Jumat, 11 Desember 2009

IBADAH DAN KERJA

oLEH : MOH. SAFRUDIN
Ibadah dan Kerja atau sebaliknya mengesankan bahwa ibadah berbeda dengan kerja. Padahal, lebih baik secara konseptual juga secara praktis, bila keduanya disamakan, sehingga menjadikan aktivitas yang dilakukan menjadi ibadah dan pengabdian kepada Tuhan Yang Mahaesa.


Ibadah dan Kerja atau sebaliknya mengesankan bahwa ibadah berbeda dengan kerja. Ini karena dua hal itu diselingi oleh kata dan yang mengandung arti bahwa keduanya berbeda. Dengan demikian, Ibadah berbeda dengan kerja. Hal tersebut dapat dibenarkan, karena memang banyak orang yang membedakannya dalam praktik hidup mereka. Misalnya, seseorang beribadah di masjid atau gereja dalam arti menyadari kehadiran Tuhan dan melakukan apa yang diperintahkan-Nya. Namun, ketika di kantor atau pasar, ia bekerja tanpa mengingat kehadiran Tuhan, bahkan bisa jadi melanggar perintah-Nya. Padahal, lebih baik secara konseptual juga secara praktis, bila kita berkata bahwa “ibadah adalah kerja” atau “kerja adalah ibadah”, sehingga menjadikan aktivitas yang dilakukan menjadi ibadah dan pengabdian kepada Tuhan Yang Mahaesa.



Kerja didefinisikan sebagai penggunaan daya. Manusia secara garis besar dianugerahi Tuhan empat daya pokok, yaitu daya fisik, yang menghasilkan kegiatan fisik dan keterampilan; daya pikir yang mendorong pemiliknya berfikir dan menghasilkan ilmu pengetahuan; daya kalbu yang menjadikan manusia mampu berkhayal, mengekspresikan keindahan, serta beriman, merasakan, dan berhubungan dengan Allah Sang Maha Pencipta; dan daya hidup yang menghasilkan semangat juang, kemampuan menghadapi tantangan, serta menanggulangi kesulitan.



Penggunaan salah satu dari daya-daya tersebut -- betapapun sederhananya -- melahiran kerja, atau “amal” dalam istilah agama. Anda tidak dapat hidup tanpa menggunakan (paling sedikit) salah satu dari daya itu. Untuk melangkah, anda memerlukan daya fisik, paling tidak guna menghadapi daya tarik bumi. Karena itu, kerja adalah keniscayaan. Tetapi, perlu diingat bahwa kerja atau amal yang dituntut oleh-Nya bukan asal kerja, tetapi kerja yang baik (amal saleh). Saleh adalah yang sesuai, bermanfaat, lagi memenuhi syarat-syarat dan nilai-nilainya. Sebuah kursi yang tidak hanya memiliki tiga kaki, sehingga tidak dapat diduduki, maka ia bukan kursi yang saleh. Ia tidak bermanfaat karena tidak memenuhi nilai-nilai yang menjadikannya dapat dijadikan tempat duduk. Seseorang dituntut untuk melakukan yang saleh, karena itu bila ia bertemu dengan sesuatu yang tidak memenuhi nilai-nilainya, maka ia dituntut untuk melakukan perbaikan (ishlâh) dengan menambah yang kurang dari nilainya itu, yakni menambah satu kaki bagi kursi tadi. Bahkan, ishlâh yang lebih baik lagi adalah memberi nilai tambah bagi kursi yang saleh, sehingga ia bukan saja dapat diduduki, tetapi juga nyaman dan indah dipandang.



Ibadah terambil dari akar kata yang sama dengan ‘abid. Lalu, darinya dibentuk kata Abdullah yang arti harfiyahnya adalah ”hamba Allah”. Dalam kamus-kamus bahasa, ‘abid (atau abdi) mempunyai sekian banyak arti. "Hamba sahaya, anak panah yang pendek dan lebar, serta "tumbuhan yang memiliki aroma yang harum". Apabila seseorang menjadi 'abid/”abdi” sesuatu, anggaplah sebagai abdi negara, maka ketiga arti di atas merupakan sifat dan sikapnya yang menonjol.



Seorang hamba sahaya tidak memiliki sesuatu. Apa yang dimilikinya adalah milik tuannya. Dia adalah anak panah yang dapat digunakan tuannya untuk tujuan yang dikehendaki sang tuan, dan dalam saat yang sama dia juga harus mampu memberi aroma yang harum bagi lingkungannya. Pengabdian bukan hanya sekedar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia adalah satu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia mengabdi, serta sebagai dampak dari keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau arti hakikatnya.



Sementara pakar berkata bahwa ada tiga unsur pokok yang merupakan hakikat ibadah kepada Allah: Pertama, si pengabdi tidak menganggap apa yang berada dalam genggaman tangannya sebagai miliknya, karena yang dinamai hamba tidak memi liki sesuatu. Apa yang dimilikinya adalah milik tuannya. Kedua, segala usahanya hanya berkisar pada mengindahkan apa yang diperintahkan oleh siapa yang kepadanya ia mengabdi. Ketiga, tidak memastikan sesuatu untuk dilaksanakan, kecuali mengaitkannya dengan izin dan restu siapa yang kepadanya ia mengabdi.



Ada dua ragam ibadah, yaitu: Pertama, ibadah murni, yaitu kegiatan yang telah ditentukan Tuhan atau Nabi-Nya dalam hal cara, waktu, kadar, atau tempatnya. Bagi seorang muslim, shalat, zakat, puasa, dan haji adalah ibadah murni, karena cara, waktu, atau kadarnya telah ditentukan Tuhan. Kedua, ibadah umum, yaitu semua aktivitas yang dilakukan dengan motivasi memenuhi perintah Tuhan. Berdandan, misalnya, dapat bernilai ibadah jika motivasinya ingin tampil indah sebagaimana diperintahkan Tuhan, bukan untuk merayu dan menggoda. Bahkan, Nabi Muhammad Saw. pernah menyatakan bahwa hubungan seks dengan pasangan yang sah pun merupakan ibadah, selama motivasinya dibenarkan agama. Dengan demikian, motivasi-lah yang menjadikan satu aktivitas dinilai ibadah atau bukan. Dua orang yang menggunakan pisau yang sama dalam memotong kaki seseorang, dapat berbeda nilai kegiatannya tergantung dari motivasinya. Jika yang pertama seorang dokter yang mengamputasi pasiennya, maka aktivitasnya ini dapat menjadi ibadah, berbeda dengan seorang penjahat yang melakukan hal serupa. Jika demikian, semua aktivitas dapat menjadi ibadah, selama motivasinya sejalan dengan tuntunan Tuhan.



Dalam konteks beribadah, kita harus pandai-pandai memilih apa yang disenangi Tuhan bukan apa yang kita senangi. Dari sini ada prioritas-prioritas yang harus menjadi pilihan. Secara umum, membersihkan diri dari yang kotor lebih baik daripada menghiasi diri dengan yang indah. Mandi tanpa parfum lebih baik daripada memakai parfum tanpa mandi. Ironinya, sementara kita melakukan kegiatan ibadah yang bersifat menghiasi diri (tidak wajib), tetapi tidak meninggalkan larangan Tuhan yang bersifat wajib. Ini adalah kekeliruan umum dalam ibadah kita.



Sekian banyak hal yang berkaitan dengan aktivitas kerja dan ibadah yang harus mendapat perhatian, antara lain: Pertama, motivasi mesti menjadi landasan setiap aktivitas agar lebih terarah. Guna bernilai ibadah, maka aktivitas harus tertuju kepada Tuhan, yang dalam bahasa agama disebut ikhlash. Ikhlas menjadikan pelakunya tidak semata-mata menuntut atau mengandalkan imbalan di sini dan sekarang (duniawi), tetapi pandangan dan visinya harus melampaui batas-batas kekinian dan kedisinian, yaitu kekal di akhirat sana. Berangkat dari hal ini, setiap pekerjaan hendaknya dihiasi dengan niat yang tulus, serta hendaknya juga dimulai dengan membaca Basmalah untuk mengingatkan pelakunya tentang tujuan akhir yang diharapkan dari kerjanya, serta menyadarkan dirinya tentang anugerah Allah yang menjadikannya mampu melaksanakan pekerjaan itu.



Kedua, tiada waktu tanpa kerja (amal saleh) dalam hidup. Al-Quran tidak memberi peluang bagi seseorang untuk menganggur sepanjang saat yang dialami dalam kehidupan dunia ini. Faidzâ faraghta fanshab (QS. 94: 7). Kata faraghta terambil dari kata faragha, yang berarti “kosong setelah sebelumnya penuh”. Kata ini tidak digunakan kecuali untuk menggambarkan kekosongan yang didahului oleh kepenuhan, termasuk keluangan yang didahului oleh kesibukan. Seseorang yang telah memenuhi waktunya dengan pekerjaan, kemudian ia menyelesaikan pekerjaan tersebut, maka waktu antara selesainya pekerjaan pertama dan dimulainya pekerjaan selanjutnya dinamai faragha. Ayat di atas berpesan, “Kalau engkau dalam keluangan sedang sebelumnya engkau telah memenuhi waktumu dengan kerja, maka fanshab”. Kata fanshab antara lain berarti berat, letih. Pada mulanya ia berarti "menegakkan sesuatu sampai nyata dan mantap”. fanshab seakar dengn kata "nasib" yang biasa difahami sebagai ”bahagian tertentu yang diperoleh dalam kehidupan yang telah ditegakkan, sehingga menjadi nyata dan tidak dapat (sulit) dielakkan”. Atas dasar ini, ayat di atas dapat diterjemahkan, “Maka apabila engkau telah berada di dalam keluangan (setelah tadinya engkau sibuk), maka (bersungguh-sungguhlah bekerja) sampai engkau letih, atau tegakkanlah (persoalan baru ) sehingga menjadi nyata".



Ketiga, bertebaran ayat dan hadis Nabi yang menuntut umat Islam agar bekerja dengan penuh kesungguhan, apik, dan bukan asal jadi. "Sesungguhnya Allah senang apabila salah seorang di antara kamu mengerjakan satu pekerjaan, (bila) dikerjakannya dengan baik (jitu)”, demikian sabda Nabi Muhammad Saw. Di sisi lain perlu dicatat bahwa Nabi pernah menjelaskan kepada malaikat Jibril tentang makna Ihsân (kebajikan) dengan sabdanya: “Ihsân adalah beribadah kepada Allah sekan-akan engkau melihat-Nya. Bila tak mampu, maka yakinlah bahwa Allah melihatmu”. Ibadah ritual atau ibadah secara umum bila didasari oleh petunjuk ini pastilah akan lahir bentuk keindahan dan keapikan yang mengagumkan.



Ketiga, penghargaan kepada waktu. Al-Quran mengaitkan dengan sangat erat antara waktu dan kerja keras, antara lain melalui surah al-‘Ashr. ‘Ashr berarti memeras. Waktu dinamai ‘ashr karena seseorang dituntut untuk memeras tenaga dan fikirannya untuk mengisi waktunya. Mereka yang tidak memerasnya akan rugi dan kerugian itu akan dirasakannya pada ‘ashr umurnya, yakni pada saat tua atau menjelang kehadiran ajalnya. Dalam konteks menghargai waktu, apabila ada dua alternatif untuk melakukan satu pekerjaan yang sama dan nilainya sama, maka hendaknya dipilih yang menggunakan waktu lebih singkat.



Di sisi lain, apabila ada pekerjaan yang mengandung nilai tambah dan dapat diselesaikan dalam waktu yang sama tanpa nilai tambah, maka pilihlah yang memiliki nilai tambah. Itu sebabnya shalat jamaah jauh lebih dianjurkan daripada shalat sendirian, karena waktu yang digunakan untuk kedua shalat sama atau tidak jauh berbeda, tetapi nilai tambah berupa ganjarannya adalah 27:1.

Kelima, kerja sama dalam melakukan sesuatu (bekerja). Pernyataan seorang muslim dalam shalat, iyyâka na'budu (hanya kepada-Mu kami beribadah), yang dikemukakan dalam bentuk jamak itu -- walau yang bersangkutan shalat sendirian -- menunjukkan bahwa Islam sangat mendambakan kerjasama dalam melaksanakan ibadah, termasuk dalam bekerja. Dengan kerjasama akan lahir harmonisme, yang pada gilirannya akan mempercepat penyelesaian pekerjaan dan mempermudahnya. Kerjasama akan meningkatkan produktivitas.



Keenam, optimisme dalam bekerja. Kerja harus dibarengi dengan optimisme dan harapan akan bantuan Ilahi, sebagaimana ditegaskan dalam surah asy-Syarh: fa inna ma'al 'usri yusran, inna ma'al 'usri yusran. Ayat ini menegaskan bahwa satu kesulitan akan dibarengi dengan dua kemudahan. Karena itu, akhir surah tersebut menyatakan, wa ilâ Rabbika farghab (Hanya kepada Tuhanmulah, hendaknya engkau berharap).



Manusia dituntut untuk melakukan usaha, atau dalam bahasa al-Quran disebut sa'y. Usaha tersebut harus bertolak dari Shafâ yang arti harfiahnya adalah “kesucian” dan berakhir di Marwah. Bila terpenuhi usahanya akan berakhir dengan “kepuasaan” (Marwah). Insya Allah, ia akan memperoleh hasil dari sumber yang ia sendiri tidak pernah menduganya.



Ketujuh, rejeki yang diraih dari hasil kerja seseorang. Rejeki ada dua macam, yaitu “rejeki materil” dan “rejeki spirituil”. Jangan pernah menduga bahwa rejeki hanya sesuatu yang bersifat materil. Seorang yang berpenghasilan sepuluh juta belum tentu mendapat rejeki lebih banyak daripada yang berpenghasilan lima juta. Karena, yang berpenghasilan sepuluh juta itu boleh jadi tidak meraih ketenangan, sehingga – katakanlah – bila anaknya sakit, ia cepat-cepat membawanya ke dokter dan memberikannya obat. Sedangkan yang mendapat rejeki materil hanya lima juta, bila disertai dengan rejeki spirituil, boleh jadi dia membeli untuk anaknya salah satu obat di kedai obat dan sembuh. Jika kecemasan berlarut-larut, maka rejeki materil yang diperoleh pada akhirnya akan sangat berkurang, bahkan lebih kurang daripada yang tadinya hanya memperoleh setengah penghasilannya. Demikian, Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar