Oleh: Moh. Safrudin
Pada setiap tanggal 9 Desember, sebagaimana pada hari ini, diperingati sebagai hari anti korupsi sedunia. Tadi malam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato menyambut hari anti korupsi itu. Dia menyerukan kepada semua warga negara agar melanjutkan perjuangan melawan kejahatan itu. Presiden di antaranya juga menyatakan ingin selalu berada di garda depan dalam segala gerakan melawan korupsi. Bahkan, karena begitu semangatnya, ia menyatakan bahwa melawan korupsi sebagai jihad. Dengan tegas, -------saya saksikan sendiri, ia mengatakan : “saya akan jihad melawan korupsi”.
Sedemikian serius genderang perang melawan korupsi. Tetapi sesungguhnya, yang perlu dipertanyakan adalah, siapa sebenarnya yang harus dimusuhi itu. Istilah korupsi lekat dengan dunia birokrasi. Korupsi ada di kantor-kantor, baik kantor pemerintah ataupun juga swasta. Selama ini, korupsi di kantor pemerintah lebih popular daripada di tempat lainnya.
Seandainya ada penyimpangan keuangan atau bentuk harta kekayaan lainnya, jika itu terjadi di luar kantor pemerintah, biasanya tidak disebut sebagai korupsi. Kegiatan ekonomi di pasar, di kebun, di laut yang dilakukan oleh para nelayan penangkap ikan, umumnya tidak pernah dikenal ada tindak korupsi. Penyimpangan selalu ada di mana-mana, termasuk penyimpangan keuangan. Tetapi penyimpangan selain di kantor pemerintah, biasanya tidak disebut dengan istilah korupsi. Sekalipun bentuk penyimpangan sama, jika hal itu dilakukan di luar kantor pemerintah, maka menggunakan sebutan lain, seperti misalnya ghasab, ngemplang, mencuri, merampok, merompak, menyolet dan lain-lain.
Dengan demikian, korupsi memang hanya terjadi di kantor-kantor birokrasi. Oleh karena itu jika selama ini dikumandangkan gerakan anti korupsi, maka sasarannya adalah jelas, Perang itu adalah melawan orang-orang yang menggelapkan keuangan di kantor-kantor pemerintah untuk kepentingan dirinya sendiri. Mereka itu ada di kantor-kantor berbagai departemen. Selain itu juga ada di pemerintahan mulai dari di kantor RT, RW, (kalau ada uangnya) kepala desa, camat, bupati atau wali kota, gubernur, hingga di kantor presiden.
Berangkat dari pemahaman seperti itu, maka sasaran perang melawan korupsi, adalah jelas atau tidak terlalu abstrak. Keberadaan musuh itu jelas dan atau tidak terlalu rumit untuk dicari. Melawan korupsi tidak perlu ke tengah pasar, kecuali menemui juru bayar restribusi, tidak perlu ke tengah sawah atau kebun kecuali menemui para penyuluh pertanian, tidak perlu ke hutan kecuali menemui mandor hutan, untuk menyelidiki apakah mereka telah menunaikan tugas sebaik-baiknya.
Sasaran perang melawan korupsi, adalah para pejabat atau pegawai kantoran. Musuh itu sesungguhnya sangat jelas. Namun demikian karena begitu mudah dan jelasnya, ternyata menjadikan gerakan itu sulit berhasil dilakukan. Mungkin karena antara petugas pemberantas korupsi dan pelaku korupsi berada dalam satu tempat atau setidak-tidaknya berada pada tempat yang tidak berjauhan jaraknya, pderlawanan itu justru tidak mudah dilakukan. Bagi pejabat pemerintah, ----------bisa jadi, melawan korupsi sama artinya dengan melawan dirinya sendiri.
Ada dua hal terkait dengan korupsi yang saya anggap penting untuk saya kemukakan dalam tulisan ini. Pertama adalah tentang munculnya mental korup dan yang kedua, saya ingin menunjukkan kembali --------karena sudah beberapa kali saya tulis, tentang cara sederhana mencegah korupsi. Kedua hal tersebut saya rasa penting diungkapkan di saat kita sedang memperingatai hari anti korupsi sedunia ini.
Terkait dengan persoalan pertama, yaitu munculnya mental korup. Kiranya kita sepakat bahwa mental korup itu belum tentu dibawa oleh yang bersangkutan sejak mereka mendapatkan pekerjaan di kantor itu. Pada umumnya para pegawai baru menyandang idealisme yang tinggi. Di awal menerima status sebagai pegawai, mereka berniat akan bekerja sejujur dan sebaik mungkin. Akan tetapi ternyata, karena ada peluang, suasana yang memungkinkan, dan bahkan juga kultur yang mendukung, maka penyakit itu bersemi dan tumbuh. Akhirnya mental korup itu berkembang, apalagi tatkala mereka menempati tempat yang memungkinkan untuk melakukan kejahatan itu.
Jika pandangan tersebut di muka benar, maka membasmi penyakit korupsi tidak cukup pun itu perlu, hanya sebatas menambah institusi dan atau menambah personal pemberantas korupsi. Seketat apapun pengawasan itu dilakukan, dan seberat apapun resiko itu diberikan, jika para pejabat atau pegawai yang bersangkutan sudah bermental korup, maka ada saja jalan atau peluang untuk melakukannya. Bahkan semakin ketat dan semakin banyaknya peraturan, maka para penyandang mental korup akan semakin pandai mencari strategi untuk melakukan tindakan yang merugikan masyarakat luas itu.
Oleh karena itu maka, yang seharusnya masih diperlukan adalah bagaimana membangun system secara menyeluruh, agar dengan system itu mental korup itu tidak muncul, apalagi tumbuh dan berkembang. Jika sementara ini, selalu saja bermunculan tindak korupsi, maka artinya system yang dibangun selama ini, memang berpotensi melahirkan mental korup. Sistemlah yang menganak-pinakkan atau yang memproduksi mental korup itu. Dengan system itu, ternyata siapapun yang menempati posisi itu, mentalnya selalu berubah menjadi bermental korup. Jika pandangan ini benar, maka sesunguhnya kita justru patut menaruh belas kasihan terhadap orang-orang yang selama ini korup, karena ternyata mental mereka terbentuk oleh system atau manajemen itu.
Selanjutnya adalah terkait dengan apa yang saya sebut sebagai cara mudah untuk mencegah tindakan korupsi. Saya berpandangan bahwa jika di suatu lembaga atau instansi selalu saja digerakkan semangat untuk memberi, dan bukan semangat untuk mengambil, atau semangat berkorban atau mengurangi dan bukan sebaliknya semangat untuk menambah, maka suasana itu dengan sendirinya akan membunuh mental menyimpang atau disebut dengan mental korup itu. Namun sebaliknya, jika yang selalu ditumbuh-kembangkan di lembaga atau instansi itu adalah semangat mendapatkan tambahan, dengan cara menambah honor ini dan honor itu secara terus menerus, maka akan melahirkan iklim yang dapat menumbuh-suburkan mental korup itu.
Semangat memberi dan atau berkorban itu sudah lama saya terapkan di kampus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Terus terang dengan saya pelopori sendiri, yakni selalu menyisihkan 20 % dari pendapatan/gaji setiap bulan untuk diinfaqkan dan bahkan pada tahun-tahun terakhir ini, saya mencoba untuk tidak menerima serupiah pun tunjangan sebagai pimpinan universitas, ternyata cara itu memiliki kekuatan yang luar biasa dalam menjauhkan warga kampus melakukan penyimpangan. Dana itu saya serahkan kepada ZIS (lembaga Zakat Infaq dan Shadaqoh) kampus dan kemudian sebagiannya, digunakan untuk membantu mahasiswa yang mengalami kesulitan keuangan.
Saya merasakan bahwa strategi itu memiliki kekuatan yang luar biasa, karena selain berhasil mendorong para pejabat, dosen, dan karyawan untuk berinfaq, sekaligus juga mencegah munculnya mental korup itu. Bahkan, kadang saya terharu, dampaknya tidak saja terhadap para PNS di kampus, melainkan juga diikuti oleh para mahasiswa. Saya pernah mendengar, bahwa dengan caranya sendiri, para mahasiswa setiap saat menyisihkan sebagian bekalnya dan kemudian mengumpulkan bersama untuk kemudian pada waktu tertentu digunakan untuk membiayai kegiatan pengabdian masyarakat, misalnya untuk menyantuni anak jalanan. Kegiatan itu saya nilai sangat mulia dan terpuji. Saya sangat bangga mendengar informasi itu.
Maka sesungguhnya pemberantasan korupsi bisa saja dilakukan dengan cara murah, mudah, dan tanpa harus ada resiko kemanusiaan yang sesungguhnya sangat menyedihkan. Saya mengatakan sangat menyedihkan, karena selalu membayangkan, alangkah besarnya beban penderitaan seorang pejabat tinggi, yang sebelumnya dihormati, dihargai, dan bahkan dimuliakan, ternyata akhirnya dipenjarakan. Saya yakin, tidak saja yang bersangkutan yang menanggung derita itu, tetapi juga seluruh keluarga besarnya akan ikut merasakan. Selebihnya, kerugian itu bukan saja berupa penderitaan bagi pelaku dan keluarganya, melainkan sebenarnya juga bangsa ini secara keseluruhan juga merugi. Tatkala para pejabat dan para ahli harus diparkirkarena melakukan korupsi, maka artinya putra-putri bangsa ini yang semula dipandang terbaik akan berubah menjadi sosok yang terjelek. Selain itu, dengan banyaknya pejabat yang masuk penjara karena korupsi, maka bangsa ini juga akan kehilangan kekayaan yang amat berharga, yaitu ketauladanan.
Atas dasar pandangan tersebut di muka maka semestinya, apalagi di saat memperingati hari anti korupsi sedunia seperti sekarang ini, maka perlu dicari cara-cara pencegahan munculnya mental korup yang lebih efektif. Memerangi tindak korupsi adalah penting, tetapi upaya membangun system yang dimungkinkan agar mental korup tidak tumbuh, adalah sangat mendesak danb lebih penting lagi. Selain itu, saya ingin mengatakan bahwa, sesungguhnya mencegah korupsi juga bisa dilakukan dengan cara murah, mudah, dan sederhana, yaitu cukup dilakukan dengan memberi contoh atau ketauladanan. Tauladan itu misalnya, sehari-hari pimpinan harus mau selalu memberi dan atau mengurangi apa yang diterimanya. Sebaliknya, suasana mencari tambahan hendaknya dihindari sejauh-jauhnya. Jika para pemimpin mau melaskukan hal itu, insya Allah, apa yang kita benci yakni tumbuhnya mental korup akan bisa dihindari. Wallahu a’lam.
Di tulis Oleh Moh. Safrudin, S.Ag,M.PdI adalah, Staf pengajar MAN 1 Kendari Dosen STIK Avicenna Kendari, Ketua Presidum Wilyah Majelis Alumni IPNU sultra, peneliti sangia institute Sulawesi Tenggara. Moh.safrudin@yahoo.com
Selasa, 08 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar