Setiap orang memiliki orientasi hidup yang berbeda. Adakalanya orang menyukai tantangan, hingga dengan tantangan itu hidupnya dirasa menjadi dinamis. Jika tidak ada tantangan, maka ia merasa ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya. Oleh karena itu, ia selalu mencari tantangan dan berusaha menghadapinya.
Orang yang memiliki watak seperti itu, di mana-mana, memang selalu ada. Contoh kongkrit, seorang teman saya punya kenalan seorang dokter. Dokter ini memiliki watak yang aneh. Ia hanya mau bekerja di masyarakat miskin yang sedang konflik. Sekalipun masyarakat itu miskin jika tidak ada konflik, maka dokter ini juga tidak mau menerima tugas itu. Pokoknya, ia hanya ingin bekerja di masyarakat miskin dan sedang konflik. Baginya ini adalah tantangan.
Tetapi sebaliknya, ada juga orang yang menginginkan hidupnya tenang. Dia tidak mau repot menghadapi berbagai problem hidup yang dirasakan sulit diselesaikan. Sekalipun pada kenyataannya, tidak mustahil justru sebaliknya, mereka selalu mendapatkan tantangan. Selesai persoalan satu, maka datang persoalan berikutnya. Persoalan yang lama belum sepenuhnya selesai, maka datang lagi persoalan baru. Sehingga ia merasakan, hidupnya hanya dari persoalan satu ke persoalan berikutnya.
Saya tidak tahu, pembaca tulisan ini masuk kelompok yang mana. Apakah masuk kelompok yang menyukai tantangan tetapi tidak mendapatkannya dan masih harus mencarinya. Atau, sebaliknya, tidak menyukai tantangan tetapi selalu mendapatkannya. Pribadi atau kharakter masing-masing orang memang selalu tidak sama. Bahkan kadang kita juga lihat keanehan lainnya. Misalnya, kita kasihan melihat keadaan seseorang yang kita rasakan sebagai penderitaan. Tetapi ternyata, orang tersebut justru menyenangi keadaan itu.
Pada suatu saat seseorang yang seungguhnya tidak terlalu saya kenal, datang menemui saya. Orang tersebut hanya menanyakan persoalan yang sederhana, ialah minta pendapat, bagaimana agar hidupnya tenang. Dia mengaku, bahwa dulu hidupnya secara ekonomis hanya pas-pasan. Pekerjaannya sehari-hari hanya berjualan minyak di pasar. Omsetnya juga tidak terlalu besar. Tetapi hidupnya tenang, karena hasil usaha itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari.
Orang ini, entah proses awalnya seperti apa, mendapatkan mitra bisnis untuk bekerjasama. Ternyata tidak terlalu lama usahanya cukup maju. Orang yang semula hanya sebagai penjual minyak di pasar, terakhir ini usahanya berkembang sedemikian cepat. Ia kemudian memiliki berbagai usaha yang cukup lumayan besar. Perusahaan transportasi bus antar propinsi ia miliki. Selain itu ia juga memiliki toko serba ada yang cukup besar. Belum lagi, sejumlah saham di beberapa perusahaan, ia miliki. Singkat kata, ia menjadi orang yang dibilang kaya.
Menginjak usia yang sudah agak tua, ia mulai merasakan ada sesuatu yang kurang pada dirinya. Di tengah-tengah kekayaan yang cukup melimpah itu, dia merasa ada sesuatu yang hilang, ialah ketenangan hidup. Ia mulai merasakan, bahwa dirinya selalu disibukkan oleh kekayaannya. Sehari-hari, ia hanya mengurus usahanya itu. Persoalan hidup menjadi selalu bertambah, dan tidak pernah ada habisnya. Ia mulai merasakan, bahwa hidupnya justru hanya untuk ngurus hartanya, dan bukan sebaliknya, hartanya untuk kehidupannya.
Merasakan sesuatu yang dianggap tidak memberikan ketenangan batin itu, ia datang ke saya mengajak bertukar pikiran. Karena saya tidak pernah memiliki pengalaman serupa itu, maka pikiran-pikiran yang saya berikan hanya bersifat normative. Saya sendiri juga tidak tahu apa yang ada pada pikiran dan hati orang itu yang sebenarnya. Ketika itu, saya hanya bisa membandingkan dengan pengalaman saya selama ini, sebagaimana tugas saya sehari-hari, yaitu menghadapi persoalan di seputar kampus. Persoalan yang saya hadapi jauh berbeda dengan persoalan orang yang menemui saya tersebut.
Oleh karena itu, saya hanya memberi pandangan bahwa hidup ini harus dijalani apa adanya saja. Usaha harus tetap dilakukan, sedangkan hasilnya harus diserahkan saja kepada Yang Maha Kuasa. Semua yang diperoleh harus disyukuri dan jika mendapatkan sesuatu yang lebih, harus mau berbagi. Hak-hak orang lain, termasuk untuk fakir miskin, anak yatim, dan sejenisnya harus ditunaikan.
Ternyata, apa yang saya sarankannya itu, menurut pengakuannya, merasa sudah dilakukannya. Tetapi ia selalu merasa kurang. Saya katakana, bahwa justru berperasaan kurang dalam beramal seperti itulah yang betul. Dalam beramal seseorang tidak boleh merasa telah berkelebihan. Sama dengan berdzikir atau mengingat Allah, tidak selayaknya takut berlebih. Perintah berdzikir tidak ada batas jumlahnya, sehingga bisa dilakukan sebanyak-banyaknya.
Selain itu saya memberikan pandangan, bahwa kenikmatan yang bisa memberikan ketenangan hidup itu tidak saja berupa harta yang didapat, tetapi juga bisa berupa sesuatu yang dilakukan secara istiqomah. Saya mencontohkan secara sederhana, ------ misalnya, bahwa jika setiap sebelum meninggalkan rumah di pagi hari, kita mengambil air wudhu, kemudian sholat dhuha antara 6 sampai 12 roka’at, dilakukan secara istiqomah, maka rasanya nikmat. Dengan cara itu, ketika kita berangkat hingga pulang kembali, menjadi terasa tidak ada beban. Hidup ini kemudian terasa tenang. Dengan begitu, bukankah sesungguhnya, kita sudah berhasil mendapatkan sesuatu yang kita cari, yaitu ketenangan hidup itu. Wallahu a’lam.
Jumat, 04 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar