini adalah berupaya mengalihkan masyarakat badâwah yang berbudaya kasar dan sederhana menjadi masyarakat madani yang berbudaya dan berperadaban tinggi. Masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemajemukan dan pluralisme serta menghargai pendapat-pendapat yang berbeda di dalam masyarakat. Masyarakat madani menghargai keterbukaan dan sikap-sikap demokratis lainnya. Masyarakat madani ialah masyarakat yang menjunjung tinggi akhlak mulia yang penuh dengan sopan santun.
Dimensi kedua, peralihan masyarakat kabilah menjadi masyarakat ummah. Masyarakat kabilah adalah masyarakat yang dipersatukan oleh ikatan-ikatan primordial seperti ikatan kesukuan, kebangsaan, kebahasaan, kedaerahan, dan atribut-atribut lokal lainnya. Dalam masyarakat kabilah, kemuliaan seseorang diukur berdasarkan derajat kebangsawanan, kekayaan, dan keberanian. Promosi karir hanya bergulir di kalangan laki-laki. Perempuan tidak dapat memperoleh akses untuk menjadi pemimpin atau kepala kabilah. Bahkan, kaum perempuan tidak bisa memperoleh harta warisan, tidak boleh menjadi saksi, dan tidak dibenarkan aktif di dunia publik, sebaliknya hanya dibolehkan aktif di dalam rumah atau sebagai penjaga kemah.
Adapun masyarakat ummah ialah masyarakat yang dihimpun oleh ikatan spiritual keagamaan. Kemuliaan seseorang diukur berdasarkan prestasi individual, tanpa membedakan jenis kelamin, suku bangsa dan etnik dari mana ia berasal. Ini sesuai dengan ayat 13 surah al-Hujurat di atas:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakanmu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang-orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
Promosi karir semestinya dapat diakses oleh siapapun yang memiliki kemampuan, tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit dan asal-usul. Mereka semua sama-sama sebagai khalifah dan sebagai hamba. Masyarakat ummah adalah masyarakat yang bercorak global, terbuka untuk etnik manapun dan warna kulit apapun. Dalam masyarakat ummah, setiap orang memiliki rasa percaya diri tanpa harus terganggu oleh asal-usul keturunannya, walau berasal dari hamba sahaya sekalipun. Mereka berhak untuk sederet dan sejajar dengan orang-orang lain di shaf pertama masjid. Nabi Muhammad dengan konsep ummah-nya dapat dikatakan perintis dan pelopor hak-hak asasi manusia (HAM). Beliaulah yang mengangkat martabat perempuan dan beliaulah yang mempersamakan kedudukan suku Quraisy dan suku-suku lainnya.
Dimensi ketiga, peralihan dari masyarakat jahiliyah, yang tidak memberikan tempat memadai bagi tumbuhnya tradisi keilmuan, menuju masyarakat yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Obsesi ini sejak awal terlihat ketika ayat yang pertama kali diturunkan, yaitu:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ . خَلَقَ اْلإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ . اقْرَأْ وَرَبُّكَ اْلأَكْرَمُ . الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ . عَلَّمَ اْلإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.
Ayat ini kemudian disusul dengan ayat berikutnya dan sekaligus sebagai sumpah Tuhan pertama dalam al-Qur’an, yaitu:
ن . وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ
“Nun. Demi kalam dan apa yang mereka tulis”.
Kedua ayat di atas menjadi simbol betapa pentingnya kedudukan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Perintah membaca kepada Nabi Muhammad tentu bukan saja berarti membaca huruf-huruf kecil dalam bentuk abjad secara tekstual, tetapi juga membaca ayat-ayat kauniyah, membaca tanda-tanda zaman, dan membaca fenomena-fenomena alam. Kesuksesan Rasulullah Saw. dalam menjalankan misinya karena ditopang oleh kemampuan beliau membaca masyarakatnya dengan segala keunikannya.
Menurut Prof. Hull dalam buku terkenalnya, History of philosopy of science, kejahiliyahan umat manusia menjelang Rasulullah dilahirkan disebabkan karena penguasa Roma yang menekan kebebasan berfikir dan memaksakan ajaran serta tradisi Kristen tanpa bisa dibantah. Penguasa gereja dan penguasa negara bekerjasama memegang otoritas kebenaran. Tidak ada orang yang berani melakukan tugas-tugas intelektual dan keilmuan, karena suatu penemuan yang tidak sejalan dengan pendapat negara dan gereja berarti malapetaka bagi sang penemunya.
Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, ia sendiri memimpin upaya pembebasan masyarakat dari kejahiliyahan. Suatu ketika Rasulullah memberikan pembebasan bersyarat kepada para tawanan perang Badar. Tawanan perang laki-laki dalam tradisi jahiliyah harus dibunuh, tetapi kali ini Rasulullah mengidentifikasi kemampuan dan potensi tawanan perang tersebut. Setiap orang yang memiliki keterampilan tertentu, seperti tukang besi, tukang senjata, tukang kayu, tukang batu, pengrajin kulit, ahli bahasa asing, dan kelompok-kelompok keahlian lainnya, harus mengajarkan ilmunya itu kepada tiap-tiap kelompok masyarakat yang masing-masing berjumlah 20 orang. Dalam tempo yang tidak terlalu lama, terwujudlah SDM-SDM yang berkualitas dan penuh kemandirian. Michel Hart menganggap Nabi Muhammad satu-satunya orang yang mampu menyaksikan keberhasilan ajaran yang dibawanya menyebar ke hampir separuh belahan dunia dan karena itu, ia menempatkan Nabi Muhammad pada rangking pertama di antara 100 tokoh besar sepanjang sejarah umat manusia.
Peristiwa hijrah yang kita peringati itu sarat dengan berbagai makna yang sangat berharga untuk kemanusiaan. Hijrah sesungguhnya tidak lain adalah sebuah gerakan reformasi damai yang menyejukkan. Reformasi tanpa darah yang menetes, reformasi yang tetap menjunjung tinggi akhlâq al-karîmah, reformasi yang melahirkan kesejahteraan umat, reformasi yang menjunjung tinggi asas hukum dan hak asasi manusia, reformasi mengangkat harkat martabat manusia tanpa mengecualikan agama, etnik dan kelompok tertentu.
Mudah-mudahan Allah swt. senantiasa membimbing kita untuk meniti jalan yang diridhai-Nya. Āmîn yâ rabbal ‘âlamin.
Sumber :
Ditulis sendiri oleh Moh. safrudin.
Peristiwa Hijrah memiliki beberapa dimensi yang menarik untuk dikaji. Dimensi Pertama, secara fisik Rasulullah Saw. bersama dengan sahabat-sahabat setianya mengungsi dari puncak tekanan fisik kaum kafir Quraisy Mekah menuju ke kota Yatsrib, yang kemudian diganti dengan nama baru, Madinah. Nama Yatsrib diambil dari Asiris, nama salah satu suku yang berasal dari kawasan hulu sungai Nil, Mesir, yang merantau dan menduduki kawasan yang dipadati dengan banyak oase ini. Mereka memberi nama daerah hunian baru ini dengan Yatsrib untuk mengenang kota asal mereka. Rasulullah merubah nama Yatsrib menjadi Madinah, karena nama Yatsrib mengandung konotasi pendudukan dari negeri seberang.
Kata “madinah” yang biasa berarti “kota”, berasal dari kata yang sama dengan madaniyyah atau tamaddun berarti “peradaban” (civilization). Secara harfiah kata “madinah” adalah “tempat peradaban”, atau suatu lingkungan hidup yang beradab (kesopanan, civility), yakni tidak “liar”. Padanannya dalam bahasa Arab ialah al-hadhârah, seakar kata dengan hâdhir (Indonesia: “hadir”) yang menunjuk kepada pengertian “pola hidup menetap di suatu tempat”. Pengertian tersebut erat kaitannya dengan tsaqafah (budaya/culture). Lawan dari kata tersebut ialah badâwah, bâdiyah atau badw, yang mengandung makna pola kehidupan berpindah-pindah (nomad) dan terkesan primitif, seperti pola kehidupan pandang pasir. Kata badâwah seakar kata dengan ibtida, seperti kata madrasah ibtidaiyah (sekolah tingkat permulaan), artinya orang-orang yang berpola kehidupan berpindah-pindah.
Obsesi hijrah dalam hal ini adalah berupaya mengalihkan masyarakat badâwah yang berbudaya kasar dan sederhana menjadi masyarakat madani yang berbudaya dan berperadaban tinggi. Masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemajemukan dan pluralisme serta menghargai pendapat-pendapat yang berbeda di dalam masyarakat. Masyarakat madani menghargai keterbukaan dan sikap-sikap demokratis lainnya. Masyarakat madani ialah masyarakat yang menjunjung tinggi akhlak mulia yang penuh dengan sopan santun.
Dimensi kedua, peralihan masyarakat kabilah menjadi masyarakat ummah. Masyarakat kabilah adalah masyarakat yang dipersatukan oleh ikatan-ikatan primordial seperti ikatan kesukuan, kebangsaan, kebahasaan, kedaerahan, dan atribut-atribut lokal lainnya. Dalam masyarakat kabilah, kemuliaan seseorang diukur berdasarkan derajat kebangsawanan, kekayaan, dan keberanian. Promosi karir hanya bergulir di kalangan laki-laki. Perempuan tidak dapat memperoleh akses untuk menjadi pemimpin atau kepala kabilah. Bahkan, kaum perempuan tidak bisa memperoleh harta warisan, tidak boleh menjadi saksi, dan tidak dibenarkan aktif di dunia publik, sebaliknya hanya dibolehkan aktif di dalam rumah atau sebagai penjaga kemah.
Adapun masyarakat ummah ialah masyarakat yang dihimpun oleh ikatan spiritual keagamaan. Kemuliaan seseorang diukur berdasarkan prestasi individual, tanpa membedakan jenis kelamin, suku bangsa dan etnik dari mana ia berasal. Ini sesuai dengan ayat 13 surah al-Hujurat di atas:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakanmu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang-orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
Promosi karir semestinya dapat diakses oleh siapapun yang memiliki kemampuan, tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit dan asal-usul. Mereka semua sama-sama sebagai khalifah dan sebagai hamba. Masyarakat ummah adalah masyarakat yang bercorak global, terbuka untuk etnik manapun dan warna kulit apapun. Dalam masyarakat ummah, setiap orang memiliki rasa percaya diri tanpa harus terganggu oleh asal-usul keturunannya, walau berasal dari hamba sahaya sekalipun. Mereka berhak untuk sederet dan sejajar dengan orang-orang lain di shaf pertama masjid. Nabi Muhammad dengan konsep ummah-nya dapat dikatakan perintis dan pelopor hak-hak asasi manusia (HAM). Beliaulah yang mengangkat martabat perempuan dan beliaulah yang mempersamakan kedudukan suku Quraisy dan suku-suku lainnya.
Dimensi ketiga, peralihan dari masyarakat jahiliyah, yang tidak memberikan tempat memadai bagi tumbuhnya tradisi keilmuan, menuju masyarakat yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Obsesi ini sejak awal terlihat ketika ayat yang pertama kali diturunkan, yaitu:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ . خَلَقَ اْلإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ . اقْرَأْ وَرَبُّكَ اْلأَكْرَمُ . الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ . عَلَّمَ اْلإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.
Ayat ini kemudian disusul dengan ayat berikutnya dan sekaligus sebagai sumpah Tuhan pertama dalam al-Qur’an, yaitu:
ن . وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ
“Nun. Demi kalam dan apa yang mereka tulis”.
Kedua ayat di atas menjadi simbol betapa pentingnya kedudukan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Perintah membaca kepada Nabi Muhammad tentu bukan saja berarti membaca huruf-huruf kecil dalam bentuk abjad secara tekstual, tetapi juga membaca ayat-ayat kauniyah, membaca tanda-tanda zaman, dan membaca fenomena-fenomena alam. Kesuksesan Rasulullah Saw. dalam menjalankan misinya karena ditopang oleh kemampuan beliau membaca masyarakatnya dengan segala keunikannya.
Menurut Prof. Hull dalam buku terkenalnya, History of philosopy of science, kejahiliyahan umat manusia menjelang Rasulullah dilahirkan disebabkan karena penguasa Roma yang menekan kebebasan berfikir dan memaksakan ajaran serta tradisi Kristen tanpa bisa dibantah. Penguasa gereja dan penguasa negara bekerjasama memegang otoritas kebenaran. Tidak ada orang yang berani melakukan tugas-tugas intelektual dan keilmuan, karena suatu penemuan yang tidak sejalan dengan pendapat negara dan gereja berarti malapetaka bagi sang penemunya.
Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, ia sendiri memimpin upaya pembebasan masyarakat dari kejahiliyahan. Suatu ketika Rasulullah memberikan pembebasan bersyarat kepada para tawanan perang Badar. Tawanan perang laki-laki dalam tradisi jahiliyah harus dibunuh, tetapi kali ini Rasulullah mengidentifikasi kemampuan dan potensi tawanan perang tersebut. Setiap orang yang memiliki keterampilan tertentu, seperti tukang besi, tukang senjata, tukang kayu, tukang batu, pengrajin kulit, ahli bahasa asing, dan kelompok-kelompok keahlian lainnya, harus mengajarkan ilmunya itu kepada tiap-tiap kelompok masyarakat yang masing-masing berjumlah 20 orang. Dalam tempo yang tidak terlalu lama, terwujudlah SDM-SDM yang berkualitas dan penuh kemandirian. Michel Hart menganggap Nabi Muhammad satu-satunya orang yang mampu menyaksikan keberhasilan ajaran yang dibawanya menyebar ke hampir separuh belahan dunia dan karena itu, ia menempatkan Nabi Muhammad pada rangking pertama di antara 100 tokoh besar sepanjang sejarah umat manusia.
Peristiwa hijrah yang kita peringati itu sarat dengan berbagai makna yang sangat berharga untuk kemanusiaan. Hijrah sesungguhnya tidak lain adalah sebuah gerakan reformasi damai yang menyejukkan. Reformasi tanpa darah yang menetes, reformasi yang tetap menjunjung tinggi akhlâq al-karîmah, reformasi yang melahirkan kesejahteraan umat, reformasi yang menjunjung tinggi asas hukum dan hak asasi manusia, reformasi mengangkat harkat martabat manusia tanpa mengecualikan agama, etnik dan kelompok tertentu.
Mudah-mudahan Allah swt. senantiasa membimbing kita untuk meniti jalan yang diridhai-Nya. Āmîn yâ rabbal ‘âlamin.
Sumber :
Ditulis sendiri oleh Moh. safrudin.
Selasa, 08 Desember 2009
CARA SEDERHANA MENCEGAH KORUPSI
Oleh: Moh. Safrudin
Pada setiap tanggal 9 Desember, sebagaimana pada hari ini, diperingati sebagai hari anti korupsi sedunia. Tadi malam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato menyambut hari anti korupsi itu. Dia menyerukan kepada semua warga negara agar melanjutkan perjuangan melawan kejahatan itu. Presiden di antaranya juga menyatakan ingin selalu berada di garda depan dalam segala gerakan melawan korupsi. Bahkan, karena begitu semangatnya, ia menyatakan bahwa melawan korupsi sebagai jihad. Dengan tegas, -------saya saksikan sendiri, ia mengatakan : “saya akan jihad melawan korupsi”.
Sedemikian serius genderang perang melawan korupsi. Tetapi sesungguhnya, yang perlu dipertanyakan adalah, siapa sebenarnya yang harus dimusuhi itu. Istilah korupsi lekat dengan dunia birokrasi. Korupsi ada di kantor-kantor, baik kantor pemerintah ataupun juga swasta. Selama ini, korupsi di kantor pemerintah lebih popular daripada di tempat lainnya.
Seandainya ada penyimpangan keuangan atau bentuk harta kekayaan lainnya, jika itu terjadi di luar kantor pemerintah, biasanya tidak disebut sebagai korupsi. Kegiatan ekonomi di pasar, di kebun, di laut yang dilakukan oleh para nelayan penangkap ikan, umumnya tidak pernah dikenal ada tindak korupsi. Penyimpangan selalu ada di mana-mana, termasuk penyimpangan keuangan. Tetapi penyimpangan selain di kantor pemerintah, biasanya tidak disebut dengan istilah korupsi. Sekalipun bentuk penyimpangan sama, jika hal itu dilakukan di luar kantor pemerintah, maka menggunakan sebutan lain, seperti misalnya ghasab, ngemplang, mencuri, merampok, merompak, menyolet dan lain-lain.
Dengan demikian, korupsi memang hanya terjadi di kantor-kantor birokrasi. Oleh karena itu jika selama ini dikumandangkan gerakan anti korupsi, maka sasarannya adalah jelas, Perang itu adalah melawan orang-orang yang menggelapkan keuangan di kantor-kantor pemerintah untuk kepentingan dirinya sendiri. Mereka itu ada di kantor-kantor berbagai departemen. Selain itu juga ada di pemerintahan mulai dari di kantor RT, RW, (kalau ada uangnya) kepala desa, camat, bupati atau wali kota, gubernur, hingga di kantor presiden.
Berangkat dari pemahaman seperti itu, maka sasaran perang melawan korupsi, adalah jelas atau tidak terlalu abstrak. Keberadaan musuh itu jelas dan atau tidak terlalu rumit untuk dicari. Melawan korupsi tidak perlu ke tengah pasar, kecuali menemui juru bayar restribusi, tidak perlu ke tengah sawah atau kebun kecuali menemui para penyuluh pertanian, tidak perlu ke hutan kecuali menemui mandor hutan, untuk menyelidiki apakah mereka telah menunaikan tugas sebaik-baiknya.
Sasaran perang melawan korupsi, adalah para pejabat atau pegawai kantoran. Musuh itu sesungguhnya sangat jelas. Namun demikian karena begitu mudah dan jelasnya, ternyata menjadikan gerakan itu sulit berhasil dilakukan. Mungkin karena antara petugas pemberantas korupsi dan pelaku korupsi berada dalam satu tempat atau setidak-tidaknya berada pada tempat yang tidak berjauhan jaraknya, pderlawanan itu justru tidak mudah dilakukan. Bagi pejabat pemerintah, ----------bisa jadi, melawan korupsi sama artinya dengan melawan dirinya sendiri.
Ada dua hal terkait dengan korupsi yang saya anggap penting untuk saya kemukakan dalam tulisan ini. Pertama adalah tentang munculnya mental korup dan yang kedua, saya ingin menunjukkan kembali --------karena sudah beberapa kali saya tulis, tentang cara sederhana mencegah korupsi. Kedua hal tersebut saya rasa penting diungkapkan di saat kita sedang memperingatai hari anti korupsi sedunia ini.
Terkait dengan persoalan pertama, yaitu munculnya mental korup. Kiranya kita sepakat bahwa mental korup itu belum tentu dibawa oleh yang bersangkutan sejak mereka mendapatkan pekerjaan di kantor itu. Pada umumnya para pegawai baru menyandang idealisme yang tinggi. Di awal menerima status sebagai pegawai, mereka berniat akan bekerja sejujur dan sebaik mungkin. Akan tetapi ternyata, karena ada peluang, suasana yang memungkinkan, dan bahkan juga kultur yang mendukung, maka penyakit itu bersemi dan tumbuh. Akhirnya mental korup itu berkembang, apalagi tatkala mereka menempati tempat yang memungkinkan untuk melakukan kejahatan itu.
Jika pandangan tersebut di muka benar, maka membasmi penyakit korupsi tidak cukup pun itu perlu, hanya sebatas menambah institusi dan atau menambah personal pemberantas korupsi. Seketat apapun pengawasan itu dilakukan, dan seberat apapun resiko itu diberikan, jika para pejabat atau pegawai yang bersangkutan sudah bermental korup, maka ada saja jalan atau peluang untuk melakukannya. Bahkan semakin ketat dan semakin banyaknya peraturan, maka para penyandang mental korup akan semakin pandai mencari strategi untuk melakukan tindakan yang merugikan masyarakat luas itu.
Oleh karena itu maka, yang seharusnya masih diperlukan adalah bagaimana membangun system secara menyeluruh, agar dengan system itu mental korup itu tidak muncul, apalagi tumbuh dan berkembang. Jika sementara ini, selalu saja bermunculan tindak korupsi, maka artinya system yang dibangun selama ini, memang berpotensi melahirkan mental korup. Sistemlah yang menganak-pinakkan atau yang memproduksi mental korup itu. Dengan system itu, ternyata siapapun yang menempati posisi itu, mentalnya selalu berubah menjadi bermental korup. Jika pandangan ini benar, maka sesunguhnya kita justru patut menaruh belas kasihan terhadap orang-orang yang selama ini korup, karena ternyata mental mereka terbentuk oleh system atau manajemen itu.
Selanjutnya adalah terkait dengan apa yang saya sebut sebagai cara mudah untuk mencegah tindakan korupsi. Saya berpandangan bahwa jika di suatu lembaga atau instansi selalu saja digerakkan semangat untuk memberi, dan bukan semangat untuk mengambil, atau semangat berkorban atau mengurangi dan bukan sebaliknya semangat untuk menambah, maka suasana itu dengan sendirinya akan membunuh mental menyimpang atau disebut dengan mental korup itu. Namun sebaliknya, jika yang selalu ditumbuh-kembangkan di lembaga atau instansi itu adalah semangat mendapatkan tambahan, dengan cara menambah honor ini dan honor itu secara terus menerus, maka akan melahirkan iklim yang dapat menumbuh-suburkan mental korup itu.
Semangat memberi dan atau berkorban itu sudah lama saya terapkan di kampus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Terus terang dengan saya pelopori sendiri, yakni selalu menyisihkan 20 % dari pendapatan/gaji setiap bulan untuk diinfaqkan dan bahkan pada tahun-tahun terakhir ini, saya mencoba untuk tidak menerima serupiah pun tunjangan sebagai pimpinan universitas, ternyata cara itu memiliki kekuatan yang luar biasa dalam menjauhkan warga kampus melakukan penyimpangan. Dana itu saya serahkan kepada ZIS (lembaga Zakat Infaq dan Shadaqoh) kampus dan kemudian sebagiannya, digunakan untuk membantu mahasiswa yang mengalami kesulitan keuangan.
Saya merasakan bahwa strategi itu memiliki kekuatan yang luar biasa, karena selain berhasil mendorong para pejabat, dosen, dan karyawan untuk berinfaq, sekaligus juga mencegah munculnya mental korup itu. Bahkan, kadang saya terharu, dampaknya tidak saja terhadap para PNS di kampus, melainkan juga diikuti oleh para mahasiswa. Saya pernah mendengar, bahwa dengan caranya sendiri, para mahasiswa setiap saat menyisihkan sebagian bekalnya dan kemudian mengumpulkan bersama untuk kemudian pada waktu tertentu digunakan untuk membiayai kegiatan pengabdian masyarakat, misalnya untuk menyantuni anak jalanan. Kegiatan itu saya nilai sangat mulia dan terpuji. Saya sangat bangga mendengar informasi itu.
Maka sesungguhnya pemberantasan korupsi bisa saja dilakukan dengan cara murah, mudah, dan tanpa harus ada resiko kemanusiaan yang sesungguhnya sangat menyedihkan. Saya mengatakan sangat menyedihkan, karena selalu membayangkan, alangkah besarnya beban penderitaan seorang pejabat tinggi, yang sebelumnya dihormati, dihargai, dan bahkan dimuliakan, ternyata akhirnya dipenjarakan. Saya yakin, tidak saja yang bersangkutan yang menanggung derita itu, tetapi juga seluruh keluarga besarnya akan ikut merasakan. Selebihnya, kerugian itu bukan saja berupa penderitaan bagi pelaku dan keluarganya, melainkan sebenarnya juga bangsa ini secara keseluruhan juga merugi. Tatkala para pejabat dan para ahli harus diparkirkarena melakukan korupsi, maka artinya putra-putri bangsa ini yang semula dipandang terbaik akan berubah menjadi sosok yang terjelek. Selain itu, dengan banyaknya pejabat yang masuk penjara karena korupsi, maka bangsa ini juga akan kehilangan kekayaan yang amat berharga, yaitu ketauladanan.
Atas dasar pandangan tersebut di muka maka semestinya, apalagi di saat memperingati hari anti korupsi sedunia seperti sekarang ini, maka perlu dicari cara-cara pencegahan munculnya mental korup yang lebih efektif. Memerangi tindak korupsi adalah penting, tetapi upaya membangun system yang dimungkinkan agar mental korup tidak tumbuh, adalah sangat mendesak danb lebih penting lagi. Selain itu, saya ingin mengatakan bahwa, sesungguhnya mencegah korupsi juga bisa dilakukan dengan cara murah, mudah, dan sederhana, yaitu cukup dilakukan dengan memberi contoh atau ketauladanan. Tauladan itu misalnya, sehari-hari pimpinan harus mau selalu memberi dan atau mengurangi apa yang diterimanya. Sebaliknya, suasana mencari tambahan hendaknya dihindari sejauh-jauhnya. Jika para pemimpin mau melaskukan hal itu, insya Allah, apa yang kita benci yakni tumbuhnya mental korup akan bisa dihindari. Wallahu a’lam.
Di tulis Oleh Moh. Safrudin, S.Ag,M.PdI adalah, Staf pengajar MAN 1 Kendari Dosen STIK Avicenna Kendari, Ketua Presidum Wilyah Majelis Alumni IPNU sultra, peneliti sangia institute Sulawesi Tenggara. Moh.safrudin@yahoo.com
Pada setiap tanggal 9 Desember, sebagaimana pada hari ini, diperingati sebagai hari anti korupsi sedunia. Tadi malam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato menyambut hari anti korupsi itu. Dia menyerukan kepada semua warga negara agar melanjutkan perjuangan melawan kejahatan itu. Presiden di antaranya juga menyatakan ingin selalu berada di garda depan dalam segala gerakan melawan korupsi. Bahkan, karena begitu semangatnya, ia menyatakan bahwa melawan korupsi sebagai jihad. Dengan tegas, -------saya saksikan sendiri, ia mengatakan : “saya akan jihad melawan korupsi”.
Sedemikian serius genderang perang melawan korupsi. Tetapi sesungguhnya, yang perlu dipertanyakan adalah, siapa sebenarnya yang harus dimusuhi itu. Istilah korupsi lekat dengan dunia birokrasi. Korupsi ada di kantor-kantor, baik kantor pemerintah ataupun juga swasta. Selama ini, korupsi di kantor pemerintah lebih popular daripada di tempat lainnya.
Seandainya ada penyimpangan keuangan atau bentuk harta kekayaan lainnya, jika itu terjadi di luar kantor pemerintah, biasanya tidak disebut sebagai korupsi. Kegiatan ekonomi di pasar, di kebun, di laut yang dilakukan oleh para nelayan penangkap ikan, umumnya tidak pernah dikenal ada tindak korupsi. Penyimpangan selalu ada di mana-mana, termasuk penyimpangan keuangan. Tetapi penyimpangan selain di kantor pemerintah, biasanya tidak disebut dengan istilah korupsi. Sekalipun bentuk penyimpangan sama, jika hal itu dilakukan di luar kantor pemerintah, maka menggunakan sebutan lain, seperti misalnya ghasab, ngemplang, mencuri, merampok, merompak, menyolet dan lain-lain.
Dengan demikian, korupsi memang hanya terjadi di kantor-kantor birokrasi. Oleh karena itu jika selama ini dikumandangkan gerakan anti korupsi, maka sasarannya adalah jelas, Perang itu adalah melawan orang-orang yang menggelapkan keuangan di kantor-kantor pemerintah untuk kepentingan dirinya sendiri. Mereka itu ada di kantor-kantor berbagai departemen. Selain itu juga ada di pemerintahan mulai dari di kantor RT, RW, (kalau ada uangnya) kepala desa, camat, bupati atau wali kota, gubernur, hingga di kantor presiden.
Berangkat dari pemahaman seperti itu, maka sasaran perang melawan korupsi, adalah jelas atau tidak terlalu abstrak. Keberadaan musuh itu jelas dan atau tidak terlalu rumit untuk dicari. Melawan korupsi tidak perlu ke tengah pasar, kecuali menemui juru bayar restribusi, tidak perlu ke tengah sawah atau kebun kecuali menemui para penyuluh pertanian, tidak perlu ke hutan kecuali menemui mandor hutan, untuk menyelidiki apakah mereka telah menunaikan tugas sebaik-baiknya.
Sasaran perang melawan korupsi, adalah para pejabat atau pegawai kantoran. Musuh itu sesungguhnya sangat jelas. Namun demikian karena begitu mudah dan jelasnya, ternyata menjadikan gerakan itu sulit berhasil dilakukan. Mungkin karena antara petugas pemberantas korupsi dan pelaku korupsi berada dalam satu tempat atau setidak-tidaknya berada pada tempat yang tidak berjauhan jaraknya, pderlawanan itu justru tidak mudah dilakukan. Bagi pejabat pemerintah, ----------bisa jadi, melawan korupsi sama artinya dengan melawan dirinya sendiri.
Ada dua hal terkait dengan korupsi yang saya anggap penting untuk saya kemukakan dalam tulisan ini. Pertama adalah tentang munculnya mental korup dan yang kedua, saya ingin menunjukkan kembali --------karena sudah beberapa kali saya tulis, tentang cara sederhana mencegah korupsi. Kedua hal tersebut saya rasa penting diungkapkan di saat kita sedang memperingatai hari anti korupsi sedunia ini.
Terkait dengan persoalan pertama, yaitu munculnya mental korup. Kiranya kita sepakat bahwa mental korup itu belum tentu dibawa oleh yang bersangkutan sejak mereka mendapatkan pekerjaan di kantor itu. Pada umumnya para pegawai baru menyandang idealisme yang tinggi. Di awal menerima status sebagai pegawai, mereka berniat akan bekerja sejujur dan sebaik mungkin. Akan tetapi ternyata, karena ada peluang, suasana yang memungkinkan, dan bahkan juga kultur yang mendukung, maka penyakit itu bersemi dan tumbuh. Akhirnya mental korup itu berkembang, apalagi tatkala mereka menempati tempat yang memungkinkan untuk melakukan kejahatan itu.
Jika pandangan tersebut di muka benar, maka membasmi penyakit korupsi tidak cukup pun itu perlu, hanya sebatas menambah institusi dan atau menambah personal pemberantas korupsi. Seketat apapun pengawasan itu dilakukan, dan seberat apapun resiko itu diberikan, jika para pejabat atau pegawai yang bersangkutan sudah bermental korup, maka ada saja jalan atau peluang untuk melakukannya. Bahkan semakin ketat dan semakin banyaknya peraturan, maka para penyandang mental korup akan semakin pandai mencari strategi untuk melakukan tindakan yang merugikan masyarakat luas itu.
Oleh karena itu maka, yang seharusnya masih diperlukan adalah bagaimana membangun system secara menyeluruh, agar dengan system itu mental korup itu tidak muncul, apalagi tumbuh dan berkembang. Jika sementara ini, selalu saja bermunculan tindak korupsi, maka artinya system yang dibangun selama ini, memang berpotensi melahirkan mental korup. Sistemlah yang menganak-pinakkan atau yang memproduksi mental korup itu. Dengan system itu, ternyata siapapun yang menempati posisi itu, mentalnya selalu berubah menjadi bermental korup. Jika pandangan ini benar, maka sesunguhnya kita justru patut menaruh belas kasihan terhadap orang-orang yang selama ini korup, karena ternyata mental mereka terbentuk oleh system atau manajemen itu.
Selanjutnya adalah terkait dengan apa yang saya sebut sebagai cara mudah untuk mencegah tindakan korupsi. Saya berpandangan bahwa jika di suatu lembaga atau instansi selalu saja digerakkan semangat untuk memberi, dan bukan semangat untuk mengambil, atau semangat berkorban atau mengurangi dan bukan sebaliknya semangat untuk menambah, maka suasana itu dengan sendirinya akan membunuh mental menyimpang atau disebut dengan mental korup itu. Namun sebaliknya, jika yang selalu ditumbuh-kembangkan di lembaga atau instansi itu adalah semangat mendapatkan tambahan, dengan cara menambah honor ini dan honor itu secara terus menerus, maka akan melahirkan iklim yang dapat menumbuh-suburkan mental korup itu.
Semangat memberi dan atau berkorban itu sudah lama saya terapkan di kampus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Terus terang dengan saya pelopori sendiri, yakni selalu menyisihkan 20 % dari pendapatan/gaji setiap bulan untuk diinfaqkan dan bahkan pada tahun-tahun terakhir ini, saya mencoba untuk tidak menerima serupiah pun tunjangan sebagai pimpinan universitas, ternyata cara itu memiliki kekuatan yang luar biasa dalam menjauhkan warga kampus melakukan penyimpangan. Dana itu saya serahkan kepada ZIS (lembaga Zakat Infaq dan Shadaqoh) kampus dan kemudian sebagiannya, digunakan untuk membantu mahasiswa yang mengalami kesulitan keuangan.
Saya merasakan bahwa strategi itu memiliki kekuatan yang luar biasa, karena selain berhasil mendorong para pejabat, dosen, dan karyawan untuk berinfaq, sekaligus juga mencegah munculnya mental korup itu. Bahkan, kadang saya terharu, dampaknya tidak saja terhadap para PNS di kampus, melainkan juga diikuti oleh para mahasiswa. Saya pernah mendengar, bahwa dengan caranya sendiri, para mahasiswa setiap saat menyisihkan sebagian bekalnya dan kemudian mengumpulkan bersama untuk kemudian pada waktu tertentu digunakan untuk membiayai kegiatan pengabdian masyarakat, misalnya untuk menyantuni anak jalanan. Kegiatan itu saya nilai sangat mulia dan terpuji. Saya sangat bangga mendengar informasi itu.
Maka sesungguhnya pemberantasan korupsi bisa saja dilakukan dengan cara murah, mudah, dan tanpa harus ada resiko kemanusiaan yang sesungguhnya sangat menyedihkan. Saya mengatakan sangat menyedihkan, karena selalu membayangkan, alangkah besarnya beban penderitaan seorang pejabat tinggi, yang sebelumnya dihormati, dihargai, dan bahkan dimuliakan, ternyata akhirnya dipenjarakan. Saya yakin, tidak saja yang bersangkutan yang menanggung derita itu, tetapi juga seluruh keluarga besarnya akan ikut merasakan. Selebihnya, kerugian itu bukan saja berupa penderitaan bagi pelaku dan keluarganya, melainkan sebenarnya juga bangsa ini secara keseluruhan juga merugi. Tatkala para pejabat dan para ahli harus diparkirkarena melakukan korupsi, maka artinya putra-putri bangsa ini yang semula dipandang terbaik akan berubah menjadi sosok yang terjelek. Selain itu, dengan banyaknya pejabat yang masuk penjara karena korupsi, maka bangsa ini juga akan kehilangan kekayaan yang amat berharga, yaitu ketauladanan.
Atas dasar pandangan tersebut di muka maka semestinya, apalagi di saat memperingati hari anti korupsi sedunia seperti sekarang ini, maka perlu dicari cara-cara pencegahan munculnya mental korup yang lebih efektif. Memerangi tindak korupsi adalah penting, tetapi upaya membangun system yang dimungkinkan agar mental korup tidak tumbuh, adalah sangat mendesak danb lebih penting lagi. Selain itu, saya ingin mengatakan bahwa, sesungguhnya mencegah korupsi juga bisa dilakukan dengan cara murah, mudah, dan sederhana, yaitu cukup dilakukan dengan memberi contoh atau ketauladanan. Tauladan itu misalnya, sehari-hari pimpinan harus mau selalu memberi dan atau mengurangi apa yang diterimanya. Sebaliknya, suasana mencari tambahan hendaknya dihindari sejauh-jauhnya. Jika para pemimpin mau melaskukan hal itu, insya Allah, apa yang kita benci yakni tumbuhnya mental korup akan bisa dihindari. Wallahu a’lam.
Di tulis Oleh Moh. Safrudin, S.Ag,M.PdI adalah, Staf pengajar MAN 1 Kendari Dosen STIK Avicenna Kendari, Ketua Presidum Wilyah Majelis Alumni IPNU sultra, peneliti sangia institute Sulawesi Tenggara. Moh.safrudin@yahoo.com
Jumat, 04 Desember 2009
SEPULANG HAJI APA LAGI ?
SEPULANG HAJI APALAGI ?
Oleh: Moh. Safrudin
Kenikmatan haji biasanya bukan saja dirasakan tatkala selesai thawaf, bisa mencium hajar aswat, wukuf di Arafah, berhasil melempar jumrah dengan sempurna, dan saat tahalul pertanda haji usai, melainkan juga ketika pulang, nyampai di rumah. Lebih dari sebulan meninggalkan keluarga dan kampung halaman, setelah menunaikan semua rukun dan kewajiban haji, biasanya mereka ingin pulang dan segera nyampai di rumah lagi. Sesampai di rumah dan bertemu keluarga, terasa nikmat dan bahagia.
Selanjutnya, tradisi yang berlaku di masyarakat, sepulang haji orang sangat dihargai. Mereka dianggap masih dikitari oleh malaikat yang menyambut dan memuliakan orang-orang yang baru saja menjadi tamu Allah, sekembali dari Baitullah. Banyak orang datang menyambutnya. Para tamu tidak saja berharap bisa memeluk (sesama jenis) tamu Allah itu, tetapi juga berharap doanya, agar suatu saat bisa dipanggil, menunaikan haji. Para tamu percaya bahwa doa orang yang baru menjalankan ibadah haji akan diterima oleh Allah.
Sambutan hangat sanak keluarga, tetangga, dan kenalan itu semua, sesungguhnya adalah ekspresi mereka untuk memuliakan orang-orang yang baru datang dari naik haji. Orang yang telah berhaji dipandang mulia dan sukses. Kemuliaan dan kesuksesan itu didasarkan atas keberhasilannya menunaikan rukun Islam kelima-limanya secara sempurna. Rasanya wajar, jika hal itu dianggap sebagai prestasi yang luar biasa. Sebab, tidak semua orang mampu meraihnya. Apalagi, sebagaimana dipahami selama ini, bahwa imbalan haji mabrur adalah surga Allah.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah penghargaan terhadap orang-orang yang baru pulang haji itu selalu bertahan lama. Tentu tergantung dari penyandang gelar haji itu. Jika sepulang haji lalu ada tanda-tanda perubahan dalam perilaku hidupnya, maka pengakuan itu bertahan lama. Namun sebaliknya, jika setelah itu ternyata perilakunya sama saja dengan ketika sebelum berangkat, maka orang secara diam-diam akan menyebutnya, bahwa hajinya tidak berbekas. Ia sekali-kali dipanggil haji, tetapi orang akan menyebut bahwa hajinya tidak ada atsar.
Masyarakat selalu berharap, agar apa yang dipandang ideal, juga dilihat dalam alam kenyataan. Idealnya, sepulang haji orang semakin dekat pada Allah dan juga dengan manusia. Dekat dengan Allah bisa dilihat dari bagaimana ibadahnya sehari-hari. Ibadah haji harus menjadi kekuatan pengubah perilaku. Sehingga, seorang yang baru pulang haji seharusnya semakin rajin ke masjid, sholat berjamaáh, mendatangi kegiatan keagamaan, semisal pengajian-pengajian. Diharapkan sepulang haji bukan hanya sebatas berhasil merubah warna songkok, dari sebelumnya berwarna hitam berubah menjadi berwarna putih. Atau, sebelum berangkat haji tidak pernah memakai sorban, setelah itu kemana-mana tidak lupa sorbannya.
Simbol-simbol seperti itu memang penting, sebagai instrumen untuk membangun identitas diri. Setiap orang memerlukan identitas itu. Perilaku seseorang biasanya menyesuaikan dengan jenis identitas yang disandang. Sementara orang pada saat-saat tertentu kadang masih mirip dengan anak kecil. Kita sering melihat misalnya, anak kecil yang sedang berpakian tentara-tentaraan, tatkala tersandung lalu jatuh, sekalipun sampai berdarah pun, ia tidak menangis, karena takut disebut sebagai tentara kok nangis. Tidak pantas. Seringkali, orang tua pun juga begitu. Tatkala sedang mengenakan sorban dan peci haji, kemudian mendengar adzan, maka segera ke masjid. Ia merasa tidak pantas, jika tidak melakukan yang demikian.
Harapan lainnya dari orang yang baru pulang haji adalah semakin dekat dengan sesama. Pak haji atau ibu haji harus banyak amalnya. Pak haji harus mau menyumbang pembangunan masjid, musholla, madrasah, atau lainnya. Selain itu Pak Haji juga diharapkan semakin peduli terhadap orang miskin dan anak yatim, atau orang-orang terlantar. Seorang yang telah menunaikan ibadah haji diharapkan semakin khusuk dan juga banyak amal sebagaimana gambaran yang diidealkan oleh banyak orang.
Oleh karena itu, jika sementara orang menyebut bahwa haji dirasakan sebagai beban, memang ada benarnya. Mereka terbebani dari harapan masyarakat, agar selalu berbuat baik. Padahal harapan itu tidak selamanya mudah ditunaikan. Ada sementara orang yang lulus, tetapi juga sebaliknya ada pula yang tidak lulus. Mereka yang lulus, adalah orang yang mampu menjaga nama baik atau identitas sebagai haji itu. Sebaliknya, mereka yang tidak lulus, karena dianggap oleh masyarakat tidak mampu menyangga nama baiknya.
Tidak sedikit kita menyaksikan orang menangis haru tatkala mengantarkan orang berangkat haji. Mereka mengis bukan pertanda susah, tetapi karena melihat ada kemuliaan. Tentu mereka iri ------dan iri seperti ini dibolehkan, melihat ada orang yang dianggap mulia dan akan menjadi benar-benar mulia, yaitu haji mambrur. Sudah barang tentu, harapan dan gambaran indah itu, benar-benar akan berhasil diwujudkan sepulang mereka dari tanah suci.
Namun jika, sang haji itu menurut penglihatan masyarakat tidak dianggap lulus, maka ke-hajiannya dirasakan tidak berbobot. Bisa saja, mereka dipanggil dengan sebutan haji di depan namanya, tetapi sebutan itu seperti tidak berbobot. Orang lalu dengan mata hatinya membaca, bahwa Pak Haji tersebut tidak berhasil mengubah perilakunya. Saat itu, penyandang haji tidak lagi dimuliakan sebagaimana harapan banyak orang, sebagaimana ketika menjelang berangkat dan beberapa hari sepulang dari tanah suci. Jika sudah kelihatan ada tanda-tanda tidak lulus hajinya, maka orang tidak lagi mau meminta doanya, karena dianggap belum tentu dijawab oleh Yang Maha Kuasa.
Merenungkan bagaimana masyarakat mendifinisikan identitas haji, dan harapan mereka yang sedemikian mulianya, maka tugas baru bagi siapapun yang pulang haji, adalah menghadapi ujian dari masyarakat itu. Ujian itu dilakukan melalui observasi atau pengamatan langsung terhadap bagaimana para haji itu berhasil melakukan transformasi diri. Apakah mereka benar-benar layak disebut sebagai penyandang haji mabrur. Jika mereka lulus, maka masyarakat akan menghormati, menghargai, dan memuliakannya.
Bagi para haji yang lulus ujian dari masyarakat akan selalu ditempatkan pada tempat yang terhormat, ucapannya akan dipercaya, perilakunya akan dijadikan anutan, dan lebih dari itu doanya selalu diharapkan oleh banyak orang. Begitu pula sebaliknya, mereka yang tidak lulus sementara orang menyebut nama Pak Haji saja berat. Maka, semogalah saudara kita yang baru pulang dari tanah suci, menunaikan rukun Islam yang ke lima, dengan telah mengeluarkan bekal mahal, tenaga, dan energy yang sedemikian besar, mereka berhasil menjaga identitasnya yang mulia, yaitu haji mabrur. Wallahu a’lam.
Di tulis Oleh Moh. Safrudin, S.Ag,M.PdI adalah, Staf pengajar MAN 1 Kendari Dosen STIK Avicenna Kendari, Ketua Presidum Wilyah Majelis Alumni IPNU sultra, peneliti sangia institute Sulawesi Tenggara. Moh.safrudin@yahoo.com
Oleh: Moh. Safrudin
Kenikmatan haji biasanya bukan saja dirasakan tatkala selesai thawaf, bisa mencium hajar aswat, wukuf di Arafah, berhasil melempar jumrah dengan sempurna, dan saat tahalul pertanda haji usai, melainkan juga ketika pulang, nyampai di rumah. Lebih dari sebulan meninggalkan keluarga dan kampung halaman, setelah menunaikan semua rukun dan kewajiban haji, biasanya mereka ingin pulang dan segera nyampai di rumah lagi. Sesampai di rumah dan bertemu keluarga, terasa nikmat dan bahagia.
Selanjutnya, tradisi yang berlaku di masyarakat, sepulang haji orang sangat dihargai. Mereka dianggap masih dikitari oleh malaikat yang menyambut dan memuliakan orang-orang yang baru saja menjadi tamu Allah, sekembali dari Baitullah. Banyak orang datang menyambutnya. Para tamu tidak saja berharap bisa memeluk (sesama jenis) tamu Allah itu, tetapi juga berharap doanya, agar suatu saat bisa dipanggil, menunaikan haji. Para tamu percaya bahwa doa orang yang baru menjalankan ibadah haji akan diterima oleh Allah.
Sambutan hangat sanak keluarga, tetangga, dan kenalan itu semua, sesungguhnya adalah ekspresi mereka untuk memuliakan orang-orang yang baru datang dari naik haji. Orang yang telah berhaji dipandang mulia dan sukses. Kemuliaan dan kesuksesan itu didasarkan atas keberhasilannya menunaikan rukun Islam kelima-limanya secara sempurna. Rasanya wajar, jika hal itu dianggap sebagai prestasi yang luar biasa. Sebab, tidak semua orang mampu meraihnya. Apalagi, sebagaimana dipahami selama ini, bahwa imbalan haji mabrur adalah surga Allah.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah penghargaan terhadap orang-orang yang baru pulang haji itu selalu bertahan lama. Tentu tergantung dari penyandang gelar haji itu. Jika sepulang haji lalu ada tanda-tanda perubahan dalam perilaku hidupnya, maka pengakuan itu bertahan lama. Namun sebaliknya, jika setelah itu ternyata perilakunya sama saja dengan ketika sebelum berangkat, maka orang secara diam-diam akan menyebutnya, bahwa hajinya tidak berbekas. Ia sekali-kali dipanggil haji, tetapi orang akan menyebut bahwa hajinya tidak ada atsar.
Masyarakat selalu berharap, agar apa yang dipandang ideal, juga dilihat dalam alam kenyataan. Idealnya, sepulang haji orang semakin dekat pada Allah dan juga dengan manusia. Dekat dengan Allah bisa dilihat dari bagaimana ibadahnya sehari-hari. Ibadah haji harus menjadi kekuatan pengubah perilaku. Sehingga, seorang yang baru pulang haji seharusnya semakin rajin ke masjid, sholat berjamaáh, mendatangi kegiatan keagamaan, semisal pengajian-pengajian. Diharapkan sepulang haji bukan hanya sebatas berhasil merubah warna songkok, dari sebelumnya berwarna hitam berubah menjadi berwarna putih. Atau, sebelum berangkat haji tidak pernah memakai sorban, setelah itu kemana-mana tidak lupa sorbannya.
Simbol-simbol seperti itu memang penting, sebagai instrumen untuk membangun identitas diri. Setiap orang memerlukan identitas itu. Perilaku seseorang biasanya menyesuaikan dengan jenis identitas yang disandang. Sementara orang pada saat-saat tertentu kadang masih mirip dengan anak kecil. Kita sering melihat misalnya, anak kecil yang sedang berpakian tentara-tentaraan, tatkala tersandung lalu jatuh, sekalipun sampai berdarah pun, ia tidak menangis, karena takut disebut sebagai tentara kok nangis. Tidak pantas. Seringkali, orang tua pun juga begitu. Tatkala sedang mengenakan sorban dan peci haji, kemudian mendengar adzan, maka segera ke masjid. Ia merasa tidak pantas, jika tidak melakukan yang demikian.
Harapan lainnya dari orang yang baru pulang haji adalah semakin dekat dengan sesama. Pak haji atau ibu haji harus banyak amalnya. Pak haji harus mau menyumbang pembangunan masjid, musholla, madrasah, atau lainnya. Selain itu Pak Haji juga diharapkan semakin peduli terhadap orang miskin dan anak yatim, atau orang-orang terlantar. Seorang yang telah menunaikan ibadah haji diharapkan semakin khusuk dan juga banyak amal sebagaimana gambaran yang diidealkan oleh banyak orang.
Oleh karena itu, jika sementara orang menyebut bahwa haji dirasakan sebagai beban, memang ada benarnya. Mereka terbebani dari harapan masyarakat, agar selalu berbuat baik. Padahal harapan itu tidak selamanya mudah ditunaikan. Ada sementara orang yang lulus, tetapi juga sebaliknya ada pula yang tidak lulus. Mereka yang lulus, adalah orang yang mampu menjaga nama baik atau identitas sebagai haji itu. Sebaliknya, mereka yang tidak lulus, karena dianggap oleh masyarakat tidak mampu menyangga nama baiknya.
Tidak sedikit kita menyaksikan orang menangis haru tatkala mengantarkan orang berangkat haji. Mereka mengis bukan pertanda susah, tetapi karena melihat ada kemuliaan. Tentu mereka iri ------dan iri seperti ini dibolehkan, melihat ada orang yang dianggap mulia dan akan menjadi benar-benar mulia, yaitu haji mambrur. Sudah barang tentu, harapan dan gambaran indah itu, benar-benar akan berhasil diwujudkan sepulang mereka dari tanah suci.
Namun jika, sang haji itu menurut penglihatan masyarakat tidak dianggap lulus, maka ke-hajiannya dirasakan tidak berbobot. Bisa saja, mereka dipanggil dengan sebutan haji di depan namanya, tetapi sebutan itu seperti tidak berbobot. Orang lalu dengan mata hatinya membaca, bahwa Pak Haji tersebut tidak berhasil mengubah perilakunya. Saat itu, penyandang haji tidak lagi dimuliakan sebagaimana harapan banyak orang, sebagaimana ketika menjelang berangkat dan beberapa hari sepulang dari tanah suci. Jika sudah kelihatan ada tanda-tanda tidak lulus hajinya, maka orang tidak lagi mau meminta doanya, karena dianggap belum tentu dijawab oleh Yang Maha Kuasa.
Merenungkan bagaimana masyarakat mendifinisikan identitas haji, dan harapan mereka yang sedemikian mulianya, maka tugas baru bagi siapapun yang pulang haji, adalah menghadapi ujian dari masyarakat itu. Ujian itu dilakukan melalui observasi atau pengamatan langsung terhadap bagaimana para haji itu berhasil melakukan transformasi diri. Apakah mereka benar-benar layak disebut sebagai penyandang haji mabrur. Jika mereka lulus, maka masyarakat akan menghormati, menghargai, dan memuliakannya.
Bagi para haji yang lulus ujian dari masyarakat akan selalu ditempatkan pada tempat yang terhormat, ucapannya akan dipercaya, perilakunya akan dijadikan anutan, dan lebih dari itu doanya selalu diharapkan oleh banyak orang. Begitu pula sebaliknya, mereka yang tidak lulus sementara orang menyebut nama Pak Haji saja berat. Maka, semogalah saudara kita yang baru pulang dari tanah suci, menunaikan rukun Islam yang ke lima, dengan telah mengeluarkan bekal mahal, tenaga, dan energy yang sedemikian besar, mereka berhasil menjaga identitasnya yang mulia, yaitu haji mabrur. Wallahu a’lam.
Di tulis Oleh Moh. Safrudin, S.Ag,M.PdI adalah, Staf pengajar MAN 1 Kendari Dosen STIK Avicenna Kendari, Ketua Presidum Wilyah Majelis Alumni IPNU sultra, peneliti sangia institute Sulawesi Tenggara. Moh.safrudin@yahoo.com
MENCARI KETENANGAN HIDUP
Setiap orang memiliki orientasi hidup yang berbeda. Adakalanya orang menyukai tantangan, hingga dengan tantangan itu hidupnya dirasa menjadi dinamis. Jika tidak ada tantangan, maka ia merasa ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya. Oleh karena itu, ia selalu mencari tantangan dan berusaha menghadapinya.
Orang yang memiliki watak seperti itu, di mana-mana, memang selalu ada. Contoh kongkrit, seorang teman saya punya kenalan seorang dokter. Dokter ini memiliki watak yang aneh. Ia hanya mau bekerja di masyarakat miskin yang sedang konflik. Sekalipun masyarakat itu miskin jika tidak ada konflik, maka dokter ini juga tidak mau menerima tugas itu. Pokoknya, ia hanya ingin bekerja di masyarakat miskin dan sedang konflik. Baginya ini adalah tantangan.
Tetapi sebaliknya, ada juga orang yang menginginkan hidupnya tenang. Dia tidak mau repot menghadapi berbagai problem hidup yang dirasakan sulit diselesaikan. Sekalipun pada kenyataannya, tidak mustahil justru sebaliknya, mereka selalu mendapatkan tantangan. Selesai persoalan satu, maka datang persoalan berikutnya. Persoalan yang lama belum sepenuhnya selesai, maka datang lagi persoalan baru. Sehingga ia merasakan, hidupnya hanya dari persoalan satu ke persoalan berikutnya.
Saya tidak tahu, pembaca tulisan ini masuk kelompok yang mana. Apakah masuk kelompok yang menyukai tantangan tetapi tidak mendapatkannya dan masih harus mencarinya. Atau, sebaliknya, tidak menyukai tantangan tetapi selalu mendapatkannya. Pribadi atau kharakter masing-masing orang memang selalu tidak sama. Bahkan kadang kita juga lihat keanehan lainnya. Misalnya, kita kasihan melihat keadaan seseorang yang kita rasakan sebagai penderitaan. Tetapi ternyata, orang tersebut justru menyenangi keadaan itu.
Pada suatu saat seseorang yang seungguhnya tidak terlalu saya kenal, datang menemui saya. Orang tersebut hanya menanyakan persoalan yang sederhana, ialah minta pendapat, bagaimana agar hidupnya tenang. Dia mengaku, bahwa dulu hidupnya secara ekonomis hanya pas-pasan. Pekerjaannya sehari-hari hanya berjualan minyak di pasar. Omsetnya juga tidak terlalu besar. Tetapi hidupnya tenang, karena hasil usaha itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari.
Orang ini, entah proses awalnya seperti apa, mendapatkan mitra bisnis untuk bekerjasama. Ternyata tidak terlalu lama usahanya cukup maju. Orang yang semula hanya sebagai penjual minyak di pasar, terakhir ini usahanya berkembang sedemikian cepat. Ia kemudian memiliki berbagai usaha yang cukup lumayan besar. Perusahaan transportasi bus antar propinsi ia miliki. Selain itu ia juga memiliki toko serba ada yang cukup besar. Belum lagi, sejumlah saham di beberapa perusahaan, ia miliki. Singkat kata, ia menjadi orang yang dibilang kaya.
Menginjak usia yang sudah agak tua, ia mulai merasakan ada sesuatu yang kurang pada dirinya. Di tengah-tengah kekayaan yang cukup melimpah itu, dia merasa ada sesuatu yang hilang, ialah ketenangan hidup. Ia mulai merasakan, bahwa dirinya selalu disibukkan oleh kekayaannya. Sehari-hari, ia hanya mengurus usahanya itu. Persoalan hidup menjadi selalu bertambah, dan tidak pernah ada habisnya. Ia mulai merasakan, bahwa hidupnya justru hanya untuk ngurus hartanya, dan bukan sebaliknya, hartanya untuk kehidupannya.
Merasakan sesuatu yang dianggap tidak memberikan ketenangan batin itu, ia datang ke saya mengajak bertukar pikiran. Karena saya tidak pernah memiliki pengalaman serupa itu, maka pikiran-pikiran yang saya berikan hanya bersifat normative. Saya sendiri juga tidak tahu apa yang ada pada pikiran dan hati orang itu yang sebenarnya. Ketika itu, saya hanya bisa membandingkan dengan pengalaman saya selama ini, sebagaimana tugas saya sehari-hari, yaitu menghadapi persoalan di seputar kampus. Persoalan yang saya hadapi jauh berbeda dengan persoalan orang yang menemui saya tersebut.
Oleh karena itu, saya hanya memberi pandangan bahwa hidup ini harus dijalani apa adanya saja. Usaha harus tetap dilakukan, sedangkan hasilnya harus diserahkan saja kepada Yang Maha Kuasa. Semua yang diperoleh harus disyukuri dan jika mendapatkan sesuatu yang lebih, harus mau berbagi. Hak-hak orang lain, termasuk untuk fakir miskin, anak yatim, dan sejenisnya harus ditunaikan.
Ternyata, apa yang saya sarankannya itu, menurut pengakuannya, merasa sudah dilakukannya. Tetapi ia selalu merasa kurang. Saya katakana, bahwa justru berperasaan kurang dalam beramal seperti itulah yang betul. Dalam beramal seseorang tidak boleh merasa telah berkelebihan. Sama dengan berdzikir atau mengingat Allah, tidak selayaknya takut berlebih. Perintah berdzikir tidak ada batas jumlahnya, sehingga bisa dilakukan sebanyak-banyaknya.
Selain itu saya memberikan pandangan, bahwa kenikmatan yang bisa memberikan ketenangan hidup itu tidak saja berupa harta yang didapat, tetapi juga bisa berupa sesuatu yang dilakukan secara istiqomah. Saya mencontohkan secara sederhana, ------ misalnya, bahwa jika setiap sebelum meninggalkan rumah di pagi hari, kita mengambil air wudhu, kemudian sholat dhuha antara 6 sampai 12 roka’at, dilakukan secara istiqomah, maka rasanya nikmat. Dengan cara itu, ketika kita berangkat hingga pulang kembali, menjadi terasa tidak ada beban. Hidup ini kemudian terasa tenang. Dengan begitu, bukankah sesungguhnya, kita sudah berhasil mendapatkan sesuatu yang kita cari, yaitu ketenangan hidup itu. Wallahu a’lam.
Orang yang memiliki watak seperti itu, di mana-mana, memang selalu ada. Contoh kongkrit, seorang teman saya punya kenalan seorang dokter. Dokter ini memiliki watak yang aneh. Ia hanya mau bekerja di masyarakat miskin yang sedang konflik. Sekalipun masyarakat itu miskin jika tidak ada konflik, maka dokter ini juga tidak mau menerima tugas itu. Pokoknya, ia hanya ingin bekerja di masyarakat miskin dan sedang konflik. Baginya ini adalah tantangan.
Tetapi sebaliknya, ada juga orang yang menginginkan hidupnya tenang. Dia tidak mau repot menghadapi berbagai problem hidup yang dirasakan sulit diselesaikan. Sekalipun pada kenyataannya, tidak mustahil justru sebaliknya, mereka selalu mendapatkan tantangan. Selesai persoalan satu, maka datang persoalan berikutnya. Persoalan yang lama belum sepenuhnya selesai, maka datang lagi persoalan baru. Sehingga ia merasakan, hidupnya hanya dari persoalan satu ke persoalan berikutnya.
Saya tidak tahu, pembaca tulisan ini masuk kelompok yang mana. Apakah masuk kelompok yang menyukai tantangan tetapi tidak mendapatkannya dan masih harus mencarinya. Atau, sebaliknya, tidak menyukai tantangan tetapi selalu mendapatkannya. Pribadi atau kharakter masing-masing orang memang selalu tidak sama. Bahkan kadang kita juga lihat keanehan lainnya. Misalnya, kita kasihan melihat keadaan seseorang yang kita rasakan sebagai penderitaan. Tetapi ternyata, orang tersebut justru menyenangi keadaan itu.
Pada suatu saat seseorang yang seungguhnya tidak terlalu saya kenal, datang menemui saya. Orang tersebut hanya menanyakan persoalan yang sederhana, ialah minta pendapat, bagaimana agar hidupnya tenang. Dia mengaku, bahwa dulu hidupnya secara ekonomis hanya pas-pasan. Pekerjaannya sehari-hari hanya berjualan minyak di pasar. Omsetnya juga tidak terlalu besar. Tetapi hidupnya tenang, karena hasil usaha itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari.
Orang ini, entah proses awalnya seperti apa, mendapatkan mitra bisnis untuk bekerjasama. Ternyata tidak terlalu lama usahanya cukup maju. Orang yang semula hanya sebagai penjual minyak di pasar, terakhir ini usahanya berkembang sedemikian cepat. Ia kemudian memiliki berbagai usaha yang cukup lumayan besar. Perusahaan transportasi bus antar propinsi ia miliki. Selain itu ia juga memiliki toko serba ada yang cukup besar. Belum lagi, sejumlah saham di beberapa perusahaan, ia miliki. Singkat kata, ia menjadi orang yang dibilang kaya.
Menginjak usia yang sudah agak tua, ia mulai merasakan ada sesuatu yang kurang pada dirinya. Di tengah-tengah kekayaan yang cukup melimpah itu, dia merasa ada sesuatu yang hilang, ialah ketenangan hidup. Ia mulai merasakan, bahwa dirinya selalu disibukkan oleh kekayaannya. Sehari-hari, ia hanya mengurus usahanya itu. Persoalan hidup menjadi selalu bertambah, dan tidak pernah ada habisnya. Ia mulai merasakan, bahwa hidupnya justru hanya untuk ngurus hartanya, dan bukan sebaliknya, hartanya untuk kehidupannya.
Merasakan sesuatu yang dianggap tidak memberikan ketenangan batin itu, ia datang ke saya mengajak bertukar pikiran. Karena saya tidak pernah memiliki pengalaman serupa itu, maka pikiran-pikiran yang saya berikan hanya bersifat normative. Saya sendiri juga tidak tahu apa yang ada pada pikiran dan hati orang itu yang sebenarnya. Ketika itu, saya hanya bisa membandingkan dengan pengalaman saya selama ini, sebagaimana tugas saya sehari-hari, yaitu menghadapi persoalan di seputar kampus. Persoalan yang saya hadapi jauh berbeda dengan persoalan orang yang menemui saya tersebut.
Oleh karena itu, saya hanya memberi pandangan bahwa hidup ini harus dijalani apa adanya saja. Usaha harus tetap dilakukan, sedangkan hasilnya harus diserahkan saja kepada Yang Maha Kuasa. Semua yang diperoleh harus disyukuri dan jika mendapatkan sesuatu yang lebih, harus mau berbagi. Hak-hak orang lain, termasuk untuk fakir miskin, anak yatim, dan sejenisnya harus ditunaikan.
Ternyata, apa yang saya sarankannya itu, menurut pengakuannya, merasa sudah dilakukannya. Tetapi ia selalu merasa kurang. Saya katakana, bahwa justru berperasaan kurang dalam beramal seperti itulah yang betul. Dalam beramal seseorang tidak boleh merasa telah berkelebihan. Sama dengan berdzikir atau mengingat Allah, tidak selayaknya takut berlebih. Perintah berdzikir tidak ada batas jumlahnya, sehingga bisa dilakukan sebanyak-banyaknya.
Selain itu saya memberikan pandangan, bahwa kenikmatan yang bisa memberikan ketenangan hidup itu tidak saja berupa harta yang didapat, tetapi juga bisa berupa sesuatu yang dilakukan secara istiqomah. Saya mencontohkan secara sederhana, ------ misalnya, bahwa jika setiap sebelum meninggalkan rumah di pagi hari, kita mengambil air wudhu, kemudian sholat dhuha antara 6 sampai 12 roka’at, dilakukan secara istiqomah, maka rasanya nikmat. Dengan cara itu, ketika kita berangkat hingga pulang kembali, menjadi terasa tidak ada beban. Hidup ini kemudian terasa tenang. Dengan begitu, bukankah sesungguhnya, kita sudah berhasil mendapatkan sesuatu yang kita cari, yaitu ketenangan hidup itu. Wallahu a’lam.
Selasa, 01 Desember 2009
PERLUNYA KETELADANAN PEMIMPIN
OLEH: MOH. SAFRUDIN
Bangsa ini rasanya semakin sulit mencari tauladan yang bisa dianut. Dulu para pejabat mulai tingkat rendah hingga tingkat tinggi, selain berperan sebagai pengelola pemerintahan, mereka juga dianggap sebagai tauladan. Para pejabat di mana-mana selalu disegani dan juga mungkin secara diam-diam dihormati dan cintai. Siapapun pejabat itu diberlakukan secara sama.
Para pejabat juga selalu menjaga diri. Mereka tidak mau misalnya makan, minum, atau apa saja secara sembarangan, sebagaimana masyarakat umum bebas bisa melakukannya. Mereka selalu membatasi diri dengan maksud untuk menjaga kewibawaan atau harga dirinya itu . Ada hal-hal yang dianggap pantangan atau setidak-tidaknya kurang pantas jika dilakukan oleh orang terhormat, semacam pejabat.
Rakyat juga tahu, mana yang tidak pantas dilakukan oleh pejabat, tetapi sebaliknya tidak mengapa dilakukan oleh rakyat biasa. Ada batas-batas, atau semacam kode etik sekalipun tidak tertulis, apa saja yang boleh dilakukan oleh seorang pejabat dan sebaliknya, tidak boleh. Itu semua dipedomani dengan maksud untuk menjaga kharisma atau kewibawaan sang pejabat yang bersangkutan.
Sosok pejabat yang berperilaku dan berperan seperti itu memang selalu diperlukan. Pejabat tidak saja dipandang sebagai pemimpin yang harus ditaati perintahnya, tetapi sekaligus perilakunya dijadikan anutan atau disebut sebagai reference person. Peran itu berjalan jika pejabat yang bersangkutan dipercaya, berwibawa, atau memiliki kharisma. Namun, kekuatan itu akan lahir manakala, sang pejabat mampu menunjukkan kejujuran, berlaku adil, dan berhasil melayani masyarakat secara tulus.
Sedemikian strategis perilaku pejabat untuk membangun kehidupan, sehingga masyarakat menjadi utuh, rukun, dan damai. Sehari-hari, perilaku pejabat seolah-olah selalu dijadikan sebagai buku pegangan hidup yang dapat dibaca dan dipedomani setiap saat. Karena itu jika ada pejabat yang berperilaku aneh, artinya melakukan sesuatu yang tidak semestinya, maka akan menjadi bahan gunjingan. Memang selain pejabat, masih ada tokoh lain, yang diperankan sebagai reference person, yaitu para kyai, ulama’, sesepuh, atau siapapun yang bisa dicontoh.
Dengan adanya pemimpin yang disegani dan dihormati, maka perilaku masyarakat dapat terkendali dan terkontrol. Masyarakat tidak akan semaunya melakukan sesuatu. Perilaku mereka selalu terkontrol oleh kewibawaan atau kharisma para pemimpin yang disegani dan dihormati itu. Orang menjadi sungkan dan bahkan takut melakukan sesuatu di luar kebiasaan, khawatir dianggap tidak pantas oleh pemimpinnya.
Hal yang agaknya baru, dalam beberapa tahun terakhir ini, bangsa ini sudah semakin kehilangan pemimpin dan tokoh yang disegani dan bahkan dihormati. Pemimpin dan yang dipimpin tidak sebagaimana dulu. Kini pola hubungan itu telah berubah, seolah-olah di antara keduanya telah memiliki posisi atau kedudukan yang sama. Pemimpin sehari-hari dicurigai, dan diduga telah melakukan penyimpangan. Mereka diprotes dan bahkan juga didemo, dan jika sudah keterlaluan, diturunkan bersama-sama. Ini semua bukan semata-mata kesalahan rakyat, tetapi juga sebagai akibat kekeliruan pemimpin yang kurang bisa menjaga diri.
Keadaan tersebut, akhir-akhir ini cenderung menjadi semakin parah. Tidak sedikit pejabat ketahuan menyimpang, lalu diadili, dan akhirnya dimasukkan ke penjara. Pejabat yang seharusnya disegani, dihormati, dan bahkan dimuliakan ternyata kemudian digiring ke penjara, dimasukkan ke bui. Pejabat yang bernasip malang seperti itu cukup banyak, dan ada di mana-mana, bahkan di berbagai level. Mereka itu berasal dari berbagai instansi pemerintah, baik dari kalangan eksekutif, legislative, yudikatif, BUMN, dan lain-lain.
Keberhasilan mengadili pejabat korup dan kemudian memasukkan mereka ke penjara, pada satu sisi, rakyat menjadi tidak terlalu dirugikan terlalu jauh. Dengan cara itu, sekaligus rakyat mendapatkan contoh tentang keadilan. Adil menjadi hak milik bagi semua. Namun sesungguhnya, pada ketika itu pula, atau pada saat yang sama, rakyat telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga, ialah ketauladanan. Sosok yang semestinya selalu ada di tengah-tengah masyarakat, menjadi hilang.
Keadaan tersebut menjadikan orang tidak lagi menghormati pejabatnya. Pejabat seolah-olah dipandang sebagai pelayan, atau bahkan pegawai. Mereka suatu saat diangkat, dan sebaliknya, pada saat lainnya diturunkan. Kharisma atau kewibawaan pejabat semakin sulit dibangun, lebih-lebih akhir-akhir ini, yaitu ketika seseorang naik menjadi pejabat hanya atas dasar sejumlah uang yang telah dibayarkannya.
Sebagai akibat rekruitmen pejabat seperti itu, maka hubungan antara rakyat dan pejabat yang semestinya dijalin oleh tali silaturrakhim dan kedinasan, menjadi berubah total. Hubungan itu menjadi bersifat transaksional, tak ubahnya para penjual dan pembeli di pasar. Hubungan antara penjual dan pembeli tidak memerlukan kebibawaan atau charisma. Antar pembeli dan penjual hanya membutuhkan barang dan uang. Jika terjadi salah paham di antara mereka, maka diselesaikan dengan bertengkar, atau berlanjut ke polisi, atau pengadilan.
Akhirnya, situasi di masyarakat bagaikan kehidupan pasar. Di sana tidak ada peran pejabat, pemimpin, orang tua, kyai, ulama, atau tokoh yang berwibawa dan disegani. Sebaliknya, yang ada hanyalah pegawai pasar yang bertugas menarik dana restribusi atau pajak berjualan. Padahal di mana dan kapan pun, masyarakat selalu memerlukan peran-peran ketauladanan, atau reference person. Lebih aneh lagi, karena pejabat itu menganggap dirinya sebatas sebagai pegawai, bukan sosok pemimpin yang akan ditauladani, maka sekali waktu, mereka juga menuntut kenaikan gaji segala.
Jika di masyarakat kita, peran-peran ketauladanan itu tidak ada lagi, maka yang terjadi adalah seperti yang kita saksikan sekarang ini. Tidak ada nasehat, dialog, atau musyawarah. Jika muncul persoalan, selalu diselesaikan dengan uang atau bahkan pengadilan. Sebagai contoh aktual akhir-akhir ini, persoalan ujian sekolah saja harus diselesaikan oleh pengadilan. Maka, semogalah keadaan seperti yang terjadi akhir-akhir ini, segera menjadi bahan renungan bersama, agar akibat buruknya ke depan tidak terlalu menambah penderitaan rakyat. Yang jelas, masyarakat selalu memerlukan sosok tauladan yang bisa diikuti, baik pikiran, perilaku, dan akhlaknya. Wallahu a’lam.
Di tulis Oleh Moh. Safrudin, S.Ag,M.PdI adalah, Staf pengajar MAN 1 Kendari , STIK Avicenna Kendari, Ketua Presidum Wilyah Majelis Alumni IPNU sultra, peneliti sangia institute Sulawesi Tenggara. Moh.safrudin@yahoo.com
Bangsa ini rasanya semakin sulit mencari tauladan yang bisa dianut. Dulu para pejabat mulai tingkat rendah hingga tingkat tinggi, selain berperan sebagai pengelola pemerintahan, mereka juga dianggap sebagai tauladan. Para pejabat di mana-mana selalu disegani dan juga mungkin secara diam-diam dihormati dan cintai. Siapapun pejabat itu diberlakukan secara sama.
Para pejabat juga selalu menjaga diri. Mereka tidak mau misalnya makan, minum, atau apa saja secara sembarangan, sebagaimana masyarakat umum bebas bisa melakukannya. Mereka selalu membatasi diri dengan maksud untuk menjaga kewibawaan atau harga dirinya itu . Ada hal-hal yang dianggap pantangan atau setidak-tidaknya kurang pantas jika dilakukan oleh orang terhormat, semacam pejabat.
Rakyat juga tahu, mana yang tidak pantas dilakukan oleh pejabat, tetapi sebaliknya tidak mengapa dilakukan oleh rakyat biasa. Ada batas-batas, atau semacam kode etik sekalipun tidak tertulis, apa saja yang boleh dilakukan oleh seorang pejabat dan sebaliknya, tidak boleh. Itu semua dipedomani dengan maksud untuk menjaga kharisma atau kewibawaan sang pejabat yang bersangkutan.
Sosok pejabat yang berperilaku dan berperan seperti itu memang selalu diperlukan. Pejabat tidak saja dipandang sebagai pemimpin yang harus ditaati perintahnya, tetapi sekaligus perilakunya dijadikan anutan atau disebut sebagai reference person. Peran itu berjalan jika pejabat yang bersangkutan dipercaya, berwibawa, atau memiliki kharisma. Namun, kekuatan itu akan lahir manakala, sang pejabat mampu menunjukkan kejujuran, berlaku adil, dan berhasil melayani masyarakat secara tulus.
Sedemikian strategis perilaku pejabat untuk membangun kehidupan, sehingga masyarakat menjadi utuh, rukun, dan damai. Sehari-hari, perilaku pejabat seolah-olah selalu dijadikan sebagai buku pegangan hidup yang dapat dibaca dan dipedomani setiap saat. Karena itu jika ada pejabat yang berperilaku aneh, artinya melakukan sesuatu yang tidak semestinya, maka akan menjadi bahan gunjingan. Memang selain pejabat, masih ada tokoh lain, yang diperankan sebagai reference person, yaitu para kyai, ulama’, sesepuh, atau siapapun yang bisa dicontoh.
Dengan adanya pemimpin yang disegani dan dihormati, maka perilaku masyarakat dapat terkendali dan terkontrol. Masyarakat tidak akan semaunya melakukan sesuatu. Perilaku mereka selalu terkontrol oleh kewibawaan atau kharisma para pemimpin yang disegani dan dihormati itu. Orang menjadi sungkan dan bahkan takut melakukan sesuatu di luar kebiasaan, khawatir dianggap tidak pantas oleh pemimpinnya.
Hal yang agaknya baru, dalam beberapa tahun terakhir ini, bangsa ini sudah semakin kehilangan pemimpin dan tokoh yang disegani dan bahkan dihormati. Pemimpin dan yang dipimpin tidak sebagaimana dulu. Kini pola hubungan itu telah berubah, seolah-olah di antara keduanya telah memiliki posisi atau kedudukan yang sama. Pemimpin sehari-hari dicurigai, dan diduga telah melakukan penyimpangan. Mereka diprotes dan bahkan juga didemo, dan jika sudah keterlaluan, diturunkan bersama-sama. Ini semua bukan semata-mata kesalahan rakyat, tetapi juga sebagai akibat kekeliruan pemimpin yang kurang bisa menjaga diri.
Keadaan tersebut, akhir-akhir ini cenderung menjadi semakin parah. Tidak sedikit pejabat ketahuan menyimpang, lalu diadili, dan akhirnya dimasukkan ke penjara. Pejabat yang seharusnya disegani, dihormati, dan bahkan dimuliakan ternyata kemudian digiring ke penjara, dimasukkan ke bui. Pejabat yang bernasip malang seperti itu cukup banyak, dan ada di mana-mana, bahkan di berbagai level. Mereka itu berasal dari berbagai instansi pemerintah, baik dari kalangan eksekutif, legislative, yudikatif, BUMN, dan lain-lain.
Keberhasilan mengadili pejabat korup dan kemudian memasukkan mereka ke penjara, pada satu sisi, rakyat menjadi tidak terlalu dirugikan terlalu jauh. Dengan cara itu, sekaligus rakyat mendapatkan contoh tentang keadilan. Adil menjadi hak milik bagi semua. Namun sesungguhnya, pada ketika itu pula, atau pada saat yang sama, rakyat telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga, ialah ketauladanan. Sosok yang semestinya selalu ada di tengah-tengah masyarakat, menjadi hilang.
Keadaan tersebut menjadikan orang tidak lagi menghormati pejabatnya. Pejabat seolah-olah dipandang sebagai pelayan, atau bahkan pegawai. Mereka suatu saat diangkat, dan sebaliknya, pada saat lainnya diturunkan. Kharisma atau kewibawaan pejabat semakin sulit dibangun, lebih-lebih akhir-akhir ini, yaitu ketika seseorang naik menjadi pejabat hanya atas dasar sejumlah uang yang telah dibayarkannya.
Sebagai akibat rekruitmen pejabat seperti itu, maka hubungan antara rakyat dan pejabat yang semestinya dijalin oleh tali silaturrakhim dan kedinasan, menjadi berubah total. Hubungan itu menjadi bersifat transaksional, tak ubahnya para penjual dan pembeli di pasar. Hubungan antara penjual dan pembeli tidak memerlukan kebibawaan atau charisma. Antar pembeli dan penjual hanya membutuhkan barang dan uang. Jika terjadi salah paham di antara mereka, maka diselesaikan dengan bertengkar, atau berlanjut ke polisi, atau pengadilan.
Akhirnya, situasi di masyarakat bagaikan kehidupan pasar. Di sana tidak ada peran pejabat, pemimpin, orang tua, kyai, ulama, atau tokoh yang berwibawa dan disegani. Sebaliknya, yang ada hanyalah pegawai pasar yang bertugas menarik dana restribusi atau pajak berjualan. Padahal di mana dan kapan pun, masyarakat selalu memerlukan peran-peran ketauladanan, atau reference person. Lebih aneh lagi, karena pejabat itu menganggap dirinya sebatas sebagai pegawai, bukan sosok pemimpin yang akan ditauladani, maka sekali waktu, mereka juga menuntut kenaikan gaji segala.
Jika di masyarakat kita, peran-peran ketauladanan itu tidak ada lagi, maka yang terjadi adalah seperti yang kita saksikan sekarang ini. Tidak ada nasehat, dialog, atau musyawarah. Jika muncul persoalan, selalu diselesaikan dengan uang atau bahkan pengadilan. Sebagai contoh aktual akhir-akhir ini, persoalan ujian sekolah saja harus diselesaikan oleh pengadilan. Maka, semogalah keadaan seperti yang terjadi akhir-akhir ini, segera menjadi bahan renungan bersama, agar akibat buruknya ke depan tidak terlalu menambah penderitaan rakyat. Yang jelas, masyarakat selalu memerlukan sosok tauladan yang bisa diikuti, baik pikiran, perilaku, dan akhlaknya. Wallahu a’lam.
Di tulis Oleh Moh. Safrudin, S.Ag,M.PdI adalah, Staf pengajar MAN 1 Kendari , STIK Avicenna Kendari, Ketua Presidum Wilyah Majelis Alumni IPNU sultra, peneliti sangia institute Sulawesi Tenggara. Moh.safrudin@yahoo.com
KORUPTOR DAN SEMUT NABI SULAIMAN
Oleh : Moh. Safrudin
Akhir-akhir ini bukti bahwa orang yang berpendidikan tinggi pun tidak luput dari perbuatan kurupsi semakin nyata. Tidak sulit kita temukan orang yang berpendidikan tinggi tetapi ternyata juga melakukan korupsi. Para pejabat yang menyelewengkan uang negara, mereka itu bukan tidak berpendidikan, bahkan juga berpendidikan tinggi.
Rasanya sudah sulit dikatakan bahwa, karena bukti yang sudah sekian banyak, pendidikan bisa mencegah tindak kurupsi. Seolah-olah antara korupsi dan pendidikan tidak terkait. Mereka yang bergelar sarjana, bidang apapun, ternyata ada saja yang melakukan penyimpangan uang negara. Ini membuktikan bahwa pendidikan belum bisa mencegah tindak korupsi itu.
Namun tidak berarti bahwa semua orang yang berpendidikan pasti korup. Tidak begitu. Tidak sedikit orang di negeri ini yang masih baik. Mereka itu berpendidikan tinggi atau juga yang tidak berpendidikan cukup, tetapi tidak melakukan perbuatan yang dibenci oleh masyarakat saat sekarang ini. Mereka masih berhasil menjaga kridibilatas, atau kepercayaan yang disandangnya.
Hanya saja memang, sebagaimana tulisan saya beberapa hari yang lalu, bahwa untuk mencari orang yang amanah ternyata semakin lama semakin sulit. Beberapa orang pengusaha merasa kerepotan mencari tenaga kerja yang bisa dipercaya. Orang pintar banyak, tetapi mencari yang bisa dipercaya sulitnya bukan main.
Apakah tidak amanah itu memang menjadi sifat dasar atau milik manusia pada umumnya. Rasanya hal itu perlu dikaji lebih mendalam. Terasa sekali memang, sangat sedikit orang yang benar-benar dapat dipercaya. Bahkan semut pun dalam suatu kisah, tidak begitu saja bisa mempercayai manusia. Sikap semut yang demikian itu bisa diperoleh melalui kisah Nabi Sulaiman sebagai berikut.
Pada suatu ketika, Nabi Sulaiman yang dikenal mampu berbicara dengan binatang, pernah menginterogasi seekor semut. Binatang kecil ini pada suatu saat ditanya oleh Sulaiman tentang berapa butir gandum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidupannya selama setahun. Sengaja Nabi Sulaiman menanyakan hal itu, karena sehari-hari binatang kecil ini tidak henti-hentinya selalu sibuk mencari nafkah.
Semut itu dengan rasa takut menjawab, bahwa sesungguhnya dalam setahun ia hanya memerlukan sebutir gandum, dan tidak lebih dari itu. Mendengar jawaban semut itu, segera Nabi Sulaiman menangkap dan memasukkannya ke dalam sebuah botol, lalu botol tersebut ditutupnya rapat-rapat. Botol yang kosong itu selain dimasuki seekor semut, juga diisi sebutir gandum agar dimakan selama setahun.
Setelah genap setahun, botol yang berisi seekor semut dan sebutir gandum tersebut dibuka sendiri oleh Nabi Sulaiman. Ternyata semut tersebut masih bisa bertahan hidup. Hanya saja, Nabi Sulaiman agak kaget, karena sekalipun semut tersebut sudah genap setahun di dalam botol, ternyata masih menyisakan separo dari sebutir gandumnya.
Atas kenyataan itu, Nabi Sulaiman menegur semut, dan menganggapnya binatang berukuran kecil itu telah berbohong padanya. Dengan tangkas semut mengelak. Ia sengaja tidak menghabiskan persediaan makanan yang dimiliki, dan berusaha menghematnya. Memang, pengakuan ulang semut, biasanya ia menghabiskan sebutir gandum dalam setahun. Tetapi karena ia berada di dalam botol, maka harus menghematnya dan hanya menghabiskan separonya. Strategi itu diambil, karena ia khawatir kalau-kalau Nabi Sulaiman lupa, tidak membuka botol itu dan menjadikannya kehabisan persediaan makanan.
Semut berargumen, jika ia berada di luar botol, maka ia tidak khawatir kehabisan makanan. Sekalipun makanan habis, jika ia berada di luar botol, maka semut yakin Tuhan akan segera mencukupi. Tetapi kalau ia berada di dalam botol, maka tidak akan bisa terlalu menggantungkan pada Nabi Sulaiman. Sebab ia tahu bahwa manusia pada umumnya selalu bersifat pelupa dan salah. Karena itu tatkala sedang menghadapi manusia selalu harus hati-hati, tidak terkecuali kepada Nabi Sulaiman sekalipun.
Melalui kisah sederhana ini setidak-tidaknya dapat kita ambil dua pelajaran penting. Pertama, ketika menghadapi dua kelompok yang sedang bertikai tidak semestinya terlalu cepat berpihak. Keduanya harus diteliti terlebih dahulu secara saksama. Sebab ternyata, semut saja terhadap Nabi Sulaiman juga curiga, apalagi terhadap seseorang yang bukan nabi. Keduanya harus diteliti dulu lewat saluran yang berkompeten, sehingga ditemukan kesimpulan yang tepat.
Kedua, bahwa manusia di mana saja, jika dipaksa oleh keadaan dan memiliki kesempatan atau peluang, maka berkemungkinan melakukan kesalahan, termasuk berkorupsi. Karena itu, tidak selayaknya, seseorang yang belum apa-apa sudah merasa paling bersih dan paling benar. Orang dikatakan benar-benar mampu menahan tidak korupsi, manakala berpeluang atau memiliki kesempatan, tetapi tetap lulus tidak melakukan kesalahan itu, apalagi sebenarnya ia dalam keadaan membutuhkannya. Wallahu a’lam.
Di tulis Oleh Moh. Safrudin, S.Ag,M.PdI adalah, Staf pengajar MAN 1 Kendari Dosen STIK Avicenna Kendari, Ketua Presidum Wilyah Majelis Alumni IPNU sultra, peneliti sangia institute Sulawesi Tenggara. Moh.safrudin@yahoo.com
Akhir-akhir ini bukti bahwa orang yang berpendidikan tinggi pun tidak luput dari perbuatan kurupsi semakin nyata. Tidak sulit kita temukan orang yang berpendidikan tinggi tetapi ternyata juga melakukan korupsi. Para pejabat yang menyelewengkan uang negara, mereka itu bukan tidak berpendidikan, bahkan juga berpendidikan tinggi.
Rasanya sudah sulit dikatakan bahwa, karena bukti yang sudah sekian banyak, pendidikan bisa mencegah tindak kurupsi. Seolah-olah antara korupsi dan pendidikan tidak terkait. Mereka yang bergelar sarjana, bidang apapun, ternyata ada saja yang melakukan penyimpangan uang negara. Ini membuktikan bahwa pendidikan belum bisa mencegah tindak korupsi itu.
Namun tidak berarti bahwa semua orang yang berpendidikan pasti korup. Tidak begitu. Tidak sedikit orang di negeri ini yang masih baik. Mereka itu berpendidikan tinggi atau juga yang tidak berpendidikan cukup, tetapi tidak melakukan perbuatan yang dibenci oleh masyarakat saat sekarang ini. Mereka masih berhasil menjaga kridibilatas, atau kepercayaan yang disandangnya.
Hanya saja memang, sebagaimana tulisan saya beberapa hari yang lalu, bahwa untuk mencari orang yang amanah ternyata semakin lama semakin sulit. Beberapa orang pengusaha merasa kerepotan mencari tenaga kerja yang bisa dipercaya. Orang pintar banyak, tetapi mencari yang bisa dipercaya sulitnya bukan main.
Apakah tidak amanah itu memang menjadi sifat dasar atau milik manusia pada umumnya. Rasanya hal itu perlu dikaji lebih mendalam. Terasa sekali memang, sangat sedikit orang yang benar-benar dapat dipercaya. Bahkan semut pun dalam suatu kisah, tidak begitu saja bisa mempercayai manusia. Sikap semut yang demikian itu bisa diperoleh melalui kisah Nabi Sulaiman sebagai berikut.
Pada suatu ketika, Nabi Sulaiman yang dikenal mampu berbicara dengan binatang, pernah menginterogasi seekor semut. Binatang kecil ini pada suatu saat ditanya oleh Sulaiman tentang berapa butir gandum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidupannya selama setahun. Sengaja Nabi Sulaiman menanyakan hal itu, karena sehari-hari binatang kecil ini tidak henti-hentinya selalu sibuk mencari nafkah.
Semut itu dengan rasa takut menjawab, bahwa sesungguhnya dalam setahun ia hanya memerlukan sebutir gandum, dan tidak lebih dari itu. Mendengar jawaban semut itu, segera Nabi Sulaiman menangkap dan memasukkannya ke dalam sebuah botol, lalu botol tersebut ditutupnya rapat-rapat. Botol yang kosong itu selain dimasuki seekor semut, juga diisi sebutir gandum agar dimakan selama setahun.
Setelah genap setahun, botol yang berisi seekor semut dan sebutir gandum tersebut dibuka sendiri oleh Nabi Sulaiman. Ternyata semut tersebut masih bisa bertahan hidup. Hanya saja, Nabi Sulaiman agak kaget, karena sekalipun semut tersebut sudah genap setahun di dalam botol, ternyata masih menyisakan separo dari sebutir gandumnya.
Atas kenyataan itu, Nabi Sulaiman menegur semut, dan menganggapnya binatang berukuran kecil itu telah berbohong padanya. Dengan tangkas semut mengelak. Ia sengaja tidak menghabiskan persediaan makanan yang dimiliki, dan berusaha menghematnya. Memang, pengakuan ulang semut, biasanya ia menghabiskan sebutir gandum dalam setahun. Tetapi karena ia berada di dalam botol, maka harus menghematnya dan hanya menghabiskan separonya. Strategi itu diambil, karena ia khawatir kalau-kalau Nabi Sulaiman lupa, tidak membuka botol itu dan menjadikannya kehabisan persediaan makanan.
Semut berargumen, jika ia berada di luar botol, maka ia tidak khawatir kehabisan makanan. Sekalipun makanan habis, jika ia berada di luar botol, maka semut yakin Tuhan akan segera mencukupi. Tetapi kalau ia berada di dalam botol, maka tidak akan bisa terlalu menggantungkan pada Nabi Sulaiman. Sebab ia tahu bahwa manusia pada umumnya selalu bersifat pelupa dan salah. Karena itu tatkala sedang menghadapi manusia selalu harus hati-hati, tidak terkecuali kepada Nabi Sulaiman sekalipun.
Melalui kisah sederhana ini setidak-tidaknya dapat kita ambil dua pelajaran penting. Pertama, ketika menghadapi dua kelompok yang sedang bertikai tidak semestinya terlalu cepat berpihak. Keduanya harus diteliti terlebih dahulu secara saksama. Sebab ternyata, semut saja terhadap Nabi Sulaiman juga curiga, apalagi terhadap seseorang yang bukan nabi. Keduanya harus diteliti dulu lewat saluran yang berkompeten, sehingga ditemukan kesimpulan yang tepat.
Kedua, bahwa manusia di mana saja, jika dipaksa oleh keadaan dan memiliki kesempatan atau peluang, maka berkemungkinan melakukan kesalahan, termasuk berkorupsi. Karena itu, tidak selayaknya, seseorang yang belum apa-apa sudah merasa paling bersih dan paling benar. Orang dikatakan benar-benar mampu menahan tidak korupsi, manakala berpeluang atau memiliki kesempatan, tetapi tetap lulus tidak melakukan kesalahan itu, apalagi sebenarnya ia dalam keadaan membutuhkannya. Wallahu a’lam.
Di tulis Oleh Moh. Safrudin, S.Ag,M.PdI adalah, Staf pengajar MAN 1 Kendari Dosen STIK Avicenna Kendari, Ketua Presidum Wilyah Majelis Alumni IPNU sultra, peneliti sangia institute Sulawesi Tenggara. Moh.safrudin@yahoo.com
Langganan:
Postingan (Atom)