OLEH: MOH. SAFRUDIN
Peristiwa Hijrah memiliki beberapa dimensi yang menarik untuk dikaji. Dimensi Pertama, secara fisik Rasulullah Saw. bersama dengan sahabat-sahabat setianya mengungsi dari puncak tekanan fisik kaum kafir Quraisy Mekah menuju ke kota Yatsrib, yang kemudian diganti dengan nama baru, Madinah. Nama Yatsrib diambil dari Asiris, nama salah satu suku yang berasal dari kawasan hulu sungai Nil, Mesir, yang merantau dan menduduki kawasan yang dipadati dengan banyak oase ini. Mereka memberi nama daerah hunian baru ini dengan Yatsrib untuk mengenang kota asal mereka. Rasulullah merubah nama Yatsrib menjadi Madinah, karena nama Yatsrib mengandung konotasi pendudukan dari negeri seberang.
Kata “madinah” yang biasa berarti “kota”, berasal dari kata yang sama dengan madaniyyah atau tamaddun berarti “peradaban” (civilization). Secara harfiah kata “madinah” adalah “tempat peradaban”, atau suatu lingkungan hidup yang beradab (kesopanan, civility), yakni tidak “liar”. Padanannya dalam bahasa Arab ialah al-hadhârah, seakar kata dengan hâdhir (Indonesia: “hadir”) yang menunjuk kepada pengertian “pola hidup menetap di suatu tempat”. Pengertian tersebut erat kaitannya dengan tsaqafah (budaya/culture). Lawan dari kata tersebut ialah badâwah, bâdiyah atau badw, yang mengandung makna pola kehidupan berpindah-pindah (nomad) dan terkesan primitif, seperti pola kehidupan pandang pasir. Kata badâwah seakar kata dengan ibtida, seperti kata madrasah ibtidaiyah (sekolah tingkat permulaan), artinya orang-orang yang berpola kehidupan berpindah-pindah.
Obsesi hijrah dalam hal ini adalah berupaya mengalihkan masyarakat badâwah yang berbudaya kasar dan sederhana menjadi masyarakat madani yang berbudaya dan berperadaban tinggi. Masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemajemukan dan pluralisme serta menghargai pendapat-pendapat yang berbeda di dalam masyarakat. Masyarakat madani menghargai keterbukaan dan sikap-sikap demokratis lainnya. Masyarakat madani ialah masyarakat yang menjunjung tinggi akhlak mulia yang penuh dengan sopan santun.
Dimensi kedua, peralihan masyarakat kabilah menjadi masyarakat ummah. Masyarakat kabilah adalah masyarakat yang dipersatukan oleh ikatan-ikatan primordial seperti ikatan kesukuan, kebangsaan, kebahasaan, kedaerahan, dan atribut-atribut lokal lainnya. Dalam masyarakat kabilah, kemuliaan seseorang diukur berdasarkan derajat kebangsawanan, kekayaan, dan keberanian. Promosi karir hanya bergulir di kalangan laki-laki. Perempuan tidak dapat memperoleh akses untuk menjadi pemimpin atau kepala kabilah. Bahkan, kaum perempuan tidak bisa memperoleh harta warisan, tidak boleh menjadi saksi, dan tidak dibenarkan aktif di dunia publik, sebaliknya hanya dibolehkan aktif di dalam rumah atau sebagai penjaga kemah.
Adapun masyarakat ummah ialah masyarakat yang dihimpun oleh ikatan spiritual keagamaan. Kemuliaan seseorang diukur berdasarkan prestasi individual, tanpa membedakan jenis kelamin, suku bangsa dan etnik dari mana ia berasal. Ini sesuai dengan ayat 13 surah al-Hujurat di atas:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakanmu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang-orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
Promosi karir semestinya dapat diakses oleh siapapun yang memiliki kemampuan, tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit dan asal-usul. Mereka semua sama-sama sebagai khalifah dan sebagai hamba. Masyarakat ummah adalah masyarakat yang bercorak global, terbuka untuk etnik manapun dan warna kulit apapun. Dalam masyarakat ummah, setiap orang memiliki rasa percaya diri tanpa harus terganggu oleh asal-usul keturunannya, walau berasal dari hamba sahaya sekalipun. Mereka berhak untuk sederet dan sejajar dengan orang-orang lain di shaf pertama masjid. Nabi Muhammad dengan konsep ummah-nya dapat dikatakan perintis dan pelopor hak-hak asasi manusia (HAM). Beliaulah yang mengangkat martabat perempuan dan beliaulah yang mempersamakan kedudukan suku Quraisy dan suku-suku lainnya.
Dimensi ketiga, peralihan dari masyarakat jahiliyah, yang tidak memberikan tempat memadai bagi tumbuhnya tradisi keilmuan, menuju masyarakat yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Obsesi ini sejak awal terlihat ketika ayat yang pertama kali diturunkan, yaitu:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ . خَلَقَ اْلإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ . اقْرَأْ وَرَبُّكَ اْلأَكْرَمُ . الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ . عَلَّمَ اْلإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.
Ayat ini kemudian disusul dengan ayat berikutnya dan sekaligus sebagai sumpah Tuhan pertama dalam al-Qur’an, yaitu:
ن . وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ
“Nun. Demi kalam dan apa yang mereka tulis”.
Kedua ayat di atas menjadi simbol betapa pentingnya kedudukan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Perintah membaca kepada Nabi Muhammad tentu bukan saja berarti membaca huruf-huruf kecil dalam bentuk abjad secara tekstual, tetapi juga membaca ayat-ayat kauniyah, membaca tanda-tanda zaman, dan membaca fenomena-fenomena alam. Kesuksesan Rasulullah Saw. dalam menjalankan misinya karena ditopang oleh kemampuan beliau membaca masyarakatnya dengan segala keunikannya.
Menurut Prof. Hull dalam buku terkenalnya, History of philosopy of science, kejahiliyahan umat manusia menjelang Rasulullah dilahirkan disebabkan karena penguasa Roma yang menekan kebebasan berfikir dan memaksakan ajaran serta tradisi Kristen tanpa bisa dibantah. Penguasa gereja dan penguasa negara bekerjasama memegang otoritas kebenaran. Tidak ada orang yang berani melakukan tugas-tugas intelektual dan keilmuan, karena suatu penemuan yang tidak sejalan dengan pendapat negara dan gereja berarti malapetaka bagi sang penemunya.
Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, ia sendiri memimpin upaya pembebasan masyarakat dari kejahiliyahan. Suatu ketika Rasulullah memberikan pembebasan bersyarat kepada para tawanan perang Badar. Tawanan perang laki-laki dalam tradisi jahiliyah harus dibunuh, tetapi kali ini Rasulullah mengidentifikasi kemampuan dan potensi tawanan perang tersebut. Setiap orang yang memiliki keterampilan tertentu, seperti tukang besi, tukang senjata, tukang kayu, tukang batu, pengrajin kulit, ahli bahasa asing, dan kelompok-kelompok keahlian lainnya, harus mengajarkan ilmunya itu kepada tiap-tiap kelompok masyarakat yang masing-masing berjumlah 20 orang. Dalam tempo yang tidak terlalu lama, terwujudlah SDM-SDM yang berkualitas dan penuh kemandirian. Michel Hart menganggap Nabi Muhammad satu-satunya orang yang mampu menyaksikan keberhasilan ajaran yang dibawanya menyebar ke hampir separuh belahan dunia dan karena itu, ia menempatkan Nabi Muhammad pada rangking pertama di antara 100 tokoh besar sepanjang sejarah umat manusia.
Peristiwa hijrah yang kita peringati itu sarat dengan berbagai makna yang sangat berharga untuk kemanusiaan. Hijrah sesungguhnya tidak lain adalah sebuah gerakan reformasi damai yang menyejukkan. Reformasi tanpa darah yang menetes, reformasi yang tetap menjunjung tinggi akhlâq al-karîmah, reformasi yang melahirkan kesejahteraan umat, reformasi yang menjunjung tinggi asas hukum dan hak asasi manusia, reformasi mengangkat harkat martabat manusia tanpa mengecualikan agama, etnik dan kelompok tertentu.
Mudah-mudahan Allah swt. senantiasa membimbing kita untuk meniti jalan yang diridhai-Nya. Āmîn yâ rabbal ‘âlamin.
Sumber :
Ditulis sendiri oleh Moh. safrudin.
Jumat, 11 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar