Oleh : Moh. Safrudin
Akhir-akhir ini bukti bahwa orang yang berpendidikan tinggi pun tidak luput dari perbuatan kurupsi semakin nyata. Tidak sulit kita temukan orang yang berpendidikan tinggi tetapi ternyata juga melakukan korupsi. Para pejabat yang menyelewengkan uang negara, mereka itu bukan tidak berpendidikan, bahkan juga berpendidikan tinggi.
Rasanya sudah sulit dikatakan bahwa, karena bukti yang sudah sekian banyak, pendidikan bisa mencegah tindak kurupsi. Seolah-olah antara korupsi dan pendidikan tidak terkait. Mereka yang bergelar sarjana, bidang apapun, ternyata ada saja yang melakukan penyimpangan uang negara. Ini membuktikan bahwa pendidikan belum bisa mencegah tindak korupsi itu.
Namun tidak berarti bahwa semua orang yang berpendidikan pasti korup. Tidak begitu. Tidak sedikit orang di negeri ini yang masih baik. Mereka itu berpendidikan tinggi atau juga yang tidak berpendidikan cukup, tetapi tidak melakukan perbuatan yang dibenci oleh masyarakat saat sekarang ini. Mereka masih berhasil menjaga kridibilatas, atau kepercayaan yang disandangnya.
Hanya saja memang, sebagaimana tulisan saya beberapa hari yang lalu, bahwa untuk mencari orang yang amanah ternyata semakin lama semakin sulit. Beberapa orang pengusaha merasa kerepotan mencari tenaga kerja yang bisa dipercaya. Orang pintar banyak, tetapi mencari yang bisa dipercaya sulitnya bukan main.
Apakah tidak amanah itu memang menjadi sifat dasar atau milik manusia pada umumnya. Rasanya hal itu perlu dikaji lebih mendalam. Terasa sekali memang, sangat sedikit orang yang benar-benar dapat dipercaya. Bahkan semut pun dalam suatu kisah, tidak begitu saja bisa mempercayai manusia. Sikap semut yang demikian itu bisa diperoleh melalui kisah Nabi Sulaiman sebagai berikut.
Pada suatu ketika, Nabi Sulaiman yang dikenal mampu berbicara dengan binatang, pernah menginterogasi seekor semut. Binatang kecil ini pada suatu saat ditanya oleh Sulaiman tentang berapa butir gandum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidupannya selama setahun. Sengaja Nabi Sulaiman menanyakan hal itu, karena sehari-hari binatang kecil ini tidak henti-hentinya selalu sibuk mencari nafkah.
Semut itu dengan rasa takut menjawab, bahwa sesungguhnya dalam setahun ia hanya memerlukan sebutir gandum, dan tidak lebih dari itu. Mendengar jawaban semut itu, segera Nabi Sulaiman menangkap dan memasukkannya ke dalam sebuah botol, lalu botol tersebut ditutupnya rapat-rapat. Botol yang kosong itu selain dimasuki seekor semut, juga diisi sebutir gandum agar dimakan selama setahun.
Setelah genap setahun, botol yang berisi seekor semut dan sebutir gandum tersebut dibuka sendiri oleh Nabi Sulaiman. Ternyata semut tersebut masih bisa bertahan hidup. Hanya saja, Nabi Sulaiman agak kaget, karena sekalipun semut tersebut sudah genap setahun di dalam botol, ternyata masih menyisakan separo dari sebutir gandumnya.
Atas kenyataan itu, Nabi Sulaiman menegur semut, dan menganggapnya binatang berukuran kecil itu telah berbohong padanya. Dengan tangkas semut mengelak. Ia sengaja tidak menghabiskan persediaan makanan yang dimiliki, dan berusaha menghematnya. Memang, pengakuan ulang semut, biasanya ia menghabiskan sebutir gandum dalam setahun. Tetapi karena ia berada di dalam botol, maka harus menghematnya dan hanya menghabiskan separonya. Strategi itu diambil, karena ia khawatir kalau-kalau Nabi Sulaiman lupa, tidak membuka botol itu dan menjadikannya kehabisan persediaan makanan.
Semut berargumen, jika ia berada di luar botol, maka ia tidak khawatir kehabisan makanan. Sekalipun makanan habis, jika ia berada di luar botol, maka semut yakin Tuhan akan segera mencukupi. Tetapi kalau ia berada di dalam botol, maka tidak akan bisa terlalu menggantungkan pada Nabi Sulaiman. Sebab ia tahu bahwa manusia pada umumnya selalu bersifat pelupa dan salah. Karena itu tatkala sedang menghadapi manusia selalu harus hati-hati, tidak terkecuali kepada Nabi Sulaiman sekalipun.
Melalui kisah sederhana ini setidak-tidaknya dapat kita ambil dua pelajaran penting. Pertama, ketika menghadapi dua kelompok yang sedang bertikai tidak semestinya terlalu cepat berpihak. Keduanya harus diteliti terlebih dahulu secara saksama. Sebab ternyata, semut saja terhadap Nabi Sulaiman juga curiga, apalagi terhadap seseorang yang bukan nabi. Keduanya harus diteliti dulu lewat saluran yang berkompeten, sehingga ditemukan kesimpulan yang tepat.
Kedua, bahwa manusia di mana saja, jika dipaksa oleh keadaan dan memiliki kesempatan atau peluang, maka berkemungkinan melakukan kesalahan, termasuk berkorupsi. Karena itu, tidak selayaknya, seseorang yang belum apa-apa sudah merasa paling bersih dan paling benar. Orang dikatakan benar-benar mampu menahan tidak korupsi, manakala berpeluang atau memiliki kesempatan, tetapi tetap lulus tidak melakukan kesalahan itu, apalagi sebenarnya ia dalam keadaan membutuhkannya. Wallahu a’lam.
Di tulis Oleh Moh. Safrudin, S.Ag,M.PdI adalah, Staf pengajar MAN 1 Kendari Dosen STIK Avicenna Kendari, Ketua Presidum Wilyah Majelis Alumni IPNU sultra, peneliti sangia institute Sulawesi Tenggara. Moh.safrudin@yahoo.com
Selasa, 01 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar