SEPULANG HAJI APALAGI ?
Oleh: Moh. Safrudin
Kenikmatan haji biasanya bukan saja dirasakan tatkala selesai thawaf, bisa mencium hajar aswat, wukuf di Arafah, berhasil melempar jumrah dengan sempurna, dan saat tahalul pertanda haji usai, melainkan juga ketika pulang, nyampai di rumah. Lebih dari sebulan meninggalkan keluarga dan kampung halaman, setelah menunaikan semua rukun dan kewajiban haji, biasanya mereka ingin pulang dan segera nyampai di rumah lagi. Sesampai di rumah dan bertemu keluarga, terasa nikmat dan bahagia.
Selanjutnya, tradisi yang berlaku di masyarakat, sepulang haji orang sangat dihargai. Mereka dianggap masih dikitari oleh malaikat yang menyambut dan memuliakan orang-orang yang baru saja menjadi tamu Allah, sekembali dari Baitullah. Banyak orang datang menyambutnya. Para tamu tidak saja berharap bisa memeluk (sesama jenis) tamu Allah itu, tetapi juga berharap doanya, agar suatu saat bisa dipanggil, menunaikan haji. Para tamu percaya bahwa doa orang yang baru menjalankan ibadah haji akan diterima oleh Allah.
Sambutan hangat sanak keluarga, tetangga, dan kenalan itu semua, sesungguhnya adalah ekspresi mereka untuk memuliakan orang-orang yang baru datang dari naik haji. Orang yang telah berhaji dipandang mulia dan sukses. Kemuliaan dan kesuksesan itu didasarkan atas keberhasilannya menunaikan rukun Islam kelima-limanya secara sempurna. Rasanya wajar, jika hal itu dianggap sebagai prestasi yang luar biasa. Sebab, tidak semua orang mampu meraihnya. Apalagi, sebagaimana dipahami selama ini, bahwa imbalan haji mabrur adalah surga Allah.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah penghargaan terhadap orang-orang yang baru pulang haji itu selalu bertahan lama. Tentu tergantung dari penyandang gelar haji itu. Jika sepulang haji lalu ada tanda-tanda perubahan dalam perilaku hidupnya, maka pengakuan itu bertahan lama. Namun sebaliknya, jika setelah itu ternyata perilakunya sama saja dengan ketika sebelum berangkat, maka orang secara diam-diam akan menyebutnya, bahwa hajinya tidak berbekas. Ia sekali-kali dipanggil haji, tetapi orang akan menyebut bahwa hajinya tidak ada atsar.
Masyarakat selalu berharap, agar apa yang dipandang ideal, juga dilihat dalam alam kenyataan. Idealnya, sepulang haji orang semakin dekat pada Allah dan juga dengan manusia. Dekat dengan Allah bisa dilihat dari bagaimana ibadahnya sehari-hari. Ibadah haji harus menjadi kekuatan pengubah perilaku. Sehingga, seorang yang baru pulang haji seharusnya semakin rajin ke masjid, sholat berjamaƔh, mendatangi kegiatan keagamaan, semisal pengajian-pengajian. Diharapkan sepulang haji bukan hanya sebatas berhasil merubah warna songkok, dari sebelumnya berwarna hitam berubah menjadi berwarna putih. Atau, sebelum berangkat haji tidak pernah memakai sorban, setelah itu kemana-mana tidak lupa sorbannya.
Simbol-simbol seperti itu memang penting, sebagai instrumen untuk membangun identitas diri. Setiap orang memerlukan identitas itu. Perilaku seseorang biasanya menyesuaikan dengan jenis identitas yang disandang. Sementara orang pada saat-saat tertentu kadang masih mirip dengan anak kecil. Kita sering melihat misalnya, anak kecil yang sedang berpakian tentara-tentaraan, tatkala tersandung lalu jatuh, sekalipun sampai berdarah pun, ia tidak menangis, karena takut disebut sebagai tentara kok nangis. Tidak pantas. Seringkali, orang tua pun juga begitu. Tatkala sedang mengenakan sorban dan peci haji, kemudian mendengar adzan, maka segera ke masjid. Ia merasa tidak pantas, jika tidak melakukan yang demikian.
Harapan lainnya dari orang yang baru pulang haji adalah semakin dekat dengan sesama. Pak haji atau ibu haji harus banyak amalnya. Pak haji harus mau menyumbang pembangunan masjid, musholla, madrasah, atau lainnya. Selain itu Pak Haji juga diharapkan semakin peduli terhadap orang miskin dan anak yatim, atau orang-orang terlantar. Seorang yang telah menunaikan ibadah haji diharapkan semakin khusuk dan juga banyak amal sebagaimana gambaran yang diidealkan oleh banyak orang.
Oleh karena itu, jika sementara orang menyebut bahwa haji dirasakan sebagai beban, memang ada benarnya. Mereka terbebani dari harapan masyarakat, agar selalu berbuat baik. Padahal harapan itu tidak selamanya mudah ditunaikan. Ada sementara orang yang lulus, tetapi juga sebaliknya ada pula yang tidak lulus. Mereka yang lulus, adalah orang yang mampu menjaga nama baik atau identitas sebagai haji itu. Sebaliknya, mereka yang tidak lulus, karena dianggap oleh masyarakat tidak mampu menyangga nama baiknya.
Tidak sedikit kita menyaksikan orang menangis haru tatkala mengantarkan orang berangkat haji. Mereka mengis bukan pertanda susah, tetapi karena melihat ada kemuliaan. Tentu mereka iri ------dan iri seperti ini dibolehkan, melihat ada orang yang dianggap mulia dan akan menjadi benar-benar mulia, yaitu haji mambrur. Sudah barang tentu, harapan dan gambaran indah itu, benar-benar akan berhasil diwujudkan sepulang mereka dari tanah suci.
Namun jika, sang haji itu menurut penglihatan masyarakat tidak dianggap lulus, maka ke-hajiannya dirasakan tidak berbobot. Bisa saja, mereka dipanggil dengan sebutan haji di depan namanya, tetapi sebutan itu seperti tidak berbobot. Orang lalu dengan mata hatinya membaca, bahwa Pak Haji tersebut tidak berhasil mengubah perilakunya. Saat itu, penyandang haji tidak lagi dimuliakan sebagaimana harapan banyak orang, sebagaimana ketika menjelang berangkat dan beberapa hari sepulang dari tanah suci. Jika sudah kelihatan ada tanda-tanda tidak lulus hajinya, maka orang tidak lagi mau meminta doanya, karena dianggap belum tentu dijawab oleh Yang Maha Kuasa.
Merenungkan bagaimana masyarakat mendifinisikan identitas haji, dan harapan mereka yang sedemikian mulianya, maka tugas baru bagi siapapun yang pulang haji, adalah menghadapi ujian dari masyarakat itu. Ujian itu dilakukan melalui observasi atau pengamatan langsung terhadap bagaimana para haji itu berhasil melakukan transformasi diri. Apakah mereka benar-benar layak disebut sebagai penyandang haji mabrur. Jika mereka lulus, maka masyarakat akan menghormati, menghargai, dan memuliakannya.
Bagi para haji yang lulus ujian dari masyarakat akan selalu ditempatkan pada tempat yang terhormat, ucapannya akan dipercaya, perilakunya akan dijadikan anutan, dan lebih dari itu doanya selalu diharapkan oleh banyak orang. Begitu pula sebaliknya, mereka yang tidak lulus sementara orang menyebut nama Pak Haji saja berat. Maka, semogalah saudara kita yang baru pulang dari tanah suci, menunaikan rukun Islam yang ke lima, dengan telah mengeluarkan bekal mahal, tenaga, dan energy yang sedemikian besar, mereka berhasil menjaga identitasnya yang mulia, yaitu haji mabrur. Wallahu a’lam.
Di tulis Oleh Moh. Safrudin, S.Ag,M.PdI adalah, Staf pengajar MAN 1 Kendari Dosen STIK Avicenna Kendari, Ketua Presidum Wilyah Majelis Alumni IPNU sultra, peneliti sangia institute Sulawesi Tenggara. Moh.safrudin@yahoo.com
Jumat, 04 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar