Selasa, 01 Desember 2009

PERLUNYA KETELADANAN PEMIMPIN

OLEH: MOH. SAFRUDIN

Bangsa ini rasanya semakin sulit mencari tauladan yang bisa dianut. Dulu para pejabat mulai tingkat rendah hingga tingkat tinggi, selain berperan sebagai pengelola pemerintahan, mereka juga dianggap sebagai tauladan. Para pejabat di mana-mana selalu disegani dan juga mungkin secara diam-diam dihormati dan cintai. Siapapun pejabat itu diberlakukan secara sama.

Para pejabat juga selalu menjaga diri. Mereka tidak mau misalnya makan, minum, atau apa saja secara sembarangan, sebagaimana masyarakat umum bebas bisa melakukannya. Mereka selalu membatasi diri dengan maksud untuk menjaga kewibawaan atau harga dirinya itu . Ada hal-hal yang dianggap pantangan atau setidak-tidaknya kurang pantas jika dilakukan oleh orang terhormat, semacam pejabat.

Rakyat juga tahu, mana yang tidak pantas dilakukan oleh pejabat, tetapi sebaliknya tidak mengapa dilakukan oleh rakyat biasa. Ada batas-batas, atau semacam kode etik sekalipun tidak tertulis, apa saja yang boleh dilakukan oleh seorang pejabat dan sebaliknya, tidak boleh. Itu semua dipedomani dengan maksud untuk menjaga kharisma atau kewibawaan sang pejabat yang bersangkutan.

Sosok pejabat yang berperilaku dan berperan seperti itu memang selalu diperlukan. Pejabat tidak saja dipandang sebagai pemimpin yang harus ditaati perintahnya, tetapi sekaligus perilakunya dijadikan anutan atau disebut sebagai reference person. Peran itu berjalan jika pejabat yang bersangkutan dipercaya, berwibawa, atau memiliki kharisma. Namun, kekuatan itu akan lahir manakala, sang pejabat mampu menunjukkan kejujuran, berlaku adil, dan berhasil melayani masyarakat secara tulus.

Sedemikian strategis perilaku pejabat untuk membangun kehidupan, sehingga masyarakat menjadi utuh, rukun, dan damai. Sehari-hari, perilaku pejabat seolah-olah selalu dijadikan sebagai buku pegangan hidup yang dapat dibaca dan dipedomani setiap saat. Karena itu jika ada pejabat yang berperilaku aneh, artinya melakukan sesuatu yang tidak semestinya, maka akan menjadi bahan gunjingan. Memang selain pejabat, masih ada tokoh lain, yang diperankan sebagai reference person, yaitu para kyai, ulama’, sesepuh, atau siapapun yang bisa dicontoh.

Dengan adanya pemimpin yang disegani dan dihormati, maka perilaku masyarakat dapat terkendali dan terkontrol. Masyarakat tidak akan semaunya melakukan sesuatu. Perilaku mereka selalu terkontrol oleh kewibawaan atau kharisma para pemimpin yang disegani dan dihormati itu. Orang menjadi sungkan dan bahkan takut melakukan sesuatu di luar kebiasaan, khawatir dianggap tidak pantas oleh pemimpinnya.

Hal yang agaknya baru, dalam beberapa tahun terakhir ini, bangsa ini sudah semakin kehilangan pemimpin dan tokoh yang disegani dan bahkan dihormati. Pemimpin dan yang dipimpin tidak sebagaimana dulu. Kini pola hubungan itu telah berubah, seolah-olah di antara keduanya telah memiliki posisi atau kedudukan yang sama. Pemimpin sehari-hari dicurigai, dan diduga telah melakukan penyimpangan. Mereka diprotes dan bahkan juga didemo, dan jika sudah keterlaluan, diturunkan bersama-sama. Ini semua bukan semata-mata kesalahan rakyat, tetapi juga sebagai akibat kekeliruan pemimpin yang kurang bisa menjaga diri.

Keadaan tersebut, akhir-akhir ini cenderung menjadi semakin parah. Tidak sedikit pejabat ketahuan menyimpang, lalu diadili, dan akhirnya dimasukkan ke penjara. Pejabat yang seharusnya disegani, dihormati, dan bahkan dimuliakan ternyata kemudian digiring ke penjara, dimasukkan ke bui. Pejabat yang bernasip malang seperti itu cukup banyak, dan ada di mana-mana, bahkan di berbagai level. Mereka itu berasal dari berbagai instansi pemerintah, baik dari kalangan eksekutif, legislative, yudikatif, BUMN, dan lain-lain.

Keberhasilan mengadili pejabat korup dan kemudian memasukkan mereka ke penjara, pada satu sisi, rakyat menjadi tidak terlalu dirugikan terlalu jauh. Dengan cara itu, sekaligus rakyat mendapatkan contoh tentang keadilan. Adil menjadi hak milik bagi semua. Namun sesungguhnya, pada ketika itu pula, atau pada saat yang sama, rakyat telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga, ialah ketauladanan. Sosok yang semestinya selalu ada di tengah-tengah masyarakat, menjadi hilang.

Keadaan tersebut menjadikan orang tidak lagi menghormati pejabatnya. Pejabat seolah-olah dipandang sebagai pelayan, atau bahkan pegawai. Mereka suatu saat diangkat, dan sebaliknya, pada saat lainnya diturunkan. Kharisma atau kewibawaan pejabat semakin sulit dibangun, lebih-lebih akhir-akhir ini, yaitu ketika seseorang naik menjadi pejabat hanya atas dasar sejumlah uang yang telah dibayarkannya.

Sebagai akibat rekruitmen pejabat seperti itu, maka hubungan antara rakyat dan pejabat yang semestinya dijalin oleh tali silaturrakhim dan kedinasan, menjadi berubah total. Hubungan itu menjadi bersifat transaksional, tak ubahnya para penjual dan pembeli di pasar. Hubungan antara penjual dan pembeli tidak memerlukan kebibawaan atau charisma. Antar pembeli dan penjual hanya membutuhkan barang dan uang. Jika terjadi salah paham di antara mereka, maka diselesaikan dengan bertengkar, atau berlanjut ke polisi, atau pengadilan.

Akhirnya, situasi di masyarakat bagaikan kehidupan pasar. Di sana tidak ada peran pejabat, pemimpin, orang tua, kyai, ulama, atau tokoh yang berwibawa dan disegani. Sebaliknya, yang ada hanyalah pegawai pasar yang bertugas menarik dana restribusi atau pajak berjualan. Padahal di mana dan kapan pun, masyarakat selalu memerlukan peran-peran ketauladanan, atau reference person. Lebih aneh lagi, karena pejabat itu menganggap dirinya sebatas sebagai pegawai, bukan sosok pemimpin yang akan ditauladani, maka sekali waktu, mereka juga menuntut kenaikan gaji segala.

Jika di masyarakat kita, peran-peran ketauladanan itu tidak ada lagi, maka yang terjadi adalah seperti yang kita saksikan sekarang ini. Tidak ada nasehat, dialog, atau musyawarah. Jika muncul persoalan, selalu diselesaikan dengan uang atau bahkan pengadilan. Sebagai contoh aktual akhir-akhir ini, persoalan ujian sekolah saja harus diselesaikan oleh pengadilan. Maka, semogalah keadaan seperti yang terjadi akhir-akhir ini, segera menjadi bahan renungan bersama, agar akibat buruknya ke depan tidak terlalu menambah penderitaan rakyat. Yang jelas, masyarakat selalu memerlukan sosok tauladan yang bisa diikuti, baik pikiran, perilaku, dan akhlaknya. Wallahu a’lam.

Di tulis Oleh Moh. Safrudin, S.Ag,M.PdI adalah, Staf pengajar MAN 1 Kendari , STIK Avicenna Kendari, Ketua Presidum Wilyah Majelis Alumni IPNU sultra, peneliti sangia institute Sulawesi Tenggara. Moh.safrudin@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar