Umpama bangsa ini hanya menghadapi persoalan nyata, seperti peningkatan taraf hidup ekonomi rakyat, peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan, meningkatkan layanan kesehatan, penyediaan fasilitas perumahan, memperluas lapangan pekerjaan, pengentasan kemiskinan dan seterusnya, kiranya tidak terlalu berat. Seberat apapun, hitung-hitung persoalan tersebut masih bisa diatasi.
Gambaran optimis seperti itu cukup beralasan. Bangsa ini sesungguhnya kaya sumber daya alam sekaligus juga sumber daya manusia. Bangsa ini memiliki kekayaan alam yang luar biasa banyaknya. Kekayaan itu bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan rakyatnya. Apalagi, -----tidak sebagaimana dahulu, sekarang bangsa ini sudah memiliki SDM yang cukup banyak jumlahnya dan kualitasnya lumayan baik.
Akan tetapi sayangnya, bangsa ini tidak saja harus menghadapi persoalan sebagaimana dikemukakan di muka, melainkan juga harus menyelesaikan persoalan-persoalan berat yang datangnya mendadak dan tidak terduga sebelumnya. Penyelesaiannya pun juga tidak mudah dan ringan. Bahkan beban itu terlalu berat untuk diselesaikan secara cepat dan hingga tuntas. Persoalan itu datang silih berganti, seolah-olah tidak mau berhenti.
Dimulai sejak sekitar lima tahun lahu, bangsa ini mendapatkan berbagai musibah, yang datang silih berganti. Diawali dari terjadinya gempa bumi dan tsunami di Aceh, kemudian disusul oleh gempa bumi di Pulau Nias dan sekitarnya, lalu disambung oleh gempa bumi lagi yang cukup dahsyat di Yogyakarta. Tiga kali gempa bumi di tiga wilayah yang berbeda itu menelan korban manusia ratusan ribu orang jumlahnya, dan memporak-porandakan fasilitas kehidupan yang luar biasa banyaknya. Perkantoran, rumah penduduk, sarana dan prasarana kehidupan penduduk hancur dan bahkan musnah. Untuk memperbaiki kembali semua itu memerlukan dana, tenaga, dan waktu yang tidak sedikit.
Belum selesai sepenuhnya menanggulangi korban itu, datang lagi musibah berikutnya. Di beberapa tempat terjadi gunung meletus, banjir, t ingkatnya, bangsa ini sejak beberapa tahun terakhir seperti tidak pernah sepi dari musibah.
Bagi orang yang percaya terhadap kekuatan di atas sana, berusaha melakukan perenungan mendalam, untuk mencari tahu apa sesungguhnya yang sedang terjadi pada bangsa ini. Apakah musibah demi musibah yang datang silih berganti itu merupakan ujian atau bala’ karena kesalahan kolektif selama ini. Jika kesalahan itu karena kurang bersyukur, siapa yang sesungguhnya masih kufur nikmat selama ini. Jika hal itu disebabkan karena kurang adil dan jujur, siapa sesungguhnya yang teraniaya selama ini. Perenungan seperti itu, tentu tidak salah. Sebagai makhluk yang selalu ingin mendapatkan penjelasan tentang apa yang sesungguhnya sedang terjadi, maka wajar melakukan hal seperti itu. Persoalan yang tidak berhasil dijawab secara rasional, akhirnya akan dicari jawabannya dari sudut yang lain.
Musibah-musibah itu sampai hari ini ternyata masih belum mau berhenti. Banyak orang merasa optimis, tatkala presiden dipilih secara demokratis dan kemudian dilantik, akan segera bisa menunaikan tugas, menyelesaikan persoalan yang ditunggu-tunggu oleh rakyat. Optimisme muncul di mana-mana, bahwa bangsa ini akan segera memulai babak baru, menatap masa depan yang lebih mantap. Ternyata, secara mendadak masih dikejutkan oleh musibah serupa, yaitu gempa bumi di Padang dan sekitarnya. Lagi-lagi ratusan orang meninggal, dan berbagai jenis bangunan dan sarana prasarana kehidupan hancur.
Akhir-akhir ini musibah dalam bentuknya yang baru datang, yaitu berupa konflik antar elite. Diawali dengan konflik antara KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian. Konflik itu oleh sementara masyarakat digambarkan dalam bentuk metafora perseteruan antara cicak dan buaya. Metafora seperti itu justru menambah gizi kekuatan perlawanan dari masing-masing pihak. Masyarakat luas pun ikut memihak dan ambil bagian. Akhirnya, sampai-sampai presiden pun dituntut untuk ikut menyelesaikannya. Energi Para pemimpin bangsa terserap pada persoalan itu. Padahal, persoalan bangsa yang lebih besar, yakni terkait kehidupan 230 juta penduduk memerlukan perhatian yang lebih serius.
Aneh tetapi memang nyata, masalah baru lainnya muncul, tidak saja menimpa kaum elite, tetapi juga terjadi pada orang biasa, ------kalau tidak saya sebut orang kecil. Namun demikian, masalah itu memiliki resonansi yang luas. Masalah itu di antaranya terkait kasus Prita yang diajukan ke pengadilan dan akhirnya harus membayar denda hingga 204 juta. Sebuah keputusan pengadilan yang dipandang tidak masuk akal, sehingga mendatangkan simpatik yang luar biasa dari masyarakat luas.
Kasus serupa, telah terjadi peristiwa pengadilan aneh dan terdengar lucu. Seorang yang hanya mengambil tiga biji kakau, diadili dan dihukum. Ada pula orang yang mengambil sisa-sisa kapuk yang tidak seberapa jumlahnya, kemudian diajukan ke sidang pengadilan. Bahkan, di Kediri Jawa Timur, ada dua orang mengambil sebutir semangka, seharga 20 ribu rupiah, ditangkap dan diadili sebagaimana mengadili koruptor kelas kakap. Semua itu mengundang reaksi keras masyarakat luas sebagai tanda bahwa kebutuhan rasa keadilannya tidak terpenuhi.
Masalah lainnya lagi adalah penyelesaian Bank Century. Persoalan ini lebih ramai lagi. Banyak pihak ikut ambil bagian menyelesaikannya, mulai dari DPR yang telah mengajukan hak angket, BPK yang lebih dahulu mengambil inisiatif melakukan pemeriksaan. Selanjutnya, KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan, semuanya berusaha mencari keterangan dan format penyelesaian. Bahkan, akhirnya Presiden sekalipun, terbawa ikut ambil bagian menyelesaikannya. Dengan demikian, semua pihak, seolah-olah perhatiannya pada persoalan Bank Century. Berbagai persoalan besar -------sekali lagi, menyangkut 230 juta penduduk seolah-olah terkesampingkan oleh berita tentang Prita, pencuri kakau, kapuk, semangka, dan perseteruan KPK, Kepolisian, dan kejaksaan serta Bank Century.
Bahkan, persoalan Bank Century ini, rupanya belum ada gambaran segera berakhir. Bahkan semakin ramai dengan berbagai polemik, misalnya antara Menteri Keuangan dengan Pansus Hak Angket DPR dan bahkan juga antara Menteri Keuangan dengan Ketua Golkar. Perdebatan, perselisihan, dan bahkan juga perseteruan mungkin akan terus terjadi. Semua pihak ingin mendapatkan penyelesaian, dan sudah barang tentu, tidak akan ada pihak manapun yang mau disalahkan dari terjadinya kasus tersebut.
Rakyat yang berjumlah tidak kurang dari 230 juta jiwa tatkala menyaksikan para elite terbelenggu oleh berbagai masalah tersebut tidak akan tenang. Pasca Pemilu, baik pemilu legislative maupun pemilu presiden, rakyat berharap agar janji-janji mereka di masa kampanye segera dapat direalisasikan, dan bukannya ingin melihat berbagai masalah yang tidak kunjung selesai. Bangsa ini tidak menghendaki selalu saja kaya masalah, melainkan segera berhasil menyelesaikannya dan meraih apa yang dicita-citakan, yaitu masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Cita-cita masyarakat yang mulia itu, hanya akan dapat diraih manakala para elitenya bersatu. Sebab hanya dengan modal itulah, maka amanah yang diemban bersama dapat ditunaikan secara maksimal. Maka, semogalah semua pihak segera sadar, bahwa yang diperlukan oleh bangsa ini adalah kebersamaan, saling mempercayai, bahu membahu, dan bukan sekedar berhasil menemukan kesalahan pihak-pihak lain. Dengan pandangan itu ke depan, bangsa ini diharapkan tidak lagi kaya masalah, melainkan kaya yang sebenarnya, yaitu kaya pikiran, hati, dan amal shaleh. Wallahu a’lam.
Rabu, 16 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar